Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Legenda Ki Ageng Selo (Part 47) - Kebahagiaan


JEJAKMISTERI - "Dimana aku?"

"Tidak dimana-mana, sedari tadi kamu ada di sini. Aku membawamu," kata seorang gadis yang berada di kejauhan. "Aku harus membawamu ke sini, agar Sangkala tidak terus menipumu."

"Ah, kau lagi, rupanya?" Aku bergumam ketika gadis itu tepat di depanku. "Astrid,"

Gadis bernama Astrid itu tersenyum, lalu menarik napas panjang. "Hah, dasar kamu ini? Aku sudah bilang berkali-kali bahwa kamu tidak akan pernah bisa mengendalikannya, tapi kamu masih keras kepala untuk memanggil iblis yang bahkan bisa menulis ulang ruang, waktu dan takdir!"

"A-aku..."

"Apakah kamu tidak puas dengan pertolongan Tuhanmu, darling? Sekarang, apa kamu tahu bahwa dirimu, lebih tepatnya, tubuhmu yang sekarang berada di tangan iblis, sedang mengamuk di luar sana?" tanya Astrid, menyilangkan tangan di depan dada. Aku tidak sanggup melihat wajahnya, karena ekspresi khawatir Astrid jauh lebih sedih daripada tatapan garang iblis. "Apakah kamu tidak tahu bahwa memanggil iblis itu dapat mengurangi umurmu? Tidakkah kamu ingin hidup lama sampai kamu menjadi seorang kakek?"

Aku memalingkan wajahku darinya. “Aku bahkan tidak tahu itu. Segera setelah diriku melihat beberapa temanku harus dipenggal, aku sudah tidak bisa berpikir jernih lagi. Yang ada hanya kebencian dan kemarahan!”

"Ya, aku tahu itu," jawab Astrid sambil menunduk, menatap tanah. “Aku yakin kamu benar-benar menyayangi teman-temanmu lagi, kan? Itu artinya impianmu menjadi manusia biasa tidak akan pernah terwujud… karena kamu harus selalu menjaganya. Aku percaya bahwa mereka adalah teman yang berharga bagimu.”

“Tapi itu tidak berarti memanggil iblis Sangkala itu dibenarkan, kan?” kata Astrid dengan gamang. Sifatnya yang cerewet kembali lagi, membuatku bernostalgia dengan masa lalu saat dia selalu di sisiku. “Ah, sudahlah. Aku tidak ingin berdebat denganmu lagi. Aku datang ke sini karena diriku ingin membantumu menyegel iblis itu lagi. Dengan begitu kita bisa mengobrol lebih lama.”

Astrid membaca doa dengan kecepatan tinggi, kemudian di sekelilingnya muncul ribuan kalimat yang tertulis dalam aksara Arab dan Jawa.

Astrid semasa hidupnya adalah seorang gadis yang sangat jenius dan memiliki pendangan (visi) jauh ke depan, yang sebagian besar orang pada masanya tidak akan mengerti. Selain cantik, dia adalah seseorang yang diberkahi dengan berbagai macam pengetahuan yang tidak akan bisa dipahami oleh orang sepertiku. Misinya membuatnya memutuskan untuk tidak akan pernah menikah, selamanya. Namun, begitu dia mengenalku, saya bisa merasakan bahwa dia tidak ingin dicintai dan menikah dengan orang lain selain diriku.

Meski... akhir hidupnya benar-benar tragis.

Kemudian, dia membuka telapak tangannya, dan dengan cepat kata-kata yang mengelilinginya berkumpul menjadi satu dalam genggamannya. Tiba-tiba kata-kata itu berubah menjadi cahaya yang sangat terang dan angin sepoi-sepoi yang sejuk meniup rambut panjangnya yang indah.

Sungguh, suasana romantis ini sempat membuatku merona.

Dari permukaan, terasa seperti ada gempa, meski frekuensinya kecil. Namun, dari gempa tersebut, muncul tujuh pilar yang terbuat dari tujuh elemen. Pilar Air, Pilar Api, Pilar Bumi, Pilar Angin, Pilar Petir, Pilar Cahaya, dan Pilar Bayangan. Semua pilar itu muncul di sekitarku.

Kemudian, kalimat yang Astrid pegang di tangannya mulai berhamburan dan menjerat kelima anggota badan, seperti tangan, kaki, dan leher. Sungguh, sangat sakit ketika kata-kata itu mulai memasuki ujung kuku dan kulit sehingga diriku berteriak keras. Kalau saja aku ada di dunia nyata, pasti orang-orang dari wilayah yang sama akan mendengar teriakanku.

Dalam sekejap, Astrid langsung berpindah tempat ke belakangku. Kemudian di depanku, muncul sebuah gerbang yang di kedua daun pintu itu terdapat kalimat-kalimat dari bahasa Arab dan Jawa yang terukir indah di sana. Tidak lupa juga bahwa di depan pintu yang masih tertutup itu, tujuh pilar elemen alam berjajar, tetapi sekarang di atas pilar-pilar ini, muncul api yang berbeda. Menurut penjelasan Astrid, api tujuh elemen itulah yang akan menjaga lentera gerbang suci.

Saat Astrid sedang sibuk menjelaskan, dari langit tiba-tiba terdengar suara gemuruh yang sangat kencang. Kami berdua mengenali raungan itu dengan sangat baik.

Ya, itu adalah suara murka dari iblis Sangkala.

"Kau…! Astrid…!?” kutuk Sangkala penuh amarah. Itu sudah pasti karena Astrid lah yang menyegel jiwanya di dalam tubuhku. Saat itu, iblis Sangkala muncul dalam bentuk awan badai yang benar-benar hitam dan gelap. “Aku tidak pernah menyangka bisa bertemu denganmu lagi setelah empat tahun kita tidak bertemu. Kemarilah, jadi aku bisa menghancurkan tubuhmu menjadi abu!”

“Dasar berisik…!” jawab Astrid ketus. "Sekarang cepatlah kamu kembali ke tempat asalmu, atau aku akan menghancurkanmu berkeping-keping seperti empat tahun lalu!"

"Hahaha... itu jika kamu bisa." iblis Sangkala segera mengeluarkan terompet pusakanya dari ruang kosong. "Sekarang Aku jauh lebih kuat daripada ketika aku bertarung denganmu sebelumnya."

Sebelum iblis Sangkala menyerang, dua gelang yang diberikan kak Vita dan Danang kepadaku, yang kukenakan di tangan kanan dan kiriku, tiba-tiba memancarkan cahaya keemasan. Dengan cepat, kedua gelang itu berpindah tangan. Satu gelang berubah menjadi gelang besar dan mengikat tubuh Sangkala, sedangkan gelang lainnya berubah menjadi borgol yang langsung memborgol kedua tangan iblis jahat itu.

Tak butuh waktu lama, dalam keadaan terjepit, Astrid langsung membacakan doa yang membuat gerbang suci itu terbuka perlahan. Ketika gerbang keramat itu terbuka, muncul dua belas rantai emas, yang langsung melilit dan menarik tubuh Sangkala.

“Apa ini? Aku tidak bisa bergerak sama sekali,” keluh Sangkala yang sangat terkejut karena usahanya melepaskan diri dari kedua gelang itu sia-sia. "Apa yang telah kalian berdua lakukan padaku? Sial!!"

"Semakin banyak rantai emas yang membelit tubuhmu, semakin kuat tarikannya," Astrid menjelaskan kepada iblis itu setelah dia terdiam cukup lama. "Dan berkat dua gelang Angus Poloso, kamu tidak akan bisa melakukan apa pun untuk membebaskan diri, bahkan untuk menggerakkan tubuh saja kamu tidak akan bisa!"

"Keparat kau, Astrid! Menggunakan cara licik ini," umpat Sangkala marah. "Jika kamu berani, mari kita duel satu lawan satu yang adil!!!"

"Hmph, apa menurutmu aku akan tertipu oleh tipu muslihatmu, iblis? Begitu aku melepaskanmu, kamu pasti akan lari dariku dan menuju ke alam gaib, kan?" jawab Astrid yang terdengar tenang. "Lagi pula, aku tidak ingin berbagi tempat di sini dengan iblis berisik sepertimu. Jadi cepatlah masuk ke gerbang suci!"

"Awas kau, Astrid! Suatu saat aku pasti akan membalas perbuatanmu dan keluar dari tubuh manusia hina ini!!" ancam Sangkala untuk terakhir kalinya sebelum dia benar-benar diseret masuk ke gerbang suci.

Setelah gerbang keramat tertutup sempurna, tiba-tiba gerbang itu perlahan menghilang, bersama dengan tubuh Astrid yang perlahan memudar juga.

"Astrid, apa yang terjadi dengan..?"

"Tidak apa-apa. Menyegelnya benar-benar menguras seluruh kekuatan hidupku, tapi jangan khawatir, kita akan bertemu lagi suatu hari nanti dan mungkin kita akan dapat berbicara satu sama lain untuk waktu yang lama," jawab Astrid, yang mulai menghilang dari pandanganku. Aku masih melihatnya tersenyum manis.

Sebelum benar-benar menghilang, Astrid memberitahuku beberapa hal. Sebenarnya, diriku tidak terlalu yakin dengan apa yang dia katakan, tetapi aku tidak pernah tahu bahwa dia adalah seorang pembohong, jadi diriku percaya padanya. "Umam, sebelum aku pergi, aku ingin meminta beberapa hal padamu. Bisakah?"

Aku langsung tergagap mendengarnya, "A-Apa itu? Selama itu dalam kemampuanku, aku pasti bisa mewujudkannya,"

"Aku mohon jangan ajak Mela untuk ikut denganmu saat kamu berada di istana Mangkupati," kata Astrid tiba-tiba terdengar dingin, menandakan bahwa dia benar-benar serius kali ini. "Dan seperti yang kakakmu katakan... hati-hati dengan Mela dan awasi dia dengan baik karena dia mungkin memanipulasimu untuk tujuan sebenarnya."

Sebelum aku sempat bertanya, Astrid sudah meletakkan jari telunjuknya di bibirku, memberi isyarat agar aku tidak bertanya lebih jauh. “Umam, begitu aku mengenalmu, aku bukanlah gadis yang peduli dengan keluarga dan misiku… tapi sekarang aku hanyalah seorang gadis yang ingin disayangi olehmu,”

Dan dia menghilang setelah mencium dan memelukku erat.

***

Kemudian air mata mulai jatuh di pipiku. Menyadari bahwa dia, sebenarnya... telah tiada. Aku pun menangis tersedu-sedu karena mengingat momen kebersamaanku dengannya beberapa tahun lalu.

Namun, saat itu mulai terdengar suara-suara dari teman-temanku yang berada di luar. Mereka semua meneriakkan namaku. Aku bisa melihat pancaran kekhawatiran dari teman-teman yang mulai membekas di otakku.

Tiba-tiba, tepat di depanku, sebuah pintu berukuran 3x2 meter muncul. Saat itu, aku ragu-ragu untuk memasukinya, sampai diriku mendengar suara indah yang menyuruhku untuk memasukinya.

"Ayo cepat masuk ke dalam pintu itu dan temui teman-temanmu yang berharga di luar sana...!" kata-kata itu datang dari mana-mana, yang mana bisa kupastikan kalau suara itu adalah suara Astrid. "Jaga mereka seperti kamu bisa bergantung pada mereka, Umam. Dan ingat pesanku tadi."

Tanpa ragu sedikit pun, aku melangkah maju dan membuka pintu. Tidak lama kemudian, diriku sadar bahwa diriku tengah mencekik kyai Ja'far dan Mbah Jayos yang ada di depanku.

Aku menoleh ke belakang, aku melihat Mela, Wulan, Feby, dan Agung memelukku erat-erat, mungkin mencoba menghentikanku untuk mencekik kedua lelaki tua itu.

Aku melepaskan keduanya, membuat kami semua lega. Mbah Jayos dan Kyai Ja'far langsung memegang lehernya sambil terbatuk-batuk, membuatku merasa sangat bersalah pada mereka berdua.

Keduanya langsung digendong oleh Mbok Ruqayah dan Mbah Kari untuk masuk ke dalam rumah, sementara aku masih terdiam melihat keempat temanku terus memelukku, tak mau melepaskan.

Sebelum sempat bertanya, tiba-tiba aku muntah darah merah yang banyak. Tidak hanya itu, darah juga merembes keluar melalui hidung dan telingaku, membuatku pingsan seketika.

Ketika aku bangun, diriku sudah berada di salah satu kamar Mbah Jayos. Ya, saya masih ingat betul tekstur ruangan ini. Di setiap dinding terdapat foto-foto kyai besar dan terkenal, seperti Hadratusshekh KH Hasyim Asy'ari, Gus Dur, dan para wali songo. Foto-foto itu berjejer rapi di dinding, sedangkan di dalam lemari, saya bisa melihat berbagai koleksi buku, berupa Al-Qur'an, Hadits, dan berbagai kitab kuning dan ayat kejawen.

Saat hendak bangun, pahaku terasa berat. Setelah kuperiksa, aku melihat Mela sedang tidur nyenyak di sana. Aku tersenyum padanya karena adegan romantis ini sangat langka bagi kami karena kami selalu menghabiskannya dengan istirahat di tenda.

Karena aku ingin jalan-jalan sebentar, aku meletakkan kepala Mela di tempat tidur dengan hati-hati, agar dia tidak bangun. Aku yakin dia selalu di sisiku, mengawasiku sampai dia ketiduran, jadi aku biarkan dia istirahat dulu.

Aku terhuyung-huyung keluar dari kamar, menahan berat badanku. Lagipula, entah kenapa sejak kejadian itu tubuhku terasa sangat berat, padahal aku tidak merasakan demam sama sekali. Mungkin ini adalah efek kehilangan banyak darah, sebagai akibat dari peristiwa masa lalu.

Orang pertama yang menyapaku begitu aku meninggalkan ruangan adalah ayahku sendiri, yang kulihat masih sangat muda. Tentu saja karena saat itu usia ayahku baru 19 tahun, 2 tahun lebih tua dariku.

Dia meminta waktu sebentar untuk berbicara denganku dan tidak punya pilihan lain, aku setuju dengan permintaannya.

Aku mengikutinya ke belakang menuju ruang makan di sebelah dapur. Tidak ada seorang pun di sana, jadi kita bisa berbicara tanpa gangguan.

Aku masih sangat ingin tahu tentang sikap dan sifatnya ketika dia masih muda. Apakah sedari dulu ayahku memiliki sikap keras dan tegas kepada siapa pun? Atau ketika dia baru menginjak usia tua, dia sangat menyebalkan?

"Hmm... apakah kamu benar-benar anakku?" Dia bertanya dengan ragu-ragu dan tidak menyenangkan untuk didengar. "Ah, tidak... Sebenarnya bukan itu yang ingin aku bicarakan, tetapi rasanya aneh untuk berbicara dengan seseorang yang merupakan putranya di masa depan."

"Apakah kamu meragukanku?" aku menjawab, sedikit kurang suka mendengar kata-katanya sekarang. "Jawabannya adalah, aku adalah putramu. Seorang anak, yang akan kamu serahkan tanggung jawab yang begitu berat padanya, sehingga aku kehilangan masa mudaku yang indah dan kehilangan teman-temanku!"

Dia terkejut, mendengar kata-kataku barusan. Aku bisa melihat penyesalan di wajahnya. Jujur, diriku benar-benar tidak ingin mengatakan hal ini, tetapi semua ini juga untuknya. Dia harus bisa memperlakukanku sebagai seorang anak, bukan hanya alat untuk mendapatkan kemuliaannya kepada keluarganya.

"Ah... Maaf, aku tidak tahu itu. Sifatku memang seperti ini karena aku mendapat didikan yang sangat keras dari orang tua dan Mbah Jayos juga Mbok Ruqayah. Hanya beberapa tahun yang lalu, karena usiaku sudah lebih dari tujuh belas tahun, mereka agak longgar mendidikku, "

"Tapi itu tidak berarti kamu harus mendidik aku dengan cara yang sama seperti Mbah Jayos dan Mbok Ruqayah mendidikmu, kan?" Aku bertanya sedikit kesal padanya. "Ah, sudahlah... Sebaiknya kita tidak perlu mempermasalahkan ini lagi, karena semuanya telah terjadi, dan itu tidak akan pernah berubah. Hanya saja karena didikanmu, aku merasa sedikit bersyukur karena diriku bisa lebih dewasa daripada teman-temanku yang lain. "

Aku mulai menarik nafas dalam-dalam, bersiap untuk memulai percakapan serius.

"Lalu apa yang ingin kamu bicarakan denganku? Aku yakin jika ayah tidak akan mengajakku ke sini untuk membicarakan hal-hal remeh-temeh, kan?"

Dia mengangguk. "Ya, itu benar. Aku hanya ingin menanyakan beberapa hal yang membuatku penasaran. Tentangmu, gadis itu, dan semua perjalananmu dalam mengikuti Test of Faith ini."

"Apa itu?"

"Aku hanya ingin tahu tentang seorang gadis yang kamu minta untuk menemanimu dalam ujian ini. Namanya Mela," kata ayahku serius seperti ingin memakanku. "Dia dari keluarga Immas, kan? Lalu bagaimana kamu bisa mempercayai seseorang dari keluarga terkutuk itu untuk mengikuti tes ini?"

“Ah, itu Mbah Jayos yang ingin aku membawanya, toh itu bukan masalah besar karena dia sangat membantu kita semua untuk keluar dari semua masalah yang menimpa kita. Jadi biarlah…” jawabku mengabaikan ayahku. kata-katanya yang sinis membuatku kesal. "... Selain itu, kita semua percaya padanya sebagai rekan, jadi itu bukan masalah besar."

Ayahku menghela nafas pelan, “Ahh…kau benar-benar tidak peka dengan namanya wanita ya, Umam? Tapi, jika kau percaya sepenuhnya pada gadis itu, maka aku tidak akan ikut campur lagi. Asal tahu saja... kadang kepercayaan itu akan membuatmu buta akan identitas seseorang!"

Setelah puas berbicara denganku, tanpa berkata apa-apa, dia langsung pergi meninggalkanku. Sikap dasarnya tidak pernah berubah.

Ketika dia sampai di pintu dapur, ayahku mengatakan beberapa patah kata kepadaku. "Ayah harap keputusanmu benar, Umam. Dan jangan bawa dia ke istana Mangkupati!"

Kata-kata nasihat Astrid, diucapkan lagi oleh ayahku. Membuatku merasa sedikit penasaran. Ada apa dengan mereka? Mengapa mereka melarangku membawa Mela ke istana Mangkupati? Apakah mereka mengkhawatirkan keselamatannya, atau karena sesuatu yang lain yang masih disembunyikan...?

Yah, biarkan saja. Toh, untuk menuju ke sana, kita masih membutuhkan dua kunci lagi untuk membuka gerbang gaib keraton Mangkupati.

Untuk saat ini, lebih baik aku menikmati waktu ini untuk berlibur ke suatu tempat bersama teman-temanku. Semoga mereka suka, karena kami capek harus berpetualang kesana kemari, dan hampir sepanjang waktu hanya digunakan untuk bertarung.

Aku terhuyung-huyung keluar dari dapur. Entah kenapa tubuhku masih terasa begitu berat, padahal aku merasa lega saat berbicara tadi. Aku memutuskan untuk segera pergi ke ruang tamu, berharap Feby ada di sana karena banyak hal yang ingin saya ceritakan padanya.

"Kak Umam, kau sudah bangun?" tanya Feby yang kaget melihatku berjalan menuju ruang tamu. Dia segera mencoba membantuku untuk duduk di salah satu kursi di sana.

"Ah, sudah. Aku lelah harus tidur di tempat tidur terus-menerus," kataku enteng. Aku perhatikan bahwa ruang tamu sangat sunyi. Tidak ada seorangpun, kecuali Feby. "Di mana Mbah Jayos dan Mbok Ruqayah? Di mana yang lain? Sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri?"

“Oh, Mbah Jayos dan Mbok Ruqayah sedang pergi ke rumah Mbah Bakrie, sedangkan Mbah Gel dan ayahmu baru saja pergi ke ladang, sedangkan teman-teman kita… mereka diminta bantuan oleh beberapa warga di sekitar sini untuk membantu masalah yang tak kasat mata,'' jawab Feby yang menjelaskan dengan detail. "Sebenarnya aku juga ingin pergi, tapi aku tidak bisa meninggalkanmu berdua dengan gadis itu. Selama sepuluh hari ini, aku belum pernah melihat kak Mela keluar dari kamarmu, kecuali jika dia ingin makan dan mandi. Meski begitu, kita tidak bisa berbicara satu sama lain. Dia makan dan mandi dengan cepat seolah-olah dia sedang menghindari kita."

Aku mengangguk, "Oh ya, Feb. Setelah kondisiku sedikit lebih baik dan semua orang sudah pulang, ayo pergi ke pantai buat liburan?"

"Eh, kita mau liburan kemana? Maksudku pantai yang mana?" tanya Feby yang sedikit tergagap karena kaget. "Bukankah kita tidak punya banyak waktu sebelum hari keseratus tiba?"

"Ya, oleh karena itu, sebaiknya kita pergi berlibur ke pantai dekat sini. Pantai Jolosutro, bagaimana?" jawabku dengan antusias.

"Hm..terserah kamu aja, pokoknya jangan ke pantai yang banyak hal mistisnya. Membosankan kalau terus diteror hal-hal seperti itu," kata Feby yang terlihat lelah dan liburan adalah solusi yang tepat.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close