Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DARYANA PUTRA SAMBARA (Part 1) - Takdir Manusia

Apa yang ada di zaman ini tak bisa lepas dari yang terjadi di masa lalu. Ilmu hitam, makhluk gaib, hingga kutukan sudah lebih dulu dekat dengan manusia di masa itu.
Dan ini adalah kisah tentang pewaris takdir penyandang nama Sambara


“Bapak?” aku tersenyum menyambut kedatangan Bapak yang sudah lama tidak terlihat. Paku hitam yang kubungkus dengan kain itupun kutunjukkan pada Bapak.

“Sini dengarkan bapak..”

Aku duduk berhadapan di depan bapak di sebelah api unggung yang kubuat. Ia meletakkan paku itu di tengah-tengah kami dan memperlihatkan kekuatan hitam yang menyelimutinya.

“Ini adalah salah satu ilmu santet, keberadaan kekuatan hitam ini menandakan bahwa benda ini masih berhubungan dengan pengirimnya,” Jelas bapak.
Bapak mengajarkan satu hal kepadaku.

Menurutnya kita bisa mengetahui siapa pengirim benda ini dengan mengikuti arus kekuatan hitam yang ada di benda ini.
“Tutup matamu dan coba masukkan sedikit kesadaranmu di benda ini,” ucap bapak.

Sebelumnya bapak pernah mengajarkanku cara untuk membaca aliran kekuatan di beberapa benda hidup. Dengan memindahkan sedikit kesadaran, kita bisa mengetahui energi apa saja yang mengalir di berbagai benda maupun pusaka.

Aku melakukan seperti yang bapak katakan dan mendapati sosok dan keberadaan inang dari pemilik benda ini.
“Seorang prajurit kerajaan?” Tanyaku pada bapak.
Bapak mengangguk, namun ia segera meletakkan tanganya di atas paku itu dan mengalirkan kekuatanya.

Seketika kekuatan hitam itupun menghilang dari penglihatanku.
“Kamu harus berhati-hati. Tidak semua benda bisa dibaca semudah ini. Bila pengirimnya orang yang lebih sakti, mungkin kesadaranmu akan terperangkap oleh jebakan yang ia pasang.

Dan setelah mengetahui siapa pelakunya, segera murnikan benda itu agar mereka tidak lagi bisa melacak keberadaanmu,” Jelas bapak.
“Baik pak, Putra ingat baik-baik ucapan bapak,” Balasku.
Akupun masih memperhatikan paku itu.

Walau kekuatan hitamnya menghilang, tapi paku itu masih dapat kulihat. Apa mungkin itu yang sering disebut dengan benda ghaib?
“Nah sekarang kita masuk bagian yang paling penting,” ucap bapak.
Aku mengangguk dan pergi mengambil bungkusan lain yang cukup besar ke hadapan bapak.

“Ini pak..” ucapku.
“Sayur lodeh, bandeng, sambel terasi?” Tanya bapak sembari menerawang isi bungkusan yang kutunjukan padanya.
“Hebat! Bapak nggak pernah gagal nebak masakan ibu!” ucapku.

“Nggak mungkin bapak bisa salah ngenalin makanan terenak di jagat raya! Sudah cepat dibuka!” Perintah bapak.
Malam itu kami menikmati masakan yang dibawakan oleh ibu hingga tak bersisa. Setelahnya bapak mengajarkan beberapa ilmu bela diri dan ilmu batin semalaman.

Hanya di malam pertama, malam berikutnya bapak sudah pergi lagi dan menghilang. Aku tidak mungkin menahanya, beberapa kali aku sempat melihat bapak menahan sesuatu yang mengamuk dari dalam dirinya.

Tapi dengan semua penderitaan itu ia masih terus berusaha untuk menjadi seorang ayah yang baik untukku.

***

Semakin aku dewasa, semakin jarang bapak menemuiku. Aku tahu itu semua demi kebaikan kami dan seluruh kerajaan. Tapi aku tidak ingin menerima keadaan ini begitu saja, suatu saat aku pasti akan menemukan cara untuk menyelamatkan bapak.

Aku terbangun dengan aroma masakan ibu yang tidak pernah gagal menggodaku.
“Bangun le, tolong anterin lauk ini ke rumah Den Bira ya.. ibu masih banyak yang harus di masak,” sambut ibu saat sudah mengetahui aku yang telah terbangun.

“Putra sarapan dulu boleh bu?” tanyaku.
“Boleh, cepet mandi terus berangkat ya..”
Aku menuruti perintah ibu dan segera membawa beberapa keranjang yang aku duga berisi ayam bakar dan kelengkapanya.

Rumah Den Bira cukup jauh, mungkin setengah hari bisa kugunakan untuk perjalananku pulang pergi. Tapi inilah mata pencaharian aku dan ibu, dari masakan yang dipesan juragan seperti Den Biralah kami bisa hidup berkecukupan.

“Wah Nak Putra! Akhirnya sampai juga,” sambut Den Bira yang keluar sendiri menyambutku.
“Belum terlambat kan Den?” Tanyaku memastikan.
“Belum, acaranya masih nanti sore kok. cuma nggak sabar aja mau ngicipin duluan,” Balasnya.

Aku membukakan bungkusan yang kubawa dan menghantarkanya ke dapur. Sudah ada beberapa pelayan Den Bira yang menerima dan menata masakan ibu.
“Tukang masak Den Bira banyak, tapi kok sampai jauh-jauh mesen ke ibu Den?” tanyaku yang cukup bingung.

Pasalnya dapur Den Bira begitu bagus, banyak pelayan dan bahan makanan yang lengkap.
“Masakan mereka belum bisa menyamai rasa yang dibuat ibumu Nak Putra, padahal ibumu sempat datang sendiri mengajari mereka,” balasnya.
“Yang bener Den?”

“Ngapain saya sampai bohong, buat saya masakan ibumu itu masakan yang mewah,” balasnya.
Aku cukup bangga mendengar pujian Den Bira yang tak ada habisnya terhadap masakan ibu. Mungkin hal ini juga yang menjadi alasanku tidak pernah iri dengan keluarga lain yang hidup lebih mewah.

Tok..tok… tok..
“Kulo nuwun..”
Belum sempat aku pergi pulang, tiba-tiba terdengar seseorang yang datang ke kediaman Den Bira. Iapun membukakan pintu mempersilahkan orang-orang itu masuk.
Ada dua orang berpakaian jubah hitam panjang yang disambut dengan baik juga oleh Den Bira.

“Den, mereka siapa Den?” tanyaku yang sedikit curiga dengan penampilanya.
Masalahnya, entah mengapa samar-samar aku merasakan energi hitam dari tubuhnya. Sayangnya aku tidak bisa memastikanya.
“Mereka Tabib yang membantu ngobatin Kusni, tunggu sebentar ya,” ucap Den Bira.

Kusni adalah anak Den Bira, umurnya hanya terpaut tiga tahun lebih muda dariku.
“Kusni sakit apa Den? Kalau saya ikut lihat boleh,” tanyaku.
“Boleh, nanti sekalian saya ceritain penyakitnya Kusni.”

Setelah perbincangan singkat dengan kedua tabib itu, Den Birapun membawa mereka ke kamar Kusni. Aku mengikuti mereka dan melihat keadaan Kusni dari dekat pintu kamar.

“Penyakit Kusni aneh, dia mendadak lumpuh. Saya sudah mengajaknya berobat ke berbagai tempat namun tidak ada yang berhasil.
Kedua orang ini menawarkan saya untuk mengobati Kusni.

Awalnya saya ragu, tapi dalam satu pengobatan tiba-tiba tangan Kusni bisa bergerak lagi,” jelas Den Bira.
Aku mengangguk menerima penjelasan Den Bira. Sungguh bagus seandainya ternyata kedua orang ini adalah orang baik yang bisa membantu Kusni.

Metode pengobatanya tidak terlalu aneh. Mereka menumbuk rempah dan meminumkanya pada Kusni. Setelahnya mereka memijat tangan dan kaki Kusni.
Tapi saat itu aku merasakan ada yang aneh..
Ada beberapa jarum di tubuh Kusni, dan ada kekuatan hitam yang muncul dari jarum itu.

Hal ini seperti yang dulu pernah kutemukan pada paku di kaki Taryo. Sepertinya Den Bira juga tidak mengetahui tentang hal itu.
“Pak! Tangan Kusni satunya sudah bisa bergerak,” ucap Kusni tiba-tiba.

Aku menoleh pada salah satu tabib itu dan mendapati ia tengah menggenggam jarum yang sebelumnya menusuk di tangan Kusni. Perlahan kekuatan hitam dari jarum itupun kembali ke tubuhnya.

“Pengobatanya sudah selesai, tapi kami masih harus beberapa kali datang untuk mengobati kaki Kusni,” ucap mereka.
Den Bira tersenyum sambil menoleh ke arah Kusni.
Kamipun menghantarkan tabib itu keluar untuk pulang.

Ada perbincangan singkat diantara mereka yang akhirnya membuatku berpikir.
“Untuk bayaran kali ini kami meminta tanah di utara sungai ya Den,” ucap tabib itu.
Den Birapun menghela nafas pasrah..
“Tanah? Maksudnya apa Den? Mereka dibayar dengan tanah?” tanyaku.

“Iya Nak Putra, sudah perjanjian kami. Saya tidak bisa apa-apa karena hanya mereka yang bisa mengobati Kusni,” balas Den Bira.
Mendengar jawaban itu akupun geram. Baru saja mereka melangkah beberapa langkah meninggalkan kediaman Den Bira, akupun segera menahanya.

“Jangan bayar mereka Den! Den Bira ditipu!” Teriakku.
Mendengar ucapanku merekapun berhenti melangkah. Den Bira panik dan mencoba menahanku.
“Menipu? Menipu bagaimana? Jangan sampai mereka tersinggung Nak Putra,” tahan Den Bira.

“Kusni terkena santet Den, dan mereka sendiri pengirimnya!” ucapku.
Den Bira mengernyitkan dahinya seolah tidak percaya dengan ucapanku. Kedua orang itupun berbalik dengan wajah marahnya.

“Jangan memfitnah kau bocah! Kau tahu akibatnya kalau kami berhenti mengobati Kusni!” balasnya.
“Ada lima jarun di tubuh Kusni, kalian hanya mencabut satu. Dan kekuatan santet di jarum itu adalah milik kalian!” Teriakku.

Den Bira penasaran dengan ucapanku, namun ia lebih takut menyinggung tabib-tabib itu.

“Sudah Nak, jangan diteruskan,” tahan Den Bira.
Aku yang sudah tidak dapat menahan emosiku segera masuk ke dalam menuju kamar Kusni.

“Akan kubuktikan Den!”
Den Birapun masuk ke dalam bersamaku. Kedua tabib itu penasaran namun ia tidak berani masuk ke dalam.
“Kusni, tahan sebentar ya..” ucapku.

Aku memperhatikan tubuh Kusni, menyalurkan tenaga untuk memperkuan fisiknya dan memastikan semua letak jarum-jarum itu.

“Kamu mau ngapain Putra?” Tanya Kusni bingung.
Akupun menarik keempat jarum yang tersisa di tubuh Putra dan menyimpanya dalam bungkusan kain.

Perlahan bagian tubuh Putra yang tertusuk jarum itupun pulih.
“Bapak, Putra bisa bergerak,” ucap Putra tiba-tiba.
“Ini ulah mereka Den, jangan sampai mereka lolos. Bisa ada korban lagi!” ucapku.
Kamipun segera keluar mencari kedua tabib itu, tapi mereka sudah menjauh.

“Pengawal! Bawa kedua tabib itu ke sini!” Perintah Den Bira.
Tak butuh waktu lama hingga Den Bira berhasil menangkap mereka berdua dan membawanya ke hadapan Den Bira.
“Apa maksudnya ini??” tanya tabib itu berpura-pura polos.

Tapi wajah mereka menunjukkan rasa kaget saat mengetahui Kusni sudah bisa berjalan menghampiri kami.
“Kalian yang sudah menyantet Kusni?!” teriak Den Bira.

“Fitnah! Itu Fitnah! Kami hanya ingin mengobati.. santet itu dikirim oleh orang lain! Bisa saja anak itu sendiri!” Teriak mereka.

Aku geram mendengar mereka yang masih saja berbohong dengan kelakuanya.

“Aku bisa membuktikan jarum ini milik mereka,” ucapku pada Den Bira.

Akupun membuka bungkusan kain berisi jarum tadi dan memperhatikanya. Kekuatan hitam di jarum itu sama seperti yang dimiliki oleh salah satu dari mereka.

Ada sebuah ajian yang kubacakan untuk mengalirkan panas ke telapak tanganku.

Saat itu aku mengirimkan panas mendidih ke energi hitam yang berada di jarum itu.

“Panas!! Panasss!!” Teriak salah satu tabib itu tiba-tiba.

“Dia pengirim santet itu Den!” ucapku sembari menunjuk ke salah satu tabib itu.

Mengetahui keadaanya sudah terpojok merekapun kembali mencoba melarikan diri, tapi pengawal sudah menghadangnya.
Disinilah tiba-tiba perasaanku berubah menjadi semakin tidak enak…
Saat pengawal berhasil menangkap mereka, raut wajah salah satu tabib itu berubah.

Matanya memerah menatap kami dengan penuh amarah.
“Kowe wis nggolek perkoro karo sing dudu tandinganmu,” (kamu sudah mencari perkara dengan yang bukan tandinganmu) ucap tabib itu.
Seketika ia mendorong kedua pengawal yang menangkapnya hingga terpental.

Wajahnya tidak seperti sebelumnya, kini terlihat taring keluar dari mulutnya dan tubuhnya menghitam.
“Ndoro Jaran Bayu.. matur nuwun wis teko mrene,” (Ndoro Jaran Bayu, terima kasih sudah datang ke sini) Ucap tabib satunya yang masih dalam keadaan sadar..

Pengawal yang tadi terpental mencoba kembali menangkap tabib yang kerasukan itu, tapi dengan mudah tanganya dipatahkan olehnya.
“Gi—gila! Kenapa tabib itu bisa sekuat itu?” Den Bira heran.
“Dia kerasukan den, sosok itu yang memberi tabib itu kekuatan,” jelasku.

Den Birapun memerintahkan pengawal lainya untuk menangkap tabib itu, tapi dengan mudah mereka terpental. Pertarungan itu memancing perhatian banyak orang di desa, terlebih pemandangan itu terlihat cukup mengerikan.

Tabib yang kerasukan Ndoro Jaran Bayu itu tak segan-segan mematahkan lengan pengawal Den Bira, kuku-kukunya yang tajampun berhasil melubangi tubuh pengawal Den Bira hingga darahpun bercucuran di sana.

“Ini adalah peringatan! Siapapun yang berani mencari masalah dengan pengikutku, akan mati seperti ini!” Ucapnya sembari bersiap memisahkan kepala salah satu pengawal Den Bira dari tubuhnya.
“Jangannn!!” Den Bira panik.

Aku tak mampu lagi menahan diri, seketika aku mengingat semua ilmu yang diajarkan oleh bapak. Dengan cepat aku melesat kearah Tabib itu dan mendaratkan kakiku tepat di wajahnya hingga terpental.
Seketika Den Bira dan pengawalnya kaget melihat apa yang kulakukan.

Tak hanya mereka, akupun terheran. Aku belum pernah menyerang seseorang sebelumnya selain bapak, tak kusangka tenagaku mampu mementalkan orang itu.
“Nak Putra? Nak Putra bisa bela diri?” tanya Den Bira.

Aku tidak berani menjawab, namun setelah mengetahui hal ini aku harus mengambil sikap.

“Tak kuijinkan demit busuk sepertimu menyentuh, orang-orang Den Bira!” peringatku.

Tabib itu kesal, rasa amarahnya berubah menjadi kabut hitam yang menyelimuti tubuhnya.

Kali ini ia melesat mencengkeram kepalaku, tapi dengan sigap aku menangkap tanganya dan membanting ke tanah.

Berbagai pukulan darinya mencoba mendarat di tubuhku, namun tak satupun seranganya yang mampu membuatku merasa kesulitan.

“Apa ini hasil latihan dari bapak?” Pikirku.
Aku mengingat beberapa pelajaran dari bapak. Salah satunya adalah memurnikan benda atau makhluk dari energi yang bukan miliknya.

Seharusnya dengan ilmu ini aku bisa melepaskan kekuatan Ndoro Jaran Bayu dari tubuh tabib itu.

Peparinge kang nitahake kang Gusti, ora pantes nganti karuwetan dening barang kang ala..

“Semua yang diberikan oleh yang maha kuasa, tidak pantas dinodai oleh hal jahat…”

Aku menggunakan kemampuan untuk memurnikan jarum santet tadi kedalam kepalan tanganku.

Kali ini aku bersiap menyerang tabib yang semakin kesetanan dengan sosok yang merasukinya.
Sebuah pukulan mendarat tepat di tubuhnya, ia terpental menjauh dan kembali menyerang. Kali ini kami beradu pukulan satu sama lain.

“Nak Putra! Jangan memaksakan diri!” Den Bira Khawatir. Ia memerintahkan pengawalnya untuk membantuku, tapi aku menahanya.
Kini alur pertarungan mulai berubah, perlahan kabut hitam di tubuh tabib itu mulai menghilang.

Ternyata benar, setiap pukulanku melepaskan sedikit demi sedikit kekuatan jahat yang mengaliri tubuh tabib itu.

“Kekuatanku !!!???”

Tabib itu mulai gentar, iapun mencoba berlari menjauh meninggalkan pertempuran. Akupun mengejarnya hingga ke tengah desa.

Setidaknya dengan satu pukulan ini aku bisa mengalahkanya.
Tepat saat mencapai jangkauanku aku melancarkan pukulan terakhir yang seharusnya bisa melumpuhkanya. Tapi belum sempat pukulanku menyentuhnya tiba-tiba seseorang menahan pukulanku dan menendangku mundur.

“Keributan apa ini!!!”
Itu adalah prajurit kerajaan. Ada tiga orang prajurit yang mendapati pertarungan kami.

“To—tolong! Dia mencoba melukai saya!” ucap tabib itu pada prajurit.

“Enak saja! Dia tabib palsu yang mau mencelakai orang lain!” Balasku.

Prajurit itu menatapku, setelahnya ia bertatapan dengan tabib yang bersembunyi di belakangnya.

“Tangkap mereka! Bawa ke markas!” perintah prajurit itu.

Aku kaget mendengar perintah itu, aku tidak menyangka bahwa aku juga akan ditangkap oleh mereka.

“Anak ini benar! Tabib itu sudah menyantet anak saya! Anak inilah yang menolongnya!” tiba-tiba Den Bira datang bersama beberapa pengawalnya.

Sekali lagi prajurit itu bertatapan dengan tabib yang bersembunyi di belakangnya.

Aku baru sadar, dari dalam tubuh prajurit itu samar-samar terlihat kekuatan hitam yang mirip dengan tabib itu.

“Bawa mereka ke markas!”

Prajurit itu tidak berubah dengan keputusanya, namun Den Bira dan pengawalnya segera membuat barisan di depanku dan melindungiku.

“Sudah saya bilang, anak ini tidak bersalah!” ucap Den Bira.
“Kau berani melawan prajurit kerajaan?!” ancam Prajurit itu.
“Selama yang saya lakukan benar, saya tidak akan takut!” Tegas Den Bira.
Seketika sebuah pedang melesat tertuju ke leher Den Bira.

Pimpinan prajurit itu benar-benar tidak main-main dengan ucapanya. Namun Den Bira sama sekali tidak gentar.

Seketika pengawal Den Bira mencoba membantunya, tapi beberapa prajurit menghadangnya dan mengancamnya.

“Serahkan anak itu atau kalian akan dicap sebagai penghkhianat!” Ucap Prajurit itu.

“Aku setia pada kerajaan Indrajaya, fitnahmu tidak akan menggetarkanku!” Balas Den Bira.

“Kalau begitu hukuman seorang pengkhianat adalah Mati!!”

Prajurit itu menarik pedangnya dan bersiap menebaskanya pada Den Bira.

Aku tidak lagi dapat menahan pemandangan ini. Sebelum pedang itu mendarat, aku melompat dan menendang pimpinan prajurit itu hingga tersungkur.

“Jangan sentuh Den Bira!” Ucapku kesal.

“Berani-beraninya kau! Ini perintah! Tangkap mereka atau habisi sekalian!” Perintah pimpinan prajurit itu.

Seketika desa itu menjadi medan pertempuran antara pengawal Den Bira dan prajurit kerajaan.

Aku berusaha tidak membiarkan orang-orang Den Bira terluka dan mencoba menghadapi prajurit itu sebanyak mungkin.

Warga desa berlarian ketakutan menghadapi kejadian tak diduga ini. Suara pedang saling beradu, cipratan darah bertebaran dari pertarungan mengerikan ini.

Namun tepat sebelum ada jatuhnya korban, tiba-tiba sekumpulan prajurit lain berdatangan menghentikan pertarungan kami.

Ada seseorang yang sepertinya memiliki pangkat lebih tinggi diantara mereka. Ia menaiki kuda dan melompat tepat kehadapanku dan pimpinan prajurit itu.

“Hentikan!!!” teriak panglima itu.
Mendengar teriakan itu, seketika seluruh prajurit dan pengawal Den Bira menghentikan seranganya.

“Tuan Brasma, mereka pengkhianat! Mereka berani melawan kami!” Ucap pimpinan prajurit itu.

“Bohong! Prajurit itu melindungi tabib penipu yang mencoba membunuh anak saya! Anak ini hanya mencoba menolong kami,” Den Bira berteriak membelaku.

Aku tidak tahu lagi harus bersikap apa diantara orang-orang besar ini. Namun panglima itu menatapku dan memperhatikanku.

Aku merasa ada sesuatu yang ia perhatikan dari tubuhku.
“Siapa namamu?” tanyanya.

“Pu—Putra tuan,” balasku.

“Apa yang terjadi?”

Akupun menceritakan pada panglima itu tentang apa yang terjadi pada Kusni, hingga tabib itu kesetanan dan berlindung pada prajurit itu.

“Mana tabib itu!” Tanya Tuan brasma pada para prajurit.

Prajurit itupun membawa tabib itu kehadapan Panglima Brasma.

“Bohong! Anak itu berbohong, prajurit-prajuritmu membela yang benar!” ucapnya.

Belum sempat melanjutkan ucapanya, sebuah tombak menusuk tepat di tubuh tabib itu dari tangan Panglima Brasma.

“Tuan! Bukan dia yang salah!” Pimpinan prajurit itu masih mencoba membela.

“Tangkap Pimpinan prajurit dan anak buahnya yang bersekongkol!” Perintah panglima Brasma.

Saat itu juga aku dan Den Bira kaget dengan keputusan itu. Aku merasa lega, tapi aku tidak tahu apa yang bisa membuat panglima brasma melihat kebenaran ini dan mempercayaiku.

“Tuan! Kenapa prajurit kita yang ditangkap? Apa kata rakyat kita?” Protes anak buah panglima brasma.

“Surat Titah Sandi Ganendra! Tidak ada yang boleh melawan!” ucap Panglima Brasma.

Seketika suara kasak kusuk terdengar diantara para prajurit. Merekapun tidak lagi berani melawan perintah itu.

Titah Sandi Ganendra? Apa maksudnya?

“Nak, Ayo naik!” Tiba-tiba Panglima Brasma mengulurkan tanganya dan mengajakku naik ke kudanya.

“Sa—saya?” Tanyaku bingung.

“Nak Putra mau dibawa kemana Tuan? Tolong ampuni dia?” Ucap Den Bira sembari berlutut.

Melihat Den Bira berlutut, Panglima Brasma segera turun dari kudanya dan memintanya berdiri.

“Tenang Tuan, Saya akan menghantarkan Putra pulang ke rumah ibunya. Tapi sebelumnya ada beberapa orang yang ingin bertemu denganya,” ucap Panglima Brasma.

“Tuan kenal Ibu saya?” tanyaku.

Panglima Brasma tersenyum dan mengangguk.

“Apa benar ucapan tuan?” Den Bira memastikan.
Panglima Brasma menoleh ke arahku sebentar.

“Daryana Putra Sambara, bahkan bila anak ini meminta setengah dari kerajaan ini. Raja Indrajaya pasti akan memberikanya,” ucap Panglima Brasma dengan suara yang mengecil yang hanya dapat didengar oleh kami bertiga.

Ucapan itu membuat aku dan Den Bira kaget. Mengapa Panglima Brasma sampai bisa berkata seperti itu? Memangnya apa yang sudah terjadi sampai Raja Indrajaya mengenalku?
Dan siapakah orang-orang yang ingin bertemu denganku?

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

Terima kasih sudah membaca part ini hingga selesai. Mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.
close