Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Legenda Ki Ageng Selo (Part 44) - Akhir Pegunungan Leso


JEJAKMISTERI - Keadaan di pegunungan Leso semakin rumit, tatkala para demit Cakar Mayang jumlahnya semakin banyak, mengepung Ninggolo Geni, Balasadewa, dan sorban hijau itu. Setiap kali demit Cakar Mayang itu dikalahkan, pasti dari jasadnya keluar 77 sosok Cakar Mayang yang lain, membuat ketiganya kewalahan, apalagi sekarang mereka harus mengatasi serangan Ruqayah kecil dari kejauhan.

Sehingga dalam sekali hempasan tenaga dalam Ruqayah kecil dari kejauhan, mereka bertiga terpental sampai menubruk batu.

“Guah...!” umpat ketiganya setelah mulut mereka berdarah dengan darah hitam, kecuali si sorban hijau. “Aku tak menyangka dengan kekuatan kita bertiga sampai harus kewalahan seperti ini.”

“Ha ha ha...! ternyata kalian bisa dengan mudah masuk ke dalam perangkap, Balasadewa, Ninggolo Geni, dan kamu, sorban hijau,” kata Ruqayah kecil sumringah. “Aku tak menyangka kalau sosok sehebat seperti kalian bisa dengan mudah masuk dalam jebakanku. Ha ha ha!”

Ruqayah kecil pun mencoba mendekati ketiganya dengan didampingi oleh beberapa demit Cakar Mayang bawahannya, namun ketika dia hampir sampai dan mengakhiri nyawa ketiganya, tiba-tiba di samping tubuh Ruqayah kecil yang mana ada sebuah batu besar kayang langsung meledak hingga berkeping-keping, membuat Ruqayah kecil juga terpental ke samping, sementara para demit Cakar Mayang yang mengawalnya langsung hancur berkeping-keping.

“Cih! Siapa lagi yang menganggu!?” keluh Ruqayah kecil mengumpat.

Tiba-tiba muncul ketiga sosok yang tua rengkih di hadapannya. Melihatnya, membuat amarah Ruqayah kecil memuncak. Dia melihat dua orang yang mengurungnya di Pegunungan Leso ini, dan satunya lagi adalah sosok dirinya yang kini terlihat sudah sangat tua.

“Wah, wah... ada apa ini?” ucap Ruqayah kecil sarkas. “Tak kusangka aku akan bertemu kembali dengan kedua bajingan yang telah mengurungku di tempat ini... dan ternyata ‘aku’ yang sekarang sudah begitu tua, ya?”

“Halo, Ruqayah kecil. Sudah puluhan tahun kita tak bertemu, namun dirimu masih bocah seperti ini,” kata Mbah Bakrie mengejek dengan sedikit senyuman. “Aku tak menyangka kalau dirimu berani memunculkan wujudmu dihadapan cucu-cucuku. Mari kita akhiri hal ini kali ini dan selamanya!”

“Cuih, orang tua!! Emang ilmumu sudah sampai mana berani menantangku seperti itu. Kalau saja dulu aku tidak lengah, pastinya dirimu sudah berhasil aku habisi!!” jawab Ruqayah kecil mengumpat, mendendam kepada orang-orang itu.

Melihat tingkah Ruqayah kecil, membuat Mbah Jayos tersenyum. Dia pun maju sambil mengeluarkan tongkat Cokropati miliknya. Melihat tongkat itu, mata Ruqayah kecil terbelalak. Tongkat Cokropati mengeluarkan api dari ruang kosong yang langsung membakar seluruh demit Cakar Mayang, yang anehnya demit-demit Cakar Mayang itu tidak bangkit lagi, sama seperti saat Balasadewa, Ninggolo Geni, dan si sorban hijau itu.

“Cih, tongkat Cokropati!?” umpat Ruqayah kecil.

“Bagaimana, Ruqayah kecil? Masih berani?” tanya Mbah Jayos mengejek. “Kalau kamu mau menyerah, maka kami tidak akan melakukan apapun untuk menyakitimu, apalagi kamu masih bocah. Ha ha ha...!”

Semakin membaralah api amarah Ruqayah kecil mendengar ledekan seperti itu. Dia pun segera menyerang kedua orang yang berada di hadapannya. Namun, dengan hentakan tongkat Cokropati, membuat Ruqayah kecil itu mental sangat jauh.

Belum sempat Ruqayah kecil bangkit, tiba-tiba di depannya muncul Ruqayah asli yang menatapnya dengan senyum keji.

“Halo, bayanganku,” kata Mbok Ruqayah sinis. “Andaikan aku belum bertaubat. Pastinya aku akan membunuhmu dan mengambil kekuatanmu kembali, namun aku sudah bertaubat sekarang... oleh karena itu, kembalilah padaku.”

“Jangan harap!” Ruqayah kecil langsung menyerang Mbok Ruqayah, namun Mbok Ruqayah terlihat santai diam saja. “Karena dirimu... karena kalian semua, aku harus terkurung di sini untuk selamanya. Mati kau!!!”

Mbok Ruqayah mengacungkan telunjuk ke arah Ruqayah kecil yang tengah menyerangnya, tiba-tiba Ruqayah kecil itu berubah menjadi sebuah orb yang langsung berpindah ke telapak tangan Mbok Ruqayah. Kemudian Mbok Ruqayah langsung memakan orb itu.

Melihatnya, membuat Balasadewa, Ninggolo Geni itu terpaku. Mereka tak menyangka kalau kekuatan dari sosok tua dan rengkih itu mampu mengeluarkan kekuatan yang sangat besar. “Beres juga sekarang...”
“Apa sudah selesai?” tanya Mbah Bakrie.

“Sudah, dengan begini tinggal menyegel gerbang gaib Pasopati. Mungkin dengan bantuan ketiga sosok gaib itu, kita mampu untuk menutup gerbang gaibnya kembali,” jawab Mbok Ruqayah datar. “Tinggal sejam lagi gerbang itu akan terbuka. Kita berenam harus segera menyegelnya kembali!”

Namun, sebelum mereka melangkah, tiba-tiba bulan yang sebelumnya berwarna merah itu berubah menjadi samar-samar transparan dan langit pun menggelap. Inilah waktunya gerbang gaib kerajaan Pasopati muncul di Pegunungan Leso.

Setelah itu, bulan purnama yang menggelap itu kini pun menghilang dibarengi dengan suara kekelawar yang sangat keras, bersamaan dengan itu, seluruh penjuru Pegunungan Leso tiba-tiba terjadilah sebuah gempa yang sangat dahsyat, membuat panik keenamnya.

Sepertinya perkiraan Mbok Ruqayah mengenai kemunculan gerbang istana Pasopati sangat terlambat, karena kemunculan gerbang itu jauh lebih cepat daripada yang dia kira. Panik, takut, dan sebagainya, mereka segera menyiapkan keperluan untuk ritual penyegelan sebelum pintu gerbang itu muncul di hadapan mereka.

***

Scene berpindah ke rumah Mbok Ruqayah yang mana malam itu sedang diadakan slametan sambil potong tumpeng, sebagian ustadz memimpin prosesi doa, sementara yang lain ikut membantu membuatkan pagar-pagar gaib di sekeliling rumah. Mereka semua meyakini kalau bakal banyak sekali demit-demit yang akan menyerang tempat ini karena dendam dan kebencian mereka kepada Mbok Ruqayah dan Mbah Jayos, apalagi saat ini mereka sedang tidak ada di rumah.

Dan benar saja, setelah mereka selesai memasang pagar gaib, muncul ratusan demit-demit yang terlihat murka melihat mereka. Demit-demit itu seperti Pocong, Kuntilanak, Banaspati, Gawur, Gagulung, demit tanpa kepala, dan sebagainya. Menurut penjelasan dari Mbah Adi, mereka adalah demit-demit yang menaruh dendam terhadap keluarga Mbah Jayos, walaupun banyak juga demit-demit yang datang ke mari karena terpancing oleh aura Nimas Ayu yang ada di dalam rumah.

“Astagfirullah, apa itu?!” ucap para ustadz yang berada di luar kaget. “Ya Allah, itu memedi.”

“Bapak-bapak, tolong segera masuk ke dalam rumah dan ikut memimpin doa dan tolong jangan pedulikan mereka. Mereka tidak akan pernah mampu menembus pagar gaib ini, Insya’allah!” ujar Pak Abid yang menyuruh para ustadz yang ada di luar itu untuk masuk.

Benar saja, setelah mereka masuk ke dalam rumah, dedemit-dedemit itupun bergerombol mencoba menembus pagar gaib yang dipasang di seluruh rumah dan syukurnya tidak ada satupun dari mereka yang sanggup menembus pagar gaib tersebut.

Di dalam rumah, Wulan, Feby, dan Mela lagi bantu-bantu menyiapkan makanan buat para tamu undangan, tumben kali ini Mela mau membantu orang lain, walaupun hanya remeh temeh seperti ini.

“Tumben kamu mau bantu, Mel?” tanya Cici sedikit sinis. “Biasanya kan kamu cuman diam dan tak melakukan apapun selain PDKT sama kak Umam,”

“Ara, seberapa buruknya aku di matamu?” jawab Mela terkekeh sambil membalikkan pertanyaan Cici. “...Kalau kamu gimana? Bukankah kamu pernah menjadi beban saat disirep palasik itu, hm?”

“Kamu!?”

“Hentikan! Kalian berdua tolong diam. Kalian berdua mengganggu acara selametan ini,” bentak Feby keras. “Kalau tidak ada yang bisa bekerja sama, sebaiknya kalian pergi saja deh. Kasihan yang lain!”

Mendengar bentakan Feby membuat keduanya kembali diam, tertunduk. Mereka baru pertama kali melihat Feby semarah itu. Cici adalah orang pertama yang sadar duluan setelah kembali dari pegunungan Leso.

Beberapa saat kemudian, saat mereka bertiga terdiam, tiba-tiba Mela merasakan hawa yang sangat kuat akan segera datang. Dia menyuruh keduanya untuk tetap diam dan membaca doa-doa pengusir jin dan iblis yang mereka bisa. Mela juga menyuruh setiap ustadz dan para hadirin untuk terus melantunkan ayat-ayat suci, walaupun acaranya sudah hampir selesai lewat telepati ke Mas Hadi.

“Molo bakal teko,” kata Mela berkeringat dingin.

***

Balik lagi di tempat Mbok Ruqayah, Mbah Jayos, Mbah Bakrie, dan ketiga sosok gaib lainnya yang kalang kabut mendapati gempa yang sangat keras itu. Gempa yang sangat keras itu, membuat mereka berenam tak sanggup menyiapkan persiapan ritual penyegelan, sehingga sekitar dua puluh menit kemudian, sebuah gerbang emas penuh darah dan tengkorak hitam muncul di hadapannya.

“Sial! Kita terlambat,” umpat Mbok Ruqayah sambil menggigit bibir tuanya. “Sekarang kita tak ada cara lain lagi selain menghadapi raja jin itu dan kemudian menyegelnya kembali di istananya!”

“Tenanglah Ruqayah! Kita harus tenang dalam kondisi seperti ini, atau kita bakal terjebak dalam permainan setan,” tegur Mbah Jayos yang mencoba menenangkan Mbok Ruqayah.

Mbah Bakrie menancapkan tongkat putih yang dililit oleh kain mori itu ke tanah. Dengan begitu, muncullah sebuah lingkaran seluas 3 meter. Mbah Bakrie meminta semuanya untuk masuk ke dalam lingkaran tersebut. Tanpa ragu-ragu sedikitpun, mereka berlima pun masuk ke dalam. Di sana mereka duduk bersila sambil membacakan doa-doa atau aji-aji yang mereka ketahui. Dan ketika selesai membaca doa dan aji, gempa dahsyat itupun akhirnya berhenti, dan membuat mereka sanggup untuk melihat gerbang gaib itu dengan kondisi normal.

Ketika mereka sudah siap di posisi mengelilingi gerbang gaib itu, tiba-tiba muncul sebuah tangan raksasa dari gerbang gaib tersebut. Ukurannya kira-kira 30-37 meteran. Sudah bisa dibayangkan seberapa besar sosok yang akan muncul nanti.

Tiba-tiba muncul sebuah aungan sosok naga yang keluar dari gerbang gaib itu. Ninggolo Geni sempat merasakan aura mengerikan yang menjalari tubuhnya, Balasadewa meminta Ninggolo Geni untuk bertahan dan jangan dengarkan suara aungan itu. Karena Ninggolo Geni adalah memedi yang usianya belum terlalu tua, yaitu sekitar 150 tahunan, membuatnya tergeletak lemas.

“Cih! Aku tak menduga kalau anaknya begitu lemah,” umpat Mbok Ruqayah kesal. Sejujurnya dia pernah bertarung dengan ibunya Ninggolo Geni, yang bernama Cakramaya. “Tapi kita tak punya pilihan lain selain mengandalkannya. NINGGOLO GENI... BANGUN!!!”

Mendengar bentakan Mbok Ruqayah, Ninggolo Geni pun langsung bangun. Dia sudah ketakutan mendengar bentakan dari nenek tua itu, bahkan melebihi ketakutan dari aungan naga itu.

“Kamu bisa bekerjasama tidak sih?” tanya Mbok Ruqayah getir.

“Maaf-Maaf,” jawab Ninggolo Geni. “Aku tadi hanya kaget. Apa yang harus kulakukan?”

“Kembalilah ke posisimu. Pasopati akan segera muncul. Kita harus segera menyegelnya kembali saat dia baru menginjakkan kaki ke pegunungan Leso. Mengerti?” ujar Mbah Bakrie.
Mengerti, Ninggolo Geni kembali duduk bersila di posisi semula sembari membaca aji-aji yang ia mampu.

Tak beberapa lama kemudian, muncul sebuah suara yang menggelegar, diikuti oleh munculnya ratusan demit Cakar Mayang lainnya. Mbok Ruqayah dan yang lainnya hanya terdiam, bersemedi tanpa menghiraukan demit-demit itu.

“GHAHAHAHA... HAHAHAHA.... AKU BEBAS!!!” suara Pasopati menggema ke seluruh penjuru dimensi kegaiban. Dedemit dari seluruh penjuru dunia kegaiban menjerit keras dan berkumpul mengitari tubuh Pasopati. “Ahh... ternyata aku sudah disambut oleh para abdi dedemitku. Oh, ada Ruqayah, Jayos, dan Bakrie rupanya. Hahaha~!!”

Melihat Pasopati yang sudah keluar, Mbok Ruqayah, dan kelimanya membuka matanya kembali. “Sudah lebih dari 92 tahun kita terakhir bertemu, Pasopati... Bagaimana kabarmu setelah terkurung di sana oleh ketiga Mahaguru, hm?”

“Ha ha ha... aku baik-baik saja, malah tambah sakti berkat dendam dan kebencianku kepada ketiga orang itu. Mana ketiga Mahaguru itu? Kok yang kutemui hanya kalian berenam,” jawab Pasopati tertawa menggema sambil mengalihkan pertanyaan.

“Sayang sekali ketiga Mahaguru telah tiada,” ujar Mbah Jayos ketus. “Mereka semua dipanggil oleh Yang Maha Kuasa setelah bertarung dengan Nimas Ayu dan iblis-iblis yang mengikutinya.”

Ketika mendengarnya, membuat senyum tipis terpancar dari mulut Pasopati. “Tak kusangka ketiga orang sakti itu tak bisa untuk melawan waktu. Ha ha ha~!!!”

Tanpa diperintah, tiba-tiba demit-demit Cakar Mayang dan para demit lain yang mengelilingi Pasopati itupun menyerang. Tanpa bergerak sedikitpun, mereka berenam seperti sudah terlindungi akan sesuatu, demit yang menyentuh pelindung itu, langsung terbakar menjadi abu.

Setelah demit-demit yang menyerang itu musnah, mereka berenam pun bangkit sambil mengeluarkan gaman mereka masing-masing. Ada yang berupa keris, ada pedang api, ada yang berupa kubus giok. Pusaka-pusaka itu adalah pusaka buatan satu orang, yaitu Cokropati. Melihatnya, Pasopati sedikit terkejut mendapati ketiga pusaka sakti dari dua belas pusaka Cokropati di hadapannya. Namun, dengan sekali endusan, membuat keenam sosok itu pun terhempas jauh. Mereka berenam masih bukanlah tandingannya.

Tak mau menyerang, mereka berenam melayang kembali menyerang dada Pasopati yang berada sangat jauh dari tanah itu, dengan mudahnya pula Pasopati mampu menghempas mereka dengan sekali tamparan tangannya yang sangat besar.

Mereka mengaduh, untuk beberapa saat mereka tidak bisa bergerak, apalagi mereka sudah terlalu tua untuk melawan sosok raja jin dengan tenaganya yang sudah sangat lemah.

“Kalian sudah terlalu tua untuk memuaskanku, jadi tahu dirilah!” tukas Pasopati yang sedikit meremehkan kekuatan keenamnya. “Sekarang aku akan mengirimkan bawahan-bawahanku untuk menuntut balas kepada manusia-manusia yang ada di atas sana. Sayangnya, aku masih belum bisa keluar dari alam kegaiban ini karena perjanjian itu!”

***

Balik lagi ke rumah Mbah Jayos di mana semua kekacauan tengah terjadi. Mela terduduk, sambil menggigil karena sesuatu. Feby dan Wulan mengernyitkan dahi pertanda heran. Tidak biasa gadis seperti Mela bisa ketakutan seperti itu.

Belum sempat Feby menanyakan maksudnya tadi, dari arah ruang keluarga, muncul Mas Abid yang ingin memastikan sesuatu ke Mela langsung, namun saat Mas Abid menyentuh pundak Mela, tak tahu mengapa Mela langsung tersungkur pingsan.

“Mel, Mela...” ucap Feby cemas. “Sadar Mel, sadar!”

Mas Abid kemudian mengecek denyut nadinya, terasa begitu dingin namun masih berdetak. “Bawa dia ke kamar, biar aku panggilkan Mbah Ibu untuk merawatnya.”

Segera saat itu juga, Mas Abid langsung menemui Mbah Ibu di dapur yang saat itu sedang ikut membantu memasak soto sebagai suguhan para tamu slametan. Setelah dijelaskan sedikit, Mbah Ibu dengan langkah pelan-pelannya segera menemui Mela di salah satu kamar. Di sana, dengan penerawangan batinnya, Mbah Ibu sedikit tersentak mendapati jiwa Mela sedang ditarik oleh sesuatu. Namun ada sesuatu yang lain dari dirinya yang sepertinya menghalangi sesuatu itu menarik jiwanya.

“Astagfirullah, gadis ini...” ucap Mbah Ibu terkejut. “Panggil Wulan! Molo bakal teko.”

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close