Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DARYANA PUTRA SAMBARA (Part 4) - Indrajaya

Hidupku benar-benar berubah..
Kupikir hidup dengan ayah seorang pengembara saja sudah cukup aneh. Tapi kini aku mengetahui kenyataan bahwa ayah dulunya adalah patih kerajaan.


Dalam sekejap aku bisa mengenal panglima-panglima kerajaan yang sangat disegani itu.
Tak hanya itu..
Akupun tidak menyangka bahwa ilmu bela diri yang kupelajari bersama ayah ternyata menuntunku untuk bisa melindungi orang-orang yang membutuhkan pertolongan.

Aku tidak pernah menyangka kalau akan menghadapi setan penunggu bukit. Aku juga tidak pernah menyangka akan menyerbu markas prajurit pengkhianat hanya berdua dengan Pakde Aji. Tapi entah mengapa aku menikmatinya.

Bukan menikmati masalah, tapi aku menikmati perasaan ketika ilmu yang kupelajari bisa berguna untuk orang lain.
Semenjak kaki Taryo pulih, ia jadi semakin sering mampir ke rumah. Ia bilang, ibunya yang menyuruh ke sini untuk membantu ibuku,

karna menurutnya keluarga kami sudah banyak menolong mereka. Padahal kami sama sekali tidak merasa direpotkan.
Tapi dengan seringnya Taryo datang ke rumah, aku jadi semakin leluasa untuk pergi meninggalkan rumah.

Aku sudah bercerita kepada ibu tentang perkenalanku dengan Pakde Aji dan tentang desa yang pernah kuselamatkan. Saat itu wajah ibu terlihat khawatir. Tapi ibu yang mengatakan bahwa mungkin saja aku juga memiliki takdir yang besar seperti ayahku.

Kini sudah tiga hari aku tinggal di desa Katipayan sebuah desa yang berjarak setengah hari dari desaku. Menurut info yang beredar, di desa ini aku bisa mendapatkan senjata yang mungkin cocok untuk kugunakan.
Memang aku memiliki pedang milik Panglima Mardaya.

Tapi itu artinya aku akan membawa nama kerajaan di pundakku saat menggunakanya.
Tidak.. aku tidak mau, beban itu terlalu berat. Aku harus mencari senjata yang tangguh yang benar-benar bisa kugunakan dan mudah kubawa.

“Pandai besi? Memangnya masnya butuh apa? Kalau sekedar pisau, cangkul, dan golok untuk keperluan sehari-hari di pasar juga ada kok mas?” Ucap pemilik kedai tempatku beristirahat.

“Bukan seperti itu, saya butuh sesuatu untuk senjata. Mungkin seperti pedang atau belati yang bisa digunakan untuk bertarung,” balasku.
Kali ini pemilik kedai itu memperhatikanku dengan bingung.

“Masnya masih muda lho? Memangnya mau bertarung dengan siapa? Atau masnya mau ikut perang menjadi prajurit relawan?” Tanyanya.
Aku menggeleng.
“Nggak mas, saya mau mengembara. Entah mengapa saya sering sial sampai harus mengalami pertarungan.

Setidaknya saya punya pegangan untuk membela diri,” balasku.
Pemilik kedai itu mengangguk mengerti. Mungkin ia bisa menilai bahwa aku memang serius dengan pertanyaanku.

“Ada beberapa mpu pandai besi yang ahli yang menetap di desa ini. Kau bisa datang ke Mpu Taru di barat desa atau Mpu Jarit di timur desa. Kalau bayaranya cukup mereka akan membuat senjata yang kualitasnya seperti senjata kerajaan,” cerita pemilik kedai itu.

“Mpu Taru dan Mpu Jarit ya? Baik, saya coba temui mereka,” balasku.
“Tapi.. sebenarnya ada yang lebih hebat dari mereka. Sayangnya ia jarang sekali mau menerima pesanan senjata dan sulit ditemui. Namanya Mpu Randu Setro. Siapa tau kamu beruntung bertemu denganya,” tambahnya.

“Haha.. saya tidak muluk-muluk kok. Sebaik-baiknya senjata adalah apabila tidak perlu digunakan,” balasku.
Pemilik kedai itu tersenyum mendengar kata-kataku. Ya memang itulah yang diajarkan oleh ayah.

Bahkan bagi ayah, melarikan diri itu lebih terhormat dibanding harus saling menumpahkan darah. Tentunya dengan syarat tidak ada orang yang harus dilindungi, dan tidak ada hal penting yang harus dibela.
Aku memperhatikan sekeliling desa yang jauh lebih ramai daripada desaku ini.

Selain lebih besar, banyak juga orang yang masih memakai pakaian prajurit berlalu lalang di desa. Tak hanya prajurit Indrajaya, ada beberapa prajurit kerajaan aliansi yang juga mencari senjata di tempat ini.
“Siapa juga yang mau membeli senjata sampah itu! Pergi sana!”

Tiba-tiba terdengar suara kericuhan dari salah satu sisi pasar desa.
“Tolonglah Pak, beli saja belati ini. Dua puluh keping sudah cukup,” pinta seorang pemuda yang memohon agar seorang pedangang mau membeli belati miliknya.

“Kalau kubeli dua puluh keping, terus harus kujual berapa? Tanya saja langsung pada mereka, kalau mau langsung saja jual ke mereka,” Pedagang itu mengarahkan orang itu untuk menjual belati itu pada pengunjungnya.

Seperti ucapanya, tidak ada satupun dari pengunjung itu yang mau membelinya. Pedagang itupun mengusirnya, namun pemuda itu bersikeras untuk meminta pedagang itu membelinya. Akhirnya pedagang itu dengan terpaksa mengusirnya dengan kekerasan.

“Jangan, jangan pukul saya! Saya butuh uang..” ucapnya.

Walau terus dipukuli ia masih terus berusaha menjual belati itu.

Aku yang tidak tega melihat pemandangan itupun mencoba menghentikan pedagang itu.

“Sudah pak! Sudah! Biar saya bawa dia pergi,” ucapku.

“Hati-hati nak, jangan sampai kamu ditipu olehnya,” balas pedagang itu.
“Tidak! Aku harus menjual belati ini hari ini juga!” Pemuda itu bersikeras, namun aku coba menyadarkanya.

“Dua puluh keping tidak akan cukup untuk mengobatimu bila kau sampai lumpuh,” ucapku yang menarik kerahnya dan melemparkanya ke tanah.
Pemuda itu menepis tanganku dan melepaskanya dari kerahnya.
“Sudah jangan bodoh,” ucapku.

Tapi sepertinya pemuda itu terus bersikeras ingin menemui pedagan lainya.
“Biar kubeli belatimu!” Teriakku.
Aku ada dua puluh keping emas. Seharusnya cukup untuk membeli sebuah pedang. Tapi sekilas, belatinya tadi terlalu mahal bila harus dihargai dengan dua puluh keping emas.

Mendengar ucapanku, iapun berbalik arah dan mengeluarkan sebuah belati yang ia bungkus dengan kain.
Benar dugaanku, ini hanya sebuah belati berkarat yang sama sekali tidak berharga. Aku menebak ia menemukan belati ini di tempat pembuangan.

“Kau yakin belati ini pantas dibayar dua puluh keping emas?,” tanyaku.
“Pantas atau tidak, yang terpenting aku butuh uang itu,” balasnya.
Aku menghela nafas dan menggeleng melihat tingkah keras kepalanya. Sepertinya aku tidak punya pilihan lain.

Bila uangku bisa menyelesaikan masalah pertikaian, menurutku itu sepadan.
“Ini! Mau kau apakan uang ini?” ucapku sembari menyerahkan uang sejumlah yang ia minta itu.
“Bukan urusanmu,” ucapnya yang segera pergi setelah menerima uangku.

Mungkin aku akan sedikit menyesal. Bisa jadi sisa uangku tidak akan cukup untuk membuat senjata di pandai besi.
Ada sebuah bangunan yang cukup besar yang aku datangi sesuai petunjuk penduduk desa. Ini adalah kediaman Mbah Taru sang pandai besi.

Aku bisa memastikanya dari suara pukulan besi yang diulang berkali-kali dari salah satu sisi bangunan.
“Kulo nuwun pak? Apa ini rumah Mbah Taru?” Tanyaku berusaha sesopan mungkin.
“Nggih mas, ada perlu apa ya?” Tanya seseorang yang menyambutku.

Akupun menjelaskan maksud kedatanganku dari desa Wirobayan untuk membuat sebuah senjata. Walau mungkin belum mampu menyiapkan bayaranya, setidaknya aku bisa mengetahui berapa biaya yang perlu kupersiapkan.

“Ngapuntenmas, Mbah Taru itu bisa membuatkan senjata berapapun bayaranya. Beliau akan menyesuaikan dengan uang yang diberikan,” jelasnya.
Aku cukup lega mendengar penjelasan itu.

“Tapi saat ini Mbah taru sedang membuat pesanan senjata untuk prajurit kerajaan, mungkin enam bulan lagi baru selesai. Panjenengan boleh datang lagi enam bulan lagi,” jelasnya.
Enam bulan? Jelas itu terlalu lama.

Apa membuat senjata memang harus mengantri selama ini?
Aku ingin mampir ke kediaman Mpu Jarit, tapi sepertinya hari semakin malam. Akupun memutuskan untuk berisitirahat di penginapan dan ke tempat Mpu Jarit besok pagi.
Brakkk!!

Menjelang pagi aku terbangun dengan suara yang muncul dari luar kamar. Derap langkah beberapa orang terdengar memasuki penginapan dengan cepat. Ada sedikit keributan yang kudengar dari luar. Namun itu tidak lama, suara itu terdengar segera meninggalkan penginapan.

Aku mengira mereka adalah pelanggan yang ingin menginap namun tidak mendapatkan kamar.
Tapi ternyata aku salah…
Saat aku terbangun di pagi hari, aku tidak menemukan pemilik penginapan di tempatnya. Aku berniat berpamitan karena hari ini aku sudah harus kembali ke rumah.

Sembari menunggu pemilik penginapan, aku mendengar suara keramaian dari arah alun-alun desa.
“Heh! Banyak prajurit berkuda disana! Ada apa ya?”
Terdengar suara beberapa orang yang bergunjing sembari bergegas ke alun-alun desa.

Akupun berpikir apakah mungkin pemilik kedai juga sedang menyaksikan apa yang sedang ramai di sana. Mungkin tidak ada salahnya aku ke sana dan kembali lagi nanti.
Kerumunan mulai terbentuk di alun-alun desa.

Pasar yang sebelumnya digunakan untuk berjualan kini rama dengan orang yang menonton sesuatu. Mereka tidak bersorak riang seperti sedang menonton pertunjukan. Sebaliknya, mereka melihat ke tengah lapangan dengan khawatir. Ada tiga orang pria diikat di tiang di tengah lapangan…

“Mereka adalah pengkhianat kerajaan! Dengan beraninya mereka menyembunyikan buronan kerajaan!” Teriak salah satu prajurit.
“Tuan! Saya tidak menyembunyikan siapapun, saya hanya melayani siapapun yang datang ke penginapan saya,” ucapnya.

Aku mengenal orang itu. Ia adalah pemilik penginapan dan di sebelahnya adalah pemilik kedai tempatku menghabiskan waktu kemarin.
“Tidak usah mengelak! Saksi mata sudah ada, kalian harus dihukum mati atas perintah kerajaan,” teriak prajurit itu.

Pemilik penginapan dan pemilik kedai itupun memohon ampun kepada mereka, tapi tidak dengan pria yang satunya lagi.

“Cih! Kau menuduh kami menyembunyikan buronan! Kami tahu sebenarnya kalian hanya takut kami membocorkan kebusukan kalian yang diceritakan oleh orang itu kan?” Teriaknya.
Orang itu begitu berani. Walau sedang dalam kondisi terikat, ia malah menantang prajurit itu.

Akupun merasa ada yang aneh dengan para prajurit itu. Sudah jelas hukuman di depan umum seperti ini dilarang di kerajaan ini. Hukuman di depan umum hanya boleh dilakukan di halaman istana.
“Habisi orang itu terlebih dahulu!” Perintah prajurit itu.

Salah seorang prajuritpun menarik pedangnya dan mendekat ke arah pemuda itu.
Merasa satu nyawa akan melayang, akupun memberanikan diri untuk menghadang serangan prajurit itu.

“Jangan, tuan! Sepertinya mereka tidak bersalah!” Teriakku yang segera menghadang prajurit itu.
Prajurit itupun menghentikan pedangnya dan menoleh kepada pimpinanya.

“Saya kenal mereka, pemilik penginapan dan pemilik kedai adalah orang baik. Mereka tidak mungkin berkhianat,” ucapku.
Pemimpin para prajurit itupun mendekat ke arahku.
“Mereka sudah terbukti bersalah, tugas kami hanya menghukumnya. Minggir!” perintahnya.

“Kerajaan memiliki peraturan bahwa sudah tidak ada lagi eksekusi di depan umum. Kalaupun ada, hanya terjadi di halaman istana. Itupun harus ada surat keputusan dari dewan istana!” ucapku.
Mendengar ucapanku pemimpin para prajurit itupun semakin kesal.

Iapun menarik pedangnya dan mengacungkanya kepadaku.
“Akulah hukum di tempat ini! Pimpinan seratus prajurit batalion Brasma! Guna Watara! Ucapanku adalah mutlak!” ucapnya.
Mendengar ucapanya warga yang sebelumnya tidak setuju dengan perbuatan merekapun gentar dan mundur.

Aku juga tidak menyangka, Panglima Brasma memiliki prajurit yang sesombong ini.
“Titah raja adalah mutlak, beliau membuat peraturan yang seadil-adilnya untuk rakyat! Bukankah yang kau perbuat berarti melanggar titah raja?” balasku.

“Bocah tengik! Singkirkan dia!” Perintah Pimpinan prajurit bernama Watara itu.
Beberapa prajurit mencoba menyeretku, namun aku menghalau mereka dan memasang kuda-kuda sebagai tanda aku tidak akan menyingkir tanpa perlawanan.

“Sudah nak! Kasihan kamu kalau sampai mati sia-sia,” beberapa warga mencoba merayuku untuk mundur.
“Iya, sudah.. jangan nekad,” ucap seorang ibu yang ikut menonton keramaian ini.
Akupun menoleh kepada mereka sebentar dan kembali waspada,

“Maaf bu, melindungi nyawa manusia itu sama sekali bukan perbuatan sia-sia,” balasku.
Pimpinan prajurit bernama Watara itupun semakin kesal melihatku.
“Jangan salahkan kalau kau sampai mati!” ucap Watara.
Dua orang prajurit mulai menarik pedangnya dan mencoba menyerangku.

Tapi sebelum pedang itu mendekatiku, tiba-tiba mereka terhenti dengan lemparan batu yang mendarat tepat di kepala mereka berdua.
“Guna Watara? Aku tidak pernah mendengar nama ini di batalion Panglima Brasma,”
Terdengar suara seseorang yang mendekat kearahku.

Jelas sekali aku mengenal suara itu.
“Pakde Aji?” tanyaku.
“Ikut campur urusan orang sepertinya sudah menjadi hobimu ya?” Tegur Pakde Aji.
“Bu—bukan begitu Pakde..” belum sempat aku berbicara, Pakde Aji menahanku dan menghampiri untuk berhadapan dengan Watara.

“Siapa kau berani ikut campur?” Tanya Watara.
Pakde Aji mengeluarkan sebuah pedang dengan ukiran yang khas. Aku tahu dengan jelas pedang itu merupakan tanda dari pasukan salah satu panglima.
“Kalau kalian prajurit dari Panglima Brasma, pasti kalian memiliki pedang ini,” ucapnya.

Melihat pedang itu beberapa prajurit terlihat gentar. Watara juga terlihat tidak senang dengan ucapan itu. Tapi sepertinya ia tidak mau mengalah.
“Prajurit rendahan sepertimu tau apa?” ucap Watara.

“Aku tahu yang diucapkan bocah ini tidak ada yang salah. Bila kalian masih melanjutkan, aku pastikan apa yang kalian lakukan akan sampai ke telinga Panglima Bisma,” balas Pakde Aji.
Aneh, seharusnya bila mereka memang satu batalion mereka akan saling mengetahui.

Apa mungkin Watara hanya menggunakan nama besar Panglima Bisma untuk menyembunyikan nama panglimanya yang sebenarnya.
“Kalian! Serang bocah itu, bila prajurit cecunguk itu menghalangi, habisi saja! Kerajaan Indrajaya tidak butuh prajurit pembangkang!” Ucapnya.

“Ta—tapi? Jika dia benar-benar prajurit Panglima Brasma?” prajurit-prajurit itu terlihat ragu.
Sepertinya mereka lebih bisa berpikir rasional dibanding Watara.
“Kalian melawan perintahku?” bentak Watara.
“Ti—tidak, tapi kami juga tidak mau berurusan dengan Panglima Brasma.

Jelas pedang itu adalah pedang dari prajurit Panglima Brasma,” balasnya.
Watarapun geram, iapun mendekat ke arah kudanya dan mengambil sebuah benda yang ia pasang di lenganya. Setelahnya Watara mendekat ke arah prajurit-prajurit itu dan menggenggam wajahnya.

“Perintahku adalah mutlak!” ucapnya sembari memindahkan tanganya ke ketiga wajah prajuritnya.
Seketika raut wajah ketiga prajurit itu berubah.
Wajahnya penuh amarah dengan tatapan mata yang kejam. Mereka sama sekali tidak ragu lagi untuk menarik pedangnya.

“Pakde Aji, hati-hati ada sesuatu yang merasuki mereka!” ucapku yang jelas merasakan ada beberapa bayangan yang mengendalikan prajurit itu.

“Kamu bisa melihat itu?” Tanya Pakde Aji.

“I—iya Pakde,”
Tiga buah pedang menyerang Pakde Aji secara bersamaan.

Dengan tangkas Pakde menangkis ketiganya, tapi sepertinya ia akan kewalahan melawan mereka sendirian.
Akupun menyerang dan memisahkan salah satu dari prajurit itu untuk menghadapinya.

Sayangnya ternyata mereka cukup tangguh, jauh berbeda dari prajurit yang sebelumnya pernah kulawan. Sulit melawan mereka dengan tangan kosong.
Sayangnya, pedang panglima mardaya aku tinggal di rumah. Saat ini hanya belati berkarat yang kubawa di kantungku.

Tak ada pilihan lain, akupun menggunakan belati itu untuk menepis serangan dari prajurit yang melawanku.
“Hahaha.. Belati apa itu? Kau meremehkan prajuritku,” ledek Watara.

Kudiamkan saja ledekan itu dan kubalaskan dengan mementalkan prajurit itu hingga berbenturan dengan kuda prajurit Watara.
“Kemenangan sebuah pertarungan tidak ditentukan dari senjatanya!” balasku.
Watarapun geram, kini ia mencabut pedangnya dan bersiap menyerangku.

“Coba buktikan ucapanmu!”
Aku menangkis pedang Watara dengan belati di tanganku, tapi yang terjadi aku malah terpukul mundur. Sepertinya aku sudah salah memprovokasi orang ini.

Pakde Aji yang melihatku terdesak mengambil sebuah kendi kecil dari pinggangnya dan melemparnya hingga jatuh dan pecah di tanah. Ada air yang menggenang dari kendi itu.
Sembari melawan kedua prajurit tadi.

Ia membacakan sebuah ajian dan merubah genagan itu menjadi uap dan meniupkanya kepada kedua prajurit itu dan ke arah kami.
Aku tidak merasakan apapun dari uap air itu, tapi aku menyaksikan ada asap hitam yang keluar dari ketiga prajurit tadi.

Merekapun mulai ragu untuk menyerang kami. Pakde Aji menggunakan kesempatan itu untuk menghalau serangan Watara dan memberi kesempatanku untuk bernafas.
“Jangan diam saja! Serang mereka!” Perintah Watara.
Tapi ketiga prajurit itu masih ragu dan tetap berdiam diri.

Walau begitu, Watara tetap tidak berhenti mengayunkan pedangnya sekuat tenaga dan menyerang Pakde Aji. Tapi Pakde Aji tidak lengah, sebaliknya ia malah menajamkan seranganya dan mementalkan lengan Watara.

Aku yang telah bersiappun melihat celah itu berganti posisi dengan Pakde Aji dan melancarkan sebuah tendangan yang kubentuk dengan seluruh kekuatanku.
Watarapun terpental setelah tendanganku mendarat tepat di dadanya.

Ia kesulitan untuk bernafas namun masih terus mencoba untuk berdiri.
“Serang! Serang mereka!” Perintah Watara.
Ketiga prajurit itu hanya diam dengan ragu.

“Kalian semua serang!” Watara memerintahkan sisa prajurit di belakangnya untuk menyerang. Tapi mereka juga enggan.
Aku yakin mereka juga tahu bahwa Pakde Aji benar-benar berasal dari batalion Panglima Brasma dan tidak berani macam-macam.

“Sudah kita pergi saja Tuan Watara,” ucap salah satu prajurit.
Bukanya mengikuti saran yang tepat itu ia malah memandang dengan kesal prajurit itu dan mendekatinya.
“Pergi? Kau saja yang pergi!” ucap Watara.

Tapi ucapanya itu disusul dengan mulut prajurit itu yang berlumuran darah. Pedang Watara menembus tubuh prajurit itu.
“Biadab! Dia anak buahmu!” Teriakku.
“Anak buah yang tidak ada gunanya lebih baik mati saja,” ucapnya.

Kedua prajurit lainya mencoba menolong temanya itu tapi Watara malah menayunkan pedangnya lagi pada mereka.
“Aku yakin mayat kalian akan lebih berguna!” ucapnya sembari mencoba menyerang kedua anak buahnya yang masih ragu untuk menentangnya.

Sekali lagi aku tidak bisa diam melihat pemandangan seperti ini. Akupun berlari ke arah mereka dan menahan seranganya.
“Sudah hentikan!” Teriakku sembari mengalihkan serangan Watara dengan pisau berkaratku.
“Bocah?” kedua prajurit itu heran dengan perbuatanku.

“Kamu menolong mereka yang tadi mau membunuhmu? Bodoh!” Tanya Watara.
“Tidak sebodoh kau yang mau membunuh mereka yang membantumu!” Balasku.
Kedua prajurit itu bingung harus berbuat apa. Aku yang mulai kesulitan menoleh ke arah Pakde Aji.

Tapi ia malah terdiam dan kembali menyarungkan pedangnya.
“Pakde! To—tolong saya!” pintaku.
Tapi ia malah tersenyum sembari menggelang.
“Sudah nak, Sudah selesai..” ucapnya.
Aku tidak mengerti maksud dari ucapan Pakde Aji. Jelas-jelas kali ini aku kesulitan.

Tapi tak lama setelah itu aku mendengar suara derap prajurit berkuda yang mendekat ke arah kami.
Bersamaan dengan itu sebuah anak panah melesat dan menancap tepat di telapak tangan Watara.
“Arrggh!!! Siapa? Siapa mereka!” teriak Watara.

Sekumpulan prajurit Watara itupun seketika menyingkir dan membuka jalan untuk sekumpulan pasukan berkuda yang lewat itu.
“Pa—Panglima Brasma!” prajurit Watara ketakutan dan segera berlutut kepada pemimpin pasukan berkuda itu.
Tak salah lagi, ia adalah Mas Brasma.

Melihat sosok Mas Brasma, seketika Watara gentar. Ia hanya mampu menahan sakit di tanganya sembari menatap takut padanya.
“Pa—panglima.. kami sedang…”
Mas Brasma hanya melewatinya tanpa berkata sepatah katapun. Iapun turun dari kudanya dan mendekat kearah kami.

Namun Pakde Aji malah meninggalkanku dan melepaskan ketiga tahanan tadi.
Melihat semua orang di tempat itu berlutut. Spontan akupun ikut berlutut.
Tapi saat menghampiriku, Mas Brasma malah memukul kepalaku.
“Nggak usah ikut-ikutan,” ucapnya.

“Eh, maaf Mas.. nggak enak kalau berdiri sendirian,” balasku bingung.
Seketika wajah Watara, para prajurit, dan warga desapun bingung melihat keakraban kami.
“Kau memang harus berlutut, tapi bukan kepadaku,” ucapnya.

Iapun berjalan menghadap kepada Pakde Aji dan berlutut di hadapanya. Saat itu juga seluruh prajurit Panglima Brasma ikut berlutut menunjukkan hormatnya pada Pakde Aji.
Aku melihat pemilik kedai dan pemilik penginapan bingung dengan siapa yang menolongnya.

Tapi seorang pemuda satunya lagi tidak ragu untuk meletakkan lututnya di tanah dan berlutut pada Pakde Aji.
“Hormat saya Paduka Raja Indrajaya,” ucapnya.
Tu—tunggu? Aku tidak salah dengar?
Paduka Raja Indrajaya? Tapi.. itu Pakde Aji?

Watara dan prajuritnya pun panik mendengar ucapan itu. Ia tidak mungkin mengira ucapan pemuda itu adalah sebuah kebohongan setelah melihat seorang panglima besar Brasma berlutut pada seseorang.
Aku yang tidak mengertipun segera mendekat ke Pakde Aji.

Tapi Mas Brasma melirikku dan memperingatkanku untuk lebih hormat padanya.
Akupun ikut berlutut sementara Pakde Aji malah meminta aku dan Mas Brasma untuk berdiri.
“Ma—maafkan kami paduka raja! Kami pantas dihukum,” ucap prajurit-prajurit yang tadi bertarung dengan kami.

Pakde Ajipun mengajak kemi menghampiri prajurit-prajurit itu.
“Brasma, mereka hanya prajurit yang salah pimpin. Beri mereka hukuman sewajarnya dan jadikan mereka berguna,” ucap Pakde Aji atau lebih tepatnya Raja Indrajaya… arrgh aku jadi bingung.

“Maafkan, maafkan saya Paduka Raja. Saya janji akan menebus perbuatan saya dengan mengalahkan banyak pasukan musuh!” ucap Watara.
Tapi Pakde Aji hanya membuang mukanya. Ia menoleh ke arah Panglima Brasma.
“Kau tahu apa yang harus dilakukan?” ucap Pakde Aji.

Mas Brasmapun mengangguk. Sepertinya ia bisa membaca kekesalan Pakde Aji.
“Aku bisa memaafkan setiap serangan yang kalian arahkan kepadaku, tapi membunuh teman sendiri adalah kesalahan yang tidak bisa kumaafkan,” balasnya.
Seketika Wajah Watara terlihat pucat.

Ia benar-benar ketakutan. Sementara itu kedua prajurit brasma segera mengambil rantai dan mengikat Watara.
“Bawa orang ini ke markas! Biar aku yang menyampaikan pesan pada panglimanya,” perintah Mas Brasma.
Beberapa prajuritpun membawa Watara pergi.

Keempat prajurit menaiki kuda sementara Watara berjalan kaki di belakang keempat prajurit berkuda itu dengan rantai yang terikat padanya. Walau sosok yang mengancam nyawaku sudah pergi, aku belum bisa bernafas lega. Saat ini aku bingung dengan keberadaan Pakde Aji di dekatku.

“Pak—Pakde Aji? Ja—jadi? Paduka..” mulutku kelu mengetahui kenyataan ini.
Pakde Aji hanya menepuk pundakku dan melewatiku bersama Panglima Brasma.
“Sudah-sudah, kita bahas di kedai saja. Semuanya bubar!” Perintahnya.

“Tuan pemilik kedai, siapkan makanan terbaikmu,” perintah Panglima Brasma.
“Ba—baik! Dengan senang hati tuan!” jawabnya.
Setelah kejadian itu banyak warga yang mendekat dengan malu-malu.

Mereka ingin melihat wajah raja mereka walau saat ini ia hanya mengenakan pakaian biasa layaknya seorang pengembara.
“Yang Mulia, bila yang mulia berkehendak apa berkenan memberi restu pada anak kami,”

ucap sepasang suami istri yang membawa anaknya mendekat kepada Pakde Aji.
Pakde Ajipun tersenyum dan memberikan restu kepada anaknya. Tak hanya satu, ada beberapa dari warga desa yang mendekat. Pakde Aji sama sekali tidak keberatan menyapa mereka.

“Itulah hebatnya raja kita, Putra! Beliau sama sekali tidak keberatan menyapa rakyatnya,” ucap Mas Brasma.
Aku mengangguk tersenyum mendengar ucapan itu. Tapi Pakde Aji malah menyikut perut Mas Brasma.
“Ini semua ulahmu, pakai acara berlutut segala,” balasnya.

“Memangnya salah kalau saya ingin rakyatnya tahu siapa rajanya? Terlebih, kasian bocah satu ini yang tidak tahu apa-apa tentang tingkah rajanya,” Ucap Panglima Brasma sembari memainkan rambutku.
Jelas aku tidak bisa menjawab apa-apa.

Saat ini disebelahku ada seorang panglima besar dan ada seorang raja dari kerajaan tempatku tinggal. Malah kalau kata ibu, malah seharusnya aku berjalan dengan berjongkok bila menemui seorang raja. Tapi.. kenapa jadi seperti ini?

Menu di kedai ini tidak seperti kemarin-kemarin. Kali ini ada ayam ingkung, berbagai ikan bakar, dan sayuran yang lengkap. Aku yakin ini semua karena keberadaan dua orang ini.

Di dapur kedai aku juga melihat warga desa membantu pemilik kedai untuk mempersiapkan makanan terbaik untuk disajikan.
“Pastikan kau bayar ini semua,” ucap Pakde Aji pada Mas Bisma.

“Bayaranku akan cukup untuk membayar seluruh makanan di kedai ini selama sebulan,” balas mas bisma dengan santai.
Aku masih terdiam menatap mereka berdua yang berdiri di depanku. Entah aku harus berbicara apa pada mereka.

“Jangan bingung Putra, aku tetap Pakdemu,” balas Pakde Aji.
“Ta—tapi? Yang Mulia adalah raja di kerajaan ini. Sa—saya…” entah aku tidak bisa melanjutkan pembicaraanku.
Melihat kebingunganku Pakde Aji menarik nafas dan tersenyum.

“Kalau begitu saya akan menceritakan sesuatu. Semoga setelah ini kau tidak canggung lagi,” Pakde Aji, atau lebih tepatnya Raja Indrajaya bercerita tentang sebuah pertempuran di Setra Geni. Saat itu kerajaanya bertarung dengan kerajaan terkuat saat itu. Kerajaan Darmawijaya.

Ada tiga patih yang diutus untuk melawan pasukanya. Patih Andaka, Gardapati, dan Widarpa ayahku. Mereka adalah ketiga patih perkasa yang selalu bisa menaklukan kerajaan yang dilawanya.

Dalam pertempuran itupun seluruh patih dan panglima kerajaan Indrajaya takluk dengan serangan mereka.
Tapi Kerajaan Indrajaya tidak mau menyerah. Raja Indrajaya turun sendiri ke pertempuran untuk menghadapi mereka.

Ia tahu, kerajaan yang kalah dalam perang akan dirampas habis-habisan oleh kerajaan pemenang. Rakyatnya akan dijadikan budak dan berakhir sengsara.
Jadi saat itu Raja Indrajaya memilih bertarung sampai mati untuk tidak membiarkan hal itu terjadi.

Iapun maju ke medan pertempuran menghadapi ketiga patih dan pasukanya.
Tapi saat itu ada seorang patih yang cukup gila. Ia menahan kedua temanya dan menantang raja Indrajaya untuk bertarung satu lawan satu dengan taruhan,

bila ia bisa menang seluruh wilayah Kerajaan Indrajaya akan menjadi miliknya.
Kedua patih itupun setuju karena menurut mereka, jika patih itu kalah dan mati maka wilayahnya akan menjadi milik mereka berdua.

“Kamu pasti bisa menebak, siapa patih itu,” tanya Pakde Aji alias Raja Indrajaya itu.

“Nggak mungkin itu Bapak?” tanyaku. Iapun menganggu sambil tersenyum.

“Widarpa Dayu Sambara.. aku tidak akan lupa kejadian itu,” ucapnya.

Patih Widarpa menancapkan pusakanya di tanah dan menghadapi Raja Indrajaya dengan tangan kosong. Padahal saat itu Raja Indrajaya bertarung menggunakan pusaka terkuat milik kerajaanya, dan bahkan Raja Indrajaya menggunakan ilmu yang bisa mengorbankan dirinya sendiri.

Tapi ternyata bapak menang. Iapun mengusir kedua patih lainya dan menyatakan bahwa kerajaan Indrajaya adalah wilayahnya. Namun alih-alih merampas dan menguasai kerajaan Indrajaya,

Bapak malah memulihkan luka Raja Indrajaya dengan menggunakan pusakanya dan mengembalikan kekuasaanya.
Tak hanya itu, Bapak juga menaruh pasukan dan orang kepercayaanya untuk membersihkan kerajaan ini dari pejabat dan prajurit yang berniat jahat.

“Kalau tidak ada ayahmu mungkin kerajaan ini tidak akan seperti ini, banyak rakyat akan mati karena dijadikan tumbal,” jelas Raja Indrajaya.
Aku pernah mendengar kisah ini dari Mas Brasma. Tapi soal pertarungan mereka berdua, aku baru saja mendengarnya.

“Tidak mungkin..” Aku tidak percaya.
“Tidak mungkin bapak bisa mengalahkan Yang Mulia Raja Indrajaya yang sedang menggunakan pusaka terkuat kerajaan,”
Sebuah timun lalapan utuh melayang ke hadapanku.
“Heh dibilang! Jangan Yang Mulia, Panggil Pakde saja!” ucap Pakde Aji.

“Eh.. i—iya Pakde,” ucapku.
“Memang kurang ajar bapakmu itu!”
Tiba-tiba seseorang mendekat kearah kami. Aku mengenal wajahnya. Ia adalah salah satu orang yang ditawan di alun-alun tadi.
“Ma—maksudnya?” tanyaku bingung.

Terlebih orang itu tidak ada rasa canggungnya terhadap panglima bisma dan raja Indrajaya.
“Bisa-bisanya dia mempecundangi Pusaka yang kubuat,” ucapnya.
Aku mengernyitkan dahi mendengarnya. Pusaka?
Orang ini adalah pembuat pusaka?

“Heh, jangan asal nyambung. Kenalin dulu kau siapa,” tegur Mas Brasma.
Orang itu malah tertawa sembari mengambil piring makan untuk dirinya.

“Saya Randu Setro, panggil Mpu Randu saja. Sayalah yang membuat senjata pusaka untuk orang-orang ini,” ucapnya.

Sekali lagi aku terkejut. Hampir saja aku menyemburkan air yang ada di mulutku.

Mpu? Tapi wajahnya masih sangat muda. Bahkan mungkin hanya selisih sepuluh tahun denganku.
“Jangan tertipu sama wajahnya. Aslinya dia yang paling bau tanah diantara kita,” ledek Raja Indrajaya.

Tongkatmu jadinya tiga tahun lagi ya Yang Mulia,” ucap Mpu Randu tiba-tiba.

“Heh, aku guyon lho.. becanda. Gitu aja tersinggung,” balas Pakde Aji.

“Haha.. tenang, ini sudah saya bawa. Dari kekuatanya harusnya bisa bertahan sampai tujuh turunan,” ucapnya.

“Sudah-sudah, nanti saja.. kita makan dulu.” Ucap Pakde Aji.

Mas Brasmapun ikut tertawa mendengar perbincangan mereka. Dan aku? Aku masih dengan wajah bodohku yang belum percaya bisa makan semeja dengan seorang raja.
“Tapi.. kenapa Pakde mengenalkan diri dengan nama Aji?” Tanyaku penasaran.

Pakde tersenyum sejenak dan meminum teh dari cangkirnya.
“Aji adalah nama salah satu prajurit Brasma,” ucapnya.
Mendengar itu Mas Brasmapun menoleh.
Sepertinya ia memang baru tahu mengenai nama penyamaran Pakde.
“Prajurit itu mengorbankan nyawanya untuk menolong saya..

Saat mengetahui ada penyusup yang masuk untuk membunuh saya di markas Brasma, Aji berinisiatif mengenakan pakaian kebesaran saya dan bertarung dengan penyusup itu hingga meregang nyawa,” jelas Pakde.
Mas Brasma menarik nafas, matanya berkaca-kaca mengingat kejadian itu.

“Selain berhasil menyelamatkan nyawa saya, kematianya membeberkan fakta bahwa ada orang dalam kerajaan yang mencoba memberontak. Tidak mungkin saya melupakan orang itu,” Jelas Pakde.

“Dia juga prajurit yang hebat. Seharusnya ia tidak akan mati bila hanya dikeroyok prajurit biasa. Ada sosok gelap yang membantu penyusup itu yang mengakibatkan kematian Aji,” tambah Mas Brasma.
Pakde menghela nafas mengingat kejadian itu.

Sepertinya ia juga sempat akrab dengan prajurit bernama Aji itu.
“Saya sangat bangga menggunakan namanya dalam penyamaran. Termasuk pedang ini, ini juga miliknya,” jelas Pakde.
Sekali lagi aku mendengar cerita yang membuatku berdebar.

Ternyata ada cerita itu dibalik nama penyamaran Pakde Aji.
“Jadi selama penyamaran tetap panggil saja Pakde Aji, kalau sudah seperti ini panggil Pakde Indra juga tidak masalah,” Jelasnya.
Pakde Indra…

Aku memanggil nama seorang raja dengan sebutan Pakde? Taryo pasti tidak akan percaya dengan cerita ini.
“Lantas apa tujuanmu ke desa ini Putra?” Tanya Mpu Randu.
“Membeli senjata Mas, eh.. mpu,” balasku.
“Sudah dapat?” tanyanya.
Aku menggeleng.

“Bukanya ada pedang dari Mardaya?” sahut Mas Brasma.
“Ada lambang kerajaan di sana. Kalau saya menggunakan pedang itu seenaknya, bisa saja membawa masalah untuk Mas Mardaya,” balasku.
Mas Bisma mengangguk setuju.
“Ya sudah, biar kubuatkan,” ucap Mpu Randu.

“Eh, yang bener? Ta—tapi sisa uangku tidak banyak,” Jelasku.
Akupun menceritakan tentang kejadian kemarin saat aku terpaksa membayar sebuah belati berkarat seharga dua puluh keping emas untuk menghindari pertikaian.

“Aku nggak butuh uangmu, kau punya uang sebanyak apapun juga tidak akan kubuatkan. Justru bayaran yang pantas adalah belati berkarat itu,” balas Mpu Randu.
“Eh? Belati ini?” ucapku yang segera mengeluarkanya dari pinggangku.
Mpu Randu segera merebutnya dariku dan memperhatikanya.

“Aku menceritakan pada putraku bahwa belati ini tidak ternilai harganya. Ia bisa membawa takdir seseorang ke jalan yang tepat. Tapi dia malah menjawab bahwa belati ini tidak berharga, bahkan dijual dengan harga dua puluh keping emas saja tidak ada yang mau,” ucapnya.

“Berarti pemuda itu anak dari Mpu Randu?” tanyaku.
Mpu Randu mengangguk.

“Jangan terkecoh. Pemuda itu pasti anak dari istri tidak sahnya,” ledek Mas Brasma.

“Berisik! Banyak istri adalah syarat agar aku awet muda,” balas Mpu Randu.

“Penipu..” Ledek Mas Brasma lagi.

Rupanya pemuda itu memang anak Mpu Randu. Dia juga mengakui bahwa pemuda itu anak dari istri ketiganya yang tidak hidup serumah denganya.

“Kenapa dia sampai menjual pisau itu?” tanyaku. Mpu Randupun menghela nafas mendengar pertanyaanku.

“Dia dan ibunya memiliki harga diri yang tinggi. Mereka sama sekali tidak mau hidup dari hartaku.. sudahlah ceritanya merusak suasana. Ayo lanjut makan saja,” balasnya.
Akupun menghargai keputusan Mpu Randu untuk tidak menceritakan tentang anaknya itu.

Tapi ia berjanji akan membuatkan senjata untukku. Saat sudah jadi ia akan menyuruh orang untuk menghantarkanya padaku.
Acara makan itu berlangsung cukup lama. Kami mengobrol cukup panjang dan akupun akhirnya menjadi akrab dengan pemilik kedai dan penginapan.

Bahkan pemilik penginapan mempersilahkanku untuk menginap kapan saja di tempatnya dan tidak mau menerima bayaran.
Sebelum langit gelap, akupun ingin berpamitan untuk segera kembali ke desa Wirobayan. Aku tidak ingin membuat ibu untuk lebih khawatir.

Belum sempat kami berpisah tiba-tiba seorang prajurit berlari mendekat dan berlutut dihadapan mereka.

“Panglima!” Prajurit itu memanggil dengan terengah-engah.

“Lapor, sebaiknya tuan-tuan dan semuanya tidak meninggalkan desa terlebih dahulu,” ucapnya.

Mas Bisma dan Pakde Indrapun bertatapan mendengar ucapan prajurit itu.

“Jelaskan,” perintah Pakde Indra.

“Watara.. Dia berhasil kabur saat akan dibawa ke penjara,” ucapnya.

Prajurit itu menceritakan bahwa di tengah perjalanan mereka disergap oleh seorang manusia bertubuh hitam dan berbadan besar. Keempat prajurit yang mengawal Watara tak mampu berkutik melawanya.

Saat makhluk itu mendekat, prajurit itu sama-sekali tidak bisa bernafas hingga wajahnya membiru.
Padahal makhluk itu tidak melakukan apapun dan hanya melewati mereka berempat saja. Akhirnya, makhluk itupun melepaskan Watara dan membawanya pergi.

Beberapa waktu kemudian terjadi serangan pada beberapa prajurit yang berpatroli di sekitar desa. Mereka di serang makhluk yang bertubuh hitam dengan lidah menjalar, dengan taring dan kuku yang tajam.
Banyak prajurit terluka parah.

Tapi beberapa saksi mengaku bahwa melihat makhluk itu berpakaian seperti prajurit Watara.
“Ilmu hitam lagi..” gumam Pakde Indra.
Mas Brasmapun berpikir sejenak dan meminta prajurit itu berdiri.

“Bentuk formasi dimana setiap kelompok terdiri dari sepuluh pasukan, bawa ahli mantra diantara mereka. Pastikan makhluk itu tidak menyerang warga desa,” perintah Mas Brasma.
Dalam hitungan menit suasana desapun mulai berubah.

Kami yang sebelumnya merayakan pertemuanpun harus menjadi tegang dengan teror yang ada di luar desa.
“Tabib!! Bawa Tabib kesini!”
Tiba-tiba terdengar suara teriakan beberapa prajurit yang baru saja masuk ke desa.

Mereka membawa beberapa temanya yang terluka di atas kuda hingga di dalam gerobak. Banyaknya darah menetes dijalan menceritakan seberapa parah lukanya.
“Luka cakaran,” Gumam Mpu Randu.
Aku pernah mendengan cerita seperti ini dari Bapak.

Tentang adanya manusia yang berubah menjadi setan setelah menyerahkan dirinya pada iblis.
“Makhluk jadi-jadian? Apa Watara sudah menyerahkan tubuhnya pada Iblis?” gumamku.
“Kau tahu tentang itu?” Tanya Mas Brasma.

Aku mengangguk, aku juga sempat mengingat apa yang terjadi di pertarungan bersama Pakde Indra sebelumnya.
“Tadi saat bertarung, Watara mengenakan gelang pusaka dan membuat ketiga prajuritnya dirasuki makhluk yang membuat mereka menurut pada Watara.

Mungkin ia memang menggunakan ilmu seperti itu,” jelasku.
Pakde Indra mengangguk setuju mengkonfirmasi ceritaku.

Kamipun menghampiri ke perbatasan desa menyambut prajurit-prajurit yang terluka sembari membawa obat-obatan ringan yang bisa kami gunakan untuk memberikan pertolongan pertama. Sayangnya korbanya tidak sedikit.

Ada lebih dari sepuluh orang prajurit Mas Brasma yang kembali dengan terluka.
Saat itu langit semakin memerah. Seluruh prajurit yang terluka sudah dirawat di dalam desa. Tapi.. saat itu ada yang menahan kami berempat di sana. Ada sosok yang mendekat ke arah kami..

Sosok manusia dengan tubuh yang menghitam dengan lidah yang memanjang dan taring yang tajam. Tanganya lebih panjang dari manusia biasa hingga melebihi lututnya.
Rambutnya tak berbentuk, namun ada bekas hiasan prajurit di kepalanya.

Benar ucapan prajurit tadi. Makhluk itu mengenakan pakaian yang sama dengan Watara. Terlebih aku mengingat gelang misterius sama persis dengan yang dikenakan oleh Watara.
“Apa yang sudah terjadi dengan prajurit itu?” Tanya Mpu Randu.

“Sesuatu yang sedang kita selidiki dan ingin kita hentikan.. Penggunaan ilmu sesat diantara prajurit Indrajaya,” jelas Mas Brasma.
Sosok itu menyadari keberadaan kami berempat. Seketika raut wajahnya berubah penuh amarah seolah terbakar api dendam yang mendalam.

Tapi semakin ia mendekat, wajah kami juga dipenuhi amarah.
Wujud jadi-jadian Prajurit Watara itu sedang menyeret jasad seorang prajurit yang tubuhnya telah terbelah dan kehilangan pinggang dan kakinya.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

Terima kasih sudah membaca part ini hingga akhir. Mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.
close