Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DARYANA PUTRA SAMBARA (Part 3) - Prasasti Desa

Desa Wirobayan..
Sebuah desa di pinggir kerajaan yang seolah sengaja menyingkir dari pesatnya perkembangan jaman. Dilihat dari sisi manapun tempat ini jauh dari jalur perdagangan maupun pusat kerajaan. “Ibuk, sebenernya milih tinggal di desa ini karena nggak sengaja atau gimana to Buk?” Tanyaku iseng. Biar bagaimanapun, Bapak dan Ibu adalah orang yang sempat merasakan kemewahan kerajaan dan memiliki andil di sana. Aku masih belum bisa percaya mereka rela meninggalkan itu semua dan tinggal di desa terpencil ini. “Kowe percoyo sing jenenge takdir Le?” (Kamu percaya yang namanya takdir Nak?) Ucap ibu. “Piye yo bu? Nek mung pasrah marang takdir, rasane pengen dadi wong kesed,” (Gimana ya bu? Kalau cuma percaya sama takdir, rasanya pingin jadi orang males) Jawabku. Ibu menggeleng dan mengelus kepalaku. “Omonganmu ada benernya Le, tapi Tuhan sudah menggariskan hal-hal tertentu di hidup kita. Pertemuan, perjalanan, perpisahan.. hanya saja kita yang menentukan seberapa berartinya itu semua untuk kita,” Jelas Ibu. “Lha terus hubunganya sama pertanyaanku apa bu?” Tanyaku lagi. Ibu mulai bercerita, sejak awal ia bersama bapak memang tidak memiliki tujuan untuk tinggal di desa ini. Terlebih saat Prabu Arya masih hidup, bapak masih sering menemani sahabatnya itu untuk sering ke istana. Saat mengungsi di kerajaan ini, Raja Indrajaya sudah menyediakan tempat terbaik untuk Bapak dan Ibu di istana. Tapi Ibu sangat mengerti, Bapak bukanlah orang yang betah tinggal di tempat mewah seperti itu. “Lha piye yo, wit cilik bapakmu kuwi uripe ning alas..” (lha gimana ya? Dari kecil bapakmu itu hidupnya di hutan) ucap ibu.

“Yang bener bu?” sekali lagi aku kaget mendengar cerita ibu. “Ibu juga kurang tahu dengan jelas masa kecil bapak, tapi firasat ibu kamu akan mengetahuinya kelak,” Balas ibu. Ibu bercerita saat itu, mereka sempat tinggal di istana, bapak mengembara berkeliling desa di wilayah kerajaan Indrajaya. Ia terhenti di sebuah sungai yang membelah sebuah hutan. Sungai itu tidak jauh dari desa ini. Ia bertemu dengan warga desa yang tengah mencari hasil hutan keluarganya. Bapak mengikuti mereka dan menemukan desa ini. Desa yang sepertinya tidak tersentuh oleh kerajaan. Bapak takjub ketika melihat desa yang sangat sederhana ini bisa dihidupi oleh alam. Mereka makan dari hasil hutan, minum dari aliran sungai dan mata air. Terlebih mereka tidak terdampak oleh perang. Bapak meminta ijin untuk tinggal di desa ini kepada Raja Indrajaya. Tapi Raja Indrajaya menolak. Ada alasan desa itu tidak tersentuh oleh kerajaan. Ada sesuatu yang bisa menghancurkan kerajaan Indrajaya ternyata tersembunyi di desa ini. Tetapi walau berkata begitu, Raja Indrajaya sendiri belum mengetahui tentang apa yang tersembunyi disana. “Menghancurkan kerajaan?” Tanyaku bingung. Ibu mengangguk dan melanjutkan ceritanya. Bapakpun mencari tahu tentang ramalan itu dan menemukan sebuah prasasti. Ada aksara aneh yang bahkan belum pernah bapak lihat. Namun karena sangat ingin tinggal di desa ini, bapak bersemedi di sana dan mencari petunjuk mengenai isi prasasti ini. Setelah dua puluh satu hari, akhirnya bapakmendapatkan petunjuk. Bapakpun melapor ke Raja Indrajaya. Bapak menceritakan kebenaran tentang ramalan itu. Semua ditunjukkan oleh prasasti yang ia temukan. Dan benar, sesuatu di desa itu akan menghancurkan kerajaan Indrajaya. “Terus? Kenapa bapak masih milih tinggal di sini?” Aku semakin penasaran. “Sabar to Le, ibu selesain dulu ceritanya,” balas ibu. Aku menggaruk kepalaku dan kembali mendengarkan cerita ibu. Ramalan itu benar. Sesuatu yang tersembunyi di desa ini akan menghancurkan Kerajaan Indrajaya. Tapi bukan saat itu, bukan saat kerajaan dipimpin dengan adil dan bijaksana. Tapi ada saatnya dimana Kerajaan Indrajaya dikuasai oleh hawa nafsu dan niat buruk. Sesuatu yang berada di desa inilah yang akan menghancurkan kerajaan ini.

“Berarti prasasti itu menyembunyikan kekuatan yang luar biasa ya bu?” Tanyaku. “Mungkin saja, tapi bapak menganggap itu sebagai hal baik dan memaksa untuk tinggal di desa ini,” jelas ibu. Raja Indrajaya percaya dengan cerita bapak. Iapun setuju bila memang itu faktanya, maka hal itu merupakan hal baik. Walau sudah tinggal di desa ini, Raja Indrajaya dulu tetap menyediakan tempat untuk Bapak dan Ibu di istana sampai aku lahir. Sampai akhirnya perang usai, Bapak dan ibu akhirnya menetap di desa ini sebagai orang biasa. “Kami beruntung Raja Indrajaya mau mengerti keinginan kami,” Ucap Ibu. Sekali lagi aku melamunkan cerita tentang kehidupan bapak dan ibu saat di istana dulu. Walau aku bahagia tinggal di sini, tapi rasa penasaran tetap saja ada. “Bu, sering-sering ceritain kisah ibu sama bapak di jaman dulu ya. Putra seneng dengerinya,” Pintaku. Ibu mengelus rambutku lagi. “Ibu takutnya kamu jadi tidak bersyukur dengan kehidupan kita dan mendambakan kehidupan di Istana,” balas ibu. Aku menggeleng dan menggenggam tangan ibu. “Putra yakin, kehidupan yang dipilihkan oleh Bapak dan ibu adalah yang terbaik. Putra hanya ingin ikut merasakan kisah ibu sama bapak dulu,” ucapku lagi. Saat itu wajah ibu seolah menerawang sambil sedikit tersenyum. “Wah, nanti ibu ceritain gimana ndableknya Bapakmu itu!” ucap ibu semangat. Ibu tidak berniat menceritakan itu hari ini. Tapi tidak masalah, cerita-cerita itu akan menjadi alasanku untuk pulang setiap selesai melakukan perjalanan. … Sejak saat ini aku melihat desa ini dengan berbeda. Bukan lagi desa terpencil di pinggir kerajaan, tapi desa ternyaman dan teraman yang dipilihkan kedua orang tuaku sebagai tempatku tumbuh. “Heh Putra! Ngelamun aja!” Tiba-tiba seseorang datang memecah lamunanku. Taryo Rupanya.. “Taryo? Kamu udah sehat?” Tanyaku kaget melihat perubahan dirinya. Tubuhnya tidak lagi kurus, ia sudah hampir berjalan dengan normal. Masih ada bekas luka di kakinya, tapi aku menduga sebentar lagi lukanya akan pulih sepenuhnya. “Iya, Terima kasih buat kamu. Semenjak kamu obatin itu lukaku berangsur-angsur membaik,” ucap Taryo. “Halah, kebetulan aja kok. Ada acara apa sampai jauh-jauh ke sini?” Tanyaku. “Ibuku bikinin jamu buat ibumu, sekalian mampir sudah lama aku nggak ketemu ibumu,” jawabnya. Akupun segera mengajaknya masuk kedalam rumah bertemu ibu. Ibu menerima dengan senang hati jamu buatan Mbok Mi dan menggantinya dengan beberapa lauk yang ada di rumah. “Jangan capek-capek yo Le, kakimu itu belum benar-benar pulih,” wejang ibu. “Sudah kok Nyai, aku sudah sering jalan-jalan sama ibu juga. Nanti juga setelah ini aku mau jalan-jalan ke alun-alun. Sudah lama tidak ke sana,” ucap Taryo. “Alun-alun? Ya sudah nanti aku temenin,” ucapku. “Beneran?” Wajah Taryo terlihat senang. “Iya, nggak papa kan bu?” Tanyaku pada ibu. “Nggak papa, jangan pulang malem-malem nanti Mbok Mi khawatir,” Balas ibu. “Iya Nyai, habis ini saya mampir rumah dulu nganter lauk ini sekalian minta ijin,” Balas Taryo.

Akupun bersiap sebentar dan pergi menemani Taryo. Mendengar cerita ibu tadi, aku jadi ingin berkeliling dan melihat-lihat desa ini. Sejak aku kecil desa ini memang tidak terjamah oleh perang. Tidak ada perekrutan prajurit dan relawan perang di desa ini. Banyak anak muda yang merantau ke desa sekitar kerajaan untuk mendapat kesempatan hidup yang lebih baik. Taryo terlihat bersemangat saat mencapai alun-alun. Walau disebut alun-alun, sebenarnya tempat ini hanya lapangan biasa yang menjadi tempat berkumpulnya warga yang ingin bertukar hasil panen. Tempat ini ditandai dengan sebuah candi kecil yang berada di tengahnya. Berbagai macam orang berkumpul disini untuk bertukar hasil panen dan kerajinan. Setiap ada saudagar yang kembali dari perjalanan, mereka selalu diserbu oleh warga desa yang tidak mau kehabisan barang mulai dari kain, keramik, hingga berbagai macam barang yang tidak tersedia di tempat ini. Tapi di tengah-tengah keramaian itu tiba-tiba Taryo terdiam menatap sesuatu. “Yo, kenapa bengong?” Tanyaku. “E—enggak, itu perempuan itu kenapa keliatan takut ya?” Tanya Taryo. Aku memperhatikan ke arah yang ditunjukkan oleh Taryo. Benar ada seorang perempuan di sana. Ia memegangi bajunya yang terlihat sobek dengan wajah takut seolah bingung. Sepertinya ditubuhnya juga terdapat beberapa luka. Aku sempat mengira dia adalah seorang perempuan yang terpisah dari anggota keluarganya. Tapi tak lama setelah kami memperhatikanya tiba-tiba terdengar suara derap langkah kuda mendekat. Seketika firasatku menjadi tidak enak. Ada seorang prajurit berkuda mendekat ke alun-alun dengan membawa sebuah tombak di tanganya. Warga menjadi riuh berhamburan berusaha menghindari prajurit itu. “Minggir!!!” Teriak prajurit itu. Mereka melihat perempuan yang ketakutan itu dan mengejarnya. Sebuah tombak besar diangkat dan diarahkan ke perempuan itu. “Mati kau!” Teriak prajurit itu sembari melemparkan tombak itu kepada perempuan yang masih berusaha melarikan diri. Tombak itu melesat menuju tubuh wanita lemah itu. Spontan aku berlari kearahnya, namun terlambat. Walau sudah berusaha menghindar, tombak itu tetap mengenai bahu wanita itu. Prajurit itu meminta sebuah tombak lagi pada bawahanya dan bersiap melemparkan lagi. "Tolong! Tolong!! Ada yang mati!!” Taryo membuat kericuhan hingga warga di alun-alun itu berhamburan lagi dan membuat prajurit itu kebingungan. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan menarik wanita itu bersembunyi di belakang salah satu bangunan di sana. Taryo yang memperhatikankupun segera menyusulku. “Gimana keadaanya Mas Putra?” Tanya Taryo. Aku memeriksa perempuan itu yang meringis menahan sakitnya. Perempuan itu juga tahu bila dia menangis atau berteriak prajurit-prajurit itu pasti akan menemukanya. Aku merobek kain yang ada di bajuku dan mengikatkanya di bahu wanita itu untuk menghentikan pendarahan di bahunya. Sayangnya sepertinya itu tidak cukup.

“Kamu itu sebenernya siapa to? Kok sampe dikejar-kejar prajurit itu?” Tanya Taryo. Perempuan itu menahan tangisnya dan berusaha menjawab pertanyaan kami. “A—aku, aku nggak tahu. Aku cuma perempuan desa biasa, tiba-tiba mereka menculikku dan..” “Keluarrr!!!” Terdengar teriakan prajurit itu dengan beberapa derap langkah kuda yang semakin banyak. “Ssst!” Aku menahan perempuan itu untuk berbicara dan terus bersembunyi bersama Taryo. Sesekali aku mengintip kearah mereka. Jelas dari pakaianya itu adalah prajurit kerajaan indrajaya. Tapi ada masalah apa sampai mereka mengejar perempuan ini? “Kamu mencuri? Atau berbuat salah sama mereka?” Tanyaku. Perempuan itu menggeleng, ia berbicara sambil terisak menahan tangisnya. “Prajurit-prajurit itu memasuki desaku, mereka meminta mengumpulkan perempuan-perempuan untuk dibawa ke kerajaan. Tapi itu semua bohong, mereka membawa kami ke kemah tersembunyi di hutan dan menjadikan kami sebagai pelampiasan nafsu mereka..” cerita perempuan itu. Aku menelan ludah mendengar ceritanya, dari tangisan dan tatapan matanya sulit untuk mengatakan bahwa perempuan ini berbohong. “Mas, terus gimana mas?” tanya Taryo bingung.


“Kita sembunyi, mungkin dia dikejar karena prajurit itu takut dia menceritakan ini ke prajurit kerajaan lain atau ke warga desa,” balasku. Taryo mengangguk setuju, kami berniat bersembunyi sampai prajurit itu pergi. Namun ternyata rencana kami tidak semulus itu. “Keluar! Jangan berani-berani menyembunyikan pemberontak! Hukumanya mati!” Teriak prajurit itu. Salah seorang prajurit lain menarik warga desa dan memaksanya untuk berbicara. “Keluarkan perempuan itu!” teriaknya. “Ampun.. ampun den. Saya tidak tahu apa-apa,” Seorang bapak tua yang tengah membereskan daganganya menjadi sasaran kekesalan prajurit itu. Prajurit itupun melemparkanya ke hadapan kerumunan dan prajurit lain menyusulnya dengan mengambil beberapa warga desa dan mengumpulkanya di hadapan mereka. Warga desa itu segera berlutut memohon ampun. “Sumpah tuan prajurit, kami tidak tahu wanita itu. kami tidak tahu dia dimana..” ucap mereka. Sepertinya prajurit itu tidak peduli. Ia mencabut pedang dari pinggangnya dan turun dari kudanya. Pedang yang tajam itu menggores pipi salah satu kakek yang menjadi pelampiasan emosi prajurit itu. Kakek itu tidak berani melawan dan hanya mampu menahan rasa sakitnya. “Dalam hitungan sepuluh, bila tidak ada yang menyerahkan wanita itu. satu persatu kepala akan terpisah dari tubuhnya.” Ucap prajurit itu. Sontak warga desapun ketakutan. Mereka yang jarang sekali melihat prajurit kini memandang prajurit kerajaan sebagai sosok yang mengerikan. “Satu…. Dua..” Prajurit itu menghitung sembari memainkan pedangnya dan menggoreskanya di tubuh warga desa. Darahpun menetes dari pipi, leher, dan bagian tubuh mereka. Aku tidak sanggup lagi melihat pemandangan itu. “Taryo, titip ya! Jangan keluar sampai benar-benar aman. Apapun yang terjadi jangan keluar,” ucapku. “Heh! Kamu mau ngapain? Jangan Nekad!!” Tolak Taryo. Aku melepas tanganya dan mengendap-ngendap ke kerumunan warga desa. “Sepuluh! Rupanya kalian tidak sayang nyawa!” Ucap Prajurit itu kesal. Iapun menjambak rambut kakek itu dan bersiap memenggalnya dihadapan warga desa lain. Tapi sebelum itu terjadi aku menembus kerumunan dan berhadapan denganya.

“Perempuan itu sudah pergi! Dia pergi melalui hutan utara,” Teriakku. Prajurit itupun menahan pedangnya dan mengarahkanya padaku. “Jangan bohong kau bocah!” Teriak prajurit itu. Aku tidak takut, akupun berjalan meninggalkan kerumunan warga dan mendekat ke arah prajurit itu. “Tanya saja mereka, tidak ada satupun yang mengetahui keberadaanya. Itu karena perempuan itu sudah kabur,” ucapku lagi. “Aku tahu kau berbohong, dan kau tahu akibatnya? Kau dan seluruh keluargamu akan dihukum mati karena berkhianat pada kerajaan,” balasnya. Semudah itu ia mengatakan hukuman mati? Sebenarnya apa gunanya prajurit kerajaan? Bukankah harusnya mereka melindungi rakyatnya? Aku yang kesal kini malah tertawa di hadapanya. “Hukuman mati? Bukankah kalian yang seharusnya mendapatkan hukuman?” ucapku. “Jaga mulutmu!” Teriak prajurit lain. “Mengumpulkan wanita muda dengan dalih dibawa ke kerajaan, tapi kalian malah membawa mereka ke markas tersembunyi di tengah hutan dan menjadikan mereka pelampiasan nafsu.. Bagaimana jika pihak kerajaan mendengar cerita ini?” Ucapku sembari tertawa. “Brengsek! Bocah ini tidak bohong, dia sudah berbicara dengan perempuan itu! Kejar!” Mendengar ucapan itu beberapa prajurit menaiki kudanya untuk mengejar ke hutan utara. Masih ada sekitar sepuluh prajurit lagi yang berada di alun-alun ini. mereka semua mengelilingi warga desa dan melarangnya untuk meninggalkan tempat ini. “Haahaha…” Bukanya takut, prajurit itu malah menertawakanku. “Apa salahnya? Kami sudah bertarung berperang mempertaruhkan nyawa kami. Saat peperangan kami mempunyai budak perang untuk memenuhi nafsu kami! Sekarang keadaan damai, sudah sepantasnya mereka ikut berbakti pada kerajaan dengan memuaskan kami!” Ucapnya dengan bangga. Aku benar-benar tidak habis pikir. Apa benar sekelam itu masa-masa peperangan? Yang kutahu perang adalah cara untuk melindungi wilayah agar rakyat bisa hidup dengan tenang. Tapi budak perang? Itu tidak sepantasnya ada. “Kalian sinting!” ucapku. “Kau yang masih polos bocah.. sekarang semua warga di sini sudah mendengar ucapanmu. Demi menjaga reputasi kami, maka seluruh warga yang ada di tempat ini harus mati!” ucapnya. Seketika seluruh wargapun berlutut meminta ampun padanya. “Ampun tuan, kami tidak akan mengatakan apapun!” ucap mereka. “Terlambat!” Salah satu prajurit menarik paksa seorang ibu dan hendak menusuk tubuhnya dengan pedangnya. Spontan aku mengambil batu dan melempar sekuat tenaga ke kepalanya hingga tak sadarkan diri. “Bocah brengsek!” Prajurit yang dihadapankupun bersiap menyerangku. Mungkin aku bisa mengalahkanya, tapi bagaimana dengan warga desa yang lain? Entahlah, sepertinya aku harus mengambil cara pengecut ini. Ilmu prajurit itu tidak hebat, dengan mudah aku bisa menangkap tanganya, merebut pedangnya dan menghunuskanya tepat di lehernya. “Sedikit saja pedang kalian menyentuh mereka, dia akan mati!” Teriakku. “Bocah brengsek! Hukuman mati untukmu! Berani melawan prajurit kerajaan, sama saja kau melawan raja!” ancamnya. Aku tidak gentar dan semakin menempelkan pedang itu ke lehernya hingga mulai meneteskan darah. Prajurit lainpun mundur melihat itu. “Aku tidak bercanda! Coba saja kalau berani! Setelah kubunuh manusia biadab ini akan kuhabisi kalian” Ucapku kesal. Salah seorang prajurit tidak gentar dengan ancamanku. Ia tetap mencoba menusukkan pedang itu pada warga desa. Akupun tidak takut, aku menarik pedang di tanganku dan mengayunkanya ke tangan prajurit yang ku sandra hingga terputus. “Aarrrrrghgh!!! Sakittt!!!” teriaknya. “Kalian pikir aku bercanda?” Ucapku. “Sudah! Lepaskan mereka! Aku tidak mau mati!” ucap prajurit yang kusandra, sepertinya memang dialah yang memimpin prajurit lainya di tempat itu. “Ta—tapi, mereka tau semuanya!” bantah prajurit lainya. “Berisik!! Aku tidak mau mati!! Lepaskan mereka” ucapnya. Ternyata prajurit ini sepengecut itu. Aku penasaran bagaimana dia bisa bertarung di medan perang? Prajurit lainyapun menurut. Mereka menyarungkan pedang mereka kembali dan meninggalkan warga desa. “Sudah, sekarang lepaskan aku!” rengeknya. “Belum! Semuanya! Tinggalkan tempat ini, kosongkan alun-alun!” Perintahku pada warga.

Merekapun berhamburan pergi meninggalkan tempat ini. Warga yang tinggal di sekitar alun-alun tidak ada yang kembali ke rumah, mereka semua mengungsi ke tempat yang jauh dari alun alun. Saat tempat mulai kosong, aku memerintahkan semua prajurit turun dari kudanya dan meninggalkanya di sini. Aku takut mereka akan kembali dengan cepat sebelum kami warga desa memutuskan harus apa. Merekapun menurut, rupanya ucapan prajurit pengecut itu juga mereka dengarkan. Mereka meninggalkan alun alun setelahnya, dan akhirnya aku melepaskan prajurit itu dan mengancamnya. “Kalau kalian berani kembali lagi ke tempat ini, kau lah yang akan kucari dan kuhabisi!” Ancamku. Ia berjalan menjauh dariku, namun aku tidak yakin ia akan menurut. Dan benar saja, tak berapa lama ia berbalik dan tertawa. “Tidak, kami tidak akan kembali.. kami memang masih di sini. Seraangg!!!” Teriaknya tiba-tiba. Rupanya prajurit-prajurit tadi hanya pura-pura meninggalkan desa. Mereka hanya memutar dan mengincarku dari segala sisi. Sebenarnya, akupun sudah menduga ini akan terjadi. Sebuah pedang mengayun kearahku, aku menahanya dan menebas salah satu kaki prajurit itu untuk melumpuhkanya. Setelahnya, aku kembali menatap ke prajurit pengecut itu sembari menghunuskan pedangku. “Kau yang minta!” Ancamku dengan kesal. “Bunuh!! Bunuh bocah itu! Jangan sampai ia mendekat!” Prajurit pengecut itupun panik. Prajurit-prajurit lainyapun mengikuti perintahnya dan melindunginya. Aku yang tengah kesalpun menghadapi prajurit-prajurit itu sekuat tenaga. Kewalahan? Jelas tentu saja.. Tapi semakin lama aku bertarung, aku merasa semakin mengerti pola serangan prajurit-prajurit ini. satu persatu aku berhasil mengincar kaki mereka dan melumpuhkanya, setidaknya aku masih tidak ingin membunuh manusia, apalagi mereka prajurit kerajaanku sendiri. Sayangya keadaan semakin genting, tapi aku masih terus bisa menerobos prajurit-prajurit itu. mereka setengah mati melindungi prajurit pengecut itu. setidaknya aku harus menangkapnya lagi agar bisa membuat mereka menahan serangan mereka. “Setelah kau mati, akan kucari ibumu, ayahmu, anggota keluargamu dan kupastikan mereka akan mati dengan mengenaskan,” ucap prajurit itu. Saat itu emosiku terbakar, kuterobos prajurit yang menyerangku dan menusukkan pedangku sekuat tenaga ke perut prajurit itu. “Takkan kubiarkan siapapun mengancam keluargaku,” balasku.

Prajurit itupun memuntahkan darah dari mulutnya. Tatapanya melotot kesakitan seolah tidak menyangka hal ini akan terjadi. Akupun melepaskan pedangku dan menjauh. Prajurit itu hanya terus menunjuk ke arahku sembari meminta teman-temanya untuk membunuhku. Namun setelahnya ia terbaring tak sadarkan diri dengan mata yang masih terbelalak. Sisa prajurit lain kembali menyerangku dengan tanpa ampun. “Sudah cukup! Aku tidak mau membunuh lagi!” Teriakku. “Terlambat! Kau sudah membunuh prajurit kerajaan. Kami punya wewenang untuk membunuhmu!” Balas prajurit yang lain. Mereka benar-benar kesal, tapi dibalik itu aku merasakan ada rasa takut di mata mereka. Begitu juga denganku, rasa bersalah atas kematian prajurit tadi membuat tanganku gemetar. Kini rasanya begitu sulit menahan serangan prajurit-prajurit yang sebenarnya telah terluka ini. Mereka memojokkanku ke pinggir hutan. Kini tubuhku penuh dengan luka goresan pedang mereka. Nafaskupun terengah-engah. Staminaku mulai habis dan rasa bersalah juga menghantuiku. Hal itu mengakibatkan aku semakin kewalahan menahan serangan mereka. Akhirnya sebuah serangan lolos mengarah dengan tajam ke leherku seolah sudah bersiap memisahkan kepalaku dari tubuhku. Aku tidak ingin pasrah, tapi aku sama sekali tidak bisa menghindarinya. Tranggg!!! Ada sesuatu yang menahan pedang itu. sebuah pedang yang sama dengan pedang yang digunakan oleh prajurit itu tapi pembatas gagangnya memiliki ukiran yang berbeda. “Siapa kamu? Jangan ikut campur!” teriak prajurit itu. Aku selamat? ada seseorang yang datang, Suaranya tidak asing. Tapi kali ini ia menutup mulutnya dengan kain. “Menyerahlah dan minta pengampunan ke Panglima Brasma, setidaknya kalian bisa selamat dari hukuman mati,” ucap orang itu. Aku kenal suaranya, itu adalah suara bapak yang menemuiku saat menanti Panglima Brasma di markasnya dulu. “Berisik!” Prajurit itu tidak terima, ia mengayunkan pedangnya bersamaan. Tapi tidak semua, ada tiga prajurit yang ragu menyerangnya. Benar saja, dalam sekejap prajurit-prajurit yang menyerang orang itu dapat dikalahkan dengan ilmu pedang yang lebih tinggi. Prakk.. prakkk .. prakkk… ketiga prajurit yang tidak ikut menyerang itu menjatuhkan pedangnya dan berlutut. “Kalian! Apa yang kalian lakukan? Jangan bilang kalian takut dengan orang ini?” tanya prajurit yang masih dengan kuda-kudanya. “Kau yang bodoh! Lihat pedangnya, itu pedang milik mantri panglima! Dia pasti tangan kananya Panglima Brasma!” ucapnya. Sontak keseluruh prajurit itu menatap orang misterius itu. “Kalau masih mau melawan, akan kuladeni. Tapi kupastikan entah hidup atau mati kalian nanti, kalian akan kami anggap sebagai pengkhianat!” ucap orang misterius itu sembari membuka penutup mulutnya. Sepertinya para prajurit itu tidak asing dengan wajah bapak itu. merekapun membuang pedangnya dan berlutut di hadapanya. “Ampun tuan, maafkan kami…” prajurit-prajurit itupun takluk. Benar, bapak itu adalah orang yang menemuiku di markas prajurit dulu. Aku tak menyangka ia juga memiliki jabatan yang ditakuti oleh prajurit-prajurit ini. “Keputusan yang tepat,” ucap bapak itu sembari menyarungkan pedangnya. Seluruh prajurit itu terlihat takut. “Maafkan kami, kami sudah kelewatan.. mohon pengampunan untuk kami,” ucap prajurit itu yang masih terus berlutut.

“Tergantung, saya bisa saja meminta pengampunan untuk kalian. itu kalau kami bisa menemukan akar permasalahan dari kelompok kalian,” ucapnya. “Maksudnya? Kami harus memberi tahu dimana markas kami dan mengkhianati teman-teman kami?” ucap salah satu prajurit yang lain. Sekali lagi Bapak itu mengeluarkan pedangnya dan meletakkanya di leher prajurit itu. “Jawaban kalian menentukan kalian di pihak mana? Di pihak kerajaan dan bisa kembali menemui keluarga kalian? atau di pihak pengkhianat yang tak lama lagi akan terbongkar!” Ancam bapak itu lagi. Gila, aku tidak pernah menyangka akan ada di posisi ini. Apa ini artinya memang ada pengkhianat yang mencoba memberontak pada kerajaan? “Ampun, kami tidak berani. Kami masih ingin bertemu keluarga kami..” ucap mereka. Merekapun menceritakan jalur menuju tempat persembunyian mereka. Dibanding tempat persembunyian, menurut mereka tempat itu lebih berupa markas yang memang mereka gunakan untuk membagi harta rampasan dan melampiaskan nafsu kepada perempuan yang mereka culik. “Kalian keterlaluan,” gumamku yang tidak menyangka akan perbuatan mereka. “Sekarang kalian boleh mati!” ucap bapak itu. Aku kaget, aku kira bapak itu memang berniat mengampuni mereka. “A—ampun? Kami akan memberikan info apa saja, tapi jangan bunuh kami!” Sahut mereka. Akupun menatap bapak itu lagi. “Eh pak? Serius mereka harus dibunuh?” Tanyaku. “Menurutmu apa hukuman yang pantas untuk mereka? Mereka sudah menculik, memperkosa, bahkan membunuh perempuan-perempuan yang tidak bersalah. Terlebih mereka menarik harta dari warga desa yang belum tentu bercukupan,” ucapnya. Benar, di satu sisi aku setuju. Tapi nyawa manusia tidak seharusnya semudah itu dihilangkan. “Coba dipikirkan lagi pak, itu nyawa manusia lho..” ucapku. “Setelah semua yang mereka lakukan padamu, kamu masih mau membiarkan mereka hidup,” tanya Bapak itu. “Eh, i—iya pak. saya cuma babak belur dikit, paling diobatin ibu seminggu juga sembuh. Nggak perlu sampai harus membunuh mereka,” Jawab itu. Bapak itupun menghela nafas dan menyarungkan pedangnya lagi. “Berterima kasihlah pada bocah ini.. akuilah kesalahan kalian dan ceritakan ini semua pada Panglima Brasma.” Perintah Bapak itu. “Te—terima kasih tuan,” ucap semua prajurit itu. Bapak itu mendorongku ke depan. “Kalian ingat wajah anak ini baik-baik, dia yang dimaksud titah rahasia sandi ganendra. Bahkan sekelas panglimapun tidak diijinkan melukainya. Saat bertemu anak ini lagi, pastikan kalian melindunginya bahkan bila harus mengorbankan nyawa kalian,” ucap bapak itu. Sandi Ganendra? Titah apa itu? aku menduga itu adalah titah yang dibuat Raja Indrajaya untuk melindungi aku dan keluargaku. “Sandi Ganendra, saya pernah mendengar itu. saya tidak menyangka anak ini salah satunya,” ucap prajurit itu. “Ya sudah, kalau kalian sudah mengerti segera pergi dan terima hukuman apapun yang diberikan Panglima Brasma,” ucap Bapak itu.

“Te—terima kasih,” balas mereka. Saat itu prajurit-prajurit itu segera bergegas pergi meninggalkan desa. “Bapak ini sebenernya siapa sih?” Tanyaku. Bapak itu melepas ikatan penutup mulutnya dan mulai tersenyum kepadaku. “Ajisaka, panggil aji saja.. saya satu pasukan dengan Panglima Brasma,” ucapnya. “Ba—baik tuan Aji,” balasku. “Eh Jangan.. seharusnya kita sudah seperti saudara sendiri, panggil Pakde saja lebih enak,” ucapnya lagi. Pakde? Ada apa dengan orang-orang kerajaan ini? satu sisi ada yang ingin membunuhku, satu sisi ada yang menganggapku sedekat ini. Merasa sudah aman, Taryo keluar dari persembunyian bersama perempuan itu. perempuan itupun menemui Pakde dan menceritakan semua yang terjadi padanya dan orang-orang yang senasib. Cerita itu membuat Pakde geram. Setelahnya peduduk desapun kembali ke alun-alun. Pakde meyakinkan bahwa desa ini akan tetap aman. “Saya tinggalkan pedang saya di batu ini! Prajurit manapun yang melihat pedang ini akan mengetahui bahwa desa ini dibawah perlingungan Panglima Brasma!” Pakde Aji menancapkan pedang itu di sebuah batu dihadapan candi yang ada di alun-alun desa. Melihat benda pusaka kerajaan itu warga desa Wirobayan inipun terlihat tenang. Tidak ada lagi yang menyalahkan perempuan yang melarikan diri ke desa ini. Sebaliknya, beberapa warga malah menawarkan diri untuk merawatnya dan mengantarnya kembali ke desanya setelah pulih total. … “Dalam beberapa hari akan ada prajurit Panglima Brasma ke desa ini, tolong jelaskan pada mereka keadanya," ucap Pakde aji pada kami. Pakde Aji terlihat mempersiapkan kuda dan ingin segera meninggalkan desa. Melihat hal itu, akupun mengambil salah satu kuda milik prajurit yang lain dan ikut mempersiapkanya. “Saya ikut,” ucapku pada Pakde Aji. “Jangan, nanti kamu nggak bisa pulang,” balasnya. “Pakde mau ke hutan itu sendirian kan? Saya ikut. Nggak mungkin saya biarin Pakde menghadapi mereka sendirian,” ucapku. “Jangan sombong, kalau aku mau aku bisa membawa prajurit andalanku,” balas Pakde. “I—iya benar mas Putra! Jangan nekad, kasian Nyai,” ucap Taryo. Sekilas ucapanya memang masuk akal. Tapi dari beberapa kejadian yang kualami selama ini, aku yakin ada alasan Pakde Aji datang ke desa ini seorang diri. “Nggak gitu, ada alasan kenapa Pakde Aji datang ke sini sendiri. Mungkin Panglima Brasma bisa dipercaya, tapi belum tentu prajurit dan anak buah lainya bisa dipercaya.. semua ini terlihat begitu kabur,” jawabku.

“Jadi kamu sudah bisa berpikir sampai ke situ?” Tanya Pakde. “Saya bukan diantara prajurit-prajurit itu. jadi Pakde bisa percaya penuh sama saya,” ucapku berusaha meyakinkan Pakde aji. Pakde Aji menatap mataku, sepertinya ia membaca niatku untuk segera menghentikan perbuatan prajurit-prajurit yang keji ini. “Ya sudah, tapi ada satu syarat. Bila keadaan semakin bahaya, bahkan bila nyawaku terancam, segera melarikan diri dan jangan pedulikan apapun termasuk nyawaku.. paham?” ucap Pakde. “Ta—tapi?” “Syarat itu tidak bisa ditawar! Jika tidak bersedia lebih baik kau tinggal di sini,” ucapnya. Aku berusaha mengerti niat baik dari syarat itu. semoga saja kami tidak akan bertemu keadaan seperti itu. Kuda kamipun siap, beberapa warga membawakan bekal untuk kami. Sedari tadi aku melihat Taryo sempat menghilang, namun saat akan berangkat ia tiba-tiba menghampiriku dengan terengah-engah. “Sudah.. sudah kupamitkan pada Ibumu. Ini titipan dari ibumu,’ Ucap Taryo sembari mengatur nafasnya. Sebuah tas kain berisi perlengkapanku aku terima dari Taryo. Ada beberapa bungkus daun pisang yang berisi masakan ibu dan sebuah pedang pemberian panglima Mardaya. “Taryo, bisa-bisanya kamu. Kakimu itu lho belum pulih,” balasku. “Sudah, nggak usah dipikirin. Kalau kakiku bisa dikorbankan untuk menambah kemungkinanmu untuk selamat, aku ga bakal mikir,” ucap Taryo. Aku tersenyum mendengar niat baiknya. Akupun memeluknya dan menepuk punggungnya untuk berpamitan. Iapun melepaskan kepergian kami dengan duduk di tanah meluruskan kakinya sembari terengah-engah mengatur nafasnya. “Teman yang baik,” ucap Pakde. Aku mengangguk menatap bekal yang kubawa. Setelahnya akupun membiasakan diri untuk mengendarai kuda yang kugunakan dan bergegas menuju sebuah hutan yang ditunjukkan oleh prajurit itu. Hampir setengah hari perjalanan untuk mencapai tempat yang dimaksud. Langit sudah malam, Pakde sudah bersiap dengan bawaanya untuk membuat obor. Kuda kamipun kami parkir di pinggir sungai yang cukup jauh. Sebenarnya ini bukan hutan yang terpencil. Ada desa di dekat hutan ini, tapi sepertinya warga tahu bahwa ada markas prajurit di hutan ini dan tidak berani mengusiknya. Kami berjalan perlahan melintasi hutan yang jalan nya sudah terbuka oleh langkah kuda. Dari jauh terlihat nyala api seolah ada keramaian di sana. Kamipun mendekat dan segera mematikan obor. “Yang ini enak! Aku sudah tiga hari sama perempuan ini!” terdengar suara seorang prajurit yang mendorong seorang perempuan ke prajurit lainya. “Hahaha, Brengsek kau! Habis kau pakai rasanya pasti udah nggak sama!” balas temanya itu. “Sialan, kalau nggak mau buat yang lain saja. Biar kau main sama kambing di sana” Ledek prajurit itu. Ternyata benar, markas ini lebih seperti tempat pesta. Perempuan-perempuan dimasukkan di dalam kurungan bambu dan diambil begitu saja oleh prajurit yang mulai bernafsu. Ada satu kemah tempat prajurit itu mengumpulkah harta jarahanya. Perhiasan, pakaian indah, hingga hewan ternak dikumpulkan di satu sisi. “Perhatikan patung itu…” Ucap Pakde Aji.

Aku memperhatikan ke arah sebuah patung yang dipajang di tengah kumpulan tenda-tenda markas itu. Itu patung sosok hitam besar dengan mata sebesar kepalan tangan, taringnya memanjang hingga melampaui lehernya. Berbulu, namun sebagian bulunya sudah terkoyak. Terlihat gagah namun mengerikan. Ada ubo rampe, sesaji, dan bahkan tumbal kepala kambing di sebuah altar batu tepat dihadapan patung itu. “Lanting Giri Agung..” ucap Pakde Aji. “Hah? Apa Pakde?” Tanyaku yang tidak mendengar jelas ucapan Pakde Aji. “Siluman penunggu salah satu gunung terbesar di Setra Geni, dia mampu memberi ilmu hitam pada penyembahnya,” Jelas Pakde Aji. “Berhala?” tanyaku. Pakde mengangguk. Iapun menjelaskan bahwa prajurit-prajurit itu tidak takut dengan apapun selama berada dekat dengan patung itu. Sesaji dan tumbal yang mereka berikan memberi mereka perlindungan. “Ampun! Sudah hentikan!! Sakiitt!!” terdengar suara teriakan seorang perempuan yang berlari dari dalam tenda. Bukanya berbelas kasihan, seorang prajurit berbadan besar yang bersama denganya malah menjambaknya dan membanting wajahnya ke tanah. Wanita itu setengah telanjang, ada goresan senjata tajam yang tidak sedikit di tubuh wanita itu. “Gila si Broto! kalau perempuan sudah main dengan dia, sudah pasti cacat,” gumam prajurit lain. Sayangnya mereka tidak peduli dan tetap pada kesibukanya masing-masing mulai dari membakar daging, menikmati perempuan, hingga ada yang bersemedi di depan patung itu. Jelas… aku melihat dengan jelas kekuatan hitam yang mirip dengan prajurit yang bertarung bersama pengawal Den Bira. Aku sedikit melihatnya pada prajurit yang tadi, namun tidak sepekat mereka. “Bosan!! Aku sudah bosan dengan mereka! Aku mau permainan yang lebih!” Prajurit bernama broto itu melemparkan perempuan yang sudah lemah tak berdaya itu ke tanah. Tubuhku gemetar, rasanya aku ingin segera kesana dan menghajar prajurit bernama Broto itu. tapi ia tidak sendirian, ada prajurit lain yang melakukan keluar dari kemah dan melakukan hal serupa. “Aku juga bosan dengan mereka! Lakukan yang lebih menarik!” teriaknya. Semua prajurit itupun berkumpul, mereka menyambut baik ide gila orang-orang itu. “Jangan kurung mereka! Gantung saja mereka di pohon dan kalian bebas memuaskan nafsu kalian pada mereka!” ucap Broto. Perintah itu disambut dengan riuh oleh prajurit lain. Tapi sepertinya itu bukan akhir dari perintah broto. “Setelah kalian selesai, penggal mereka dan letakkan kepalanya di altar. Mereka akan berjasa untuk kesaktian kita,” ucap Broto. Mendengar hal itu seketika suara riuh tadi berubah menjadi hening. “Broto, kau yakin?” Tanya salah seorang prajurit. “Besok kita ke desa lagi, kita cari perempuan lain lagi. kalian tidak usah pusing?” balasnya. Prajurit-prajurit itupun menatap tahanan perempuan yang sudah memohon ampun sejak tadi. Tapi seolah sudah dimakan oleh nafsu, merekapun menuruti perintah broto dan segera mengikat mereka. “Pakde, aku nggak bisa diam lebih dari ini,” ucapku dengan tangan gemetar.

“Benar, tapi jangan gegabah. Aku jelaskan rencananya,” balas Pakde. Pakdepun menceritakan rencananya untuk memancing perhatian prajurit dan menghadapi mereka dengan memanfaatkan gelapnya hutan. Di saat mereka sedang sibuk dengan Pakde, aku diminta untuk menghancurkan patung itu secepat mungkin. Setelah itu kami akan kabur meninggalkan hutan. Sepertinya tidak terlalu sulit, tapi menghadapi prajurit-prajurit ini apa Pakde Aji mampu? Sayangnya tidak ada waktu untuk berdebat, Pakde sudah bergegas di depan menuju tempat yang paling mencolok di markas itu. Aaarrrrgggh!!! Terdengar suara teriakan dari seorang prajurit yang berusaha mengikat seorang perempuan di pohon. Itu ulah Pakde, pedangnya sudah melukai kaki prajurit itu hingga ia terkapar di tanah. “Siapa itu!! Penyusup!” Teriak prajurit lainya yang menyadari kejadian itu. “Lari ke arah suara air, kalian akan menemui sungai. Tunggu tahanan yang lain dan ikuti sungai menuju desa,” ucap Pakde pada tahanan wanita yang ia selamatkan. Wanita itu mengangguk dan berlari secepat mungkin mengikuti petunjuk Pakde. Sebaliknya, kini prajurit lainya sudah menghunuskan pedang dan mencari keperadaan Pakde Aji. Mereka tidak sadar, Pakde aji bersembunyi di balik bayangan pohon dan menyerang prajurit lainya. “Arrrgg!! Hati-hati! Dia bukan orang sembarangan!” “Berapa orang?” Tanya Broto. Terdengar suara teriakan beberapa prajurit yang terluka dengan serangan Pakde. “Sepertinya lebih dari satu, tidak.. sepertinya banyak!” Jawab prajurit lain yang termakan strategi Pakde. Gila, prajurit-prajurit ini benar-benar tidak sebanding dengan kemampuan Pakde Aji. Ia benar-benar bisa mengelabui prajurit itu. Benar saja, Seluruh prajurit mengikuti perintah Broto dan meninggalkan markas untuk menyerang Pakde. Suara pedang yang beradu mulai terdengar, aku menduga Pakde sudh bertarung dengan beberapa prajurit yang tidak dapat dihindari. Aku mengambil kesempatan ini untuk menyusup ke markas. Ada sebuah kurungan yang berisi perempuan yang mereka culik. “Pergi, ikuti arah air. Kalian akan bertemu sungai yang akan mengantar kalian menuju desa,” ucapku sembari mendobrak kurungan itu dan melepaskan mereka. “Kalian siapa?” tanya perempuan itu. Aku bingung menjawab apa, namun aku benar-benar ingin membersihkan nama baik prajurit indrajaya. “Kami prajurit kerajaan Indrajaya yang akan menghukum penjahat perang seperti mereka” jawabku. Merekapun mengerti maksudku dan segera berlari mengikuti arahanku. Setelahnya aku juga melepas semua hewan ternak yang semoga saja dapat mengecoh mereka.

Terakhir adalah patung ini. Patung menjijikkan yang membuat para prajurit termakan oleh hawa nafsu. Aku menggenggam sebuah palu besar yang kutemukan di salah satu tenda perlengkapan milik para prajurit. Di hadapan patung itu aku bersiap mengayunkan palu besar untuk menghancurkanya, tapi tiba-tiba perasaanku tidak enak. Benar saja, sebuah kapak besar melayang kearahku dari salah satu sudut kemah. “Sudah kuduga, kalau ada yang diincar di tempat ini pasti adalah patung ini,” ucap seseorang yang kembali ke tempat ini. Aku kurang beruntung, dia adalah Broto prajurit berbadan besar yang ditakuti oleh prajurit lainya. “Perbuatan kalian sudah ketahuan, lebih baik kalian menyerah,” ucapku. “Hahaha, menyerah? Kami tidak selemah itu.. kami sudah sangat siap untuk menghadapi siapapun bahkan jika para patih ikut turun tangan!” Ucapnya sombong. Dia tidak berkelakar, seranganya barusan bahkan bisa menghancurkan beberapa tenda dengan sekali lemparan. Brotopun mencabut pedangnya dan berlari ke arahku. Akupun melepaskan palu yang kugenggam dan menggantinya dengan pedang yang diberikan oleh panglima mardaya. Tranggg!! Suara pedang beradu, tapi tidak seperti biasa. Aku terpental dengan serangan dari Broto. Ada kekuatan hitam menyelimuti pedangnya. Sekilas aku melihat mata Broto memutih seperti kesetanan. “Mengganggu kesenanganku hukumnya adalah mati!!” teriak Broto. Aku berusaha menghindar dari ayunan pedang broto. Bukan tanpa alasan, setiap seranganya bisa membuat tanganku terpental dan membuka pertahananku.

Aku tersudut namun aku tidak ingin menyerah. Aku mengingat sebuah serangan yang diajarkan oleh bapak untuk mengalahkan makhluk bertubuh besar. Dengan susah payah aku mengambil jarak dari Broto. Aku merunduk serendah mungkin dengan tangan yang terbuka. Tepat saat Broto bersiap menyerang, aku melesat secepat mungkin kearahnya dan mendekat sedekat mungkin di sudut terendahnya. Sebuah tebasan menebas Broto dari kaki hingga naik ke pundaknya. Darahnya bermuncratan, aku yakin seranganku cukup dalam. Seharusnya ia kesulitan bergerak setelahnya, tapi ternyata perkiraanku salah. Broto kembali berdiri dan tertawa. “Hahahaha, hebat.. seandainya kau melawan aku yang dulu pasti aku sudah kalah,” jawabnya. Aku mundur beberapa langkah. Aku terkaget saat melihat luka Broto menutup dengan cepat dengan sesuatu yang hitam menutupi luka itu. Patung itu seolah bereaksi, sepertinya kekuatan yang menyembuhkan broto berasal dari patung itu. sialnya, tubuh broto malah semakin menghitam dengan otot-otonya yang membesar. “Aarrggh.. aku mau darah! Aku mau darah!!” mata broto memutih, ia semakin bernafsu untuk membunuhku. Pedang kami kembali beradu, sekali lagi aku terpental lebih jauh. Tapi dengan cepat tiba-tiba Broto sudah berada dihadapanku sembari mendaratkan kepalan tanganya di wajahku.

Darah segar bermuncratan dari mulutku. Aku terkapar dengan sebuah pukulan dengan kekuatan yang mengerikan. “Hoeeeekkk!!” aku bergegas berdiri sementara Broto mulai mendekat ke arahku lagi. Dengan susah payah aku menahan dan menghindari serangan Broto namun aku tahu ini hanya sementara. Aku mengharapkan pertolongan dari Pakde tapi suara pedang yang beradu masih menggema dari balik bayangan hutan. Bayangan? Tunggu.. mungkin aku bisa mengikuti cara Pakde. Aku mencoba mengatur nafasku dan kembali membuat jarak. Tidak lagi mengincar Broto, tapi aku mencari titik buta darinya dan bersembunyi diantara bayangan benda yang ada di sana. “Keluar kau bocah tengik!! Kepalamu akan kupersembahkan untuk Ndoro Lanting Giri Agung!” Teriak Broto. Berhasil, ia tidak menyadari keberadaanku. Dengan hati-hati aku mengincar titik butanya dan menyerangnya dengan tajam. Aku gagal! Broto segera menyadari keberadaanku dan menendangku sekuat tenaga hingga menghancurkan sebuah tenda. Aku berusaha sekuat tenaga menahan rasa sakitnya agar tidak memuntahkan darah sekali lagi. Aku mencari pegangan untuk kembali berdiri, tapi tiba-tiba tanganku memegang benda yang aneh. Rasanya seperti menyentuh manusia, tapi terasa basah. Kepala…

Ada kepala dan bagian tubuh perempuan di sekitarku. Aku ingat, ini adalah tenda yang Broto gunakan untuk melampiaskan nafsunya pada wanita itu. Badanku lemas, tubuhku pucat melihat jasad wanita yang tercerai berai di tenda itu. dan itu tidak hanya satu. “Biadab! Ini perbuatanmu?” tanyaku menahan geram. “Khekehe… mereka hanya mainan yang rusak. Tugas mereka selanjutnya adalah menjadi makanan Ndoro Lanting giri agung,” ucap Broto. Aku terbakar oleh amarah,aku menyalurkan semua tenagaku pada pedangku dan mengayunkan ke arah Broto. Serangan kami kembali beradu, namun dengan semua tenaga yang kupunya aku bisa mengimbangi seranganya. “Manusia biadab! Kau anggap apa nyawa manusia?” Teriakku. Kini pedangku mampu mementalkan serangan Broto hingga tubuhnya terbuka, akupun menggunakan kesempatan itu untuk menusukkan pedangku ke tubuhnya. Pedangku melukai organ tubuhnya hingga darah bermuncratan dari mulutnya. “Brengsek!!!” Walaupun kesakitan tapi seketika itu juga luka broto kembali sembuh. Tapi aku tidak mau berhenti… Bahkan bila nafasku harus habis, aku akan menggunakan semua kekuatanku untuk terus menyerangnya. Tranggg!!! Sekali lagi aku berhasil membuka pertahananya dan menusuk tubuhnya dengan bertubi-tubi. “Tidak mungkin! Kau bahkan tidak bisa melukaiku!” Broto tidak percaya kalau dia akan terpojok. “Terserah!!! Berapa ribu kali kau akan sembuh, itu artinya beribu kali juga kau akan merasakan rasa sakit!!” ucapku. Aku termakan emosiku, setiap seranganku semakin cepat. Puluhan luka sudah tercipta di tubuh Broto, dan itu segera menutup. Nafasku hampir habis, sebentar lagi mungkin aku akan mati oleh serangan broto. Tapi saat aku mengingat wujud jasad perempuan tadi, aku mengurunkan niatku untuk menyerah dan menyalurkan semua tenagaku pada pedang ini. Kekuatan terakhirku kugunakan untuk menusukkan pedangku tepat di jantung Broto hingga menembus tubuhnya. Broto memuntahkan darah lagi, akhirnya nafasku habis. Aku tak mampu lagi bergerak dan terkapar di tanah. “Selesai, setelah ini aku akan pulih dan akan menghabisimu,” ucap Broto sembari tersenyum. Aku terlalu lemah untuk membalas ancamanya, wajahku memucat sepertinya aku bisa kehilangan kesadaran.

Tapi.. begitu juga dengan broto. Darahnya mengucur semakin deras, ia tidak kembali pulih. Krakkk!!! Terdengar suara batu yang pecah dari arah belakang broto. Itu adalah suara patung berhala Lanting Giri agung yang tertusuk oleh pedangku yang menembus dari tubuh Broto. Krrak… krrakk… Retakan itu menjalar hingga membuat patung itu terpecah dan jatuh ke tanah. “Ti—tidak, tidak mungkin!” ucap Broto. Ia terus memegangi pedang yang menancap di jantungnya. Ia berusaha melangkah kearahku, tapi sebelum mencapaiku, ia terjatuh dengan tatapan mata yang terus melotot tidak terima dengan hasil pertarungan ini. Berhasil? Apakah aku berhasil? Aku menolak untuk kehilangan kesadaran dan berusaha mengatur nafasku. Aku cemas dengan keadaan Pakde Aji tapi untuk berdiri saja begitu sulit. Tapi, suara riuh dan pedang yang beradu dari dalam hutan mulai menghilang. Aku tidak yakin dengan apa yang terjadi. Tapi firasatku mengatakan dengan hancurnya patung ini, prajurit-prajurit itu juga mengalami dampaknya. Entah berapa lama aku terbaring di tanah. Suara peperangan di dalam hutan sudah benar-benar menghilang. Samar-samar aku mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Aku hanya mampu menoleh kearah suara itu berasal. Sesuatu yang datang dari dalam kegelapan saat itu membuatku tersenyum. “Pakde? Pakde selamat?” Tanyaku. Iya, Pakde Aji selamat setelah menghadapi seluruh prajurit itu seorang diri. Aku yakin itu bukan sekedar kesaktian, strategi yang ia gunakanlah yang membuatnya mampu mengulur waktu hingga aku menyelesaikan tugasku. “Kerja bagus, sekarang kita harus segera pergi dari sini,” ucap Pakde. “Pakde apa kita menang?” Tanyaku padanya yang susah payah membopong tubuhku yang benar-benar sudah kehabisan tenaga. “Haha, apa ini kemenangan pertamamu?” tanya Pakde. “Kalau sama manusia iya Pakde, biasanya saya selalu dibantu orang lain,” jawabku. “Manusia? memangnya kamu pernah bertarung melawan apa lagi?” tanya Pakde Aji dengan mengerutkan dahinya. “Pakde pasti nggak percaya, aku pernah berantem sama setan penunggu bukit..” ucapku sambil sedikit tertawa. Ia menaikkan tubuhku pada seekor kuda dan membawaku pergi menerobos hutan meninggalkan hutan ini. Saati itu matahari sudah mulai terbit, kami tiba di pinggir sungai yang sudah sangat jauh dari markas itu berada. Sepertinya Pakde ingin kami beristirahat sejenak di tempat ini. Akupun terbaring di rerumputan yang lunak dan benar-benar menikmati udara pagi yang akhirnya menghantarku ke tidur lelapku.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close