Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUMPAH SEBELUM KEMATIAN (Part 3) - Kamar Tumbal


Pagi ini desa Danumulyo digegerkan dengan penemuan jasad Mbah Sondo dan kedua anak buahnya yang meninggal dengan keadaan yang mengenaskan di pemakaman desa. Berbagai kabar menyebar tentang Mbah Sondo yang datang ke desa dengan maksud membantu permasalahan keluarga Raden Sasmito.

Wajah Pak Rusdi dan Pak Sarjo pucat seketika. Sama seperti anak-anak Raden Sasmito yang lain, mereka juga sudah melihat wujud langsung dari Pocong Lek Samin yang mendatangi rumah mereka masing-masing. Jangankan suruhan gaib Mbah Sondo yang ditugas kan untuk melindungi mereka, Mbah Sondo sendiri tak mampu mengalahkan dendam dari Pocong Lek Samin.

“Lungo, Mas! Aku arep lungo seko kene!” (Lari mas, aku mau lari dari desa ini!) Ucap Pak Sarjo cemas.

“Buat apa? Erna yang jauh di Surabaya saja juga bernasib sama!”

“Tapi kita harus gimana? Mbah Sondo saja nggak bisa apa-apa?”

Angin dingin berhembus meniup tengkuk mereka berdua. Saat itu matahari sudah cukup tinggi, tapi mereka berdua benar-benar merasa kedinginan seolah ada yang memantau mereka.

Kabar mengenai kematian Mbah Sondo menyebar ke saudara-saudara pak rusdi yang lain. Mereka semakin khawatir dan mempertanyakan pada kakak tertuanya itu tentang nasib mereka.

“Kita sudah liat sendiri, Mas! Pocong itu benar Samin!” Ucap Bu Kusuma yang mendatangi rumah Pak Rusdi.

“Semalam ada sosok suruhan mbah sondo yang melindungi? Sekarang gimana?” Tambahnya lagi.

Kali ini Pak Rusdi tidak lagi keras kepala. Ia sudah melihat adiknya mati dan sudah melihat sendiri sosok pocong yang mengincar keluarga sasmito. Ia pun meminta adik-adiknya untuk sekali lagi berkumpul di kediaman raden sasmito untuk mencari solusi tentang masalah ini.

“Katanya keluarga Raden Sasmito lagi diteror pocong lek samin?”

“Lah bukanya dia adiknya sendiri? Masak neror keluarganya sendiri?”

“Lah, kamu belum tahu? Pas kematian Lek Samin ada tulisan kalau dia akan menuntut balas atas kematian Lek Indri?”

Desas-desus tentang teror pocong yang mengincar keluarga Sasmito semakin tersebar. Terlebih keberadaan Mbah Sondo yang memang dipanggil Pak Rusdi membuktikan bahwa keluarga Raden Sasmito benar-benar diteror oleh pocong lek samin.

Hal itu berdampak cukup besar pada mereka. Warga mulai menjaga jarak, dan usaha mereka mulati tersendat karena takut dengan keberadaan pocong lek samin yang mungkin bisa ada dimana saja di sekitar mereka.

Setelah selesai dengan perkerjaan mereka masing-masing. Pak rusdi dan yang lain pun mendatangi lagi rumah bu siti di kediaman Raden Sasmito. Saat itu waktu sudah menjelang petang. Bu Enggar dan Bu Kusuma sudah menunggu dengan cemas di sana, namun mereka belum masuk karena sudah beberapa kali mereka mengetuk pintu, tapi bu siti tidak kunjung keluar. Mereka mengira Bu siti dan keluarganya sedang keluar.

Awalnya Pak Rusdi dan Pak Sarjo ikut menunggu, namun setelah beberapa saat mereka curiga dengan suara yang muncul dari dalam rumah. Terlebih lampu di dalam menyala walau dari jendela tidak terlihat adanya aktivitas seorang pun di dalam rumah.

“Siti! Siti! Ini kami..” Panggil Pak Rusdi sembari mengetuk pintu rumah Bu Siti.

Sayangnya, tetap saja tidak ada jawaban dari bu siti di dalam rumah. Semakin lama mereka menunggu, mereka pun semakin bingung terlebih hari sudah semakin malam.

Tap..tap…tap…tap…

Terdengar suara beberapa warga yang berlari dengan wajah pucat  melewati rumah Bu Siti. Pak Rusdi dan yang lain pun berdiri dan mendekati mereka.

“Mas? Kenapa lari-lari? Sampe ngos-ngosan gitu?” Tanya Bu Enggar.

“Pak, Bu, mending cepet pergi dari sini.. disana..” Orang itu berusaha mengatur nafasnya untuk terus berbicara.

“Disana… pocong… “

“Jangan ngada-ngada kamu!” ucap Pak Rusdi.

“Terserah pak, mendingan malem gini jangan keluar rumah. Kapok saya! mending pak rusdi dan yang lain pulang juga,” Balasnya yang segera melanjutkan perjalananya untuk mengamankan diri.

Walau terkesan tak percaya, tapi pak rusdi dan yang lain sebenarnya pucat mendengar ucapan warga desa itu.

“Gimana mas? Masih mau nungguin Siti?” Tanya Bu Kusuma.

“Kalau kita kembali juga nggak aman kan?” Balas Pak Rusdi.

“Tapi paling nggak aku bisa tau kalau suami dan anak saya aman..” Tambah bu enggar.

Mereka pun mulai ragu dan memutuskan untuk pulang, namun sebelum pulang mereka mencoba mengetuk lagi pintu rumah siti. Mungkin saja siti hanya ketiduran dan tidak menyadari kedatangan mereka.

Lampu di dalam rumah siti menyala, gorden pun tidak tertutup, Pintu terkunci dari dalam. Kondisi itu biasanya menandakan bahwa ada orang di dalam rumah.

“Siti! Kamu di rumah ndak?” Teriak Bu Kusuma.

Ia melongo beberapa kali memastikan bahwa memang tidak ada orang di rumah. Bu Kusuma pun berbalik dan menggeleng menjelaskan bahwa sama sekali tidak ada tanda-tanda jawaban. Tapi sebelum mereka memutuskan untuk pergi, tiba-tiba terlihat seseorang dari dalam rumah. Ia berjalan melintasi ruang tengah.

“Siti!! Siti!!” Teriak Bu Kusuma.

Tok..tok..tok..

Sembari mengetuk mereka berusaha memancing perhatian siti. Namun saat orang itu semakin mendekat, mulai terlihat bahwa sosok itu bukan siti.

“I—itu… “

Wajah Bu Kusuma seketika pucat.

“Kenapa, Kusuma?” Tanya Pak Sarjo.

Bu kusuma tak mampu berbicara. Ia hanya menunjuk sosok seseorang yang ada di dalam rumah.

Mereka pun memperhatikan ke arah mana bu kusuma menunjuk. Memang ada seseorang disana yang sedang berjalan. Namun untuk mereka, itu adalah hal yang tidak wajar.

Yang ada di dalam rumah itu adala Lek Samin.

“Nggak, nggak mungkin. Samin sudah nggak ada…” tolak Bu Enggar.

Bu Enggar tidak mempercayai apa yang ia lihat. Sosok itu benar-benar Lek Samin, adiknya yang paling ragil. Seolah menyadari bahwa keberadaanya diketahui oleh Pak Rusdi dan yang lainya. Sosok yang menyerupai Lek Samin itu menoleh ke arah mereka yang hanya bisa menatap dari kaca jendela dan pintu rumah.

Sosok itu tersenyum dengan wajah pucatnya. Senyumnya terlihat mengerikan seolah menyimpan maksud yang tidak biasa. Ia melangkah menuju satu tempat, satu tempat yang mereka sadari bahwa itu adalah tempat yang telah disembunyikan orang tuanya dari mereka selama puluhan tahun. Sebuah ruangan di belakang lemari.

Wujud menyerupai lek samin itu berjalan, namun di tengah jalan samar-samar ia berubah menjadi sosok dengan kain kafan penuh darah dan melayang masuk ke dalam ruangan itu. Pak Rusdi dan yang lain menelan ludah melihat pemandangan itu.

“Siti! Jangan-jangan, Siti?” Pak Sarjo mulai khawatir.

Mengingat apa yang terjadi pada Erna, tidak menutup kemungkinan kejadian serupa juga terjadi juga pada Siti.

“Buka!! Siti!! Bukaa!!” Teriak Kusuma yang terus mencoba menggedor-gedor pintu. Tapi tetap saja, tidak ada jawaban.

Pak Sarjo mencari akal dengan memecah kaca pintu dan menggeser engsel kunci dengan memasukkan tanganya ke dalam lubang bekas kaca itu.

Brakkk!!

Pintu terbuka mereka yang awalnya ingin bergegas mencari keberadaan siti terhenti sejenak. Keberadaan pocong itu juga membuat mereka khawatir akan keselamatan mereka sendiri.

“Nunggu apa lagi! Ayo! Aku nggak mau ninggalin Siti sendirian!” Teriak Bu Enggar.

Rasa khawatirnya mengalahkan rasa takutnya. Ia pun bergegas diikuti dengan Pak Rusdi dan yang lain.

Pintu itu terbuka..

Pintu menuju sebuah ruangan yang selama ini selalu tertutup. Pak Rusdi tahu, di sanalah awal mula semua tragedi ini dimulai. Cahaya oranye yang menyala. Mereka ingat itu adalah cahaya dari satu-satunya lampu minyak yang ada di ruangan itu.

“Mas… Mbak….”

Terdengar suara seorang perempuan dari dalam ruangan itu.

“Siti! Itu Suara Siti!” Teriak Pak Sarjo.

“Kita mau masuk ke situ lagi?” Tanya bu kusuma.

“Siti ada di sana! Bisa aja dia bernasib kayak erna kalau kita tinggalin di sana!” Teriak Bu Enggar.

Pak Rusdi menelan ludah. Beberapa bulan sebelumnya dialah yang menemukan ruangan itu berdasarkan petunjuk surat wasiat dari ayahnya, Raden Sasmito. Ia sama sekali tidak menyangka akan memasuki ruangan itu lagi secepat ini.

Ada lorong pendek yang memisahkan ruangan tengah dengan ruangan tersembunyi itu. Mereka berjalan mengikuti arah cahaya yang menyala dan mendapati ruangan yang sangat kotor dan berdebu dan penuh dengan barang-barang kuno dan aneh.

Ada topeng hitam dengan hiasan berbulu, tulang kerbau, hingga patung-patung kayu yang bila semakin diperhatikan semakin mengerikan. Dan yang mereka cari ada di sana.

Siti menatap mereka sembari tersenyum sementara anak dan suaminya terbaring tak jauh dari dirinya.

“Sini mbak.. sini…” Panggil Bu Siti.

Ia melambaikan tangannya memanggil kakak-kakaknya itu.

“Siti, mereka kenapa? Ayo keluar! Biar mereka digotong sama mas sarjo dan mas rusdi,” Balas Bu Kusuma.

“Sini mbak..”

Siti tetap memanggil-manggil kakaknya itu. Bu Enggar yang tidak sabar ingin segera mendekat dan membawa siti keluar. Tapi tiba-tiba Pak Sarjo menarik Bu Enggar melarangnya untuk mendekat.

“Jangan!! Jangan dekati dia!” Teriak Pak Sarjo

Bu Enggar kaget, ia ingin mempertanyakan kenapa? Namun tanpa perlu dijelaskan Bu Enggar Pun segera menyadari keanehan dari adiknya itu.

Mata Bu Siti menghitam, kulit wajahnya lebih pucat dari biasanya…

“Ka—kamu bukan siti?” tolak Pak Rusdi.

“HHAHAHAHAHA….” Saat itu Siti tertawa nyaring. “Aku ini adikmu mas…”

Jelas seketika mereka berempat bergidik ngeri melihat keadaan Siti.

“Siti! Sadar Siti!!” Teriak pak rusdi. Namun ia tidak berani mendekat.

Bersamaan dengan itu tiba-tiba benda-benda di ruangan itu bulai berjatuhan. Ada sebuah guci seukuran pinggang manusia di tengah ruangan itu. Tanpa adanya sentuhan tiba-tiba guci itu terjatuh dan pecah.

Dari guci itu terjatuh sebuah foto dan buhul yang terbuat dari kain kafan, tanah, dan gumpalan rambut. Itu adalah Foto Indri, istri dari Lek Samin. Mereka tahu dengan pasti benda-benda itu karena merekalah yang meletakkan benda itu di guci itu setelah sama-sama bersepakat.

Mereka menelan ludah melihat pemandangan itu. Tatap mata siti berubah menjadi geram. Ada amarah dan dendam pada keempat kakaknya itu.

“Kalian membunuh Indri! Kalian mengorbankan Indri! Kalian bertanggung jawab atas nyawa Indri!”

Siti berucap dengan suara yang berbeda. Bau busuk menyelimuti ruangan itu Samar-samar dari belakangnya terlihat sosok pocong berwajah hitam. Mereka mengenal dengan jelas bahwa wajah di pocong itu adalah wajah adiknya yang paling kecil, Lek Samin.

Di tengah ketakutanya, tiba-tiba sebuah guci yang lebih kecil yang terletak di ujung ruangan tiba-tiba terjatuh. Ada beberapa lembar foto, bungkusan kafan kecil yang berisi benda yang sama. Dan jumlahnya ada sembilan.  Itu semua adalah foto dari semua anak-anak Raden Sasmito.

“Nggak… nggak, Jangan!” Pak Rusdi melihat benda itu. Itu adalah hal yang sama seperti yang ia lakukan pada indri. Ia segera membayangkan apabila apa yang terjadi pada indri juga terjadi pada dirinya.

“HHAHAHAHAHA….” Siti tertawa nyaring lagi diikuti senyuman mengerikan dari pocong Lek Samin di belakangnya. Tapi tawa itu terhenti seketika saat Siti memutar kepalanya kebelakang dan mematahkan lehernya.

Brukkk!!

Tubuh Siti terjatuh diantara tubuh suami dan anaknya.

“Si—Siti!!!” Teriak Bu Enggar.

“Pergi! Pergi dari sini!!” Teriak Pak Rusdi.

Enggar masih menangisi kepergian Siti, Pak Sarjo memaksanya pergi meninggalkan ruangan mengerikan itu yang masih dihuni sosok pocong yang masih belum puas dengan pembalasan dendamnya.

Sekuat tenaga mereka lari terbirit-birit meninggalkan rumah yang mereka tinggali saat masa kecil dulu. saat melewat pintu rumah seketika lampu di dalam rumah dan sekitar mereka berkedip dengan aneh.

“Siti…” Enggar masih sedih, namun mereka harus terus berlari meninggalkan tempat itu.

Tepat saat telah meninggalkan halaman yang dibatasi dengan pagar tanaman. Mereka kembali menoleh dan melihat sosok pocong itu kini berada di dalam rumah menatap mereka dari balik kaca jendela dengan lampu yang terus berkedip.

Jantung mereka berdegup kencang melihat pemandangan itu. Mereka pun melanjutkan perjalanan untuk kembali, namun pak sarjo masih ingin mampir ke rumah pak kepala desa untuk melaporkan apa yang mereka lihat di rumah itu.

“Maaf pak, kami warga desa sudah tahu dengan apa yang terjadi..” Ucap kepala desa membalas cerita Pak Sarjo.

“Maksudnya apa pak?”

“Kami tidak ingin ikut campur dengan permasalahan keluarga Raden Sasmito. Teror pocong Lek Samin saat ini pun sudah sangat merepotkan kami..”

Wajah Pak Sarjo berubah kesal mendengar pernyataan itu.

“Tapi itu adik saya, Pak! Adik saya mati di sana!!” Teriaknya kesal.

Pak Kades menghela nafas. Ia sudah benar-benar bingung dengan tragedi teror pocong lek samin di kampungnya itu.

“Kami akan bantu memeriksa besok saat matahari sudah terbit, saya tidak mau mengambil resiko selama pocong lek samin bergentayangan..” Balas pak kepala desa.

Pak Sarjo tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Memang warga desa sudah sangat ketakutan dengan kemunculan pocong Lek Samin. Untuk melapor kepolisian ia membutuhkan perjalanan yang cukup jauh dan dalam keadaan ini pasti akan sangat berbahaya.

“Ya sudah pak, saya minta tolong bantuanya saja besok pak. Tolong bantu kami memakamkan jasad adik saya siti dengan layak,” Ucapnya.

“Pasti, Pak. Kalau untuk membantu memakamkan, kami warga desa pasti akan membantu. Tapi bila harus ikut berurusan dengan pocong itu, kami angkat tangan,” jawabnya.

Pak Sarjo pun pergi dengan wajah sedih. Ia mengingat bagaimana Siti mati di depan matanya. Namun dalam hati yang terdalam ia sedikit menyesal, mengapa ia tidak bersedih dan menyesal seperti ini saat kematian Samin. Saat itu juga ia merasa dirinya benar- benar jahat.

Air matanya menetes mengingat apa yang telah ia perbuat.

“Maafin mas ya, Min..” ucapnya dalam perjalanan pulang.

Pak Sarjo kembali menuju rumahnya, sesampainya di rumah ia melihat lampu rumah sudah menyala dan ia menyaksikan istri dan anaknya sedang ramai di rumah menonton televisi. Ia tersenyum sedikit bersyukur masih bisa merasakan bahagia bersana keluarganya.

Tapi belum sempat ia memasuki rumah, ia merasakan ada yang memperhatikannya dari belakang.

“Kamu disitu kan, min?” Ucap Pak Sarjo yang benar-benar merasakan kehadiran pocong lek samin.

“Sekarang mas mengerti seberapa besar dendamu, mas benar-benar menyesal dan minta maaf. Jika kamu mau bermurah hati, balaskan saja dendamu pada mas. Tapi tolong lepaskan anak-anak dan kaka iparmu itu…”

Mendengar ucapan itu sosok pocong di belakang Pak Sarjo menatap dengan kesal. Baginya ucapanya sangat tidak masuk akal. Kakaknya Sarjo ingin ia mengampuni keluarganya, sementara mereka tidak ingat bagaimana mereka menyiksa indri istrinya sampai mati dengan mengenaskan.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close