Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Legenda Ki Ageng Selo (Part 46) - Kegelapan


JEJAKMISTERI - "Kamu pembunuh! Kamu pembunuh...!"

Aku melihat gadis itu menunjuk ke arahku sambil berteriak. Aku melihat sekelilingku. Kolam darah di mana-mana. Puluhan mayat tergeletak dengan darah berceceran tepat di depanku. Aku melihat diriku sendiri. Tanganku berlumuran darah. Apa yang telah kuperbuat?

"Pembunuh! Kamu pembunuh!"

Tanganku gemetar. Warna merah pekatnya begitu menakutkan. Apakah aku membantai mereka semua? Jika demikian, aku tidak percaya apa yang telah aku lakukan. Kepalaku terasa berat, seolah-olah ada seseorang membisikkan sesuatu di kepalaku untuk menghabisi semua orang di sana. Di sisi lain, teriakan gadis itu semakin keras. Kata-kata 'kamu adalah seorang pembunuh' terus terngiang di telingaku, mengganggu pendengaranku. Mataku sakit dengan warna darah yang semakin gelap. Bau amis menambah rasa sakit yang menyengat. Aku jatuh ke tanah memegang kepalaku yang sakit. Suara-suara itu semakin keras di atap sekolah menengah ini. Sekolah ini, yang telah hancur, secara bertahap mulai runtuh. Nuansa semakin gelap. Beban berat yang sepertinya bertumpu pada tubuhku membuatku bergerak. Aku seperti sekarat.

***

Aku tersadar dari tidurku. Aku terbangun sambil terduduk. Tubuhku basah kuyup oleh keringat dingin. Badanku menggigil meskipun suhu tubuhku terasa hangat. Butuh waktu lama bagiku untuk menyadari bahwa adegan kematian hanyalah mimpi. Rasa dan sensasi kematian, semuanya terasa begitu nyata.

Ini bukan hal baru bagiku. Setidaknya, hampir tiga tahun aku memimpikan hal yang sama. Tapi sensasinya tetap ada setiap kali aku mengalaminya. Syukurlah, aku tidak gila mengalaminya.

"Ah, mimpi itu lagi," kataku, menggigil. "Meskipun itu sudah lama sekali, dan aku jauh dari tempat mengerikan itu. Namun, mimpi-mimpi ini masih menghantuiku,"

Aku menarik napas dalam-dalam sejenak, menghilangkan kegelisahan ini. "Astrid, maafkan aku."
Dalam tragedi itu, yang aku ingat hanyalah Astrid. Aku tidak ingat apa-apa lagi dalam tragedi itu. Seperti nama sekolah, dan penyebab apa yang memicu peristiwa mengerikan dalam hidupku. Seolah ingatanku telah terhapus, jadi aku tidak ingat apapun tentang semua tragedi masa laluku.

"Ah, apa yang kupikirkan? Jika seseorang menghapus ingatanku tentang tragedi itu, ini semua akan lebih baik," gumamku termenung. "Dengan cara ini, aku akan dapat memulai hidup baruku lagi dan menjadi siswa normal, sama seperti orang lain."

Dalam lamunan, terdengar suara yang mencekam berbisik, “Setiap orang tidak akan pernah bisa lepas dari masa lalunya. Kamu pikir sejak ingatanmu terhapus, kamu bisa memulai hidup baru dengan bahagia, ya? betapa bodohnya kamu!"

"Bukankah kamu juga berpikir begitu, hm?" Kataku mencoba menyindir suara itu. "...Kamu juga kangen jalan-jalan sama teman-teman kamu kan? Sudah hampir tiga tahun kita nggak ketemu dengan keluarga dan teman-teman. Pasti kamu juga kangen dengan mereka kan?"

Suara itu sudah tidak terdengar lagi. Tampaknya kata-kataku barusan telah menenangkannya sejenak atau suara itu telah dibungkam, meninggalkanku tanpa pendapat untuk dikatakan. Bagaimanapun, suara ini selalu menemani dan menjadi temanku dalam menghadapi kesepian dan rasa sakit ini.

“Kakek, tidak bisakah manusia hidup berdampingan satu sama lain? Mengapa setiap kali ada perbedaan, mereka selalu berperang? Apakah tidak ada cara lain untuk menyelesaikan konflik ini?” Aku bertanya pada bulan purnama yang bersinar terang. Tanganku mencoba meraihnya. "...Apakah mereka semua tidak tahu bahwa perbedaan adalah keseimbangan? Atau apakah konflik ini memang berasal dari gen manusia itu sendiri? Ah, masih banyak hal yang perlu kupelajari darimu, kakek."

Malam yang panjang itu aku habiskan dengan pertanyaan yang bahkan tidak bisa aku jawab sendiri. Aku tidak tahu apa yang diharapkan, tetapi aku berharap untuk bertemu keluarga dan teman-temanku.

Air mata mulai mengalir di pipiku. Aku tidak tahu apa yang aku pikirkan saat itu, tetapi air mata ini mengalir dengan sendirinya.

"Bohong! Itu semua hanya kebohongan!" kataku mengungkapkan isi hatiku. "Aku takut... aku takut sendirian. Kesepian. Penyakit terkutuk yang membuatku terbaring seperti ini di rumah sakit selama hampir tiga tahun. Tolong aku... kumohon seseorang, tolong aku!"

Keesokan harinya, aku bangun dengan wajah bengkak, karena aku menangis kemarin. Kupandangi matahari yang menghangatkan tubuhku pagi itu. Seperti biasa, kejadian ini terjadi berulang-ulang, sampai aku muak melihatnya.

Setengah jam kemudian, seorang perawat datang menemuiku. Dia adalah perawat yang merawatku selama ini, dan dia adalah perawat terbaik yang pernah kukenal. Namanya Lisa. Dia menatapku penuh senyum dan memberiku sepiring makanan setelah memeriksa kondisiku.

Lagi. Makanan yang seharusnya rasanya enak di lidah malah terasa hambar. Namun, aku tetap memakannya dan mengatakan itu lezat, untuk menghormati suster Lisa dan tidak ingin membuatnya terlalu khawatir tentangku.

"Apakah kamu menangis tadi malam?" tanyanya prihatin. "Maaf, kakak tidak ada di sini untuk menemanimu,"

"Tidak apa-apa kak, kamu juga punya keluarga kan? Aku baik-baik saja. Hanya saja... aku merindukan rumah, keluarga, saudara, dan teman-teman lainnya." Jawabku berusaha tegar, berusaha untuk tidak membuat Kakak Lisa mengkhawatirkanku. "Eh kak...bisakah aku bertemu dengan mereka lagi? Apakah penyakitku bisa disembuhkan?"

Kak Lisa kaget mendengar kata-kataku, lalu tersenyum, “Tidak ada penyakit yang tidak ada obatnya, dik Umam. Yang terpenting saat ini kamu tetap semangat dan berjuang melawan penyakitmu. Pasti dokter-dokter di rumah sakit ini sedang mencoba mencari jalan keluar, tenang saja!"

"Kapan itu terjadi, Kak? Aku sudah menunggu keajaiban itu selama hampir tiga tahun. Namun, sampai sekarang 'keajaiban' itu hanya omong kosong belaka." kataku sedih, menatap wajah suster Lisa dengan tatapan dingin.

Perawat cantik itu sedikit mengalihkan pandangannya dariku, seolah tahu apa yang kurasakan saat ini, "...Hmm...bagaimana jika suster menemanimu malam ini? Lagi pula, malam ini suami dan anakku tidak ada di rumah, jadi untuk malam ini aku akan menemanimu. Bagaimana. Kamu mau?"

Tak tahu mengapa, aku malah mengiyakan permintaannya. Setelah puas, dia kembali menyuapiku. Setelah selesai, dia merapihkan pakaian, membasuh muka dan badanku, dan menyisir rambut pendekku, membuatku merasa bersyukur ada dia di sampingku. Dan siapa sangka keputusan ini akan membuatku menyesal selamanya.

Malam itu, ketika perawat Lisa dan aku sedang menonton televisi di kamar rawat inapku, aku melihat banyak hantu berkeliaran di sana-sini, seolah-olah mereka mengkhawatirkan sesuatu. Aku membiarkan mereka, karena mereka adalah hantu kelas teri yang tugasnya hanya mengganggu dan menggoda manusia. Namun, saat melihat bayangan sosok Wartasuro di balik jendela ruang rawat inap, aku panik. Benar-benar panik.

Aku yakin perawat Lisa tidak akan bisa melihat bayangan sosok Wartasuro. Aku mencoba berbicara, mencoba memanggil perawat Lisa untuk segera meninggalkan rumah sakit, tetapi karena dia sedang asyik menonton televisi, suaraku yang lemah dan pelan, tidak mungkin baginya untuk mendengar.

Beberapa menit kemudian, terdengar teriakan dan jeritan maut yang mewarnai udara malam di rumah sakit itu. Meminta bantuan. Tak hanya itu, suara ledakan dan kobaran api muncul di setiap penjuru rumah sakit. Menyadari kondisi ini, suster Lisa langsung berlari ke arahku dan menyuruhku bersembunyi, tapi itu semua tidak mungkin karena kondisiku sama sekali tidak bisa bergerak, bahkan satu jari pun tidak bisa digerakkan.

Dia meminta izin untuk keluar sebentar dan melihat kondisinya, dia juga bermaksud meminta bantuan untuk membantuku. Aku menolak, bahkan melarang. Karena kondisi di luar sudah tidak kondusif lagi dan jika suster cantik itu keluar, tidak ada jaminan dia akan hidup. Aku khawatir tentang hal itu. Aku takut kehilangannya.

"Jangan khawatir, aku tidak akan lama!" katanya sambil tersenyum padaku. "Setelah mendapatkan bantuan, aku akan segera membantumu. Aku janji."

Namun, setelah dia pergi, dia tidak pernah kembali.

Aku panik. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Aku ingin pergi dan melihat kondisi serta mencari dan menyelamatkan perawat Lisa, jika dia masih hidup. Namun, tubuhku masih tidak bisa bergerak sama sekali.

Aku benci. Aku marah. Aku sedih mendapati kondisi ini. Bahkan mengutuk kondisiku yang lagi-lagi harus membayangkan perasaan kehilangan seseorang yang sangat berharga dan aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya.

Sebelum aku sempat mengutuk, pintu kamar rawat inapku terbuka. Dari sana, aku bisa melihat siluet seorang wanita yang aku kenal selama ini. Ya, dia adalah suster Lisa. Dia selamat.

"Kak Lisa, alhamdulillah kamu sela—" kataku spontan melihat kondisinya. Namun, setelah aku perhatikan dengan seksama, ada sesuatu yang aneh di sini. Matanya tampak kosong.

Tubuhnya terlihat kaku, seperti sosok zombie. Dan pakaiannya tampak berlumuran darah yang masih sangat segar. Dia menatapku sinis dengan pedang berisi darah kental dan masih berbau amis. “Kak Lisa, apa yang terjadi pada...mu?”

Samar-samar dalam keterkejutanku, aku mendengar dia berbisik, "Umam bin Marwan, kami yang mengemban rantai penghakiman akan menjatuhkan hukuman kepadamu!!"

"Sebagai satu-satunya pewaris Nagasaka dan Nagalachakra yang tersisa, kami akan menguncimu di ruangan yang penuh dengan kekosongan dan tidak ada kebahagiaan yang tersisa dan agar ramalan itu tidak terjadi!" kata Lisa datar, dia seperti dirasuki sesuatu. Empat sosok hitam, berkerudung hitam muncul dari pintu kamar tidur. "Dan sebelum itu, izinkan aku memberi tahu Anda sesuatu. Kelahiranmu merupakan pertanda suatu dosa!"

***

Pada saat itu, tiba-tiba waktu terasa terhenti dan terdengar bisikan misterius yang dipenuhi kegelapan, "Bangun, Umam! Teman-temanmu, keluargamu dalam bahaya sekarang. Nyawa mereka terancam..."

"Kamu lagi? Siapa sebenarnya kamu? Ada urusan apa denganku!?"

Suara misterius itu tertawa. Suara jahat yang sangat mengerikan. "Hahaha... 'kamu lagi'? Bukankah kamu sudah tahu siapa aku sebenarnya, lalu kenapa kamu bertanya lagi?"

"A-aku tidak mengenalmu,"

"Ah, bajingan. Setiap manusia pasti memiliki bayangan di belakang mereka. Untuk menyeimbangkan jiwa, Tuhan menciptakan kita untuk mengikuti dan menggoda manusia menuju kepuasan duniawi. Dan aku adalah bayanganmu..."

Aku mengerutkan kening, bingung dengan penjelasannya. Sepertinya dia masih mengoceh. "Aku tidak mengerti apa yang kamu maksud, tetapi yang aku tanyakan adalah mengapa kamu datang menemui aku dan apa tujuanmu?"

"Aku? Bukankah kamu sudah tahu? Kamu dan aku adalah dua jiwa dalam satu tubuh, kenapa kamu tidak tahu?"

Aku menggelengkan kepalaku, masih tidak mengerti. Dia masih berbasa-basi dengan maksudnya. "Aku masih tidak tahu apa maksudmu menemuiku? Sekarang lebih baik kau keluar dari tubuhku atau..."

"Atau apa?" tanyanya dengan senyum licik dan mengancam. "Aha, kamu ingin mengusirku, ya? Apakah kamu bisa melakukannya? Bukankah kamu selalu bergantung padaku untuk menyelesaikan semua misimu? Bahkan di malam bulan purnama yang berkobar--"

Mendengar kata 'bulan purnama berkobar' membuat ingatan masa laluku muncul kembali dan memasuki pikiranku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain berteriak kesakitan, selain itu aku melihat bayangan kenangan kelam yang membuatku semakin sedih.

Tubuhku ambruk tengkurap, mataku berkaca-kaca, pandanganku kosong, dan air liurku keluar dari mulutku tanpa bisa kuusap.

Sakit. Menderita. Tragis.

Itulah yang aku rasakan saat ini. Aku tidak pernah berpikir kenangan kelam yang aku lupakan bisa menyakitkan begini. Tidak dapat menahan ingatan kelam ini, aku berteriak keras dan pingsan.

Ketika aku bangun aku berada di tempat yang mengerikan, di mana saat itu kaki dan tanganku dirantai ke dua pilar, membentuk huruf x.

Dalam keadaan setengah sadar, aku melihat diriku yang lain (doppelganger) muncul dengan senyum licik. Dia bergegas ke arahku dan menggigit leherku dan menghisap darahku. Aku tidak merasakan apa-apa selain kekosongan, setelah itu aku sudah tidak sadarkan diri.

***

Beralih ke sudut pandang orang ketiga.

Tubuh Umam tiba-tiba mengeluarkan aura hitam kemerahan yang pekat. Wajahnya masih memiliki kilatan rasa sakit yang datang entah dari mana. Matanya masih tertutup.

Wulan yang melihat kejadian ini langsung membangunkan Feby yang sedang tidur di kursi samping ranjang. Melihat pemandangan aneh ini, mereka berdua kaget dan berniat memanggil Mbah Ibu dan sesepuh lainnya, namun tidak bisa berbuat apa-apa karena mereka semua berhadapan dengan musuh di depan rumah.

"Wulan... cepat panggil tetua di halaman! Katakan ada yang aneh dengan tubuh kak Umam," kata Feby tegas menyuruh Wulan untuk membawa para tetua ke sini. "...Dan kalau Mela sudah bangun, aku ingin dia memeriksa kondisi kak Umam juga. Mungkin gadis misterius itu tahu apa yang terjadi pada kak Umam!"

"Baik!"

Sebuah suara di tempat tidur berkata, "Tidak perlu! Aku baik-baik saja."

Mereka berdua menoleh, ternyata suara itu berasal dari mulut Umam yang sudah berdiri. Suara itu terasa begitu dingin untuk seseorang yang sehangat dan seceria seperti Umam, namun itu tidak seberapa ketika mereka berdua melihat tatapan orang yang mereka kagumi berubah menjadi bengis dan dari mulutnya, muncul senyum keji dan mengancam yang membuat mereka berdua tidak mampu untuk bergerak. Mereka berdua hanya terpaku di tempat. Ketakutan.

Dari luar rumah, mereka semua tiba-tiba merasakan suasana atmosfer yang tiba-tiba menipis dan udara menjadi sesak. Mereka merasakan hawa kekosongan abadi untuk sesaat. Aura kehampaan bahkan dirasakan oleh para kyai, ustadz dan orang-orang yang sibuk berzikir di ruang tamu.

Aura itu langsung membuat Mbok Ruqayah yang masih terluka parah, bergegas berdiri dan mencoba membuka pintu rumahnya, yang ketika pintu dibuka, tiba-tiba bayangan hitam melesat secepat kilat menebas tangan kiri Ki Serang dan kaki kiri Pasopati.

"Sial! Aku terlambat," keluh Mbok Ruqayah sambil memaki. "Sekarang apa yang harus aku lakukan untuk mencegah semua ini?"

Saat berada di tanah lapang, Ki Serang dan Pasopati yang baru saja merasa ada yang hilang dari tubuh mereka langsung berteriak kencang.

"Akkh~Bajingan! Siapa kamu!?" keduanya mengutuk. Menahan sakit.

"Aku? Hahaha...Aku Sangkala! Aku adalah bayangan hitam dari anak ini," Umam menjawab, yang menatap kedua musuh dengan tatapan mengerikan. "Tidak kusangka setelah tiga tahun sejak kejadian itu, aku akan bisa bangun dari jiwanya!"

"Sangkala? Siapa kamu!?" tanya Ki Serang sambil menahan rasa sakitnya. “Saya sudah mengenal tujuh raja jin di nusantara ini… Saya belum pernah mendengar ada jin bernama Sangkala!?”

Umam mengabaikan pertanyaannya. Tatapannya masih tertuju pada raja jin Pasopati di hadapannya. Saat dia hendak menyerangnya, raja jin segera memanggil pasukannya dari alam gaib. Demit Cakar Mayang.

Mbah Jayos, Mbah Kari, Mbah Ibu, dan Mbok Ruqayah segera berkumpul untuk mencegah situasi semakin parah. Tak ketinggalan, Kyai Ja'far Shodiq Bukhara, seorang kyai terkenal di daerah itu, mencoba memimpin para sesepuh untuk menghentikan kekacauan ini.

"Nagasaka, Nagalachakra... keluarlah!!" teriak Umam, tiba-tiba sepasang tombak melesat dari langit. Tombak sakti Nagasaka dan Nagalachakra.

Kemampuannya memanggil dua pusaka dari kyai Marwan membuat para sesepuh dan kyai Ja'far kaget setengah mati. Pasalnya, saat itu belum ada praktisi hikmah yang mampu memanggil kedua pusaka tersebut, setelah Kyai Marwan sendiri. Bahkan Cokropati sekalipun.

Ki Serang menatap sepasang tombak itu, hanya merasakan aura perkasanya, tanpa mengetahui sejarahnya. Sedangkan raja Pasopati... dia sangat mengenal kedua pusaka tersebut karena usianya sudah 2.500 tahun, dan dia sempat bertarung dengan pemilik kedua pusaka sakti sebelumnya.

Dengan cepat, Pasopati memerintahkan dedemit Cakar Mayang untuk menyerang Umam, tetapi dengan satu pukulan, dedemit itu musnah tak bersisa. Kemudian, dia perlahan melangkah mendekati dua sosok di depannya.

"Oy, Oy... Pasopati, apakah kekuatan budakmu hanya sebesar ini?" kata Umam yang sedikit bercanda dan memprovokasi raja jin di depannya. "...Di masa depan, aku telah menghadapi lebih dari ratusan jin dan manusia yang kekuatannya jauh melebihi kekuatanmu. Mungkin, di zaman ini...kau bukan lawanku,"

"Persetan, kalian manusia!!"

Tanpa peringatan, Pasopati segera menghilang, kembali ke alam gaib mencoba melarikan diri. Sementara Ki Serang... dia memanggil tujuh genderuwo untuk mengalihkan perhatiannya, sementara dia melarikan diri.

Dan dengan dua pusaka, Nagasaka dan Nagalacakra, ketujuh genderuwo itu dengan mudah dimusnahkan.

Setelah berhasil melenyapkan tujuh genderuwo itu, Umam menoleh ke belakang dan menatap para sesepuh dan kyai Ja'far dengan garang. Sudah tertebak apa yang akan dia lakukan pada mereka.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close