Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

GEGER MUSTIKA (Part 8) - Sang Panglima

Lanjutan kisah hidup seorang manusia dengan iblis yang bersemayam dalam dirinya.

Titisan Raja Siluman Ular


Sang Panglima

Hingga tibalah hari itu, hari dimana kami telah siap di tanah lapang yang luas tak ubahnya padang Kurusetra.

Prabu Wirabhumi nampak gagah dan berwibawa di atas gajah tunggangannya. Sementara para panglima telah siap dengan baju perangnya.

Sementara aku? aku adalah panglima pasukan pedang membawahi 50 orang prajurit, termasuk para prajurit kadipaten yang justru bangga punya panglima yang sudah mereka saksikan ketangguhannya.

Lalu bagaimana bisa orang awam sepertiku yang belum pernah berperang, diminta untuk memimpin prajurit sebanyak itu? Biar kujelaskan alasannya.

Kami adalah garda terdepan. Barisan pertama yang langsung bertatap muka dengan para musuh ketika pertempuran baru dimulai.

Rupanya kami adalah prajurit yang sengaja dikorbankan demi strategi perang. Bisa dibilang, kami punya peluang untuk mati lebih dulu.

Ya Allah..

Dung! Dung! Dung!

Tabuhan genderang menggema. Nun jauh di sana, pasukan kerajaan Turangga telah siap dengan kuda-kudanya yang berjingkrak.

Dan ketika matahari muncul di ufuk timur, terompet besar pun dibunyikan pertanda dimulainya sebuah perang kolosal...

TEEEEEEEEET!

URRAAAAA!

Para tentara bergerak maju. Ratusan anak panah seketika melesat beterbangan. Saat itu pula jerit kematian merajalela.

Batinku berontak. Ini bukanlah yang aku mau. Namun dalam peperangan hanya ada dua pilihan, membunuh, atau dibunuh.

Tapi aku ambil jalan tengahnya. Sebisa mungkin kuhindari membunuh orang sembari melindungi diri dengan perisai pelindung raga laksana bola gaib dimana aku berada di dalamnya.

Sejauh ini usahaku berhasil. Tak terhitung lagi berapa banyak musuh yang terkapar pingsan akibat terkena pukulan pemusnah. Tapi tak apa, asalkan mereka tak mati, rasa bersalahku sedikit bisa dikurangi.

Tapi di situ juga rasa setia kawanku terpanggil. Aku tak tega melihat teman seperjuangan yang beberapa kali terancam jiwanya. Sebisa mungkin aku bantu mereka, meski demi melakukan hal itu, tenagaku habis terkuras hingga mulai kelelahan.

Akibatnya, perisai pelindung raga mulai melemah dan berkurang kadar keampuhannya. Hingga pada satu momen, aku yang lengah akhirnya terkena sabetan pedang musuh yang berkelebat cepat menyayat lenganku.

AAAAH!

Aku menjerit kesakitan. Darah seketika mengalir. Melihatku terluka, beberapa prajurit musuh langsung merangsek hendak menghabisiku saat ini juga!

Luka itu membuatku hilang konsentrasi. Perisai pelindung raga tak lagi total melindungi. Para prajurit itu menyerangku dengan brutal. Bagaimana tidak? Membunuh seorang panglima adalah sebuah prestasi yang bisa dibanggakan.

Sebisa mungkin aku menangkis setiap serangan yang datang, hingga akhirnya sebuah sabetan pedang merobek punggungku.

AAAH!

Rasa sakitnya seketika membuatku hilang jati diri. Dua titik hitam di bawah pusarku mulai bereaksi.

Sebisa mungkin aku coba menahan agar sang iblis tak lepas dari belenggunya, tapi rasa sakit membuat usahaku jadi sulit.

Pengaruh iblis dengan cepatnya pegang kendali, lalu terjadilah apa yang sejak tadi aku hindari..

ROOOOAAAAARR!

Seketika wujudku berubah. Semua mata langsung terpana. Sebagian bergidik ngeri lalu segera menyingkir, tapi banyak pula yang malah maju hendak menghabisiku dengan pedang dan tombaknya yang terhunus.

DHUUAR! DHUUAR! DHUUAR!

Bunyi ledakan berkali-kali seiring tinjuku menemukan sasarannya. Para penyerang bertumbangan dengan tubuh hangus menghitam. Tapi itu tak menyurutkan semangat prajurit lain yang makin banyak menyerbu.

Aku pun makin menggila!

Maju kalian semua!

Diriku merangsek menyerang dengan energi meledak-ledak. Kini aku adalah iblis pencabut nyawa. Nafsu membunuhku begitu terpuaskan. Puluhan mayat bergelimpangan, tapi aku belum mau berhenti. Ini begitu menyenangkan!

Para prajuritku bersorak-sorai, mereka tak menyangka punya panglima hebat yang begitu digdaya.

Wujud ularku memang membuat mereka ngeri, tapi kenyataan kalau aku ada di pihak mereka, jelas menimbulkan euforia tersendiri.

Aksi gilaku dengan cepatnya mengundang perhatian. Sejumlah panglima perang musuh berdatangan dan berusaha untuk menaklukanku.

Beberapa dari mereka rupanya memiliki ilmu kesaktian, tapi sayangnya itu belum lah cukup. Aku adalah Yudha! Putra Naga Kanaka! Penguasa ular dan siluman ular delapan penjuru angin!

ROAAAAARRR!

Dengan cepatnya tempat itu jadi ladang pembantaian. Pasukan musuh kocar-kacir melihat panglima mereka bertumbangan.

Hingga akhirnya terompet darurat musuh dibunyikan, pertanda mereka mundur mengakui kekalahan mereka hari ini.

Debu beterbangan, lidahku menjulur dan mendesis, mataku menyala terang memandangi mayat-mayat yang menggunung.

Ayo! Mana lagi? Siapa lagi yang mau maju? Tapi tak ada yang bergerak, yang ada hanya suara rintih kesakitan dari orang-orang yang terluka.

Disaksikan begitu banyak pasang mata, kuatur nafasku mencoba kembalikan sang iblis pada penjaranya.

Hingga akhirnya hawa dingin menjalar dari dua titik hitam di bawah pusarku, pertanda aku telah kembali pada wujud manusia.

Para prajurit bersuka cita. Gegap gempita merayakan kemenangan mereka hari ini. Mereka tak henti-hentinya mengelu-elukan namaku.

Panglima Yudha!
Panglima Yudha!
Kami punya panglima sakti mandraguna!

Aku berjalan tertatih, meringis menahan perih dari luka yang menganga. Para prajurit spontan memberi jalan sembari berteriak-teriak kegirangan mengiringi langkahku sampai ke tenda penampungan.

Seseorang mengambilkan kursi, lalu air minum. Tak lama berselang, datang para tabib untuk mengobati lukaku sembari menunduk hormat.

Tentu saja semua itu membuatku risih. Tapi mau bagaimana lagi? Satu kekuatan hebat baru saja mereka saksikan.

Detik itu pula, ramai prajurit lain berdatangan. Rasa letih tak menyurutkan niat mereka untuk bertemu dan melihat sendiri sosok panglima yang begitu fenomenal tadi.

Ini sudah di luar kendali. Aku butuh ruang dan privasi untuk beristirahat. Jadi kupikir sedikit gertak sambal mungkin bisa membuat mereka menyingkir pergi.

"Heh! Saya mau istirahat dulu! Sekarang bubar! Sebelum saya marah!"

Gubrak! Gubrak!

Para prajurit itu seketika kalang kabut lalu pergi meninggalkanku seorang diri, bahkan sampai tendanya kosong. Padahal tadi penuh dengan puluhan orang.

Tapi biarlah, aku memang perlu ketenangan untuk bersemedi demi sembuhkan luka yang masih terasa perih meski sudah diobati.

Tapi yang namanya penasaran tak bisa dihalangi. Selama aku dalam semedi, bisa kurasakan begitu banyak pasang mata yang mengintip. Tapi biarlah, selama mereka tidak berisik, biarkan saja.

Menjelang malam, terdengar suara kasak-kusuk di luar sana. Aku yang baru selesai bersemedi, jadi terusik dan segera melongok untuk mencari tau.

Ternyata para prajurit bawahanku sedang duduk menunggu di luar. Rupanya mereka tak berani masuk untuk beristirahat karena takut diriku terganggu.

"Ayo, kalian masuk saja. Beristirahatlah di dalam." Pintaku pada mereka.

"Ti--tidak usah panglima, kami di sini saja. Kami takut mengganggu ketenangan panglima." Jawab salah satu dari mereka.

Aku malah jadi kasihan. Aku tau mereka lelah. Tapi kalau hanya dihimbau, mereka pasti tak mau masuk. Jadi lebih baik aku gunakan sedikit pengaruh ketenaranku tadi agar mereka mau menurut.

"Sekarang juga kalian masuk! Istirahat di dalam! Siapa yang membantah akan kena akibatnya!" Begitu teriakku sengaja pasang wajah marah.

"SIAP!"

Seketika itu pula mereka berbaris rapi dan langsung masuk ke dalam tenda. Ah, ada-ada saja...

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close