Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUMPAH SEBELUM KEMATIAN (Part 4 END) - Keraton Gaib


Sekali lagi pagi ini desa Danumulyo diramaikan dengan kematian warganya. Kali ini di kediaman Raden Sasmito yang ditinggali oleh Bu Siti dan anggota keluarganya. Saat matahari terbit Kepala desa meminta tolong beberapa warga untuk memeriksa tempat yang dimaksud oleh Pak Sarjo.

Ada jasad tiga orang terbaring di ruangan yang membuat mereka bergidik ngeri. Salah satu dari jasad itu meninggal dengan kepala yang patah memutar ke belakang. Warga segera mengenali bahwa jasad itu adalah jasad Bu siti. Mereka bingung dengan apa yang terjadi, namun saat membaca situasi di kamar tersebut mereka mulai mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi.

“Pak, sebaiknya ceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga Raden Sasmito,” Ucap Pak Kades meminta penjelasan dari mereka.

Pak Sarjo pun bingung untuk berkata apa, namun tidak ada gunanya mereka merahasiakannya lagi bila akan berakhir seperti Siti dan Erna. Ia pun berjalan ke arah pecahan guci di ruangan itu dan mengambil sebuah foto yang tertutup pecahan guci tersebut.

Pak Sarjo memberikan foto tersebut pada Pak Kades. Pak Kades dan warga desa di tempat itu bingung dengan maksud Pak Sarjo memberikan foto seseorang yang mereka kenal itu. Foto Indri..

“Ini maksudnya apa, Pak?” Tanya Pak Kades.

“Ruangan ini adalah tempat terkutuk, tempat dimana dosa-dosa keluarga Sasmito disembunyikan..” Jelas Pak Sarjo.

Pak Kades dan warga desa masih belum mengerti maksud dari Pak Sarjo, namun sebelum mereka bertanya, Pak Sarjo melanjutkan ceritanya.

“Bapak memang seorang raden dengan gelar yang berikan dari keraton, namun ternyata bapak juga merupakan abdi dari keraton lain. Keraton yang tersembunyi di bukit batas laut..”

Pak Kades mengernyitkan dahinya, “Tidak ada keraton di sana, kecuali…”

“Benar, Bapak mengabdi pada keraton gaib…”

Wajah warga desa yang berada di tempat itu seketika berubah. Mereka sedikit tidak percaya dengan apa yang Pak Sarjo ceritakan.

Keraton Gaib bukit batas laut hanya diketahui oleh beberapa orang tertentu. Tempat itu adalah kerajaan tak kasat mata yang dikuasai oleh sosok-sosok gaib. Konon mereka adalah abdi-abdi dalem gaib yang bertugas menjaga kerajaan, namun seiring perjalanan mereka mulai membuat ulah dengan meminta tumbal sebagai bayaran atas pengabdian mereka. Hal itu membuat mereka dikutuk dan dibuang dari kerajaan.

Abdi-abdi itu berkumpul di bukit batas laut dan membuat kerajaan sendiri. Bahkan ketika jaman kerajaan sudah berakhir, keraton gaib ini masih tetap ada. Mereka membalas dendam dengan menjadikan manusia sebagai abdi mereka.

“Entah mengapa bapak mengabdi pada keraton itu, mungkin saja semua kekayaan dan kekuasaan bapak ada yang berasal dari keraton itu.”

Pak Sarjo mengatakan bahwa semua anak-anak Raden Sasmito baru mengetahui kenyataan ini ketika ayahnya telah meninggal dan menemukan ruang tersembunyi ini. Mereka mendapat wasiat tentang pengabdian ayahnya pada sosok punden di keraton gaib. Ada sosok yang harus diberi makan dan dipenuhi keinginannya bila anak-anaknya masih ingin menikmati wahyu dari keraton itu.

Beberapa anak tertua yang membaca wasiat itu. Awalnya mereka tidak ingin memperdulikan lelaku ayahnya dan merasa sudah sangat berkecukupan dengan apa yang mereka miliki. Namun setelah membaca wasiat itu, semuanya tiba-tiba berubah.

Bisnis Pak Rusdi terpuruk, pelanggan Bu Enggar mulai sepi, dan hampir semua anak-anak raden sasmito mengalami musibah. Dan mereka yang membaca wasiat itu didatangi sosok makhluk berwujud pocong bersama iring-iringan kereta kencana yang hanya berdiam di halaman rumah mereka. Ada Pocong yang menanti di kereta kencana, mereka seolah ingin mengenalkan diri bahwa merekalah yang memberikan wahyu pada keluarga Raden Sasmito selama ini.

Anak-anak Raden Sasmito merasa tertekan ketika terhimpit permasalahan ekonomi. Mereka tidak siap bila dipandang rendah oleh orang-orang yang selama ini mereka remehkan. Pada akhirnya mereka kembali lagi ke ruangan itu dan dihadapkan pada sebuah guci.

“Berikan satu nyawa dari keluarga ini, dan kalian mendapatkan kembali semua yang pernah kalian nikmati…”

Ada sosok bayangan hitam di ruangan itu yang muncul dan berkata pada mereka dan kemudian menghilang begitu saja.

Pak Rusdi yang sudah benar-benar tertekan dengan keadaan itu mencoba meyakinkan adik-adiknya yang berada di sana untuk melanjutkan wasiat ayahnya. Jelas mereka tidak bersedia bila ada anggota keluarganya yang harus menjadi tumbal atas hasrat mereka.

Tapi Pak Rusdi tidak menyerah, ia menceritakan bagaimana Indri istri Lek Samin seharusnya tidak menjadi bagian dari keluarga mereka. Ia bukan keturunan darah biru seperti mereka dan menjadi beban bagi Lek Samin. Keluarganya orang tidak berpunya dan selalu menghabiskan harta Lek Samin bahkan seluruh warisan dari Raden Sasmito untuk Lek Samin pun habis karena Indri dan orang tuanya yang sempat sakit-sakitan.

Ragu, namun apa yang dikatakan Pak Rusdi , masalah ekonomi, dan semua tekanan yang mereka rasakan saat ini membuat mereka merasa bahwa mungkin saja pengorbanan kecil tidak begitu masalah. Mereka juga berpikir, Toh mungkin saja Lek Samin akan lebih bahagia bila ia memiliki pasangan yang lebih pantas selain Indri.

Pak Rusdi dan adik-adiknya pun mengatur rencana. Kedatangan Erna saat mampir ke rumah Bu siti mereka gunakan sebagai alasan untuk mampir ke rumah Lek Samin dan Indri. Mereka menyelinap dan mengambil rambutnya untuk memenuhi syarat yang dibutuhkan untuk mempersembahkan Indri pada sosok punden penguasa Keraton bukit batas laut.

Rambut yang disatukan dengan tanah kuburan Raden Sasmito dibungkus dengan kain kafan menjadi sebuah buhul. Benda itu disatukan dengan sesajen dan foto indri lalu dimasukkan ke dalam guci. Hal itu menandakan bahwa mereka merelakan Indri sebagai tumbal atas wahyu yang mereka minta.

Benar saja, setelah ritual itu keadaan anak-anak dari raden sasmito kembali pulih. Usaha mereka kembali lancar, mereka kembali dihormati seolah ada sesuatu yang membuat mereka mudah diterima banyak orang.

Tapi sejak saat itu Indri menjadi sakit-sakitan. Walau Lek Samin sudah mengusahakan berbagai cara pengobatan, Indri malah semakin parah dan kondisinya semakin mengenaskan.

Lek Samin sama sekali tidak curiga dengan apa yang terjadi pada Istrinya. Ia menganggap semua yang istrinya alami adalah penyakit biasa dan merawatnya sepenuh hati dengan apa yang ia punya.

“Kami tidak menyangka Samin akan mengetahui semua apa yang kami lakukan. Kami benar-benar sudah bersalah pada Samin..”

Mendengar semua cerita itu Pak Kades dan warga desa hanya bisa menahan napas mengetahui seberapa teganya mereka pada adik iparnya sendiri.

“Berarti benar, selama ini yang meneror desa adalah pocong Lek Samin?” Tanya Pak Kades.

Pak Sarjo mengangguk.
Pak Kades menggeleng mendengar semua cerita Pak Sarjo. Mereka tidak menyangka bahwa Raden Sasmito melakukan itu semua semasa hidupnya. Ia pun mengajak Pak Sarjo dan kerabatnya untuk menemui salah seorang sesepuh desa yang juga merupakan seorang ustad kenalan Pak Kades. Ustad Hasyim namanya.

Mungkin di desa Danumulyo hanya beliau yang bisa menolong keluarga Raden Sasmito.

Pak Sarjo setuju, tapi saat ia mengatakan pada kakak dan adik-adiknya perseturuan terjadi diantara mereka.

“Bodoh! Ngapain sampai bicara sama kepala desa! Kamu mempermalukan nama keluarga Raden Sasmito!” Bentak Pak Rusdi.

“Terserah kalian mau mencaci saya apa, tapi saya tidak mau mati sia-sia!” Balas Pak Sarjo.

“Ya nggak gitu, Mas.. Sekarang mereka tahu kalau keluarga kita berurusan sama keraton gaib itu, udah pasti mereka bakal memandang buruk keluarga kita! Kalau cuma orang pintar, kita bisa cari yang lain!” Bantah Bu Kusuma.

BRAAAK!!!!

Pak Sarjo menggebrak meja. Ia benar-benar kesal dengan respon dari adik-adik dan kakaknya itu.

“SITI SUDAH MATI! DAN KALIAN MASIH SEPERTI INI????”

Ketegangan terjadi diantara mereka semua dan Pak Sarjo memilih untuk mengalah. Ia pun pergi meninggalkan saudara-saudaranya itu dan memilih untuk menemui Ustad Hasyim seorang diri.

Ditemani oleh Pak Kades, menjelang petang Pak Sarjo menemui Ustad Hasyim yang tinggal tak jauh dari pesantren tempatnya mengajar. Mereka berdua melintasi desa dengan berjalan kaki saat langit masih terlihat memerah.

Ada sebuah rumah kayu yang cukup besar. Terlihat sederhana namun begitu asri. Pak Sarjo dan Pak Kades pun mengetuk pintu rumah tersebut.

Tok.. Tok… Tok…

“Assalamualaikum…”

Pak Kades mengetuk beberapa kali pintu rumah itu, namun sama sekali tidak ada pertanda jawaban dari dalam rumah tersebut.

“Kulo nuwun, Ustad Hasyim…” Panggil Pak Kades lagi.

Namun sama saja, tidak ada jawaban dari dalam.

Mereka pun cukup kecewa ketika tidak bisa menemui Ustad Hasyim saat itu. Tapi saat mereka hendak berbalik, tiba-tiba terlihat seseorang berjalan dengan terburu-buru menghampiri mereka.

“Maaf, sudah lama ya? Ayo masuk…”

Itu Ustad Hasyim. Walau sudah cukup berumur, ia masih cukup lincah dan seringnya ia tersenyum membuatnya ia terlihat seperti masih muda.

“I–iya Ustad, maaf mau merepotkan…”

“Sudah-sudah, ayo masuk dulu…”

Ustad Hasyim melihat keluar sebentar dan menutup pintu rumahnya.

“Ada urusan apa kalian dengan pocong itu?” Tanya Ustad Hasyim.

Pak Kades dan Pak Sarjo saling bertatapan. Jelas saja mereka bingung dengan pertanyaan Ustad Hasyim sementara mereka juga belum menceritakan apa tujuan mereka datang kepadanya.

“Ustad, gimana ustad bisa tahu?” Tanya Pak Kades.

“Dia masih ada di depan..” Jawab Pak Ustad. “Sepertinya bukan masalah sepele ya?”

Pak Sarjo menelan ludah mendengar ucapan Ustad Hasyim. Ia merinding membayangkan ada sosok pocong Lek Samin yang menantinya di luar rumah.

“Ma–maaf, Pak Ustad.. Saya dan saudara-saudara saya sudah bersalah. Kami mengorbankan istri Lek Samin untuk menjadi tumbal punden keraton gaib yang diikuti oleh Bapak…” Pak Sarjo segera mengambil tangan Ustad Hasyim setengah memohon.

Wajah Ustad Hasyim berubah mendengar perkataan itu. Ia terlihat geram dengan ucapan Pak Sarjo.

“Kamu tahu seberapa besar dosa bersekutu dengan Setan??!!” Teriak Ustad Hasyim.

“Kami salah, Pak Ustadz..” ucap Pak Sarjo.

“Kami? Siapa kami? Yang merasa bersalah hanya kamu sendiri?”

“Ta–tapi?”

“Saya hanya manusia, yang bisa menolong diri kalian hanya pengampunan dari Allah! Itu hanya bisa terjadi bila kalian memang tahu kalian bersalah dan memohon pengampunan pada Allah!”

Pak Sarjo terdiam, seketika ia teringat pada saudara-saudaranya yang menentangnya dan memilih untuk mencari dukun lain untuk melawan pocong adiknya sendiri.

“Semoga, sekarang belum terlambat!” Ustad Hasyim bergegas mengajak mereka menemui anak-anak Raden Sasmito yang lain.

BRAKKK!!!

Belum sempat mereka keluar, tiba-tiba pintu rumah Ustad Hasyim terbuka terbanting begitu saja. Langit malam terlihat begitu gelap sementara tiba-tiba semua lampu penerangan di rumah Ustad Hasyim mati.

Mereka pun bergegas keluar, namun belum sempat Pak Sarjo keluar tiba-tiba pintu rumah tertutup lagi.

Dokk!! Dok!! Dok!!!

“Ustaddd!!”

Pak Sarjo kebingungan dengan apa yang terjadi. Ia mencoba membuka pintu rumah itu namun entah mengapa pintu itu tidak mau terbuka.

Saat itu firasat Pak Sarjo seketika menjadi tidak enak. Hawa dingin menyelimuti tubuhnya. Ia merasa ada sesuatu yang menatapnya dari dalam rumah Ustad Hasyim.

Pak Sarjo pun menoleh, seketika wajahnya pucat menyadari apa yang ada di belakangnya.

“To–tolong!! Tolong!!!” Teriak Pak Sarjo.

Sesosok pocong menatapnya dari belakang. Pak Sarjo tidak mampu menahan rasa takutnya dan terus menggedor-gedor pintu berusaha untuk keluar.

Pak Kades mencoba membuka pintu rumah itu, namun tetap gagal. Sementara Ustad Hasyim terlihat terpaku ke salah satu arah.

“Ustad tidak usah ikut campur! Aku hanya ingin menghukum mereka atas perbuatan mereka!”

Ada sosok yang mengancam Ustad Hasyim. Sosok yang tidak asing di mata Ustad Hasyim dan warga desa. Sosok seorang pria yang dulu dikenal baik semasa hidupnya. Lek Samin…

“Dusta, apa yang kau balaskan? Kau bukan Samin..” ucap Ustad itu.

“Bicara apa? Aku samin ! AKU SAMIN YANG MENUNTUT BALAS ATAS KEMATIAN ISTRIKU!!!” Teriaknya.

Ustad Hasyim tidak perduli, ia membacakan doa-doa yang cukup panjang hingga wujud Lek Samin itu terlihat terganggu.

“Tunjukkan wujud asli kalian?” perintah Ustad Hasyim.

Wujud Lek Samin terlihat gelisah. Doa-doa Ustad Hasyim pun perlahan membakar tubuh Lek Samin.

“PANASSS!! PANAASS!!”
Teriakan Lek Samin saat itu tiba-tiba memanggil sosok yang tiba-tiba muncul di sekitar rumah itu.

Pocong… Puluhan pocong mengelilingi rumah Ustad Hasyim. Ada kereta kencana yang membawa sosok pocong dengan wajah yang begitu mengerikan.

Ustad Hasyim tidak gentar, ia terus membaca doa dan meminta Pak Kades mengikuti setiap ayat-ayat yang ia bacakan.

“Ini urusan kami, kalian tidak bisa ikut campur! Mereka sudah bersekutu dengan kami!” Ucap sosok pocong itu.

“Pria itu sudah kembali ke jalannya, dia dalam lindungan Allah!” teriak Ustad Hasyim.

Satu persatu pocong-pocong yang mengepung rumah itu mulai terbakar. Wujud Lek Samin juga mulai tidak berbentuk.

“Jadi dia bukan Lek Samin? Pocong itu bukan Lek Samin?” Tanya Pak Kades.

Ustad Hasyim menggeleng.

“Itu adalah tipu daya mereka, mereka mengambil wujud Lek Samin agar anak-anak Raden Sasmito semakin tersesat dengan bersekutu dengan dukun-dukun itu juga” Jelas Ustad Hasyim.

BRAKKK!!!

Pintu rumah Ustad Hasyim terbuka. Pak Sarjo berlari keluar dengan wajahnya yang pucat. Tepat di belakangnya ada sosok pocong yang mulai terbakar sama seperti yang lainnya.

Bacaan doa Ustad Hasyim semakin lantang. Bersamaan dengan itu pocong-pocong yang mengelilingi rumah itu mundur meninggalkan mereka.

“Manusia itu tidak akan bisa lolos dari kami!” Ucap wujud Lek Samin yang ikut pergi menginggalkan mereka.

Pak Sarjo benar-benar takut, ia tak hentinya memegangi lengan baju koko Ustad Hasyim.

“Gi–gimana ustad? Kita harus menolong saudara-saudara saya juga!” Khawatir Pak Sarjo.

Ustad Hasyim menggeleng. “Sudah terlambat..”

Pak Sarjo dan Pak Kades Bingung dengan maksud Ustad Hasyim.
“Maksudnya apa, Ustad?” tanya Pak Sarjo.

Ustad Hasyim berjalan mendekat ke arah Pak Kades. “Kumpulkan warga untuk mengevakuasi jasad mereka, biar saya bantu untuk mendoakan mereka,”

Pak Kades setengah tidak percaya, namun saat perjalanan mereka dicegat oleh beberapa warga.

“Pak Kades!”

Warga datang dengan wajah panik. Mereka menceritakan bahwa ada laporan tentang kematian Pak Rusdi , Bu Kusuma, dan Bu Enggar. Mendengar itu Pak Sarjo pun panik. Ia segera berlari dan menemui kerabat-kerabatnya itu dan benar, ia mendapati jasad kakaknya dan adiknya tengah dievakuasi.

Jantung Pak Sarjo berdebar kencang, dari jauh ia melihat ada sosok yang berdiri di ujung jalan yang membuat seluruh warga yang berada di tempat itu pucat.

“Po–pocong! Itu pocong!!” Teriak salah satu warga.

Pak Sarjo menelan ludah, ia sudah bisa menebak bahwa pocong itu mengincar dirinya. Tapi saat itu tiba-tiba warga desa mengelilingi Pak Sarjo seolah sengaja melindungi dirinya dari sosok pocong itu.

“Sudah cukup banyak yang mati! Apa masih kurang??!” Teriak salah seorang warga yang kesal.

“Kami tidak akan takut lagi! Makhluk seperti kalian tidak bisa semena-mena lagi di kampung kami!” Balas Warga lainnya.

Warga-warga di sekitar Pak Sarjo bergumam membacakan sesuatu. Dengan jelas Pak Sarjo segera menyadari bahwa mereka membacakan ayat kursi untuk mengusir pocong itu.

Melihat itu Pak Sarjo juga tak ingin diam, ia pelan-pelan mengikuti lafalan doa-doa yang sudah lama ia lupakan itu.

“Caramu untuk membalas dendam adalah cara terkutuk, maafkan dan lepaskan kakakmu ini. Saya akan mengajarkan mereka untuk mengirimkan doa untukmu agar Allah mengampuni dosa-dosamu,” ucap Ustad Hasyim.

Berbeda dengan sosok Lek Samin yang mengepung rumah Ustad Hasyim, wajah sosok pocong yang berwajah Lek Samin itu terlihat sendu.

“Iyo, min.. Maafkan kami. Tapi biarkan Mas dan kakak-kakakmu yang tersisa mendoakanmu. Mas Menyesal.. Setidaknya sisakan kami agar kami bisa membayar kesalahan apa yang telah kita perbuat…”

Perlahan tapi pasti… Pocong itu samar-samar menghilang bagaikan asap yang menipis dari hadapan para warga.

Malam itu adalah malam terakhir teror pocong yang menggunakan wujud Lek Samin terlihat. Pak Sarjo dan keluarganya adalah satu-satunya keluarga raden sasmito yang selamat dari sosok pocong Lek Samin di desa Danumulyo.

Kediaman Raden Sasmito menjadi rumah yang lama tidak ditempati selama bertahun-tahun. Pas Sarjo pun enggan berurusan dengan rumah yang menyimpan misteri tentang kamar terkutuk itu.

Walau begitu, kabar tentang kemunculan pocong Lek Samin kadang masih terdengar dari mulut warga. Bahkan terkadang ada yang mengaku saat melintasi kediaman Raden Sasmito, mereka melihat kereta kencana terparkir di halamannya dan rumah itu dipenuhi sosok pocong dengan wajah yang mereka kenali. Wajah anak-anak raden sasmito.
close