Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Legenda Ki Ageng Selo (Part 45) - Ki Serang Bawa Molo


JEJAKMISTERI - Segera saat itu juga, Mas Abid langsung menemui Mbah Ibu di dapur yang saat itu sedang ikut membantu memasak soto sebagai suguhan para tamu slametan. Setelah dijelaskan sedikit, Mbah Ibu dengan langkah pelan-pelannya segera menemui Mela di salah satu kamar. Di sana, dengan penerawangan batinnya, Mbah Ibu sedikit tersentak mendapati jiwa Mela sedang ditarik oleh sesuatu. Namun ada sesuatu yang lain dari dirinya yang sepertinya menghalangi sesuatu itu menarik jiwanya.

“Astagfirullah, gadis ini...” ucap Mbah Ibu terkejut. “Panggil Wulan! Molo bakal teko.”

Tubuh Mela terasa sangat panas layaknya orang yang demam tinggi, namun di sisi lain tubuhnya juga terasa sangat dingin, layaknya orang yang sudah mati. Tak beberapa lama kemudian, Wulan datang ke kamar tempat Mela dibaringkan.

“Wulan, tolong bantu saya!” kata Mbah Ibu yang agak berteriak, “Mela dikekang oleh ketujuh unsur alam. Kalau dibiarkan saja, maka Mela akan berada dikondisi dimana dia tidaklah mati, dan tidak pula hidup.”

“Ketujuh unsur alam? Apa itu mbah?” tanya Wulan penasaran.

“Ketujuh unsur alam itu adalah elemen yang menjadi pilar bumi. Seperti api, angin, air, tanah, petir, cahaya, dan bayangan. Orang yang melakukan ini, pastinya dia adalah seseorang yang sangat sakti. Kalau saja Mela tidak memiliki jiwa spiritual yang besar dan darah keturunannya, pastinya dia sudah melebur jadi tanah. Hancur, mati, busuk, hilang,” jelas Mbah Ibu memberitahu Wulan. “Sudahlah, kita sembuhkan Mela terlebih dahulu. Wulan, aku tahu kalau dirimu masih baru belajar dari Mbok Ruqayah, namun saya harap kamu bisa bekerja sama denganku. Lakukan apapun yang kuperintahkan nanti, jangan banyak tanya, dan kalau ada sesuatu yang harus kau tahu, pastinya aku akan memberitahumu.”

“Baik, mbah!” sahut Wulan mengangguk, “Saya mengerti.”

Akhirnya prosesi penyembuhan itu dimulai. Sementara itu, balik lagi di tempat ruang tamu, di mana para tamu masih melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an. Ketika mereka sudah selesai berdoa, dan di saat makan-makan, tiba-tiba ada sebuah api yang memercik dari arah medium pagar gaib yang terpasang. Membuat api langsung merambat, mengelilingi rumah Mbah Jayos secara keseluruhan.

Dan tanpa disadari, medium pagar gaib itu meledak, menimbulkan suara keras yang membuat kaget semua orang yang ada di dalam kediaman Mbah Jayos. Hancurlah pagar gaib itu dengan mudahnya. Mendapati kalau pagar gaib yang mengelilingi rumah hancur, Pak Adi, Mbah Gel, dan Mas Abid pun keluar dari rumah dan memeriksa medium pagar gaib yang tertanam di keenam penjuru rumah bersama beberapa ustadz yang mampu merasakan hawa gaib yang dirasa kuat.

Setelah dicek, ternyata benar. Keenam pagar gaib itu sudah hancur, menimbulkan kepanikan di antara mereka semua. Bahkan dedemit-dedemit yang tadi berada di luar rumah, kini sudah menghilang entah kemana. Pak Adi memprediksi kalau dedemit itu tekanannya kalah kuat dengan sesuatu yang akan datang sehingga mereka semua kabur entah kemana.

Ketika Mas Abid dan yang lainnya kewalahan untuk memadamkan api, yang anehnya api itu tidak bisa dimatikan oleh air yang disiram oleh para penduduk sekitar. Mereka kebingungan, tak tahu harus berbuat apa. Saat kebingungan itulah, muncul seorang kakek-kakek yang usianya sama dengan Mbah Jayos, walaupun Mbah Jayos jauh lebih tua sedikit darinya. Kakek itu datang dengan membawa satu ember kecil air. “Guyur api Kala itu dengan air bekas memandikan Gong Kyai Pradah ini, dan baca basmallah terlebih dahulu. Insya’allah, api itu akan segera padam!”

“Wah, Mbah Kari. Dari kapan pulangnya?” tanya Mas Abid dan Pak Adi menceletuk kedatangan Mbah Kari, teman dekat sekaligus tetangga Mbah Jayos.

“Sudahlah kita bahas nanti hal itu. Yang penting sekarang ini kalian segera memandamkan api Kala itu dengan air itu. Bocah dan gadis itu telah memancing orang-orang yang berilmu tinggi di sekitar sini untuk datang ke mari!” kata Mbah Kari membentak.

Tanpa bertanya lagi, mereka semua yang ada di sana, segera ikut membantu dalam pemadaman api itu. Dan ternyata benar, hanya dalam sekali siraman, api Kala yang konon tidak akan bisa dipadamkan, sebelum membakar habis target dan disekelilingnya itu, bisa dipadamkan juga.

Setelah semua selesai, Mbah Kari menyuruh mereka semua untuk membuat pagar gaib baru, namun kali ini dia menyuruh mereka untuk juga menggunakan air bekas siraman Gong Kyai Pradah itu. Namun air itu telah habis digunakan untuk memadamkan api. Dengan cepat, Mbah Kari mengeluarkan ember yang mana berisi air bekas siraman Gong Kyai Pradah itu dari ruang kosong. Tak mau bertanya lagi, mereka segera membuat pagar gaib kembali dengan rame-rame.

“Ah, dengan begini beres urusan satunya,” celetuk Mbah Kari sedikit lega. “Yang satunya tinggal—“

Mbah Kari pun menarik seseorang dari ruang kosong di depannya. Yang mana itu adalah Nyai Pancasukmana. Nyai itu terkejut melihat Mbah Kari mampu merasakan dan menariknya dari alam kegaiban menuju alam manusia. “Kamu itu jangan macem-macem sama orang Balitar, Cah Ayu. Di sini itu tempat kumpulnya orang-orang hebat. Semua orang yang punya darah keturunan raja-raja kerajaan dan orang sakti di nusantara ada di sini,”

“Kamu itu siapa? Bagaimana bisa kamu tahu hawa kehadiranku, dan bagaimana kamu bisa menarikku keluar dari istanaku?!”

“Lha kamu itu siapa? Aku bisa merasakan niat busukmu itu, Cah Ayu. Kau datang ke sini ingin menculik bocah cilik cecetnya Mbah Jayos, kan? Nah, dari situlah aku bisa merasakan niat busukmu dan mampu menarikmu dari istana kunomu itu!” jelas Mbah Kari yang terlihat santai menghadapi ratu dedemit berbentuk setengah ular ini.

Mendapati nasibnya kini berada di tangan kakek tua itu, “Bedebah kau, manusia nista!!”

“Ealah, yang derajatnya lebih tinggi siapa? Yang nista siapa? Janganlah kamu putar-putar statusmu itu di hadapan makhluk yang lebih tinggi darimu, cah ayu!” jawab Mbah Kari yang begitu tenang.

Dengan cepat, tanpa dikomando, dari alam kegaiban istana ular muncul banyak sekali siluman-siluman ular yang berdatangan ke rumah Mbah Jayos. Mereka semua begitu terheran-heran begitu melihat ratu mereka sudah menghilang, yang mana nyatanya kini berada di genggaman tangan Mbah Kari.

“Ratu Pancasukmana!” kata patih Trenggolo, mendapati ratu mereka tengah berada dalam cekikan Mbah Kari. “Kamu manusia nista, cepat lepaskan ratu kami atau...”

“Atau apa...?” Mbah Kari langsung menatap patih Trenggolo itu dengan tatapan yang begitu mengerikan. “Kamu mau menantangku, bocah ganteng?”

Patih Trenggolo itupun menelan ludahnya sendiri mendapati tatapan yang sangat mengerikan itu. Dia berserta para pasukan siluman ular yang lain perlahan demi perlahan mundur tak kuasa melihat tatapan yang mengerikan itu. “Apa yang kamu lakukan, Trenggolo? Kemari dan bebaskan aku dari cengkeraman kakek tua ini!”

***

Balik lagi di mana Wulan dan Mbah Ibu saat ini. Mereka yang mendengar kegaduhan itu, saling bertanya-tanya siapakah orang yang telah menciptakan kegaduhan tersebut. Namun, meski begitu Mbah Ibu melarang Wulan untuk meninggalkan tempat ini karena mereka berdua masih dalam proses penyembuhan.

Mela masih menahan sakitnya karena jiwanya dikekang oleh tujuh unsur alam. Sampai napasnya berhenti tiba-tiba. Tentu saja hal ini membuat Wulan panik, namun Mbah Ibu mencoba menenangkannya. “Kau nggak perlu takut... yang berhenti hanyalah pernapasannya, bukan jantungnya!”

“Tapi bukankah kalau napas berhenti itu tandanya dia sudah mati, nek?” tanya Wulan was-was.

“Tahu dari mana kamu!?” kata Mbah Ibu sedikit membentak. “Jikalau pengetahuan ilmu medismu dari masa depan seperti itu, maka penelitian tentang medis di zamanmu benar-benar merosot jauh dari zamanku yang serba sederhana ini, nak!”

Mendapati ketakutan dari muka Wulan, Mbah Ibu sedikit mengendorkan amarahnya. “Ya sudah, sebaiknya kamu panggil siapa itu... ah, eh... Feby untuk ikut membantu. Dia juga bisa membuat napas buatan, kan?”

Dipanggilah Feby untuk datang ke ruangan tempat Mela dirawat. Dengan intruksi dari Mbah Ibu, Feby mengangguk dan langsung menjalankan apa yang diminta oleh Mbah Ibu, yaitu memberi napas buatan. Sementara itu, Wulan kembali mengikat ketujuh inti tubuh Mela dengan daun bidara yang telah dibungkus dengan kain mori.

Mbah Ibu segera membuat lingkaran dengan tinta warna merah, lalu di tengah lingkaran itu dia menulis rajah-rajah putih yang setelah selesai ditulis, rajah-rajah putih itu seperti bercahaya. Mbah Ibu meminta Feby dan Wulan untuk membaringkan Mela di tengah lingkaran tersebut.

Setelah tubuh Mela dibaringkan di tengah lingkaran rajah putih, seluruh tubuhnya meregang, matanya terbuka, melotot ke atas, menjerit keras seketika, sampai terdengar ke luar suara jeritannya. Ketika ia sudah mulai lemas, dari tujuh titik yang dipasangi oleh daun bidara ditutupi oleh kain mori itu pun keluar paku yang bermacam-macam bentuk. Ada paku dari tanah, paku dari air, paku dari api, paku dari angin, paku dari petir, paku dari cahaya, dan paku dari kegelapan. Semuanya keluar bergilir dan pelan-pelan, sehingga rasa sakitnya bagaikan setengah dari dicabut nyawanya.

“Syukurlah, masih sempat. Alhamdulillah,” kata Mbah Ibu sedikit lega. “Kalau saja si pengirim bisa membaca mantra Septo Tapo itu lebih cepat, pasti akan fatal jadinya.”

“Anu, menurut nenek siapa yang bisa dan tega melakukan hal ini padanya?” tanya Feby sedikit penasaran. “Apakah di sini ada orang yang benci padanya, nek? Kami semua kan berasal dari masa depan, kenapa seseorang dari masa lalu sampai repot-repot melakukan ini semua pada salah satu kelompok kami?”

“Iya, nek. Sebaiknya nenek kasih tahu ke kami supaya kami bisa mengerti!” tambah Wulan.

“Zaman ini tidaklah sama dengan zaman kalian yang sudah damai, cah ayu. Di sini masih penuh dengan peperangan gaib, seperti perang santet, perang jin, dan lain sebagainya,” jelas Mbah Ibu sedikit mengambil napas. “...dan keluarga gadis ini, memang sedari dulu selalu diincar sebagai pelampiasan dendam-dendam terhadap orang-orang yang sedari dulu mereka sakiti. Dan saat ini, kebetulan ada salah satu orang yang mengetahui kalau gadis ini adalah putri dari keluarga terkejam itu, dan ingin menuntut balas kepada gadis ini, karena hanya gadis ini seorang saja yang bakal menghancurkan kehidupannya si penyantet ini kelak dan bertepatan dengan itu, si penyantet tahu mengenai kelemahan dari gadis ini.”

Mendengar sedikit kisah dari Mbah Ibu, sedikit membuat mereka berdua berempati pada Mela. “Lalu, sebaiknya kita harus gimana nek? Misi kami di test of faith ini masih 40 hari lagi, dan semakin ke sini... rintangannya semakin sulit dan sulit, bahkan hampir membahayakan nyawa kami semua?”

***

Balik lagi di mana Mbak Kari saat ini tengah berurusan dengan para dedemit siluman ular yang kini ratunya telah ia cekik di genggamannya. Ketika Mbah Kari dan yang lainnya lengah, tiba-tiba ada yang melempar tiga buah jarum tipis ke arah tangan Mbah Kari. Tentu saja secara reflek, Mbah Kari langsung melepaskan cekikannya pada Nyai Pancasukmana dan menghindar ke belakang.

“Siapa itu?” tanya Mbah Kari, Mas Abid, Mbah Gel, dan Mbah Adi sambil menoleh ke arah jalan yang berada 4 meter di depannya. Dan di seberang jalan itu ada seseorang yang usianya kira-kira 40 tahunan. Dia menatap keempat orang itu sambil menyeringai. “Kamu...?”

Pria paruh baya itu segera berjalan mendekat ke arah mereka semua. Dia pun juga menatap ke arah Nyai Pancasukmana dan patih Trenggolo sambil mendecih sombong. Setelah puas dia mengalihkan pandangannya ke arah rumah Mbah Jayos sambil menerawang. “Ah, ternyata ‘gadis’ itu mendapat bantuan, ya? Ehm... bukan omong kosong belaka kalau nenek tua itu mendapat julukan Renggolo Tunggal dari mahaguru,”

“Ki Serang, mau apa kamu kemari? Bukankah saat ini kamu telah dikutuk dan dihukum oleh kyai Mustofa untuk tidak bisa meninggalkan pantai Serang untuk 39 tahun ke depan!?” tanya Mbah Adi tak percaya. Soalnya Ki Serang dengan Mbah Adi adalah satu rekan dulu, sampai kyai Mustofa meregang nyawa di tangan muridnya itu. “Aku tidak percaya kalau kamu bisa mengeluarkan diri dari cermin Pasopati!”

Mendengar wajah Mbah Adi yang penuh dengan keterkejutan, Ki Serang pun akhirnya menjawab, “Memang, aku sampai saat ini masih terkurung di cermin Pasopati yang berada di dalam gua sebelah barat pantai Serang. Namun, sebelum disegel oleh kyai Mustofa, aku melakukan penggandaan diri berkat ilmu Pasopati yang aku pelajari dari kitab Septo Tapo.”

“Apa yang kamu inginkan, Ki Serang? Kenapa kamu datang? Setiap kali kedatanganmu, pasti akan membawa sebuah molo yang mengerikan,” kata Mbah Adi kepada Ki Serang. Namun, sepertinya dia enggan menjawab pertanyaan bertele-tele seperti itu.

“Serahkan gadis itu! Kalau kamu serahkan putri keluarga Immas itu, aku berjanji akan segera pergi dari tempat ini tanpa menimbulkan kerusakan yang jauh lebih merusak,” bentak Ki Serang menggema. “Kamu... siapapun yang ada di dalam, serahkan gadis berdarah Immas itu ke hadapanku. Jikalau tidak, jangan salahkan aku akan memporak-porandakan kampung ini, sampai tidak ada yang tersisa satupun jiwa yang hidup!!”

Ki Serang mendengus, yang mana dengusannya langsung menghancurkan keenam pilar pagar gaib yang terpasang di rumah Mbah Jayos. Setelah itu terjadilah kekacauan di dalam rumah, sehingga membuat orang-orang yang ada di dalam rumah berhamburan keluar, mencoba melarikan diri dari situasi kacau.

Mbah Adi dan Mbah Kari menyuruh orang-orang untuk kembali masuk ke dalam rumah, namun kebanyakan dari mereka sudah terlanjur panik dan berhamburan bagai anai-anai yang beterbangan. Yang mana kondisi ini segera dimanfaatkan oleh Ki Serang, yang langsung membunuh satu demi satu orang-orang yang tak menghiraukan peringatan mereka berdua.

Untuk menghadapi Mbah Adi dan Mbah Kari, Ki Serang mengeluarkan dedemit laut yang besar dan kuat untuk menghadang mereka berdua menyerangnya.

Saat itu, Nyai Pancasukmana dan patih Trenggolo beserta para pasukannya menghilang. Pastinya mereka semua mengambil kesempatan untuk melarikan diri saat terjadi kekacauan itu.

“Biadab kamu, Ki Serang!!” umpat Mas Abid.

“Eh? siapa kamu? Bocah jangan kebanyakan gaya. Aku sentuh pundakmu, mati kamu!” jawab Ki Serang sedikit mengancam.

Mas Abid dan Mbah Gel segera maju untuk menghadapi Ki Serang. Sedikit meremehkan kekuatan lawan, Mas Abid mampu mendaratkan pukulan ke arah perut Ki Serang sampai jebol dan ususnya terberai. Mbah Gel jauh lebih gila lagi, dengan memutar tangannya tepat di dada Ki Serang, dia bisa mencuri jantung Ki Serang itu, membuat Ki Serang terduduk segera.

“Cih! Bocah-bocah ingusan!!!” umpat Ki Serang kesal melihat kemampuan kedua remaja itu tak bisa dianggap remeh. “Kalian boleh juga untuk seukuran bocah. Namun, sewaktu seusia kalian, aku sudah melampaui apa yang namanya keabadian!”

Tiba-tiba jantung dan usus yang dipegang oleh Mbah Gel dan Mas Abid itu berubah menjadi duri-duri, mirip landak yang langsung menusuk tangan kanan mereka sampai terluka parah dan berdarah. Sebelum mereka tewas karena luka itu, Mbah Ibu keluar yang langsung menendang tubuh Ki Serang yang ambruk itu dan menebas jantung dan usus yang dipegang kedua cucunya dengan parang. Tak lupa juga, ia mengobati luka-luka itu sebelum luka itu membunuh mereka berdua.

Ketika kondisi sudah semakin tak kondusif lagi, dari langit terdengar suara raksasa yang menggema. Suara itu seperti sedang mengobrol dengan Ki Serang melalui telepati. Namun, saat itu semua orang yang ada di sana mampu mendengar dan merasakan suara mengerikan itu.

“Hahaha... wah, kelihatannya kamu di sini sedang bersenang-senang ya, Ki Serang,” kata suara misterius itu. “Di sini sangat membosankan, menghadapi keenam sosok yang lemah dan tua rengkih pula. Aku ingin ke sana juga dan menikmati pertarunganmu itu!”

“Ahh.., jangan-jangan..” seru Mbah Kari dan Mbah Adi.

Tiba-tiba dari dimensi lain, keluar kaki raksasa yang besarnya sekitar 20-30 meter, menghujam keras tepat di jalan depan rumah Mbah Jayos. Dari sana pula keluar tangan yang mana langsung melempar keenam sosok sampai menghempas membentur pintu rumah, sampai pintu itu hancur. Tidak salah lagi mereka adalah Mbah Jayos, Mbah Bakrie, Mbok Ruqayah, si Sorban hijau, Balasadewa, dan Ninggolo Geni.

Dan ternyata yang melempar mereka semua dan pemilik suara itu adalah Pasopati sendiri.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close