Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DARYANA PUTRA SAMBARA (Part 5 END) - Perburuan di Hutan Malam

Seorang raja, Panglima besar, dan seorang anak dari desa terpencil harus berhadapan dengan pengaruh gaib yang membahayakan kerajaan.


Kemuliaan untuk tercipta sebagai seorang manusia terkadang tidak cukup disyukuri oleh beberapa orang. Rasa ingin lebih dari orang lain, hasrat untuk menguasai, kepuasan serta kenikmatan menggoda seseorang untuk melalui jalan yang gelap.

Dihadapan mereka sekarang tengah berdiri sosok yang pernah merasakan kemuliaan seorang manusia, penghargaan, dan kekuasaan. Namun itu tidak cukup untuk membuatnya puas dan memilih untuk membuang kemanusiaanya.
Watara..

Mulutnya tak lagi dapat berkata penuh. Tanganya yang penuh kuku tajam tak lagi dapat kembali menggenggam orang terkasihnya. Entah apa baiknya dari wujud itu.

“I—itu yang diseret? Manusia?” Teriakku yang tidak tega melihat tubuh sosok yang diseret oleh Watara telah terbelah jadi dua.

“Sulit untuk tidak membunuhnya,” Mas Brasma geram dengan pemandangan itu sementara Pakde Indra masih mencoba menahan diri.

Watara tersenyum saat melihat amarah di wajah Mas Brasma. Iapun melempar tubuh itu ke arahnya. Watara melempar tubuh mati seorang prajurit yang sudah kehilangan pinggang dan kakinya.
“Biadab kau Watara!”

Mas Brasma menarik pedangnya dan menyerang Watara yang sudah yang dalam wujud mengerikan itu.
“Jangan gegabah Brasma!” Larang Raja Indra. Tanpa di sangka, pedang Mas Bramsa menusuk dan menembus tubuh Watara dengan mudah. Darahpun mengalir dari tubuh itu begitu saja.

Watarapun terpaku menatap pedang yang menembus tubuhnya itu.
“Kau pantas mati!” Ucap Mas Brasma yang menghujamkan pedangnya lebih dalam lagi.
Tapi bukanya kesakitan, Watara malah mulai tersenyum.
“Awas!”

Menyadari ada yang aneh dengan senyuman itu, akupun memutuskan untuk berlari menarik tubuh Mas Brasma, sayangnya aku sedikit terlambat sehingga cengkraman tangan Watara hampir saja melumat lengan Mas Brasma.

Lengan Mas Brasmapun bercucuran darah, padahal ia hanya terkena ujung dari cakar Watara.
Sebaliknya, Watara seolah tidak merasakan luka dari pedang yang Mas Brasma tusukkan ke tubuhnya tadi. Otot-otot ditubuhnya seolah menutup luka itu dengan sendirinya.

“Itu tidak wajar, cakar dan cengkramanya bisa melumatkan tulang bahkan tengkorak manusia dengan mudah,” peringat Mpu Randu.
“Jangan hadapi dia dengan tangan kosong! Gunakan pedang kalian!” Perintah Pakde Indra.

Apa yang terjadi pada Mas Brasma, membuat kami memutuskan untuk menyerang bersamaan. Tiga buah pedang bergantian menyerang dengan sekuat tenaga, namun hampir semua sia sia.
Tidak ada lagi satupun serangan mereka yang mendarat di tubuh Watara.

Sebaliknya, Watara semakin menjauh dan semakin menghilang di antara kegelapan hutan.
“Jangan lari!” Aku mencoba mengejarnya, namun Pakde Indra menarik tubuhku.
“Jangan, dia bukan lari. Jangan lengah,” ucap Pakde Indra.

Benar ucapan Pakde. Tidak mungkin seseorang yang sudah memiliki kekuatan semengerikan itu melarikan diri dari kami. Satu-satunya yang memungkinkan adalah dia tidak ingin cepat-cepat menyelesaikan pertarungan ini. Dia ingin menikmatinya.

Udara malam di hutan semakin dingin. Sesekali aku mendengar suara dedaunan yang bergesekkan dan segera menoleh ke arahnya, namun selalu tak kutemukan apapun yang berarti.
“Aaaaarrrgh!! Tolong…!”
Ada suara seseorang dari salah satu sisi hutan.

Kamipun berlari menuju asal suara itu dengan menembus hutan lebih dalam. Kami benar-benar yakin akan arah suara itu, tapi kami tidak menemukan apapun sampai tiba-tiba terjadi sesuatu.
Sebuah kepala melayang dan jatuh diantara kami..
“I—itu kepala prajurit,” ucapku.

Mas Brasma terlihat semakin geram, namun Mpu Randu segera melepas satu lapisan kain bajunya dan menutupi kepala itu dengan kain itu.

“Khekhkhe..masih ada beberapa di hutan ini, akan kuhabisi mereka dulu sebelum giliran kalian. Ini menyenangkan!”

Terdengar suara Watara dari salah satu sisi hutan. Tiba-tiba Mas Brasma melemparkan pedangnya ke arah kegelapan hutan,”Sialan!!!”

Aku tahu bahwa itu adalah arah suara Watara, tapi tidak mungkin Mas Brasma bisa mengenainya begitu saja dengan lemparan itu.

Kamipun menyusul ke arah itu tapi sosok Watara tidak lagi ada di sana. Suara lompatan dari pohon ke pohon layaknya monyet hutan terdengar menjauh dari arah kami.

“Masih ada berapa prajuritmu di hutan ini?” Tanya Pakde Indra.

“Tiga..” ucap Mas Brasma cemas.

Jelas pikiranya terganggu dengan nasib prajurit-prajuritnya. Aku sempat cemas bahwa Mas Brasma akan lengah dalam keadaan ini. Tapi saat aku mendapati bercak darah yang masih menetes di pedang Mas Brasma, aku tidak lagi meragukanya.

Pedang itu benar-benar menggores Watara. “Cara terbaik adalah kita ambil resiko. Kita berpencar menjadi dua kelompok. Panglima Brasma dan Prabu Indrajaya yang merupakan petarung harus dipisahkan. Aku akan bersama Raja Indrajaya, dan Putra bersama Panglima Brasma.

Inilah perhitungan kekuatan tempur yang seimbang.” Ucap Mpu Randu menjelaskan rencananya.
Tidak ada satupun dari kami yang membantah. Aku juga bisa menilai bahwa kemampuanku dan Mpu Randu masih dibawah Mas Brasma dan Pakde.

“Jangan ada yang menghadapi Watara seorang diri, saat menemuinya kalian cukup menahanya dan memberi tanda bagaimanapun caranya,” Jelas Mpu Randu.
Akupun mengikuti Mas Brasma yang mencoba meraba-raba kegelapan hutan. Kami tidak lagi menahan suara kami.

Sebaliknya, kami terus berteriak mencari siapapun yang masih ada di hutan.
“Prajurit! Atau siapapun! Ke sini! Ada yang mengincar nyawa kalian!”
Teriakku dan Mas Brasma sembari terus menyusuri hutan tanpa mengurangi kewaspadaan kami.
tes..

Di tengah perjalanan kami, tiba-tiba aku merasakan tetesan air dari atas. Akupun berhenti dan memastikan apakah langit akan mulai turun hujan. Tapi saat tetesan itu menetes lagi di telapak tanganku, aku mengetahui ada yang salah.

Aku mengepalkan tanganku erat-erat menahan emosi tentang apa yang berada di atasku. Tanpa perlu aku menolehpun, aku bisa menebak bahwa diatasku terdapat jasad prajurit tadi yang kepalanya dilemparkan kepada kami.

“Watara bajingan.. dia benar-benar menjadi setan sepenuhnya,” geram Mas Brasma.
Aku menepuk pundak Mas Brasma berusaha membuatnya tenang walaupun sebenarnya aku juga ingin meledak.

“Bersabarlah sebentar, sebentar lagi akan kubalaskan dendamu dan kukuburkan kau dengan layak,” Pamit Mas Brasma pada jasad prajurit yang masih tersangkut di atas pohon itu.
Kami mempercepat langkah kami dan mempertajam telinga.

Dalam hati aku cukup khawatir dengan Pakde dan Mpu Randu, namun aku yakin Pakde Indra sama sekali bukan orang yang akan kalah dengan mudah oleh sosok Watara.
“Aarrgh!!! Setan brengsek!”
Dari salah satu sisi aku mendengar suara teriakan seseorang besama suara pedang yang beradu.

Akupun memastikan arah suara itu dan mencoba memberitahu Mas Brasma.
“Mas, ada suara di sana,” ucapku.
Mas Brasma mencoba menjamkan telinganya dan mengganti arah tujuan kami ke asal suara itu.

“Bertahan! Kami datang!” Teriak Mas Brasma saat semakin yakin bahwa sosok itu benar ada tak jauh dari hadapan kami.
Setelah menyibakkan beberapa semak, kamipun mendapati seorang prajurit yang tubuhnya sudah dipenuhi darah. Ia sekuat tenaga berusaha untuk berdiri.

Di hadapanya ada sosok Watara yang sudah bersiap menambah luka-luka di tubuh prajurit itu lagi.
Takut kami tidak akan sempat sampai di sana tepat waktu, akupun melemparkan pedangku ke arah Watara sekuat tenaga.

Sayangnya, seranganku tidak mengenainya..
Tapi sementara Watara mengalihkan pandanganya ke arah pedang yang kulempar, Mas Bisma memiliki waktu untuk berlari mendekat dan dan menyerangnya.

“Sudah cukup, biar kami saja,” aku mendudukkan tubuh prajurit itu dan menyeka darah yang ternyata berasal dari tusukkan kuku-kuku yang tajam di bahunya dan titik lainya.
“Apa itu Panglima Brasma?” Tanya prajurit itu.
Aku mengangguk, “Benar.”
“Syukurlah..”

Prajurit itupun mendapati posisi yang nyaman dan aku meninggalkanya untuk mengambil pedang yang sebelumnya kulempar.
“Sudah kubilang, giliranmu terakhir setelah kuhabisi mereka semua,” Ucap Watara meremehkan Mas Bisma.

Mas Bisma tidak menjawab dan membalas ucapanya dengan menusukkan pedangnya ke tubuh Watara, namun sebelum hal itu sempat terjadi Watara menggenggam bilah pedang itu dengan tangan kosong.
“Tidak ada gunanya,” ucap Watara.

Tapi sebelum berbuat lebih jauh, tangan Watara yang menahan pedang Mas Brasma putus.
Watarapun menoleh ke arahku yang telah melakukan itu.
Emosiku tak lagi tertahankan, sekuat tenaga aku menebas tanganya yang menjijikkan itu. Entah bagaimana aku bisa memiliki kekuatan itu.

“Hrr.. bocah ingusan!” umpatnya.
Luka di tanganya menutup, namun telapak tanganya yang telah terputus membusuk seketika.
“Jadi begitu.. kami harus mencincang-cincang tubuhmu untuk mengalahkanmu,” ucap Mas Brasma yang menyadari hal ini.

Watara terlihat cemas, tapi aku tahu ia akan melakukan sesuatu. Akupun memasang kuda-kuda lagi dan bersiap membantu Mas Brasma, tapi Mas Brasma menahanku.
“Jangan, kau ambil dan ambil obor prajurit itu dan buat api yang besar!” perintah Mas Brasma.

Benar, kami harus memberi tanda pada Pakde Indra dan Mpu Randu. Tapi apakah aku bisa membuat api yang cukup besar untuk memberi tanda kepada mereka.
Mas Brasmapun tak memberi celah pada Watara.

Sebaliknya, Watara menggumamkan mantra yang membuat kulit-kulitnya semakin mengeras. Kali ini pedang Mas Brasma tidak bisa menembus tubuhnya dengan keras.

Aku mengumpulkan kayu kayu di sekitarku dan menumpuk dedaunan kering dan beberapa kain yang kudapatkan dari jubah prajurit tadi dan ikatan yang kugunakan.

Apipun menyala perlahan hingga membesar. Entah aku merasa ragu apakah Pakde Indra dan Mpu Randu bisa menemukan cahaya api ini.
Akupun kembali kepada Mas Brasma dan bergabung dalam pertempuran.

Ini adalah tingkat pertarungan yang berbeda, ilmu bela diri Mas Brasma yang tengah serius benar-benar jauh dari jangkauanku.
Sekali lagi aku menebas tangan Watara sekuat tenaga, namun kali ini seranganku terpental setiap menyentuh kulitnya.

Berbeda dengan tadi kulitnya jauh lebih keras seperti kulit seekor buaya.
“Jangan terkecoh, setiap makhluk pasti punya titik lemah,” peringat Mas Brasma.
“Baik,” balasku sembari menyerang dengan lebih berhati-hati.

Tapi Watara juga tidak diam, beberapa kali tanganya hampir mendapatkan tubuhku. Sedikit saja aku terlambat, mungkin dagingku sudah terkoyak di genggamanya.

“Titik lemah? Kalian bercanda? Justru semua yang berada di tubuh kalian adalah titik lemah,” Ucap Watara.

Ia mengepalkan satu-satunya telapak tangan miliknya. Kali ini ia tidak mencoba mencengkeram kami, kali ini ia berusaha memukul Mas Brasma. Jelas saja Mas Brasma mundur untuk menghindar, tetapi ada yang aneh.

Walau seranganya tidak mengenai Mas Brasma, Mas Brasma terpental cukup jauh hingga sulit untuk berdiri.
“Mas Brasma!”
“Jangan kesini! Hadapi dia, jangan biarkan brengsek itu lari!” Perintah Mas Brasma.

Benar saja, walau berhasil melukai Mas Brasma. Watara segera menjaga jarak seolah ingin menjauh dari kami. Aku tidak membiarkan itu dan terus menyerangnya.
Bila tebasanku tak mampu menembusnya, akupun memutuskan untuk menyerangnya dengan menusuk persendianya.

Berberapa kali seranganku tertahan, tapi walau begitu aku berhasil melubangi beberapa bagian tubuhnya yang membuatnya kesulitan untuk berlari ataupun bergerak bebas.
Brakk!!!
Aku terlalu cepat senang, tanpa sadar Watara melontarkan pukulan serupa.

Sama seperti Mas Brasma, aku berhasil menghindar, namun kekuatan dari pukulan itu membuat wajahku terpental hingga terjatuh ke tanah.
Bergantian denganku, Mas Brasma yang mulai pulih melancarkan seranganya lagi.

Kali ini ada sesuatu yang berbeda, aku merasa ada kekuatan yang besar di pedangnya.
Mas Brasmapun menebas Watara sekuat tenaga.
Watara yang menyadari kekuatan besar di pedang itu memilih untuk menghindar, namun Mas Brasma juga melompat mengejarnya.

Iapun menahan serangan itu dengan tanganya yang terluka tadi.
Dan benar saja.. tangan itu terbelah hingga terputus.
“Tidak! Tidak mungkin!”
Mas Brasma segera mengambil potongan tangan itu dan melemparnya ke api yang kubuat. Kini satu lengan Watara sudah habis.

Aku yakin bertarung dengan sebelah tangan saja pasti cukup membuatanya lemah.
Akupun mempercepat ritme seranganku, baru beberapa serangan tiba-tiba kaki Watara mendarat di perutku. Aku terpental dengan rasa sakit yang luar biasa.

Belum sempat mencoba berdiri, tiba-tiba Watara sudah berada di dekatku. Ia bersiap menginjak tubuhku. Dan saat aku menghindar, sebuah pukulan menghantam wajahku hingga tersungkur.
“Menyingkir setan brengsek!” Teriak Mas Brasma yang mencoba menolongku.

Tapi Mas Brasma juga tidak luput dari amukan Watara.
Watara terlihat berbeda..
Matanya memutih, mulutnya banyak meneteskan liur. Ia seperti mengamuk dan kehilangan kesadaran.
Aku salah, Watara semakin berbahaya.. Susah payah kami bertahan dari serangan-seranganya.

Tubuhku sudah penuh dengan luka hanya dari satu lengan Watara.
Aku melihat ada satu kesempatan untuk menghentikan seranganya. Mungkin saja aku bisa menusukkan pedangku diantara bahu dan lengan Watara agar ia tidak bisa menggunakan satu tanganya lagi.

Akupun memasang kuda-kuda dan bersiap menusukkan pedangku sekuat tenaga. Tapi aku kalah cepat, ia menangkap lenganku dan memutarnya.
“Arrrgh!!”
“Putra!” Mas Brasma cemas.
Belum sempat bertindak, Watara menarik tanganku dan membantingku ke tanah.

Sakit.. sungguh sakit. Aku tidak lagi mampu menggerakkan lenganku.
Seperti tadi, naluri Watara membawa dirinya mendekat ke arahku yang tak berkutik dan ingin segera menghabisiku. Mas Brasma mencoba menahanya, tapi seranganya tidak cukup kuat.

Tangan Watarapun bersiap mencengkeram jantungku. Aku benar-benar tak mampu berkutik menahan rasa sakit ini.
Tapi saat kuku Watara menembus kulitku, tiba-tiba sebuah tebasan pedang mementalkan tangan Watara.
“Yang Mulia…” ucap Mas Brasma
Rupanya, itu adalah perbuatan Pakde Indra.

Rupanya mereka menyadari api yang kubuat. Mpu Randu menolongku untuk berdiri, ia memeriksa tubuhku dan menyadari sesuatu yang bermasalah dengan tulangku.
“Kamu bisa nahan sakit?” Tanya Mpu Randu.
“Bi..”
Krekkk
“Arrrgh!!!”

Belum selesai bicara, Mpu Randu sudah menggerakkan paksa tulang bahuku dan memindahkanya ke posisi semula.
“Aku belum selesai bicara..” gerutuku.
“Tapi aku tahu kau akan menjawab bisa,” ucap Mpu Randu.
Walau rasanya begitu sakit, tapi aku bisa menggerakkan lenganku kembali.

“Terima kasih Mpu,” ucapku ingin segera ikut kembali ke pertarungan.
“Tunggu,” Mpu Randu menahanku.
”Perlihatkan pedangmu.” Aku tidak mengerti maksud Mpu Randu, tapi aku tahu ia ingin melakukan sesuatu.
Mpu Randu menancapkan pedangku ke tanah.

Ia mengambil sebuah benda menyerupai minyak berwarna hitam dari tasnya dan mengoleskanya ke bilah pedangku.
Ia membacakan sebuah mantra dengan tangan yang menempel di gagang pedang itu. Dan sejara ajaib bilah besi pedangku berubah menjadi hitam.

“Dengan ini kau bisa mengimbangi mereka berdua, tapi waktumu tak lama. Pedang itu akan hancur dalam beberapa tebasan,” jelas Mpu Randu.
Aku melihat bilah pedang itu sesaat dan berlari ke arah Watara.
Meskipun seorang raja dan panglima bertarung bersama.

Mereka tetap kewalahan melawan Watara. Aku tak menyangka makhluk itu akan sekuat ini.
Dengan berhati hati aku mencari momentum dimana kecepatan lariku bisa menambah kekuatan serangku.

Saat mendapatkan celah, aku berlari sembari membungkuk serendah mungkin menghindari pandangan Watara dan menebas pinggangnya hingga pedangku hampir memotong separuh tubuhnya.
Berhasil, kali ini seranganku menembus kulitnya yang keras itu.

“Terus Putra! Serang terus, jangan berhenti!” Perintah Pakde Indra.
Api yang kubuat membara semakin besar, kami bertiga mengeroyok Watara yang seharusnya bisa kami hentikan di tempat ini.
Satu demi satu serangan kami menembus tubuhnya.

Walau luka itu kembali pulih, namun kami semikin memiliki kesempatan untuk memotong bagian tubuhnya atau bahkan memenggalnya.
Tapi saat kami sedikit lengah, tiba-tiba Watara melompat ke dalam api. Tak ada satupun dari kami yang bisa mengikutinya.

Dan saat kami mengejar mengitari api, Watara sudah tidak ada.
“Dia melarikan diri?” Tanya Mpu Randu.
“Hati-hati, jangan lengah,” ucap Mas Brasma.
Benar, aku masih mendengar suara langkah-langkah seseorang yang mengitari kami.

Mas Brasma meningkatkan kewaspadaanya sembari mendekat ke prajuritnya yang sudah hampir tak sadarkan diri tadi.
“Mas Brasma awas!!!” Aku memperingatkan dirinya saat mendengar suara langkah kaki membesar di arah Mas Brasma.
Benar saja, sebuah cakaran mencoba menangkap Mas Brasma.

Namun ia cukup sigap mementalkan tangan itu dengan pedangnya. Sayangnya Watara kembali menghilang.
Masing-masing dari kami menajamkan Indra kami dan mencoba mencari darimana Watara akan muncul.

Tak ada suara langkah kaki lagi, tapi aku yakin Watara masih ada di sini.
“Dimana dia?” Pakde Indra cemas.
Kami bertiga tidak menjawab dan hanya menggeleng memberi tanda bahwa kami juga tidak memiliki petunjuk.

Aku merasa perasaan yang kuat. Ada sesuatu yang mendekat, tapi aku tidak mendengar suara langkah kaki.
Hanya ada satu kemungkinan..
“Atas!”
Benar saja, Watara sudah hampir mendaratkan tanganya di kepala Mpu Randu. Ia melompat dari pohon yang jaraknya begitu jauh.

Aku mendorong Mpu Randu dan menggantikanya menerima serangan. Aku mencoba menahan serangan yang ia jatuhkan sekuat tenaga dari atas. Beruntung pedangku cukup kuat walau aku sampai terjatuh di tanah menahanya. Watara yang menyadari seranganya gagal kembali bersembunyi kembali.

“Tidak bisa begini terus, kita harus benar-benar menangkapnya,” ucap Mas Brasma.
“Buat lingkaran,” perintah Pakde Indra.
Kamipun saling membelakangi dan saling melindungi. Namun Watara tidak segera muncul.
Kami yakin ia akan semakin berhati-hati.

Beberapa kali kami mendengar suara, namun itu semua hanyalah suara hewan hutan. Kami tetap waspada , dan Watarapun tidak menunjukkan batang hidungnya.
Firasatku buruk, benar-benar buruk…
Sudah cukup lama kami menanti serangan Watara, tapi seranganya tak kunjung datang.

“Dia melarikan diri?” Tanya Pakde Indra.
“Harusnya tidak, tujuan Watara adalah membalas dendam,” balas Mpu Randu.
Aku setuju dengan jawaban Mpu Randu. Tapi firasatku benar-benar mengganjal. Akupun melihat prajurit Mas Brasma yang terluka, dan saat itu aku mengingat sesuatu.

“Tidak.. Jangan sampai..”
Ucapku yang segera berlari meninggalkan lingkaran.
“Tunggu Putra, mau kemana!” Pakde Indra mencoba mengejarku.
“Desa! Kalau firasatku benar, Desa dalam bahaya!” Teriakku sembari bergegas berlari secepat mungkin meninggalkan mereka.

Bagaimana mungkin kami bisa lengah?
Aku memaksa nafasku untuk terus berlari. Aku tak bisa menghentikan langkahku saat teringat akan keadaan desa bila Watara sampai di sana. Aku tak bisa membayangkan bila terjadi sesuatu pada pemilik kedai dan pemilik penginapan.

Belum sampai aku di gerbang desa, suara pedang dan teriakan sudah terdengar.
“Sial, dia benar-benar di sana,” gerutuku.
Dari jauh aku melihat sisa-sisa prajurit Mas Brasma bergelimpangan dan terpental saat mencoba melindungi warga desa.

Suara raungan Watara yang tidak seperti manusiapun membuat gemetar seluruh warga desa.
“Jangan sentuh mereka!” Ucap prajurit yang menghadang Watara. Ada sesuatu yang ia lindungi di belakangnya.
Watara memandangnya sebelah mata, dengan sekali hempasan prajurit itu terpental.

Watarapun mencengkeram dan mengangkat seorang warga desa. aku memperhatikanya dengan jelas, warga itu hanya seorang anak kecil yang tak mampu menggerakkan kakinya untuk kabur.
“Lepaskan anak itu! Lepaskan!”

prajurit itu mencoba menyerang dengan menusukkan pedangnya di persendian lengan Watara, namun Watara terlihat kesal. Iapun melempar anak itu dan berbalik untuk menghabisi prajurit itu dengan kuku-kukunya yang tajam.

“Pergi!!” Seorang prajurit lain berteriak memerintahkan prajurit itu untuk menghindar, namun terlihat jelas bahwa prajurit itu sudah tidak memiliki tenaga untuk bergerak.
Watara tersenyum saat ia bisa memastikan kematian orang yang membuatnya kesal itu.

tapi aku tak akan membiarkan hal itu terjadi.
Trangg!!!
Kuku-kuku Watara beradu dengan pedangku. Aku cukup lega bisa sampai tepat waktu.
“Ka—kau?” tanya prajurit itu.
“Bawa warga ke tempat yang aman, dan kembali ke sini!” Perintahku.

Mereka terdiam mendengar perintahku, namun aku tidak bisa berbuat apa-apa sementara serangan Watara yang kesal dengan kedatanganku benar-benar tak berhenti.
“Dia, dia yang bersama dengan panglima brasma..” ucap salah seorang prajurit.
Semua prajurit itupun menatapku.

“Ikuti perintah pemuda itu dan kembali ke sini!” Salah seorang prajurit menajamkan pesanku.
Merekapun berlarian menggiring warga desa untuk menjauh. Sementara itu beberapa kali aku terjatuh dengan serangan Watara.

Aku terus mencoba berdiri, tapi dengan sekali pukulan saja aku terjatuh kembali.
Dengan sebelah tanganya, Watara menghujamkan sebuah pukulan dengan kekuatan yang sangat besar. Aku ingat, ini adalah serangan yang membuat mas bisma terpental.

Dengan sisa tenaga yang kupunya, aku menahan pukulan itu dengan pedang dan kedua tanganku.
Trakkkk!!!
Aku terpental, namun aku masih selamat walau menerima luka yang cukup dalam. Betapa gilanya pukulan itu bahkan pedangkupun hancur.

Seandainya ia masih memiliki sebelah tanganya, mungkin aku sudah mati.
Aku harus menyerang..
Bertahan seperti ini saja hanya akan membuat keadaan semakin parah. Namun kakiku sangat sulit untuk digerakkan. Nafasku tersengal dengan dampak dari serangan barusan.
Sial…

Watara menyadari ketidak berdayaanku dan berlari.
Sekali lagi ia mengayunkan telapaknya dan memamerkan kuku-kukunya yang tajam. Aku yakin serangan itu bisa melubangi tubuhku.
Namun sebelum serangan itu menyentuhku, tiba-tiba sebuah pedang muncul dari perut Watara.

Tak lama kemudian terlihat Mas Brasma melompat menaiki bahu Watara, menarik rambutnya dan membelah lehernya hingga terpisah dari badanya.
Nafasku terengah-engah menyadari bahwa nyawaku terselamatkan.

Tubuh Watara ambruk sementara Mas Brasma segera mencari obor dan membakar kepala Watara.
“Lain kali kita rubah posisi, aku yang lari ke desa dan kamu yang menggendong prajurit itu ke sini,”

ucap Mas Brasma yang menunjukkan prajurit prajurit anak buahnya tengah digendong oleh Mpu Randu.
“I—iya, maaf mas..” ucapku masih dengan wajah pucat.
Iapun mengulurkan tanganya dan membantuku untuk berdiri.
“Apa sekarang sudah aman?” tanyaku gemetar.

Mas Brasma melihat sekeliling. Satu persatu prajurit kembali berkumpul ke arah kami. Mereka seperit mengisyaratkan bahwa warga desa sudah diamankan.
Seorang ibu berlari sekuat tenaga menghampiri seorang anak yang sempat dicekik oleh Watara.

“Nak! Kamu nggak papa nak?” tanya ibu itu khawatir.
“Ibu… takutt,” balas anak itu polos.
Ibu itupun segera menggendong anaknya dan menunduk berpamitan kepada kami dan buru-buru membawanya ke tempat aman.
“Sepertinya sudah,” jawab Mas Brasma.

Akupun berjalan tertatih ke sebuah rumah dan mencari tembok untuk duduk bersandar. Entah apa yang dibicarakan Mas Brasma, Pakde Indra, dan Mpu Randu di depan sana dengan para prajurit.
Mereka terlihat masih begitu sibuk, padahal aku tahu mereka sama lelahnya denganku.

Sudah… aku terlalu lelah. Setidaknya bila keadaan sudah aman, ijinkan aku untuk menutup mata sebentar saja.

***

PATIH KERAJAAN INDRAJAYA

“Jika benar dia pelakunya, ini akan berdampak besar pada kerajaan,”

(suara menghela nafas..)

“Sepertinya setelah ini aku harus lebih banyak di tahta untuk mencari menahan pergerakanya,” terdengar suara Pakde Indra membalas ucapan Mas Brasma.

Akupun terbangun dan mendapati kedua orang itu tengah berbincang di meja di hadapanku. Akupun melihat sekitar dan mendapati diriku tengah tidur di ranjang penginapan.

“Sudah bangun? Itu ada jamu di sebelahmu, diminum. Kalau sudah enakan segera mandi,” perintah Pakde Indra.

“I—iya, terima kasih Pakde,”
Sungguh aku benar-benar merasa bersalah.
Nampaknya aku sudah sangat merepotkan dan membuat masalah untuk mereka. Akupun menghampiri mereka sebelum meninggalkan kamar.
“Maaf Pakde, Mas Brasma.. lagi-lagi saya menyusahkan kalian,” ucapku.

“Kowe ngomong opo to le? Ndang adus kono ben uteke resik,” (Kamu ngomong apa to le? Cepet mandi sana biar otaknya bersih.) Balas Pakde.
“I—iya,”
Aku segera pergi untuk membersihkan diri di salah satu pancuran yang disediakan di penginapan.

Guyuran air yang menyentuh kulitku perlahan memunculkan rasa sakit dari luka-luka yang ada di tubuhku.
Saat itu aku sadar bahwa sebagian lukaku sudah mengering. Sepertinya ada yang merawat lukaku juga. Aku menghela nafas di bawah air yang mengalir jatuh di kepalaku.

Satu seorang panglima besar, yang satu lagi orang nomor satu di kerajaan ini, dan aku malah terus merepotkan mereka.
...
Saat kembali, sekumpulan prajurit sudah berkumpul di depan penginapan. ada beberapa prajurit yang masih terluka dan tidak bisa berjalan.

Mereka akan berada di desa ini sementara waktu untuk memantau perkembangan sembari menunggu luka mereka pulih.
Sisanya… mereka harus kembali ke istana saat itu juga. Sepertinya mereka telah menemukan sesuatu setelah menggeledah tubuh Watara.
“Bocah!”

Dari jauh terdengar suara Mpu Randu yang memanggilku. Akupun menoleh dan sebuah benda terlempar ke arahku.
Sebuah pedang…
“Gunakan itu dulu sampai aku selesai membuatkan senjata pusaka untukmu,” Ucap Mpu Randu.

Aku menarik pedang itu dari sarungnya. Bobotnya lebih berat dibanding pedang yang pernah kupakai. Bahkan lebih berat dari pedang Mas Mardaya. Tapi besi pedang ini sangat tebal, setiap bilahnya terasah rapi dan terdapat semacam ukiran tak kasat mata.

Aku menduga ukiran itu bukan hiasan semata, ukiran itu seperti merupakan jalur yang bisa membuat pedang itu mengayun dengan akurat.
“Hebat aku belum pernah lihat pedang sehebat ini,” ucapku.
Mendengarku Mpu Randu malah memukul kepalaku dengan tanganya.
“Aduh,”

“Jangan berlebihan, pedang itu bukan pusaka. itu hanya pedang biasa yang tersisa di rumahku.
Setidaknya itu lebih kuat dibanding pedangmu yang lain,” ucap Mpu Randu.

Akupun menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya pada Mpu Randu.

Walaupun cukup berat, sepertinya dengan latihan beberapa minggu aku bisa menguasai pedang ini. Aku yakin kalau pedang ini tidak akan patah dan bisa bertahan di pertempuran apapun.
Mpu Randupun mengajakku ke kedai dimana Pakde Indra dan Mas Brasma sudah berada di sana.

Mereka sudah bersiap dan akan kembali ke istana setelah makan.
“Gimana? Udah seger?” Tanya Mas Brasma.
“Seger banget mas,” balasku yang segera mengisi satu-satunya kursi kosong di meja dengan empat kursi itu.

Tak ada siapapun di dekat kami, kedai ini hanya diisi oleh kami berempat. Sepertinya Pakde ingin mengatakan sesuatu yang benar-benar genting.
“Setelah ini apa yang akan kamu lakukan, Putra?” Tanya Pakde.

“Pulang Pakde, Ibu pasti khawatir. Lagipula saya ingin berlatih lagi jangan sampai aku merepotkan Pakde dan Mas Brasma lagi,” balasku.
Mas Brasma mengisi gelasnya dengan air dan meminumnya sembari menunggu hidangan utama.

“Kamu memang belum sekuat kami, tapi jangan menganggap dirimu merepotkan,” ucap Mas Brasma dengan santainya.
“Ta—tapi,”
“Itulah namanya pertempuran, Putra. Tidak hanya saling melukai, melindungi teman sendiri juga bagian dari pertarungan,” balas Pakde Indra.

Mpu Randu merangkul pundakku dan sedikit memijat leherku. Aku tahu dia juga ingin menguatkanku.
“Percayalah, kamu sudah melakukan jauh lebih banyak dari yang harusnya seorang warga desa lakukan,” ucap Mpu Randu.

Mereka mengatakan semua itu dengan santai sembari menikmati tahu goreng yang tersaji di depan kami sembari menunggu menu utama. Aku bersyukur bisa kenal dengan ketiga orang hebat ini.

Seandainya mereka membutuhkan pertolonganku, aku berjanji akan membantu mereka apapun yang terjadi.
“Sekarang masalahnya ini…”
Mas Brasma mengeluarkan sebuah medali dan meletakkanya di meja.
“Medali loreng hitam?” Tanya Mpu Randu. Mas Brasma mengangguk.

Ia menjelaskan bahwa medali itu adalah lambang dari pasukan utama salah seorang patih kerajaan.
“Patih Singo Ireng, aku tidak bisa membayangkan jika ternyata dialah yang berada dibalik ini semua,” ucap Pakde.
“Apa pasti dia pelakunya Pakde?” Tanyaku polos.

“Medali itu ditemukan di tubuh Warata, itu artinya dia adalah sekutu Patih Singo Ireng,” jelas Mas Brasma.
“Kemungkinan bahwa dia di kambing hitamkan? Misal dengan sengaja Watara membawa medali patih lain agar identitas patihnya aman?” Tanyaku lagi.

“Nggak Semudah itu, jumlah medali itu hanya sedikit dan dipegang oleh pimpinan prajurit. Merebutnya tidak semudah itu,” jelas Mpu Randu.
Mas Brasma mengangguk memvalidasi ucapan Mpu Randu.

“Benar, tapi kita tidak bisa semata-mata mendakwa Patih Singo Ireng. Setidaknya sekarang kita tahu harus mulai dari mana,” ucap Pakde.
Aku mengangguk dan memilih untuk mencoba menarik diri dari permasalahan ini.

Sepertinya aku sudah ikut campur terlalu dalam dengan permasalahan kerajaan.
“Gimana kalau kamu berlatih di istana? Dibawah pengawasan Mas Brasma langsung,” tawar Pakde.
“Saya jadi prajurit?” tanyaku memperjelas.
“Kalau kamu mau,”

Aku berpikir sejenak, sama sekali tidak ada niatanku untuk berdiam di istana. Untuk hal ini aku berbeda dengan bapak.
“Maaf Pakde, saya di desa saja ngejagain ibu. Tapi kalau nanti tiba-tiba Pakde butuh bantuan, saya pasti segera datang,” balasku.

Pakde hanya mengangguk seolah sudah mengetahui jawabanku.
“Kalau begitu, nanti aku pilihkan kuda untuk kamu bawa pulang. Mas ngerasa setelah ini akan ada pergolakan yang mungkin akan berimbas padamu atau desamu,” Jelas Mas Brasma.

Sama, aku juga berpikir hal yang sama. Tapi membawa pulang seekor kuda… Aku khawatir hal itu bisa membuatku terlihat mencolok saat pulang.
Tapi alasan yang diutarakan Mas Brasma membuatku tidak bisa menolaknya.
“Baik Mas, terima kasih..”

Tak lama kemudian seorang pelayan mengetuk pintu dan meminta ijin untuk menghantarkan makanan.
Sekali lagi makanan mewah terhidang di hadapanku. Semua makanan ini terasa begitu nikmat setelah kejadian semalam dan perutku tidak terisi sama sekali.

Sepertinya hal itu juga berlaku terhadap Pakde, Mas Brasma, dan Mpu Randu juga.
Aku mulai merasa bahwa tertutupnya makan siang kami bukan hanya karena perbincangan yang penting.

Melainkan agar tidak ada yang melihat bahwa seorang raja dan petinggi lainya makan dengan cara yang kuanggap cukup barbar.
Sungguh, aku menikmati momen makan siang ini.
Sayangnya saat kami baru saja menghabiskan makanan kami,

kami mendengar suara derap langkah kaki kuda yang mendekat ke arah kedai ini.
Terjadi kericuhan yang cukup ramai di luar.
Beberapa prajurit diluar terdengar sedang menahan orang itu, tapi sepertinya orang itu menolak.
“Panglima! Panglima Brasma tolong Panglima!”

Terdengar suara seorang pria yang berteriak dari luar kedai.
Mendengar ucapan itupun Mas Brasma meninggalkan mejanya dan menghampiri pintu.
Kami yang sudah selesai makanpun ikut berdiri dan mengikutinya.
“Sudah, biarkan.. buka saja pintunya,” ucap Mas Brasma.

Ada seorang prajurit dengan pakaian yang berbeda dari prajurit Mas Brasma datang dengan terengah-engah.
“Panglima, ini genting! Di wilayah timur, Patih Jatayu wungu sudah menggantung puluhan warga di tengah desa!” Ucap Prajurit itu.
“Nggak mungkin! Apa tujuan patih jatayu?”

“Entah, belum pasti. Tapi beberapa prajurit ada yang mengatakan bahwa itu adalah sebuah ritual,” jelas Prajurit itu.
Mas Brasmapun meminta penjelasan yang lebih dalam mengenai kejadian itu.

Prajurit itu ternyata adalah prajurit Mas Brasma yang ditugaskan dibawah pimpinan Patih Jatayu sebagai mata-mata.
Tak hanya satu, tapi rupanya prajurit Mas Brasma juga tersebar dibawah patih-patih lainya.
Samar-samar aku mulai mengerti struktur pemerintahan Kerajaan Indrajaya.

Kerajaan ini memiliki empat patih yang terbagi menjadi empat wilayah. Masing masing memiliki julukanya sendiri-sendiri.
Patih Singo Ireng menguasai wilayah barat, Patih Jatayu Wungu menguasai wilayah timur, Patih Penyu putih menguasai pesisir selatan,

dan patih ulo geni menguasai wilayah utara. Wilayah pusat diperintah oleh istana dengan empat panglima yang langsung dibawah perintah Raja Indrajaya. Panglima Brasma, Panglima Mardaya, Panglima Girwana, dan Panglima Sadewo.

Walau dibagi secara wilayah sisi kerajaan, tapi sebenarnya banyak wilayah yang tidak termasuk wilayah patih. Mereka hanya terfokus di desa-desa terpusat dengan populasi tinggi. Masih banyak desa di balik hutan yang tidak tersentuh patih manapun seperti desaku.

“Sudah tiga hari, Patih Jatayu wungu menggantung warga desa dan terus bertambah setiap harinya. Belum ada yang memastikan apa penyebabnya, terlebih desa itu sekarang ditutup dan dijaga oleh prajurit patih jatayu dan tidak ada yang boleh keluar atau masuk,” jelas prajurit itu.

Pakde Indra dan Mas Brasmapun saling memandang. Baru saja mereka mendapatkan petunjuk bahwa petih singo ireng yang menjadi dalang dibalik ilmu hitam di kerajaan.

Tapi mereka malah mendapat kenyataan bahwa Patih jatayulah yang tengah melakukan ritual dengan mengorbankan warga desa.
“Laporanmu kami terima, istirahatlah dan kembali ke pasukan panglima brasma. Jangan kembali ke pasukan patih jatayu lagi,” Perintah Pakde Indra.

“Siap, terima kasih Yang Mulia,” ucapnya.
Iapun meninggalkan kedai dan wajah Pakde dan Mas Brasma semakin bingung.
“Sudah ini sama saja, kita tetap harus menyelidiki seperti rencana pertama.

Tapi sebelumnya aku harus ke wilayah timur untuk memastikan perbuatan Patih Jatayu,” ucap Pakde.
“Satu bulan,” ucap Mas Brasma.
Satu bulan? Aku tidak mengerti apa maksud dari Mas Brasma.

“Satu bulan lagi saya akan memulai konfrontasi yang akan memancing keempat patih. Di situ Yang Mulia bisa mendapat petunjuk yang bisa memastikan siapa patih yang benar-benar menjadi masalah kita,” Lanjut Mas Brasma.
“Kau yakin?”

“Saya yakin yang mulia, dalam satu bulan saya akan melatih prajurit saya untuk persiapan rencana itu,”
Setelah menjelaskan kepada Pakde Indra, Mas Brasmapun menoleh kearahku.

“Persiapkan dirimu juga, saat rencanaku terjadi mungkin akan berimbas ke desamu. Saat itu kau harus sudah siap untuk melindungi desa,” jelas Mas Brasma.
Aku mengangguk mengerti. Sepertinya pertarunganku masih akan berlanjut.

“Saat itu pusaka yang kujanjikan akan kuserahkan padamu,” tambah Mpu Randu.
Sekali lagi aku mengangguk. Di kedai itulah akhirnya kami berpisah. Rombongan Mas Brasma dan Pakde segera meninggalkan desa, sementara Mpu Randu pergi kembali ke kediamanya.

Ia juga terlihat gelisah, tapi aku tahu bahwa ia punya pertarunganya sendiri.
***
Benar seperti dugaanku, suara kuda yang kunaiki memancing perhatian warga desa. akupun memutuskan untuk turun dan berjalan kaki dengan memandu kuda yang sebelumnya kunaiki.

“Eh, Putra.. beli kuda?” tanya salah seorang warga.
“Eh, enggak.. punya kenalan. Dia nitip untuk diurus,” balasku. Akupun bergegas dan secepatnya kembali ke rumah untuk menemui ibu.
Aroma masakan sudah tercium dari kejauhan.

Akupun mengikat kuda yang dibawa di pohon depan rumah dan segera menghampiri ibu.
Tok.. tok.. tok… “Kulo nuwun” (Permisi)
Aku mendengar suara ibu melangkah dengan cepat meninggalkan masakanya dan menghampiri pintu depan.

Iapun membukakan pintu dan tidak mendapati siapapun di sana.
Dengan wajah bingung, ibu kembali ke dapur namun kali ini ia mendapatiku sedang melahap sepiring nasi dengan sayur lodeh dan ikan asin yang kuambil diam-diam dari kompor.

Ibu menoleh ke arah jendela yang terbuka dan menggeleng melihatku.
“Ya ampun le… le… ada pintu kok masuk lewat jendela,” ucap ibu.
“Nggak papa bu! Enak lewat jendela, lebih deket sama makanan,” balasku sembari mengunyah makanan menumpuk di mulutku.

Aku memakan dengan lahap masakan ibu yang sebenarnya masih cukup panas ini. Ibu hanya menatapku sembari tersenyum. Samar-samar aku melihat matanya berkaca-kaca menatapku.

Aku memang sengaja masuk dengan cara ini agar tidak perlu menjelaskan begitu banyak hal yang kualami sebelumnya. Karena aku yakin, ibu pasti akan khawatir.
Setelah mengusap sedikit air matanya ibupun berjalan mendekatiku dan mengacak-acak rambutku.

“Yowis, makan yang banyak ya Le. Habis itu biar ibu obatin luka-luka kamu,” ucap ibu yang juga mengambilkanku gelas bambu berisi air minum.
Ia hanya duduk di sisi lain meja sembari menatapku menikmati masakanya dengan lahap.

Sebuah hutan terpampang dihadapanku. Aku tidak punya waktu banyak. Hanya satu bulan untuk aku memperkuat diri.
Ibu sudah mengijinkanku untuk berlatih di hutan, namun ia memintaku untuk pulang beberapa hari sekali. Akupun menyanggupinya.

Rimbunya pepohonan tersibak angin yang berhembus dengan kencang. Cahaya rembulan bersinar menembus dedaunan menemaniku yang bercucuran peluh melatih setiap gerakanku.
Namun suara-suara hutan tak mampu menutupi suara teriakan yang menggema.

Suara itu yang kutunggu…

Kalau ada seseorang yang bisa membuatku lebih kuat, itu adalah dia. Seseorang yang dulunya adalah seorang patih perkasa yang disegani oleh raja di kerajaan ini.

Seorang pendekar yang mengasingkan diri untuk melindungi manusia dari dirinya.
Hanya dia yang bisa, Ayahku. Widarpa Dayu Sambara…

TAMAT

Terima kasih sudah mengikuti kisah ini hingga akhir.
close