Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DARYANA PUTRA SAMBARA (Part 2) - Tumbal Penunggu Bukit

MARKAS PRAJURIT INDRAJAYA

Ini pertama kalinya aku menaiki seekor kuda. Dan di belakangku ada seorang panglima perang yang menyambutku hingga mengajakku menaiki kuda perang yang gagah ini. Entah mimpi apa aku semalam, semoga saja kemana tujuan kami bukanlah hal yang buruk.

Kami berhenti di sebuah kompleks barak yang hanya berisi beberapa bangunan besar dan tempat pelatihan. Ada sebuah bangunan utama di sana, kami turun dari kuda dan memasuki salah satu tempat yang cukup luas itu.

“Di pendopo saja, kita bisa santai di sana,” ucap Panglima Brasma.

“Memangnya yang mau ketemu saya siapa Tuan?” tanyaku penasaran.

“Jangan panggil tuan, panggil Mas saja. Nanti juga kamu tahu,” balasnya.

Mas? Aku disuruh memanggil seorang panglima kerajaan dengan sebutan Mas? Aku benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang terjadi hari ini.

“I—iya Mas Brasma,” balasku.

Mas Brasma meninggalkanku sebentar untuk memanggil orang-orang yang ia maksud. Sembari menunggu, mataku berkeliling menyaksikan pemandangan yang tidak pernah kulihat di desa.

Prajurit, kuda, perlengkapan perang, kereta kuda, dan bangunan-bangunan besar yang sangat jauh bila dibandingkan dengan di desa.

“Ini diminum dulu,”

Terlihat seorang bapak membawakan segelas teh dan meletakkanya di sebelahku. Sepertinya dia diminta oleh Mas Brasma untuk menghantarkan minuman untukku.

“Eh, te—terima kasih Pak,” balasku.

“Diminum Nak, dicobain. Itu khas dari pegunungan utara, kesukaanya prajurit-prajurit di sini,” ucap bapak itu sembari menyambi merapikan tanaman di sekitar pendopo.

“Baik, saya minum ya Pak,”

Aku menyeruput teh itu dan benar ucapanya, rasa teh ini memang tidak biasa.

“Bener pak! Enak.. di desa saya nggak ada teh sewangi ini,” balasku.

“Haha, berarti nanti harus kamu bawa daun tehnya buat oleh-oleh,”

“Terima kasih Pak,” aku senang mendengar ucapan itu, terlebih ibu pasti senang merasakan teh seenak ini.

“Pak, prajurit-prajurit di sini memang selalu sesibuk ini ya?” Tanyaku sembari mengisi waktu.
“Tidak juga, saat ini keadaan sedang damai. Jadi saat ini mereka sedang santai..” balas bapak itu.

“Santai, pelatihan dan kegiatan sebanyak ini termasuk santai pak?” tanyaku.

Bapak itu mengangguk sembari tertawa melihat reaksiku.

Sebenarnya ada yang ingin kutanyakan, terutama mengenai prajurit yang tadi sempat bertarung denganku. Namun apakah orang seperti bapak ini mengetahuinya.

“Masnya ini kenapa tiba-tiba bisa dibawa ke tempat ini?” tanya bapak itu.

Aku tersenyum mendengar pertanyaan itu, saat bercerita sekalian saja aku tanyakan mengenai prajurit tadi.

“Tadi saya sempat bertarung dengan salah satu kelompok prajurit pak,” ucapku.

Aku menceritakan mengenai kejadian dimana ada tabib yang mencoba menyantet Kusni anak Den Bira dan dia dilindungi oleh sekelompok prajurit. Mereka memaksa untuk membawaku namun karena den bira membelaku, pertarunganpun terjadi.

“Santet? Memangnya masnya mengerti hal seperti itu?” Tanya bapak itu.

Aku menggeleng,”Saya hanya kebetulan bisa melihat hal ghaib saja pak, sebenarnya saya mau diam saja, tapi tadi sudah keterlaluan.”

Bapak itu menatap wajahku sembari memperhatikan dahiku. Aku cukup risih dengan itu.

“Oh iya Pak, apa di sini ada kelompok prajurit yang mempelajari ilmu ghaib juga?” Tanyaku penasaran sekaligus memecah perhatian bapak itu pada wajahku.

“Memangnya kenapa Masnya bisa bertanya begitu?” Tanya bapak itu.

Akupun menceritakan tentang kekuatan hitam yang samar-samar kurasakan dari beberapa prajurit yang bertarung dengan kami tadi. Itu adalah kekuatan hitam yang sama yang digunakan untuk mengirim santet.

Mendengar ceritaku bapak itupun menghela nafas dan duduk di sampingku.

“Memang ada kabar burung mengenai beberapa prajurit yang ‘ngilmu’” ucap bapak itu.

Ia menceritakan bahwa sudah tersebar desas desus prajurit-prajurit yang diam-diam mempelajari ilmu aneh. Mereka juga membentuk kelompoknya sendiri tanpa sepengetahuan panglima dan pimpinanya. Tapi semua itu hanya kabar burung, tidak ada yang bisa membuktikan berita itu.

“Tapi saya benar-benar melihat kekuatan hitam itu dari pimpinan prajurit tadi,” ucapku.
“Apa Panglima Brasma sudah melakukan tindakan?” tanya bapak itu.

“Su—sudah, beliau langsung memerintahkan untuk menangkap kelompok prajurit itu,” balasku.
Bapak itu tersenyum dan berdiri dari tempatnya.

“Kalau kamu menemukan hal seperti itu bilang saja sama Panglima Brasma, dia akan membantu untuk menanganinya,” ucap bapak itu.

“Baik pak, terima kasih..” balasku.


Bapak itupun bersiap pergi meninggalkanku. Namun sebelum ia berjalan jauh, ia kembali menoleh ke arahku.

“Oh iya, salam juga buat Nyai Suratmi ibumu..” ucap bapak itu yang segera pergi meninggalkanku.
Aku terdiam mendengar ucapan terakhir orang itu. Bahkan orang itu juga mengenal ibu? Aku hampir percaya kalau ini adalah mimpi.

Baru sebentar kepergian orang itu, tiba-tiba terdengar suara langkah beberapa orang yang mendekat ke pendopo.

“Jadi ini orangnya?”

“Tidak sopan kau Brasma, kenapa tidak disediakan jamuan,”

“Jadi, kamu yang bernama Putra?”
Ada tiga orang selain Mas brasma yang menghampiriku. Aku tidak tahu harus menjawab seperti apa pertanyaan beruntun mereka. Beruntung Mas Brasma segera menghentikan mereka.

“Hah, kalau mau tanya satu-satu, kenalan dulu,” ucap Mas Brasma.

Mas Brasma mendekat kearahku dan menemukan segelas teh berada di sampingku.

“Lho? Sudah ada yang mengantar minuman?” tanya Mas Brasma.
“I—iya Mas, saya kira Mas yang nyuruh bapak tadi nganterin ini?” balasku.

Mas brasma mengernyitkan dahinya, tapi sepertinya ia tidak mau memusingkan hal ini.
Ia memperkenalkan ketiga orang yang datang bersamanya. Akupun memaksa ingatanku untuk menghafal nama-nama orang penting ini.

Sadewo, Girwana, dan Mardaya..

“Kami semua Masmu putra..” ucap Mas Sadewo.
Aku ingin bertanya apa maksud semua ini namun rasa semangat mereka saat bertemu denganku membuatku sulit memulai pembicaraan.

“Brasma, sambil menunggu jamuan yang kau siapkan bagaimana kalau kita bermain dulu dengan nak putra,” tanya Mas Girwana.

“Silahkan, tapi hati-hati..” Jawab Mas Brasma.
“Tenang, kami tahu batasan kami..” balas Mas Girwana lagi.

“Bukan, maksudku.. hati-hati kalian dibuat babak belur olehnya,” ucap Mas Brasma sembari tertawa.
Seketika ketiga orang itu menatapku dengan semangat. Merekapun mengajakku ke tempat yang cukup luas dan mengajakku untuk latih tanding.

“Nak putra, kamu sudah menguasai berapa jurus?” Tanya Mas Girwana.

“Jurus?” aku menggeleng.

Aku mencoba mengingat semua yang diajarkan ayah. Ilmu bela diri dan beberapa ajian. Tapi apabila itu yang dimaksud jurus, aku tidak mengerti.

“Err… ya sudah, coba serang saya dengan ilmu bela dirimu,” ucapnya lagi.

Aku sedikit ragu, tapi sepertinya ini memang yang mereka harapkan. Akupun mengingat caraku menyerang tabib tadi.

Dengan sekali hentakan, aku berpindah ke hadapan Mas Girwana dan melepaskan sebuah tendangan.
Dengan sigap Ia menangkis seranganku, namun tenagaku membuatnya sedikit terseret.

“Ma—maaf,” ucapku takut berbuat salah.
“Lanjutkan,” balasnya.

Sebuah pukulan mengarah ke arahku, akupun menangkisnya dan membalas dengan pukulan lain. Kami beradu serangan dengan cukup keras.
Berbeda dengan pimpinan prajurit tadi, Mas Girwana bukan lawan yang mudah dikalahkan. Sebaliknya aku akan kewalahan bila tidak meningkatkan seranganku.

Tepat saat Mas Girwana menahan seranganku, akupun melompat mengambil jarak ke belakang. Aku sedikit membungkuk dan meletakkan tanganku di tanah. Dengan posisi ini aku dapat memastikan bagian mana yang harus kuserang.

Aku membaca geraka Mas Girwana dan menemukan sebuah celah di pinggang kananya. Dengan cepat aku melesat seperti hewan buas dan melompat untuk mendaratkan pukulan yang keras di titik itu.
Seketika wajah kesakitan terpampang di wajah Mas Girwana.

“Gerakan itu?”

“Iya, tidak salah lagi..!”

Aku tidak mengerti dengan apa yang dikatakan panglima lainya, tapi saat aku akan kembali menyerang, Mas girwana menangkapku dan menghentikan gerakanku.

“Sudah, cukup.. ini menyenangkan, aku takut keterusan” ucap Mas Girwana.

Akupun menarik tanganku dan sedikit menunduk untuk meminta maaf. Aku benar-benar takut perbuatanku ada yang menyinggung mereka. Tapi dibalik itu, dengan serangan-serangan yang kukeluarkan, aku kira aku bisa mengimbangi Mas Girwana.

Ternyata aku salah, ia dapat menghentikanku dengan mudah. Sepertinya aku memang tidak boleh berbesar diri.

“Rasanya benar-benar seperti bertanding dengan Widarpa!” tawa Mas Girwana.

“Gerakanya juga mirip! Aarrrghh.. aku jadi kangen beliau!” ucap Mas Mardaya.

Tunggu, jangan-jangan mereka adalah teman-teman bapak? Tapi bagaimana bapak bisa kenal dengan orang-orang ini.

Mas Sadewo memperhatikanku. Sepertinya ia membaca kebingunganmu.

“Sebentar Nak Putra, jangan-jangan kamu tidak tahu siapa ayahmu?” Tanyanya.

“Wah, tahu dong! Ayahku Widarpa Dayu sambara! Walau tidak tinggal bersama kami, dia tetap ayahku!” Jawabku tegas.

“Bukan, bukan itu maksud saya. Apa kamu tidak tahu siapakah seorang Widarpa Dayu sambara?” tanya Mas Sadewo.

Pertanyaan itu membuatku bingung. Aku tahu ayah hanyalah seorang pendekar penyendiri di hutan. Terkadang ia pulang, dan terkadang kami bertemu di hutan. Walau ibu selalu berkata bahwa bapak adalah orang baik dan seorang pendekar, Ibu tidak pernah menceritakan lebih dari itu.

“Sudah makan dulu, makananya sudah datang..” perintah Mas Brasma yang menepuk pundakku dan mengajakku kembali ke pendopo.

Sudah ada meja kayu panjang yang dipenuhi makanan-makanan mewah. Mereka mengijinkanku memakan semuanya tanpa malu-malu. Mataku berkaca-kaca melihat hidangan semewah ini.

Kamipun menikmati hidangan itu sembari mendengar perbincangan dari panglima-panglima ini.

“Ayahmu, Widarpa Dayu Sambara.. dulunya adalah seorang Patih. Kami adalah anak buahnya..” Ucap Mas Sadewo.

Mendengar cerita itu seketika aku tersedak. Aku tidak bisa membayangkan apakah ini adalah sebuah bercandaan.

“Pelan-pelan makanya Putra,” Mas Brasma Menepuk punggungku.

“Mas pasti bercanda,” ucapku.
“Jadi benar-benar tidak ada yang memberi tahumu?” tanyanya lagi.

Akupun menggeleng.
Merekapun bercerita, sebelumnya mereka adalah prajurit di sebuah kerajaan yang bernama Darmawijaya. Kerajaan yang dipimpin raja hebat bernama Prabu Arya Darmawijaya.

Ada tiga patih besar disana, salah satunya adalah Bapak. Saat itu ada pemberontakan dari kedua patih lainya dan Bapak menolong Rakyat Darmawijaya bersama keluarga kerajaan untuk mengungsi di Kerajaan Indrajaya.

Kerajaan Indrajaya sendiri adalah kerajaan yang ditaklukan oleh Bapak. Tapi bukanya menguasai, Bapak malah meletakkan prajuritnya di sini dan membantu membersihkan kerajaan ini dari pejabat-pejabat yang berniat jahat.

Saat kerajaan Darmawijaya jatuh, Seluruh rakyat, pejabat, dan prajurit Darmawijaya bergabung dengan kerajaan Indrajaya hingga berkembang sampai saat ini.

“Kalau tidak ada ayahmu, kerajaan ini sudah habis dan Rakyat kerajaan Indrajaya akan terus menjadi tumbal,” cerita Mas Brasma.

Aku melongo mendengar cerita itu, makanan yang niatnya ingin segera kuhabiskan kini sama sekali tidak berkurang saat aku mendengar cerita mereka.
“Aku saksinya, ayahmu menyelamatkan Prabu Arya dengan cara yang mengesankan. Bayangkan! Aku diminta membawa jasad Prabu Arya dan keluarganya ke rumah ibumu,” ucap Mas Sadewo.

“Jasad?” tanyaku bingung.

“Pusaka Ayahmu Keris Sukmagenilah yang akhirnya memulihkan mereka, sementara Sukma mereka dipisahkan terlebih dahulu,” jelas Mas Sadewo.
Aku benar-benar tidak habis pikir. Ternyata Bapak pernah mengalami hal besar seperti ini.

“Ini sulit dipercaya, yang aku kenal bapak hanyalah pendekar penyendiri yang tinggal di hutan dan mengembara,” balasku.

Merekapun menceritakan alasan bapak melakukan hal itu. Bapak mewarisi Ajian Segoro Demit yang bisa menggerogoti kesadaranya. Setelah kerajaan damai, bapak mengucilkan diri di hutan agar saat kehilangan kesadaranya ia tidak melukai orang lain.

Selain itu bapak juga masih belum tenang sebelum menemukan jasad sahabatnya, Prabu Arya Darmawijaya.

Siang ini benar-benar siang yang tidak dapat kulupakan. Bukan soal jamuan atau kemewahan ini, tapi cerita soal kehebatan bapak yang ternyata sagat menakjubkan.

“Kalau ada waktu lagi mampirlah ke sini, cari saja salah satu dari kami. Dan kalau ada masalah, jangan ragu untuk bicara pada kami,” ucap Mas Sadewo yang menhantarkanku meninggalkan tempat itu.

“Oh iya, bawa pedang ini… bukan pusaka, tapi setidaknya bisa membantumu melindungi diri dari kejadian seperti tadi,” ucap Mas Mardaya.

Akupun berterima kasih pada mereka dan berpamitan meninggalkan tempat itu dengan membawa beberapa peti kecil oleh-oleh dari mereka.

Sesuai janji, Mas Brasma menghantarkanku pulang ke rumah. Beberapa warga desa sempat kaget saat mengetahui prajurit berkuda melintasi desa dan berhenti di rumahku.

“Eh, Brasma.. kok bisa sama Putra? Dia ngerepotin kamu ya?” tanya ibu yang heran dengan kedatangan kami.

“Haha nggak kok Nyai, justru kami yang tertolong oleh Nak Putra. Ternyata memang buah jatuh tak jauh dari pohonya,” balas Mas Brasma.

Ternyata benar.. Ibu kenal dengan seorang panglima Brasma. Bahkan perbincangan mereka begitu kental seolah kenal sangat dekat. Sekali lagi aku dibuat kaget.

“Ayo masuk dulu, temen-temen yang lain juga mampir dulu..” ajak Ibu.

“Nggak usah repot-repot Nyai,” balas Mas Brasma.

“Nggak repot! Saya masak banyak, cukup buat kalian semua dan bawakan juga buat yang lain,” perintah Ibu.

Mendengar ucapan itu wajah Mas Brasma seketika tersenyum seperti anak kecil.

“Kalau begitu, saya nggak nolak ya Nyai..” ucap Mas Brasma.

Sekali lagi jamuan terjadi di rumahku. Beruntung kelebihan masakan untuk acara Den Bira ternyata cukup untuk Mas Brasma dan prajurit yang mengantarku.

“Dulu ibumu itu juru masak kerajaan, dan masakanya paling enak. Ayahmu juga jatuh cinta sama ibumu mulai dari masakan lho!” Cerita Mas brasma.

“Uwis, nggak usah cerita aneh-aneh,” balas ibu sembari membawakan nampan berisi beberapa gelas minuman.

“Iya! Ibu nih, kenapa nggak pernah cerita kalau bapak dulunya seorang patih , dan ibu juru masak kerajaan,” protesku.

Ibu mengelus-ngelus kepalaku dan duduk di dekatku.

“Terus kalau tahu kenapa? Apa kamu nggak bahagia hidup begini?” tanya ibu.

Akupun menggeleng, tidak mungkin aku menyangkal kehidupan yang aku rasakan bersama ibu sampai sekarang. Tapi ibu ternyata punya maksud untuk merahasiakan itu.

Pertama, ia tidak ingin merasa dibedakan dengan warga lainya. Ia ingin bersosialisasi dengan warga desa seperti biasa tanpa dikhususkan. Kedua, ia takut aku mengharapkan kehidupan yang mewah seperti di kerajaan. Padahal Ayah dan Ibu sepakat untuk hidup menjauh di desa, dan hidup damai jauh dari peperangan.

Mendengar penjelasan itu, akupun tidak lagi berani protes ke ibu. Segala sesuatu yang ayah ibu pikirkan benar-benar sudah yang terbaik untukku.

Setelah Mas Brasma dan yang lain pulang akupun tak bisa berhenti melamun membayangkan kehebatan Bapak seperti yang diceritakan mereka. Ibupun hanya menggeleng melihat kelakuanku yang mulai terlihat aneh.

***

TUMBAL DESA

Sudah beberapa minggu sejak pertemuanku dengan Panglima Brasma. Sudah beberapa kali juga aku ke hutan untuk menemui Bapak , namun bapak tak kunjung muncul juga.

Awalnya aku sedikit kecewa karna tidak sabar ingin menceritakan hal itu kepada bapak. Tapi akhirnya aku bisa memakluminya. Tapi.. kejadian saat itu membuat jadi ingin lebih mengenal dunia luar.

Mungkin ada baiknya aku berjalan-jalan ke desa lain selama beberapa hari sebelum kembali ke rumah.
Ada beberapa desa yang berdampingan dengan desaku di wilayah Setra Geni. Namun aku harus berhati-hati agar tidak melewati batas wilayah kerajaan Indrajaya.

Aku hanya mengikuti firasatku kemana kakiku melangkah. Ada beberapa desa kecil yang didiami petani dan peternak. Tidak ada yang menarik di sana hingga aku hanya menumpang melintas. Tapi hari sudah mulai malam.

Akupun berencana berhenti di desa berikutnya. Dan aku menemukan sebuah desa yang berada di kaki bukit. Desa yang cukup besar dengan rumah dan lahan pertanian yang luas. Ada yang menarik perhatianku dari tempat ini. Ada kobaran api besar di tengah-tengah desa itu.

Akupun mendekat, ada keramaian di sana. Mereka memandang ke sebuah susunan kayu besar, yang dibakar mulai dari bawah. Aku memperhatikan hingga ke atas dan menemukan seorang manusia diatasnya.

Tunggu! Manusia?

Aku memperhatikan lagi dan melihat seorang perempuan berusia belasan tahun tengah berada di atas menara kayu itu menanti api mencapainya.

“Apa-apaan ini?”

Tidak ada waktu untuk bertanya, api itu akan menjalar dengan cepat dan melahap perempuan itu.
Dengan cepat aku menjatuhkan bawaanku dan berlari memanjat menara kayu yang tengah dilahap kobaran api itu. Panas! Tapi bapak pernah mengajarkanku ilmu untuk melindungi diri dari panas api walau hanya sesaat.

“Hei!!! Apa yang kamu lakukan!!” teriak seseorang dari bawah.

“Jangan ikut campur!” teriak yang lain.
Aku tidak mempedulikanya dan terus menuju perempuan itu. Dengan sekali sapuan kayu yang digunakan untuk mengikat perempuan itupun patah dan aku membawanya ke bawah.

“Bocah bodoh! Apa yang kamu lakukan?” Teriak seorang pria yang tadi memimpin ritual yang berpakaian seperti seorang dukun.

“Saya? Terbalik!! Apa yang kalian lakukan? Membunuh anak perempuan ini?” Tanyaku kesal.
“Dia sudah dipilih menjadi tumbal, tidak ada yang bisa melawanya! Pilihanya hanya perempuan itu diserahkan atau desa kami musnah!” balasnya.

“Aaargggh… aku tidak percaya! Mana ada makhluk yang bisa memusnahkan desa dan meminta kematian anak perempuan,” ucapku.

Seluruh warga terlihat geram melihat perbuatanku. Mereka seolah memasang wajah marah dan bersiap melumatku.

“Kamu tidak tahu Boloronggo, dia penunggu bukit ini. Dia yang meminta perempuan itu sebagai tumbal!” teriak dukun itu lagi.

“Tidak peduli siapa itu, tapi membunuh manusia itu perbuatan yang salah!” Balasku.

Entah berapa lama aku berdebat dengan mereka. Yang kutangkap, mereka tidak terima dengan perbuatanku. Mereka menganggap bahwa warga desa akan berurusan dengan makhluk bernama Boloronggo sang penguasa gunung itu karena perbuatanku.

Suara tangis seorang anak wanita semakin terdengar di belakangku. Aku tidak dapat membayangkan rasa takut anak ini saat di atas tadi.

“Janto! Urus orang itu, kalian orang tuanya. Kalianlah yang berhak menentukan nasib anak kalian!” Teriak salah seorang warga.

Ada sepasang orang tua yang mendekat dengan takut-takut. Dari wajahnyapun jelas terlihat bahwa sebenarnya mereka tidak mungkin bisa mengikhlaskan anaknya mati.

“Mas.. sudah mas, lanjutkan ritual ini. Kami sudah Ikhlas,” ucap bapak itu.

Aku menggeleng perlahan sembari menatap mata Pak Janto dan istrinya. Ada kesedihan mendalam di matanya, namun terlihat ia tidak mampu melawan keputusan warga desanya.

“Bohong! Tidak ada orang tua yang ihklas membiarkan anaknya mati!” ucapku.
“Sudah… sudah mas, jangan tambah siksaan kami lagi,” balas Istri Pak Janto.

Akupun membawa anak perempuan itu ke hadapanku hingga terlihat jelas oleh mereka. Anak itu menangis sejadi-jadinya. Mungkin ia tidak pernah menyangka masih bisa melihat orang tuanya sedekat ini.

“Katakan sekali lagi! Katakan kalau kalian menginginkan dia mati!” ucapku.

“Sudah mas! Sudah!!” ucap Pak Janto.
“Katakan!!!”

Sesuai dugaanku, aku yakin merekapun berharap anaknya masih bisa selamat.
“Cukup! Kau sudah kelewatan!”
Tiba-tiba terlihat beberapa prajurit menerobos kerumunan dan mendekat ke arahku.

“Tinggalkan anak itu dan pergi! Ini diluar kuasamu,” ucapnya.

“Tidak! Kalian kan prajurit! Harusnya kalian melindungi! Bukan membiarkan anak ini mati!” Ucapku.

“Kami melindungi warga desa, anak itu cara terbaik untuk melindungi mereka dari Boloronggo!” Balasnya.

Aku tetap tidak beranjak dari tempatku dan melindungi anak wanita itu.

“Minggir!” pendekar itu mulai menghunuskan tombaknya padaku.

“Tidak!” Aku sama sekali tidak gentar.
Mengetahui keteguhan hatiku, prajurit itu tidak mempunya pilihan lain. Mereka mencoba menangkapku, namun aku melawan hingga kedua prajurit yang mencoba menangkapku terpental.

Tak terima dengan perbuatanku, sebuah sabetan tombakpun mengarah ke arahku. Aku berhasil mendaratkan tendangan di pangkal tongkatnya hingga pertahanan prajurit itupun terbuka. Dengan sekali pukulan iapun terdorong ke belakang.

“Tangkap! Dia tidak bisa meremehkan,” sang kepala prajurit itupun memerintahkan anak buahnya menyerangku.

Kini ada empat orang prajurit dan seorang kepala prajurit yang mengeroyokku. Akupun mulai kesulitan, namun dengan memanfaatkan keramaian warga aku bisa memecah jumlah mereka dan menghadapi mereka satu persatu.

Sayangnya strategiku tak bertahan lama. Merekapun akhirnya mencabut pedang mereka dan mulai menyerangku. Kini akupun mulai kerepotan.

“Jangan sampai ada dua nyawa yang harus mati di desa ini malam ini, bocah!” ucapnya.
“Tidak ada yang boleh mati!” balasku.

Aku terus menahan mereka, namun pedang mereka beberapa kali berhasil menggores tubuhku. Saat itu aku mengingat sebuah pedang yang kubawa di tasku. Akupun mengambilnya dengan cepat dan membalas serangan mereka.

Kini dengan mudah aku mementalkan pedang yang prajurit itu gunakan untuk menyerangku. Aku bisa menahanya, namun sebisa mungkin aku tidak menusuknya dan hanya menyerangnya dengan tendanganku.

Keempat prajurit terpental, namun dengan segera kepala prajurit itu mengayunkan tombaknya. Akupun dengan refleks menahan serangan itu.

“Pedang itu?!”

Prajurit itu memperhatikan pedangku dan menghentikan seranganya.

“Dari mana kau mendapatkan pedang itu?” ucap Kepala prajurit itu.

“Seseorang memberikanya kepadaku!” balasku singkat.

“Tidak mungkin! Kau pasti mencurinya!” tuduhnya.
Akupun mendekat kepadanya dan menunjukkan pedang itu padanya dan menancapkanya ke tanah.
“Panglima Mardaya memberikan ini kepadaku! Kalian bisa memastikan kepadanya!” ucapku.

Mendengar ucapanku kelima prajurit itupun menghentikan seranganya.
“Kalau begitu, kami tidak boleh menjadi musuhmu,” ucapnya.

Merekapun menyarungkan senjata mereka masing-masing dan mendekat ke arahku.
“Sekarang kami tidak akan menghalangimu, nyawa seluruh penduduk desa ada di tanganmu.. apa yang akan kau perbuat?” tanya kepala prajurit itu yang sepertinya masih belum setuju dengan keinginanku.

Akupun memperhatikan warga desa dan anak wanita itu. Sepertinya memang tidak ada pilihan lain.

Aku memajukan langkahku dan kembali mencabut pedang pemberian Panglima Mardaya.

“Tidak ada yang boleh menyakiti anak ini selama aku masih hidup..” ucapku.

Suara angin yang berhembus menemani langkahku melewati para prajurit itu.

“Aku akan melawan setan yang kalian sebut dengan nama Boloronggoitu!”

***

SETAN PENUNGGU BUKIT
Langit semakin larut. Hembusan angin di desa ini memang jauh berbeda dari di desa. Suara ketakutan warga desa masih terdengar walau aku sudah berada jauh beberapa ratus meter dari mereka.

Sesuai janjiku.. aku akan menghadapi Setan yang meminta tumbal anak perempuan itu. Semoga saja bekal ilmu dari bapak cukup untuk mengalahkanya.
Menurutmu apa makhluk paling menakutkan di dunia? Serigara? Harimau? Singa?

Tidak untukku.. Ini pertama kalinya aku melihat makhluk yang membuatku gentar saat menatapnya.
Suara pohon tersibak, langkah kaki yang terseret terdengar mendekat. Anginpun berhenti berhembus seolah enggan mendekat ke arahanya.

“Di—dia datang! Dia datang!!” ucap warga yang ketakutan hingga terjatuh.

Jauh dari gelapnya mulut hutan. Ada makhluk seringgi tiga meter dengan tangan yang sangat panjang. Wanita? Mungkin…

Rambutnya panjang dengan seluruh kulit berwarna pucat. Ia hanya mengenakan kain putih lusuh yang menutupi tubuhnya. Ia memiliki wajah yang panjang lebih dari tiga kali wajah manusia normal.
“Ngendi tumbalku?” (Dimana tumbalku)
Suaranya terdengar serak seperti nenek tua. Kepalanya menoleh ke segala arah mencari apa yang pernah dijanjikan kepadanya.

Aku menoleh sebentar ke belakang. Tidak ada lagi jalan untuk mundur. Kini aku harus menghadapi makhluk mengerikan ini.

“Ora ono tumbal kanggo demit macem kowe!” (Tidak ada tumbal untuk setan seperti kamu!) Balasku dengan mengumpulkan seluruh keberanianku.

“Ora ono? …. ORA ONOOOO!!!???”
(Tidak ada?... TIDAK ADAAA!!!???)

Makhluk itu berteriak hingga seluruh makhluk hutan berlarian dan beterbangan meninggalkan tempatnya. Aku merasakan amarah yang terlihat di wajahnya. Ia menangis kesal dan mulai menatap ke arahku.

“Balesane.. nyowo.. banjir getih!!”
(balasanya.. nyawa… banjir darah!!)
Setan itu mengayunkan tanganya yang besar dan menangkap kepalaku. Tanganya begitu dingin, ia mengangkatku tinggi-tinggi dan bersiap membantingku. Akupun menusukkan pedangku agar tangan itu melepaskanku, tapi aneh. Serangan pedangku tak dapat melukainya.

“Kau pikir bisa mengalahkan setan dengan benda manusia? Kini semua sudah terlambat…” ucap kepala prajurit itu.

Benar saja, ia makhluk halus. Benda biasa tidak akan bisa menyentuhnya. Sayangnya aku harus menerima dulu setan itu membantingku ke tanah. Beruntung bapak mengajariku cara mengurangi dampak terjatuh dari tempat yang tinggi sehingga aku bisa mengurangi lukaku.

Ajian Rogo Batin…

Sebenarnya ilmu ini diajarkan bapak untuk melatih kemampuan batinku. Tapi aku tahu, ajian ini bisa membuatku mencampuri urusan makhluk tak kasat mata di alam ini.

Dengan sigap akupun mulai menerjang makhluk itu dan memukulkan pukulan yang keras ke tubuhnya. Ia terpukul mundur, ajianku berhasil membuatku bisa melawanya.

Seketika prajurit yang tadi melawanku dan warga desapun menatapku dengan heran. Kini terjadi pertarungan sengit antara aku dan setan yang bernama Boloronggo itu.

“Menungso terkutuk!” (Manusia terkutuk)

Umpat setan itu yang tidak menyangka akan terluka oleh seranganku. Sayangnya makhluk penunggu bukit memang tidak bisa diremehkan.

Entah apa yang ia rencanakan…

Ia menggores lehernya dengan kukunya dan membuat darah hitam menetes ke tanah. Jika itu dilakukan pada manusia, ia pasti akan segera mati. Tapi tidak dengan Boloronggo.

Tetesan darah itu mengeluarkan asap seolah mendidih. Dari dalam luka di lehernya muncul uap hitam yang membuat seluruh tubuhnya ikut menghitam.

“Ora ono sing oleh urip…” (Tidak ada yang boleh hidup) Geram Boloronggo.

Sebelum sesuatu terjadi, aku kembali menyerang Boloronggo. Sebuah pukulan mendarat di perutnya, anehnya ia hanya bereaksi sedikit. Ia tidak terluka seperti sebelumnya.

Sebaliknya tanpa kusadari sebuah ayunan tangan besar menepukku dari samping dan membuatku terpental.

Tenaga setan itu bertambah??

Kini seranganku tidak lagi dapat mengimbanginya. Beberapa kali aku terpental. Bahkan semua serangan yang sebelumnya bisa membuatnya tumbang kini tidak berarti apa-apa.

“Bocah! Menjauh dari setan itu!” teriak kepala prajurit yang tadi menyerangku.

Aku tidak mengerti apa maksudnya, tidak mungkin aku menjauh dan membiarkan makhluk mengerikan ini menyerang desa.

Aku terus menyerang, namun tiba-tiba pimpinan prajurit itu mendekat dan menahanku.

“Gunakan otakmu! Bukan Boloronggo yang semakin kuat, tapi kau yang melemah karena uap hitam dari darah setan itu..” ucap kepala prajurit itu.

Aku kembali menoleh ke arah Boloronggo, dan memang uap dari darahnya semakin banyak menyelimuti dirinya.

“Itu adalah Rungkut Sabdo Getih , mirip salah satu ilmu hitam yang pernah digunakan oleh panglima kerajaan musuh dulu..” jelasnya.

Aku menoleh ke arah kepala prajurit itu. Keempat prajurti lainyapun seolah sedang mempersiapkan sesuatu.

“Baik Mas, saya akan mencari cara menangani uap hitam itu..” balasku yang segera memintanya segera mundur.

Tapi sebaliknya, para prajurit itu malah mendekat.
“Kami akan membantumu..” ucapnya.

Aku cukup kaget, bagaimana mereka bisa berubah pikiran untuk membantuku.

“Ta—tapi bukanya…”
Prajurit itu membantuku berdiri sementara keempat prajurit lain mempersiapkan panah yang ujungnya sudah dibakar dengan api.

“Tugas kami adalah melindungi desa. Saat tidak ada kemungkinan mengalahkan Boloronggo, penumbalan itu adalah keputusan terbaik. Tapi sekarang berbeda…

Ada kesempatan mengalahkan makhluk itu, berarti sekaran tugas kami adalah memastikanmu menghabisi Boloronggo..” Jelasnya.

Aku mulai mengerti. Sebagai seorang prajurit mereka hanya memilih kemungkinan terbaik yang mereka bisa. Sayangnya mereka tidak ingin mencoba untuk mencari cara tanpa mengorbankan satu nyawapun.

“Tapi kalian tidak bisa menyentuh makhluk itu?” ucapku.

“Jangan remehkan kami. Biar begini, kami tetap prajurit Indrajaya yang dilatih dengan baik!” ucapnya.
Sebuah anak panah melesat ke arah Boloronggo. Panah itu menembus tubuhnya, tapi api di ujung panah itu seolah membuat kobaran di sekitar makhluk itu.

“Kami akan membersihkan uap itu dan membuat celah. Pastikan seranganmu yang berikutnya adalah yang terkuat,” ucap kepala prajurit itu.

Aku mengangguk, entah mengapa kali ini aku merasa semangat. Apakah karena kali ini aku tidak bertarung sendirian?

Sebuah pedang pemberian Panglima Mardayapun kembali kucabut dari tanah. Aku berpikir mungkin saja aku bisa mengalirkan kekuatan Ajian Rogo Batin ke senjata ini.

Sambil mencoba kemungkinan itu, aku memperhatikan pertarungan sengit kelima prajurit dengan Boloronggo. Nyala api berkobaran di sekitar tubuh setan itu. Itu tidak melukainya, tapi sepertinya api itu menghapus uap hitam dari sekitar tubuhnya.

Tidak ada serangan lain. Prajurit-prajurit itu hanya menghindar dan terus menghindar sembari mengirimkan api padanya.

Aku sedikit tersenyum, ini adalah sebuah pelajaran untukku. Mungkin inilah perbedaan pertarungan pendekar dengan prajurit.

Mereka tidak hanya beradu ilmu, tapi memiliki strategi yang bisa membuat seseorang yang mungkin lebih lemah jadi mampu bertarung seimbang dengan yang lebih kuat.

Kepala prajurit itupun kembali mundur ke arahku, ia membalut ujung tombaknya dengan kain dan membakarnya.
“Sudah siap?” Tanyanya.

Aku memperhatikan pedang yang berada di genggamanku. Ada kekuatan putih yang memancar menyelimutinya. Tapi sepertinya hanya aku yang mampu merasakanya.

“Iya mas..” balasku.
“Ikut di belakangku!” Perintahnya.
Kami berlari menuju setan itu secepat mungkin. Dengan sekuat tenaga, Kepala prajurit itu melemparkan tombaknya yang segera menembus wajah setan itu. Kobaran apipun membakar uap hitam di sekitar wajahnya.

“Sekarang!!” Teriaknya.
Sayangnya sebelum aku melompat sebuah sapuan tangan hitam besar kembali menyerang kami berdua.
Aku berhasil melompat sementara kepala prajurit itu berhasil menghindar dangan menggulingkan diri di tanah. Aku harus menggunakan celah yang dibuat oleh mereka sebelum uap hitam itu muncul lagi…

“Mas Kepala prajurit! Pinjam tanganmu!” Teriakku.
Seolah mengerti aba-abaku, kepala prajurit itu berjongkok dan mengatupkan tanganya. Kakiku kudaratkan pada tangan itu dan kembali melompat dengan bantuan tenaga darinya.

Akupun melompat setinggi-tingginya ke arah Boloronggo. Api di wajahnya membuatnya tidak menyadari keberadaanku. Saat ia sibuk mencariku, aku yang sudah berada di atasnya segera menancapkan pedang yang sudah kuberikan ajian tepat di ubun-ubun.

Tak puas sampai di situ, akupun menarik pedangku kebawah hingga pedangku membelah sampai ke punggungnya.

“Aaarrarrgghh…..”

Saura erangan terdengar ke seluruh penjuru hutan. Sekali lagi hewan malam beterbangan dan berlarian takut dengan apa yang tengah terjadi.

Boloronggo tumbang dan meronta kesakitan. Ia ingin mengumpat, tapi tubuhnya tak lagi bisa berkutik.
Sekali lagi asap hitam menyelimuti tubuhnya, bukan untuk menyerangku. Tapi asap hitam berasal dari tubuhnya yang menguap dan perlahan menghilang.
“Boloronggo mati?” tanya salah satu warga.

“Apa benar? Apa benar Boloronggo sudah dikalahkan?” balas warga lainya yang tidak percaya.
Aku dan kepala prajurit itupun kembali memeriksa tempat Boloronggo tumbang. Ada sebuah tulang manusia jangkung berwarna hitam di sana. Namun aku tidak merasakan ada kekuatan apapun lagi dari benda itu.

“Ini wujud asli Boloronggo?” Tanyaku.
“Mungkin..” balas kepala prajurit itu.

Iapun mengambilnya dan mengangkatnya. Sontak seluruh warga desa bersorak mengetahui makhluk yang meneror desanya kini telah musnah.
Iapun membawa tulang makhluk itu dan membakarnya di api yang sebelumnya akan digunakan untuk menumbalkan anak wanita itu.

Kobaran api yang mengerikan itu kini menyinari tangis haru Pak Janto, istrinya, dan sang anak yang dipersiapkan untuk menjadi tumbal itu.

Aku mencoba menahan rasa haruku, tapi anak itu menoleh ke arahku dari pelukan ibunya.

Ada sesuatu yang ia katakan dari jauh yang tidak dapat kudengar. Walau begitu aku masih mengetahui apa yang ia maksud dari gerakan bibirnya.

“Terima kasih…”
Ucapan anak itu berhasil membuatku tersenyum lebar sebelum akhirnya terjatuh di tanah dan kehilangan kesadaran. Semua tiba-tiba menjadi gelap. Aku benar-benar telah menghabiskan seluruh kekuatanku.

***

Rasa panas matahari mulai menyinari sebagian wajahku. Suara gemericik air dan benda hangat yang diletakkan di dahikupun membuatku memaksa membuka mata.

“Mas.. sudah sadar?”
Ada seorang anak perempuan yang tengah mengganti kompres di dahiku.

“Ka—kamu?” tanyaku.

“Sari mas.. anak yang kemarin mas tolong,” balasnya.

Iya benar, aku mengingat wajahnya. Ternyata tanpa dandanan ritual kemarin Sari benar-benar anak perempuan yang cantik. Wajar saja ia dipilih sebagai tumbal oleh Boloronggo.

Aku memperhatikan tubuhku dan luka-lukaku telah benar-benar di rawat.

“Sari yang ngobatin lukaku?” tanyaku.

“Iya mas, nggak mungkin kami membiarkan pendekar yang menolong saya terluka begitu saja,” balasnya.

“Terus warga desa yang lain gimana?” Tanyaku.
Sari mengambil segelas teh panas dan mengantarkanya ke arahku yang berusaha untuk duduk.

“Mereka mengerti dan meminta maaf. Mereka benar-benar berterima kasih,” Jelas Sari.

“Kamu nggak dendam sama mereka?” Tanyaku.
Sari menggeleng, “Kita tidak bisa menyalahkan mereka juga, mereka tidak ada pilihan lain.”

Aku masih tidak setuju dengan pernyataan itu. Tapi yah… aku tidak ingin membebani Sari dengan debat yang mungkin tak berujung.

Mengetahui aku sudah tersadar, Pak Janto dan isterinya segera mempersiapkan sarapan untukku. Yah, walaupun tidak seenak buatan ibu tapi perutku yang kosong membuatnya terasa nikmat.

Setelahnya akupun keluar untuk menikmati udara segar setelah entah berapa lama aku pingsan. Tak di sangka kelima prajurit yang membantuku kemarin juga datang ke tempat ini.

“Mas Putra sudah pulih?” Tanya kepala prajurit itu.
“Iya sudah mas, terima kasih,” balasku.

Tunggu.. sepertinya ada yang aneh. Semenjak datang aku belum memperkenalkan namaku. Bagaimana dia bisa tau?

“Sebentar, bagaimana kalian bisa tahu namaku?” Tanyaku.

Kepala prajurit itupun turun dari kudanya dan menghampiriku. Ia memajukan tanganya menanti tanganku menjabatnya.
“Saya Garto, kepala prajurut dibawah pimpinan Panglima Sadewo,” jelasnya.

Panglima Sadewo? Dia adalah salah satu dari panglima yang diperkenalkan oleh Mas Brasma.

“Owalah.. pantes, berarti Mas Sadewo yang cerita,” tanyaku.
“Benar.. kemarin kami kembali ke istana dan menceritakan kejadian ini. Saat mengetahui ada pedang Panglima Mardaya di tangan mas , Panglimapun langsung mengetahui bahwa masnya adalah Mas Putra..” jelasnya.

Aku menarik nafas lega, sepertinya perseturuan sudah berakhir di sini. Tapi tunggu… Kemarin?”
“Maaf Mas Garto.. memangnya saya pingsan berapa lama?” Tanyaku.

“Dua hari dua malam mas,” Tiba-tiba suara Sari terdengar dari belakangku dan menempel pada lenganku.

“Yang benar? Dua hari?” tanyaku.
Sari mengangguk.

“Waduh, ngapunten.. maaf. Berarti pasti saya ngerepotin Sari banget ya?” ucapku tidak enak.
Kali ini Sari menggeleng, ia menatapku dengan malu-malu.

“Jangankan dua hari, ngurusin Mas Putra seumur hidup juga Sari siap..” balasnya sambil tersipu.

Seketika wajahku memerah, ada seorang anak kecil yang masih berumur belasan tahun mencoba merayuku.

“Heh.. jangan aneh-aneh, Sari masih kecil. Bantuin ibu bapak dulu,” balasku.

Aku tidak sadar Pak Janto dan istrinya sedang menatap kami dari pintu rumahnya. Iapun mendekat dan mengusap kepala anaknya.

“Nggak papa kok Nak Putra, Sari bisa bersabar tiga sampai empat tahun lagi. Sari akan menjadi istri yang baik kok,” Ucap Pak Janto yang sama sekali tidak dapat kuduga.

Aku benar-benar canggung dengan situasi ini. Aku mencoba meminta tolong pada Mas Garto namun ia malah menertawakanku bersama prajurit lainya.
Yah akhirnya aku hanya bisa tertunduk malu sembari menggaruk kepalaku. Ya sudahlah, toh hanya takdir yang bisa menjawab apakah Sari adalah Jodohku atau bukan..

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya
DARYANA PUTRA SAMBARA (Part 3) - Prasasti Desa

*****
Sebelumnya

Terima kasih sudah membaca part ini hingga akhir. Mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.
close