Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LEUWEUNG SAREBU LELEMBUT (Part 1) - Samper Nyawa

LEUWEUNG SAREBU LELEMBUH kisah ini masih berkaitan dengan perjalanan Danan, Cahyo dan yang lainnya atau "ALAS SEWU LELEMBUT" yang di ambil dari sudut pandang dua orang manusia yang salah satunya adalah pewaris terakhir juru kunci hutan leuweung sasar dan keturunan Kyai Laksamana.., yaitu Digjaya Adiguna Gama dan Jalu Kertarajasa.
...

"Diatas tanah ini manusia menjadi budak. Tumbal darah, daging dan nyawa sudah sepantasnya diberikan untuk Sang Tuan"


Lelakon dengan kurun yang lama berusaha jerih payah menyembuhkan sebuah luka yang teramat membekas dan menyakitkan, dendam membara tidak akan pernah berjumpa dengan padam.

Sebab musabab membatu kuat yang takan pernah pecah itu mengubur dalam sebuah kejadian yang mempunyai harga setimpal harus dibayar lunas dan tuntas, manakala seorang lelaki bernama lengkap Jalu Kertarajasa atau Budi harus menerima dengan lapang tanpa adanya lagi pilihan.

Ketika nyawa kedua orang tuanya harus melayang dalam waktu berdekatan dengan cara tragis, agar dia bisa terlepas dari ikatan yang menjerat sebagai juru kunci Leuweung Sasar.

Luka yang hampir saja sembuh dan ingatan yang hampir saja bisa melupakan pada kematian Mak Warsih dan Bah Amar, kini berhembus sebuah kabar terbawa oleh angin sampai di kedua batang telinga Budi, pintu masuk Leuweung Sasar dari Kampung Wetan Tilasjajah ada yang membukanya.

Dengan sebuah selendang yang teramat sakti dan ada Seribu Lelembut telah menghendaki, agar segala sesuatu yang pernah terjadi terulang kembali dan makhluk paling sempurna bernama manusia menyesatkan diri.

Darma garisan hidup membawa Budi untuk mengetahui asal muasal kenapa hal itu bisa terjadi, dan terpaksa harus melanggar sebuah janji, kembali ke sebuah tempat dimana dia dilahirkan, dari jauh hari Ki Duduy sudah mewanti-wanti.

“Untuk kali ini tidak cukup hanya kalian berdua, kita membutuhkan bantuan”
Secara serempak kabar telah sampai pada Digjaya Adiguna Gama, perihal hilangnya siswi perempuan di tempat Gama mengajar, bernama Rara Febriani yang tidak masuk akal.

Anak dengan paras cantik nan jelita itu harus menerima keadaan hidup yang berbeda di usianya sekarang tidak bisa mengelak dari segala cobaan hidup yang sulit dan perih, terpaksa ditinggalkan kedua orang tua kandung tanpa adanya sebuah alasan adalah luka yang sangat mendalam dan membekas. Malah kenyataan lain menghampiri Rara, jauh lebih perih dan tidak pernah terbayang dalam hidupnya hal seperti itu bisa terjadi, takdir berkehendak lain.

Akankah dua kabar yang tiba secara serempak kepada Gama dan Budi ada keterikatan erat dengan misteri hilangnya Rara, dan atas kehendak Seribu Lelembut di Leweung Sasar? Bantuan dari siapakah yang akan segera tiba, agar dendam membara

yang sedang bergejolak dalam tubuh Budi bisa dituntaskannya dengan segera, ataukah Gama kembali mendapati hal lain, dari lelaku Ki Langsamana yang akan kembali turun kepadanya, bersama meong hideung-nya itu.

“Setelah belasan tahun berlalu, burung-burung hitam misterius sudah terlihat kembali berterbangan diatas leuweung sasar, membawa sebuah pesan dari seribu lelembut, bahwa akan terjadi pertumpahan tumbal dan nyawa”

***

Samper Nyawa

“A..ayo ikut dengan ibu...”
“Ibu datang untuk menjemput kamu Ra...”
...
Terik sinar surya yang sedari tadi sudah meninggi baru saja perlahan turun, bersama awan biru indah menghiasi langit, akan tetapi, tidak seindah sebuah garisan takdir yang harus diterima dengan lapang oleh seorang anak perempuan.

Anak itu sedang berjalan mengelilingi kampung, bukan boneka cantik nan lucu yang berada di genggaman tangannya, melainkan wadah tampah terbuat dari rotan berisikan penuh berbagai macam gorengan yang baru saja matang.

Berkali-kali keringat di lapnya mengenakan handuk kecil tersampai di bahunya, kerudung lusuh tak pernah diganti itu terus menempel menutupi rambut indahnya. Sandal jepit tipis yang dikenakannya itu hampir bisa merasakan panas tanah yang sedang ia pijak,

Dalam hati tulusnya selalu berucap harap jualan gorengan hari ini cepat terjual habis, agar bisa kembali ke sebuah rumah yang bisa runtuh kapan saja.
“Rara... sini...” teriak seorang Ibu langganan dari depan teras rumah.

Pasti akan membeli lebih banyak gorengan yang Rara jual, bukan karena suka, terlebih kepada tidak tega apalagi anak Ibu itu seumuran dan satu sekolah dengan Rara.
“Maaf Bu, seperti biasa yah...” tanya Rara sambil tersenyum, walaupun hatinya berkata lain,

Manakala melihat ke arah teras sebelah rumah melihat pemandangan menyakitkan tersirat dalam hati Rara Febriani, melihat anak-anak seumuran dirinya sedang bermain riang gembira menikmati libur panjang semester, besar keinginannya untuk bisa bermain seperti itu, namun untuk kesekian kalinya lagi harus kalah dengan kenyataan, ia harus memperjuangkan hidupnya.

“Iya sepuluh ribu yah Ra campur saja... Eh Rara kenapa tidak ikut sama Bapak dan Ibu saja tinggal di kota sana, katanya sekarang sudah kaya raya, bisa tuh sekalian pindah sekolah kesana, jualan begini udah ada kan yah ada dua tahun...”
Rara hanya tersenyum, dengan sangat cepat menghitung gorengan yang sudah ia tempatkan diatas kertas nasi, tidak lupa beberapa cabai hijau berada disampingnya.

“Rara tidak tahu kalau soal Bapak sama Ibu... iya Bu ada dua tahunan dari kelas empat, ini sekalian bantu Mang Jaka sama Nek Endah bisa meringankan pekerjaannya”
Ibu langganannya hanya tersenyum, malah hatinya semakin tidak tega.

Selain memang Rara anak yang pintar dan penurut, bahkan jika dibandingkan dengan anaknya yang hidup serba berkecukupan itu, perbandingannya jauh antara langit dan bumi.
Ajakan teman perempuan satu kelasnya untuk mengajak bermain, Rara tolak dengan lembut,

Dan berjanji kalau ada waktu luang pasti datang ke rumah ini lagi, walaupun hal itu mustahil terjadi, bukan karena paksaan Mamang dan Neneknya untuk berjualan, melainkan dorongan dirinya yang lebih kuat, karena sebuah alasan.

Rara harus kembali berkelahi dengan waktu, mengubur semakin dalam dunia bermain untuk anak seumurannya itu, kakinya kembali melangkah berkeliling kampung sebelum matahari semakin menurun hari ini, apalagi barusan melihat jam di rumah ibu pembeli menunjukan pukul dua siang lebih.

Hati kecilnya kembali bertanya, setiap ada orang yang membicarakan Ibu dan Bapaknya seperti barusan, namun di usianya sekarang terpaan hidup dan kesulitan bisa membuat Rara jauh lebih dewasa dari anak seumurannya
...
Waktu berputar dengan cepat adzan asyar baru saja berkumandang, wadah tampah berisikan gorengan hanya terisa hitungan jari, bersamaan dengan botol air minum yang sudah hampir habis yang ia bawa dari rumah.
Dompet lusuh Rara sudah berisikan uang kertas dan receh.

Tujuan selanjutnya adalah pasar untuk berjumpa dengan Mang Jaka yang pasti sedang bersiap di lapak dagangannya, akan berjualan gorengan sampai larut malam.

“Kok tumben ada mobil bagus berhenti didepan lapak Mang Jaka, padahal belum mulai jualannya...” Bisik hati Rara, melihat Mang Jaka dari kejauhan sedang berbicara serius, dengan raut muka kesalnya.

Seketika perempuan cantik yang usianya lebih muda dari Mang Jaka sudah kembali masuk ke dalam sebuah mobil, tanpa melihat Rara yang berjalan jauh dibelakangnya, diikuti lelaki dengan perawakan gagah berbadan gempal.

“Mang tadi siapa...” tanya Rara penasaran, lalu menyimpan wadah tampah yang masih tersisa sedikit lagi gorengan jualannya itu, tidak lupa dompet lusuh berada diatasnya.

“Eh Ra!” jawab Mang Jaka sangat kaget.

“I..itu tadi orang yang mau beli saja, adonan saja belum siap... eh gimana habis dagangannya Ra...” lanjut Mang Jaka, berusaha mengalihkan pembicaraan karena sudah hafal dengan sifat Rara yang mempunyai rasa penasaran tinggi.

“Bagus mobilnya, Ibunya juga tadi kelihatan dari jauh cantik sekali” tetap saja Rara mengutarakan apa yang ia lihat barusan.

Mang Jaka tidak menjawab lagi, langsung menghitung uang dari dompet Rara, dalam hatinya tidak ingin cepat memberitahu siapa lelaki dan perempuan yang barusan datang, karena ia masih mempertimbangkan dengan matang, tidak ingin membuat Rara mengalami kejadian paling menyakitkan untuk kedua kalinya, ia masih ingat bagaimana tangisan kejar Rara yang tak kurun berhenti manakala waktu itu dengan sengaja dan tanpa alasan, adiknya perempuan yang bernama Mimin Kusumaputri dan suaminya Karta Mulyadi pergi dari rumahnya.

“B..belum waktunya Ra, Amang belum tega” bisik hati Mang Jaka melihat keponakan perempuannya sedang melamun, memakan dengan lahap sisa gorengan, karena setelah istri Mang Jaka meninggal, janjinya untuk merawat dan membesarkan Rara harus ia tepati.

“Tapi tadi Rara lihat sepertinya Amang kesal ya sama dua orang itu” ucap Rara tiba-tiba melihat ke arah Mang Jaka yang sedang mengaduk adonan.

“Ah tidak juga Ra, salah lihat kali...” jawab Mang Jaka sambil tersenyum, walaupun dalam hatinya kemarahan masih bergejolak pada pasangan suami istri yang baru saja terlihat batang hidungnya lagi, setelah empat tahun meninggalkan Rara tanpa sebab, keadaanya sekarang jauh terbalik, aroma bau kemiskinan dan kesulitan sudah tidak ia cium dari Mimin dan Karta, dengan waktu yang sangat singkat kabar perubahan pesatnya itu sudah bergulir menjadi kabar miring di kampung.
...
Setelah dibawakan bahan makanan untuk Rara dan Nek Endah makan malam, Rara sudah berjalan kembali melangkahkan kakinya menuju rumah, apalagi baru saja selesai membantu mempersiapkan dagangan Mang Jaka.
Wadah rotan yang sebelumnya berisikan gorengan kini sudah berganti dengan bahan makanan, uang yang ia terima dari untung penjualannya hari ini akan masuk celengan ayam, untuk nantinya dipecahkan ketika kenaikan kelas, bisa membantu membeli seragam baru atau sepatu baru yang ia inginkan, karena sepatu yang biasa dipakainya ke sekolah bagian sol bawahnya sudah robek, hingga tidak jarang panas dan dinginnya tanah juga aspal menyentuh kaos kaki lusuhnya itu.

“Benar kata Pak Gama, pencipta itu adil dan punya waktunya sendiri untuk memberi jatah bahagia buat umatnya, Rara begini juga bahagia” ucap Rara dalam hatinya, berusaha menguatkan dirinya sendiri agar tidak selalu meratapi kesulitan dan selalu ingat pada pesan dari salah satu guru panutannya, selain Pak Hadi wali kelasnya di sekolah.

Langkah Rara yang pelan tiba-tiba menjadi cepat agar segera sampai rumah, karena pasti Nek Endah sudah menunggunya di depan teras. Bersamanya awan sore yang sudah perlahan tiba dengan sinar keemasannya, tidak jarang sapaan warga kampung kepada Rara diberikannya dengan hangat, senyuman manis Rara sudah beberapa kali menjadi jawabannya untuk mereka.

Sambil terus berjalan, kini hatinya merasakan sebuah gejolak batin pada perempuan barusan di tempat dagang Mang Jaka, semakin ia abaikan, penasaran itu semakin menjadi-jadi. Langkah Rara tiba-tiba berhenti, tatapan matanya seketika terkejut, mendapati sebuah mobil yang baru saja mundur dari depan halaman yang tidak terlalu luas. Rara terus memandang dengan jeli, namun tidak bisa memastikan orang yang berada didalam mobil karena jendelanya sudah tertutup rapat.

“B..benar mobilnya sama, tidak salah lagi” bisik hati Rara, terus memperhatikan mobil yang baru saja menyalakan lampunya terangnya itu semakin menjauh dari rumahnya.

Rasa penasaran yang sedari sudah Rara kesampingkan, kini perlu dipuaskan dan terasa sangat mengganjal akan apa yang sudah dilihatnya barusan, apalagi baru kali ini ia melihat mobil datang ke rumahnya dan tidak mendapati Nek Endah duduk di depan teras seperti biasa, pintu rumah masih tertutup rapat dan lampu depan belum terlihat menyala.

“Harusnya nenek tahu sesuatu!” ucap batin Rara disambung mengucapkan salam…

Yang masih mendapati seluruh ruangan di rumah kecilnya masih gelap, padahal sudah memasuki waktu maghrib.

“Nek, Nenek ini Rara pulang...” teriak Rara sambil menyimpan wadah tampah, namun malah mendengar suara tangisan dari arah kamar Nek Endah.

“A..ada orang selain nenek!” ucap Rara kaget.

Ketika mendapati bayangan lain dari arah dapur bercampur dengan tangisan Nek Endah yang semakin jelas ia dengar...

“Nek Nenek kenapa!” teriak Rara kencang, mendapati Nek Endah dengan wajah pucatnya, kepalanya bersandar di ranjang kayu yang sudah tua, bersama air matanya yang sudah membasahi wajahnya.

“Ra...rara, untung kamu baru datang...” suara Nek Endah terbata-bata dengan detak jantungnya sudah tidak normal, tangannya sudah tidak lepas dari bagian dada, berusaha mengatur nafasnya agar kembali tenang.

“Barusan siapa Nek, Rara lihat ada mobil baru mundur dari halaman depan ya” tanya Rara semakin penasaran bercampur rasa panik.

Nek Endah hanya menganggukan kepalanya, padangan terus melihat ke arah dua bola mata Rara, dalam hatinya terus berkecamuk, belum bisa berbicara apa yang ingin kata hatinya sampaikan pada cucu perempuan satu-satunya itu.

“Tunggu Nek, Rara ambilkan dulu air minum...” ucap Rara tergesa-gesa bahkan ia tidak memperdulikan lampu rumah yang belum menyala, karena masih panik melihat keadaan Nek Endah.

Ketika sampai dapur Rara tidak mendapati orang lain seperti yang dilihatnya barusan ketika pertama kali masuk rumah, jendela dapur yang sudah hampir terlepas dari temboknya masih terbuka, perlahan bergerak terkena angin yang bersamaan dengan gelap malam sudah tiba, apalagi adzan maghrib baru saja selesai berkumandang.

Secara perlahan Rara mengambil gelas di rak tua yang hampir rusak, membawanya ke arah teko, dirinya merasakan hal lain yang tidak biasa ia rasakan.

“Kreket... kreket... kreket”

Hanya ditemani suara jendela yang terus bergerak terkena angin, ujung matanya perlahan melihat samping kanan dan kiri sebelum menuangkan air minum ke dalam gelas, tiba-tiba berhenti di sebelah kiri yang sejajar dengan pintu dapur, dari gelapnya dapur ia melihat gelap lain yang lebih pekat sedang berdiri mematung.

“B...bukan! Bukan orang!” bisik hati Rara dengan cepat melangkah tanpa melihat ke arah pintu dapur, bahkan air minum dalam gelasnya itu tumpah setengahnya karena tergesa-gesa.

“Rara...” teriak Nek Endah dari dalam kamar.

“Sebentar Nek tunggu!” jawab Rara dengan cepat menghidupkan semua lampu ruangan berwarna kuning yang hampir padam, kecuali lampu dapur.

Apa yang dilihat Rara barusan dengan ujung matanya, kini berbuah kenyataan, bayangan menjulang hitam itu sampai terlihat melewati batas dapur dan ruangan tengah, masih berdiri tanpa berpindah dan bergerak sedikitpun, semakin jelas dengan rambut panjangnya menjalar, tanpa mengenakan sehelai pakaian, hanya ditutupi sebuah selendang panjang.

“Rara!” Tubuh Rara langsung berbalik dengan kaget, gelas plastik yang berada dalam gengaman tanganya Rara terjatuh, bersama sisa air minumnya.

“Kamu lihat apa sampai segitunya Ra” ucap Nek Endah heran sudah berdiri dibelakang Rara, melihat cucu perempuan satu-satunya itu tubuhnya bergetar, dari wajahnya Rara tiba-tiba berubah menjadi pucat, dibarengi sudah keluar keringat.

***

Berbagai gorengan sudah berjajar hangat di atas wadah tampah rotan, beberapa kali Jaka sudah melayani pembeli dengan sangat ramah walaupun perawakannya yang tegap, tidak jarang senyum dan keramahannya itu yang membuat orang-orang datang kembali ke lapak dagangannya.

Sedari tadi pikirannya berkecamuk tidak seperti biasa, kecemasan terus Jaka rasakan terlebih untuk keponakannya itu, karena tidak mudah baginya untuk berbicara kepada Rara... mengutarakan keinginan adiknya Mimin dan Karta suaminya.

“Jak! Jaka...”
Lamunan Jaka buyar, mendapati Ojan sahabat satu kampungnya baru saja tiba di lapak, sedang mengatur nafasnya yang ngos-ngosan.

“Jan ada apa, ambil saja kalau mau gorengan” ucap Jaka masih heran.

“Mak Endah Jak, barusan aku pas lewat depan rumah kamu, keliatan Mak Endah seperti lagi nyari bantuan, Rara sakit dan aku disuruh Mak Endah segera kasih tau kamu” jawab Ojan sambil mengambil satu gorengan.

“Tumben Jan, Rara tadi sore datang kesini juga, masa tiba-tiba sakit” tegas Jaka masih tidak percaya dengan kabar yang disampaikan Ojan malam ini, apalagi malam semakin larut.

“Aku lihat juga tadi sore Mimin sama suaminya datang ke rumah kamu pakai mobil mewah, udah kaya raya ya Si Mimin Jak, kirain kabar saja yang aku dengar dari warga kampung” jawab Ojan sambil mulutnya terus mengunyah.

“Jaga dagangan Jan, kalau sudah habis tutup saja! Antarkan semua barangnya ke rumah!” bentak Jaka tiba-tiba, hampir saja membuat Ojan tersedak dengan ucapannya itu, walaupun perintah seperti ini bukan kali pertama Ojan dengar.

Dibawah langit malam yang sudah semakin pekat, langkah kaki Jaka sudah tergesa-gesa, tidak ingin segala kecemasan pada Rara membuahkan sesuatu buruk yang terjadi, apalagi ia juga sudah mendengar tentang perubahan cepat Mimin dan Karta hingga menjadi kaya raya, dari hal yang tidak masuk akal sampai sebaliknya.

“Jangan sampai akibat kedatangan Mimin ke rumah!” bisik hati Jaka, sudah belasan bulan ia selalu tidak peduli pada perubahan adik perempuannya itu, namun kali ini hatinya goyah dari kecemasan menjadi ketakutan.
Beruntungnya jarak dari pasar menuju kampung tidak terlalu jauh, di bawah waktu lima belas menit setelah melewati perumahan warga, halaman rumahnya sudah terlihat namun langkahnya tiba-tiba berhenti.

“Ngapain Nenek di belakang! Jam segini!” ucap Jaka melihat Nek Endah dari bagian samping, berjalan dari arah hamparan kebun milik tetangganya itu, hanya rambut putih yang terurai panjang yang Jaka lihat sangat jelas, walaupun bukan kebiasan Nek Endah keluar rumah tanpa mengenakan penutup kepala, begitu juga dengan langkahnya terlihat lemas sekali.

Membuat Jaka langsung melangkahkan kakinya menuju halaman belakang, untuk memastikan apa yang tidak biasa dilihat kedua matanya, karena Jaka yakin Nek Endah baru saja masuk ke dalam dapur, membuatnya langsung menekan pintu dapur dengan perlahan.

“A...aneh masih terkunci!” bisik jaka terbata-bata ketika menekan pintu dapur, kepalanya perlahan berbalik, memperhatikan sekitar halaman belakang yang tidak terlalu luas itu, kedua tangannya mengelus bagian pundak karena merasa ada yang memperhatikannya.

“Nek! Nenek!” teriak Jaka sambil mengetuk pintu cukup keras, karena hanya mengenakan kayu sebagai slot kunci sehingga pintunya itu bisa sedikit terdorong.
Dari celah pintu yang terbuat dari kayu tua, Jaka melihat Nek Endah segera mendekat, namun penglihatannya mendapati hal aneh dari dalam dapur.
“Nek! Ini Jaka buka!” teriak Jaka jauh lebih kencang, karena yakin Nek Endah baru saja masuk melalui dapur.

“T...tunggu sebentar...”
Membuat tangan Jaka yang berada di kayu pintu tiba-tiba berhenti, suara yang barusan kencang keluar dari mulutnya itu mendadak diam, dari celah pintu itu terlihat bukan seperti Nek Endah yang mendekat, apalagi suara barusan jauh berbeda dan baru pertama kali ia dengar.

“Jaka! kirain siapa tunggu...” suara Nek Endah sudah terdengar dari arah dalam rumah, membuat pintu dapur itu seketika terbuka, membuyarkan apa yang sudah Jaka lihat dan dengar.

“Lama sekali Nek, dari mana barusan Nenek” tanya Jaka masih terlihat panik.

“Lah Nenek dari tadi lihat kondisi Rara Jak, nggak kemana-mana juga di dalam kamar Rara” jawab Nek Endah.

Membuat Jaka langsung terdiam mematung, baru saja sadar Nek Endah ibunya itu masih mengenakan tutup kepala, rambut putihnya tidak terurai ke belakang seperti apa yang dilihatnya barusan.

“T...tadi siapa!” ucap Jaka perlahan, mulai merasakan kejanganlan yang terjadi di rumahnya, sambil memperhatikan Nek Endah sudah masuk ke dalam kamar Rara yang berdekatan dengan dapur, bahkan Jaka terus merasakan keanehan yang terjadi di dapur yang hanya berlantaikan tanah itu.

Jaka langsung berjalan ke dalam rumah setelah menutup pintu dapur, mengikuti Nek Endah masuk ke kamar Rara, tanpa ia sadari, sosok hitam sudah berdiri tegak di dekat pintu dapur, mengelus rambut panjangnya dengan perlahan mengeluarkan senyuman yang sangat menakutkan.
...
“Gimana dagangan kamu sudah di titipkan Ojan, jangan terlalu berisik takut Rara bagun" ucap Mak Endah pelan, sambil berdiri dari kasur lantai Rara.

Jaka mendapati wajah keponakan perempuannya itu sudah penuh dengan keringat, matanya sedang terpejam lelap.

“Sudah Mak Ojan yang jaga… tinggal setengahnya lagi kok... Mak kita bicara di meja saja, takut Rara dengar...” jawab Jaka sambil kedua matanya terus berkeliling merasakan keanehan di rumah, yang sudah ia tempati sejak kecil itu.

Mak Endah sudah berhadapan dengan Jaka duduk di meja tua yang terdapat tiga kursi, tatapan Jaka tidak jarang melihat ke arah kamar Rara dan dapur, untuk terus mengikuti rasa penasarannya, sementara jam tua yang menempel di tembok rumah yang hampir saja rubuh, sudah menunjukan pukul pukul sepuluh malam.

“Mimin sama Karta ingin membawa Rara ke rumahnya di kota sana, Mak tidak kasih izin ucapan Karta membuat Mak sakit hati Jak”

“Hal yang sama juga mereka katakan kepada Jaka, beruntungnya tadi sore Rara belum sampai di lapak, apa mungkin Rara kenal juga sama Ibu dan Bapaknya yang sudah berubah itu Mak”

Mak Endah hanya menggelengkan kepala, anak dan Ibu itu masih ragu untuk membicarakan hal yang lebih penting tentang kabar dari Mimin, beberapa menit pikiran mereka berkecamuk, memikirkan darimana awal obrolan akan mereka mulai, terlebih Jaka sudah beberapa kali bulu pundaknya berdiri, melihat ke arah Mak Endah karena sudah mendapati Ibunya itu di luar, sebelum ia masuk ke dalam rumah.

“Jaka...” ucap Mak Endah mendahului, memutuskan untuk membicarakan hal ini kepada anak lelakinya, yang sekarang terlihat malah melamun melihat ke arah kamar Rara.

“Semoga saja omongan para warga kampung tentang Mimin dan Karta salah Mak” jawab Jaka perlahan, mengetahui apa yang akan Mak Endah bahas untuk pertama kalinya, sejak empat tahun kebelakang ketika Mimin dan Karta meninggalkan rumah.

“Buktinya sudah beredar, bahkan sudah sampai ke telinga Mak, mereka pergi ke arah barat untuk mencari kemudahan ke sebuah leuweung (hutan), bersamaan dengan usaha Karta yang melesat tidak masuk akal...”

Tanpa mereka berdua ketahui, dari arah kamar kedua mata Rara sudah sejak tadi terbuka, menguping obrolan Jaka dan Mak Endah, membuat ingatan kepada Ibu dan Bapaknya ketika Rara masih kecil ia ingat kembali, rekaman wajah cantik Mimin yang hampir mirip dengan Rara sudah terpampang jelas.

“Dari pekerja bagunan, mandor, pemborong sampai sekarang yang memegang proyek besar sudah Karta lakukan Mak dalam waktu yang singkat, itu yang jadi masalah... aku tidak percaya kepada Karta termasuk Mimin, apalagi semudah itu ingin membawa Rara setelah empat tahun hilang tanpa kabar! Tidak ingin hal buruk menimpa Rara...” ucap Jaka sedikit kencang.

“Dan kabar pesugihan itu tidak ada yang mengetahui kebenarannya Mak, tapi aku tidak akan mudah melepaskan Rara pada orang tua yang tidak bertanggung jawab!” lanjut Jaka semakin kesal.

Mak Endah hanya terdiam, membenarkan semua ucapan yang keluar dari mulut Jaka, ia tidak berani membicarakan ulang cacian yang keluar dari mulut anak perempuan dan suaminya itu, karena tidak mau terjadi pertengkaran, terlebih mengetahui betul sikap Jaka yang pasti akan marah besar manakala Ibunya itu mendapat hinaan.

“Yasudah sementara jangan sampai Rara tahu hal ini, mereka bilang kalau tidak di izinkan akan membawa Rara dengan paksa, dua atau tiga hari kedepan mereka akan datang lagi ke rumah ini” ucap Mak Endah cemas.

Jaka tidak memperdulikan ucapan Mak Endah, kulit dahinya itu sudah mengkerut ketika melihat bayangan seseorang berada tepat di kamar Rara, persis seperti Mak Endah yang barusan ia lihat berdiri di kamar Rara, sebelum duduk berhadapan dengannya.

“Jak! Jaka lihat apa kamu ini!” sampai Mak Endah memutar posisi duduknya, melihat ke arah kamar Rara, penasaran apa yang telah Jaka lihat.

Baru saja percakapan antara Mak Endah dan Jaka masuk ke telinga Rara dengan jelas, dan ia simpan baik-baik siapa perempuan dan lelaki yang sore tadi dilihatnya itu, ternyata orang tua kandungnya, kini malah penampakan sosok hitam pekat yang tiba-tiba Rara lihat, tanpa mengenakan pakaian hanya tubuhnya yang hitam itu di tutup sebuah selendang hitam, sudah berdiri dihadapannya yang masih terbaring lemas.

Keinginan Rara untuk berteriak sudah sangat kuat, namun tubuhnya tiba-tiba tidak bisa bergerak, mulutnya terkunci rapat, sosok hitam dengan rambut panjang terurai sampai lantai itu tiba-tiba menundukan kepala, mendekati telinga Rara.

“A...ayo ikut dengan ibu...”

Rara mendengar jelas ucapan dari suara yang sangat menakutkan, bahkan wajah sosok hitam itu sudah ia lihatnya mengenakan ujung matanya, tangan hitam dengan kuku panjangnya terus mengelus-elus rambut Rara dengan perlahan.

“I...ibu datang untuk menjemput kamu Ra...”

“Rara, Rara sadar! Sadar!” ucap Mak Endah panik melihat tatapan mata Rara melotot kosong, keberadaan Mak-nya dan Jaka tidak Rara perdulikan sama sekali.

“Kenapa jadi begini Mak, tadi Jaka lihat ada yang masuk Mak!” ucap Jaka langsung memeriksa dapur, namun ia tidak mendapati apapun.

“Ya siapa yang masuk Jak!” jawab Mak Endah, terus memperhatikan mata Rara yang perlahan terlelap begitu saja.

Jaka berencana membawa Rara besok ke rumah sakit atau sekedar membeli obat ke apotik, keuntungan berjualan gorengan hari ini bisa sedikitnya membantu keadaan Rara dan hal itu langsung disetujui Mak Endah.

“Apa Rara tiba-tiba begini akibat kedatang Ibu dan Bapaknya Jak, tapi untuk apa...” ucap Mak Enda tiba-tiba.

Jaka hanya menggelengkan kepala, padanganya terus memperhatikan keponakan perempuan yang teramat malang itu, biasanya dengan ceria membantu Jaka menghitung penghasilan dagang, kini hanya terbaring lemas.

“Besok juga sembuh Mak, Rara anak yang kuat” Ucapan yang keluar dari mulut Jaka hanya menguatkan dirinya sendiri dan mencoba membuang segala kecemasan akan kejanggalan yang terjadi malam ini, sementara pikirannya terus berkecamuk akan perbuatan apa yang sudah Mimin lakukan dan kenapa harus kembali ke rumah.

Mak Endah sudah terbaring disebelah Rara, tanganya terus mengusap-usap bagian rambutnya, pikiranya terus mengulang hari dimana Mimin dan Karta dengan sangat tega bak binatang pergi begitu saja meninggalkan anak yang malang ini, dalam hatinya tersirat.. perlahan mempertanyakan kebenaran pesugihan yang dilakukan anaknya itu.

“Leuweung (hutan) mana yang Karta dan Mimin datangi, jangan sampai berimbas pada Rara” bisik hati Mak Endah.

“Mak Jaka tidak ke pasar lagi, mau istirahat saja sambil menunggu Ojan antarkan barang-barang dagang, ini sudah terlanjur malam juga, paling sebentar lagi datang...” ucap Jaka sambil berdiri didekat pintu kamar Rara, pintu yang hanya mengenakan kain saja sebagai penutupnya.

Berbatang-batang lintingan tembakau sudah berjajar di atas meja, sudah dua lintingan itu Jaka hisap perlahan, setelah memastikan Mak Endah dan Rara yang sudah tertidur lelap, walaupun keringat terus Jaka lihat di bagian wajah Rara.

“Mungkin sakit biasa hanya capek, biar besok jangan dulu keliling kampung, tinggal empat hari lagi Rara liburnya telah selesai dan harus masuk sekolah lagi” ucap Jaka, kembali membakar lintingan tembakau, walaupun tidak biasanya malam ini rasa ngantuk tiba sebelum waktunya, padahal jam sudah pukul sebelas malam dan tidak akan lama Ojan pasti tiba.

Asap lintingan tembakau yang berada tepat di ujung asbak kayu itu terus menemani Jaka yang sudah beberapa kali menguap, seketika wajahnya sudah menempel di meja, urat-urat matanya terus menahan agar matanya tidak terlelap.

“Rara...” Jaka melihat samar-samar tubuh Rara keluar perlahan dari balik kain penutup kamarnya, walaupun ia sedikit heran karena Rara sudah mengenakan selendang yang tidak pernah ia lihat sebelumnya, selendang panjang yang menyelimuti tubuhnya.

“I...ibu itu...” mulut Rara hanya terbuka tanpa mengeluarkan suara, tanganya menunjuk ke arah dapur untuk menjawab lambaian dari tangan hitam yang mempunyai kuku panjang.

Jaka masih tidak mengerti yang dimaksud Rara, sudah kalah dengan rasa berat di matanya, sekuat tenaga mencoba agar kepalanya bergerak untuk bangun, namun kembali terjatuh diatas meja.

Rara hanya terus melangkah dengan perlahan, semakin mendekat ke arah perempuan berambut panjang yang terurai sampai lantai dapur, tanpa mengenakan sehelai busana, karena selendang yang awalnya ia kenakan sudah berpindah menyelimuti tubuh Rara.

“A...ayo kita bermain Rara, ada tempat permainan yang sudah menunggu, Ibu akan menemani kamu, jangan kembali lagi ke rumah ini, tempat kamu bukan disini”

Kepala Rara hanya mengangguk, dengan wajah semakin pucat, masuk ke dalam pelukan perempuan yang sekarang sedang tersenyum sangat menakutkan menyerupai Mimin Ibunya, terus mengelus rambut Rara bukan untuk pertanda kasih sayang, namun sebaliknya.

Hanya suara pintu dapur yang terbuka perlahan terkena angin kencang malam ini, angin itu masuk ke dalam rumah membuat Mak Endah dan Jaka semakin terlelap dalam tidurnya, beberapa kali hentakan suara pintu dan kain penutup kamar Rara bergerak, namun tidak sanggup membuat Jaka dan Mak Endah terbangun.

“Tumben pintu dapurnya masih terbuka, tidak biasanya...” ucap Ojan yang berjalan tergesa-gesa, bambu panjang sudah menempel di pundaknya sebagai alat pemanggul dua wadah yang berisikan barang dagangan Jaka.
“Jak, Jaka... Mak Endah, ini Ojan...”

Ojan seketika berhenti langkahnya, sebelum masuk ke dalam dapur yang pintunya terus bergerak terkena angin, bahkan ia juga sudah merasakan tidak biasanya angin malam ini begitu kencang.

Matanya terus berkeliling memperhatikan sekitar, memastikan ada sebuah bau aneh yang ia hirup masuk ke dalam lubang hidungnya.

“B..bau apa ini...”
Kedua bola matanya tiba-tiba berhenti, manakala melihat ke arah hamparan tanah yang menjadi lantai dapur, terlihat banyak serbuk-serbuk kemenyan hitam, namun anehnya mengeluarkan bau yang menyengat, seperti sudah sudah ada yang membakarnya.

“Jak! Jaka!!!” teriak Ojan masuk ke dalam rumah dengan tergesa-gesa, mendapati Jaka sudah terlelap tidur di meja.

“Bangun Jak, bangun!” kedua tangan Ojan sudah berada di pundak Jaka, menepuk berkali-kali.

“Jan... kok bisa masuk, perasaan pintu dapur aku kunci...” jawab Jaka perlahan, masih merasakan rasa ngantuk yang tidak biasa.

“Kunci, kunci matamu! Pintu dapur terbuka gitu, di dapur aku lihat ada serbuk kemenyan banyak, ini kecium juga kan sama kamu baunya!”

Jaka langsung tersadar manakala bau kemenyan itu sudah ia cium juga, apalagi matanya ketika melihat ke arah kamar Rara, ia langsung bangun dan berjalan tergesa-gesa menuju kamar.

“Rara! Mak bangun! Rara tidak ada Mak!” ucap Jaka panik, sudah tidak mendapati keponakannya itu tidak ada di dalam kamar, hanya suara dengkuran Mak Endah yang terdengar, bahkan Jaka langsung menepuk pundak Mak Endah berkali-kali.

“Mak Rara! Mak!” teriak Jaka berkali-kali.

Mak Endah yang baru saja membuka matanya langsung kaget, cucu perempuannya itu sudah tidak ada di sebelahnya, langsung berdiri dan mengikuti langkah Jaka yang sudah menuju dapur.

“Aku sampai pintu sudah terbuka Jak” ucap Ojan berusaha menenangkan Jaka dan Mak Endah yang sedang melihat ke arah lantai dapur, tangan Mak Endah sudah mengambil potongan kecil kemenyan hitam, kepalanya hanya mengangguk berkali-kali.

“Jan ayo ikut! Mungkin belum jauh perginya!” bentak Jaka.

“B..bukan kemenyan biasa, biadab! Tidak menyangka bukan saja hatinya yang sudah buta! Ternyata sudah dikuasai Iblis!” bisik hati Mak Endah yang masih tidak percaya dengan kejadian cepat malam ini, dalam hatinya sudah mengetahui ulah siapa hilangnya Rara malam ini yang baru saja berganti hari, segala pembicaraannya empat tahun kebelakang itu terbukti, walaupun belum pasti leuweung mana yang mereka berdua datangi.

***

Dibawah guyuran gerimis dini hari, awan gelap dan pepohonan menjadi saksi sedang melintas perlahan sebuah mobil jeep tua baru saja keluar dari sebuah kampung, melewati tugu perbatasan yang terdapat tulisan mengenakan semen, diwarnai cat yang sudah hampir pudar, sebuah kampung yang memiliki hutan belantara, sudah belasan tahun tidak ada satu orangpun masuk ke dalamnya, nama kampung itu adalah Kampung Wetan Tilasjajah.

Beberapa warga kampung yang menyadari turunnya gerimis dini hari ini, bukanlah sebuah gerimis yang kebetulan hadir di kala sedang musim kemarau, mereka tidak ingin gerimis itu memberikan pertanda dan mengundang malapetaka, dari pintu masuk menuju leuweung sasar yang terdapat di ujung kampung, apalagi seorang lelaki yang tersisa, terikat keturunan sebagai juru kunci sudah belasan bahkan puluhan tahun meninggalkan kampung, mereka tidak pernah mengetahui lelaki itu masih hidup atau sudah mati.

“Sudahlah Min, jangan melamun seperti itu, harusnya kita senang syarat terakhir sudah kita laksanakan...” ucap seorang lelaki sedang mengendarai mobil dengan perlahan meninggalkan kampung wetan tilasjajah, dengan pakaian yang sudah kotor bahkan telapak sepatunya masih penuh dengan tanah.

“Sudah cukup Karta! konsentrasi saja mengemudi!” bentak Mimin Kusumaputri, masih berusaha menenangkan dirinya, akan sebuah ritual yang baru saja selesai dilakukan bersama Karta Mulyadi suaminya itu.

Hanya sebuah kecupan yang mendarat di dahi Mimin, kecupan penuh arti yang Karta berikan, karena dalam hatinya sedang bersorak gembira, kala mobil melewati sebuah jembatan besar, dari spoinnya masih terlihat jelas hamparan leuweung sasar.

“A...apa itu akan menjadi permintaan terakhirnya Karta” ucap Mimin terbata-bata.

“Seharusnya apa yang sudah kita taburkan di rumah Ibu kamu, berbuah manis malam ini, lihat saja kaca mobil sudah penuh dengan gerimis, pertanda baik untuk persembahan kita Min... mereka akan langsung yang datang, dan tidak akan sulit...” jawab Karta berusaha meyakinkan istrinya kembali.

Pasangan suami istri itu sedang memikirkan segala kemudahan dan keinginannya esok pagi yang akan segera didapatkannya dengan sangat mudah, setelah sebuah keputusan besar dalam hidupnya mereka ambil, tanpa mereka sadari perjanjian itu semakin mengikatnya.

“Kamu harus ingat Min, rasa sakit hati itu, sebanding dengan langkah kita, Bah Sugik akan menjaga kita! Jangan cemas!” bisik Karta di dekat telinga istrinya, sudah menyadari perempuan lain duduk di belakang jok belakang, sedang tersenyum ke arah Karta dan Mimin.

***

Empat hari kemudian

Kabar hilangnya Rara sudah menyebar ke segala penjuru kampung sampai ketempat Jaka berdagang, Jaka tidak henti-hentinya menelusuri kampung bertanya kepada siapa saja yang empat malam ke belakang melaksanakan tugas meronda, lebih dari lima titik pos ronda Jaka kunjungi, namun jawabannya tetap saja nihil, warga tidak ada yang melihat kepergian Rara.

Dari mulai orang terpenting kelurahan, sampai beberapa sesepuh mengenakan caranya masing-masing untuk menemukan Rara, apalagi kecil kemungkinannya kasus penculikan anak terjadi di kampung itu, berbarengan dengan kabar miring dari beberapa warga yang mengaitkan pada keadaan Mimin dan Karta yang melesat menjadi kaya raya.

“Jaka sudah kamu ingatkan Si Ojan belum! Agar tidak akan bicara soal kejadian empat malam kebelakang itu” ucap Mak Endah tiba-tiba.

“Sudah Mak, Ojan bisa aku pegang dia bukan orang yang seperti itu juga” jawab Jaka yang sedang menyiapkan adonan, untuk nantinya Ojan yang berjualan dan malam ini juga Jaka akan kembali mencari Rara, bersama para warga kampung.

“Apa Mak tidak punya firasat petunjuk Mak, ini udah hari keempat Rara belum ditemukan, aku harus telpon wali kelasnya memberi kabar ini, siapa tau juga bisa bantu aku ingat Rara dekat sekali dengan Pak Hadi dan Pak Gama, orang tuanya di sekolah...” lanjut Jaka semakin cemas, membuyarkan lamunan Mak Endah sejak empat hari kebelakang dirinya terus memikirkan sesuatu hal dari kemenyan hitam yang masih disimpan di lemari tuanya, dan Jaka tidak mengetahui empat tahun lalu pernah terjadi pembicaraan serius antara Mak Endah dengan Mimin.

“Berikan kabar dulu saja Jaka, harus ingat semangat Rara menimba ilmu sangatlah besar, Mak yakin ini bukan kasus hilang biasa...” jawab Mak Endah sudah terlihat putus asa.

“Aku temui Mimin dan Karta malam ini juga, sejak mereka berdua kembali ke rumah ini, malam itu juga Rara hilang! Tidak mungkin mereka bisa lepas dari masalah ini Mak, walaupun Rara darah daging mereka!” ucap Jaka dengan kesal, karena sejak kemarin selalu di hadang niatannya itu oleh Mak Endah, karena tidak ingin masalah ini semakin keruh, menghindari pertengkaran kedua anaknya itu.

Karena tidak ingin menanggapi ucapan Jaka yang sudah meluap bercampur dengan emosi, Mak Endah lebih memilih menerima tamu para tetangga yang ikut simpati pada musibah yang sedang menimpanya, tidak jarang hal-hal yang berkaitan dengan kepercayaan manakala mencari anak hilang sudah sampai di telinga Mak Endah.

***

Setelah adonan dagangan selesai, berbatang-batang lintingan tembakau sudah Jaka hisap untuk membuat dirinya tenang, sambil menunggu baterai di handphone lamanya itu penuh agar bisa menelpon Pak Hadi, yang memang selebihnya handphone itu sesekali sering digunakan Rara.

“Dimana Ra kamu ini...” keluh Jaka sudah menemui jalan buntu melakukan pencarian, beberapa kali menyalahkan dirinya sendiri yang tidak becus menjaga Rara dan kenapa malam itu ia bisa tertidur begitu saja, dan ingatan Rara mengenakan selendang tetap ia pikirkan antara malam itu sadar ataupun sebaliknya.

Dirasa waktu semakin sore dan sudah mempertimbangkan apa saja yang akan dikatakannya kepada Pak Hadi, segera Jaka mencari kontak Pak Hadi.

“Assalamualaikum Pak Hadi, ini saya orang tua wali Rara, murid Bapak di sekolah” suara Jaka terdengar sedikit gemetar.

“Waalaikumsalam, iyah Pak Jaka alhamdulillah saya masih ingat nama Bapak, gimana Rara semenjak libur semester masih berjualan sama belajar Pak, hebat anak itu” jawab Pak Hadi dengan sangat antusias, tidak akan lama bisa berjumpa lagi dengan Rara di sekolah.

Mendengarkan pujian pada keponakan perempuannya itu membuat Jaka langsung lupa dengan apa yang akan dibicarakan, padahal sedari tadi sudah disiapkan apa saja yang akan disampaikannya kepada Pak Hadi.

“Kabar buruk menimpa keluarga kami Pak”
Tatapan mata Jaka terus memandang halaman belakang yang tidak terlalu luas itu, apalagi sinar cahaya keemasan sudah perlahan turun, beriringan mendekati waktu maghrib.

“Halo Pak Jaka, halo... maksudnya kabar buruk gimana” tanya Pak Hadi sangat kaget, tidak ingin kabar itu menimpa murid kesayangannya.

“Kalau besok Rara nggak masuk sekolah, berarti belum ketemu Pak... sudah empat hari hilang dari rumah...”

“Astagfirullah apa sudah di cari Pak Jaka...”

Baru saja Jaka akan menjelaskan kejadian malam itu, dengan sangat perlahan ia menutup panggilan, karena kedua matanya sudah menangkap seorang wajah anak perempuan dari jarak yang tidak terlalu jauh dari tempat ia duduk.

Wajah anak perempuan itu sudah terkena cahaya kuning yang semakin pudar, semakin memperjelas wajahnya yang pucat, apalagi malam sudah akan tiba tinggal hitungan menit, tangannya kini perlahan bergerak melambai berkali-kali ke arah Jaka, sambil tersenyum cantik.

“Ra! Rara!!!”
Namun tiba-tiba malah terdengar tangisan dan suara teriakan yang melengking kencang dari anak perempuan itu, membuat Jaka langsung berlari ke arahnya, semakin dekat ia melihat semakin jelas bahwa itu adalah Rara yang sudah lama hilang dari rumah.

“Aaaaa!!!”
Namun dengan sekejap mata anak itu hilang yang tersisa hanya sebuah teriakan sampai membuat Jaka menutup kedua telinganya, pandangannya hanya melihat sebuah anak ayam kecil yang sudah berada didekat kakinya.

Membuat Jaka perlahan menunduk untuk memastikan anak ayam itu, dengan sangat jeli ia yakin itu anak ayam biasa, yang induknya dipelihara Mak Endah, namun ketika matanya sadar, Jaka sudah melihat bayangan hitam yang menjulang tinggi, dengan rambut sangat panjang sedang berdiri di balik punggungnya Jaka, hingga bayangan itu sangat jelas ia lihat.

***

Dua hari kemudian

Kendaraan roda dua yang di kendarai Pak Hadi melesat kencang, menerobos malam dan kemacetan jalanan kota manakala memasuki jam pulang kerja, tujuannya adalah rumah rekan mengajarnya di sekolah yaitu Gama.

Segudang informasi sudah didapatkan Pak Hadi, sudah dua hari juga setiap siang hari ia menemui Jaka dan Mak Endah di rumahnya, mendengarkan cerita mengenaskan malam itu yang menimpa Rara, semua catatan yang ia tulis di dalam kertas sudah berada di saku jaketnya yang tidak lupa ia bawa, apalagi besok tugasnya sebagai pendidik di sekolah dasar akan segera dimulai lagi dari libur panjang semester, namun masalah besar sudah berada di pundaknya, sejak Mak Endah dan Jaka meminta bantuan.

Didepan rumah tujuannya sudah terparkir mobil yang biasa Gama gunakan, pintu gerbang tuanya sudah terbuka lebar, menyambut kedatangan Pak Hadi.

“Masuk saja Pak, bawa motornya ke dalam” teriak Gama sudah berdiri di dekatnya lelaki berambut gondrong dengan wajah yang menyeramkan, karena tidak seperti Gama yang melemparkan senyum kepada Pak Hadi, lelaki yang Pak Hadi kenal dengan panggilan Budi malah sebaliknya.

“Maaf Gam tidak seharusnya kabar ini cepat sampai kepada kamu, apalagi aku dengar dari Kakek Duduy kamu baru saja pulang dari luar kota” ucap Pak Pak Hadi, langsung duduk setelah Budi minggir cukup jauh dengan membawa kopi dan rokok.

“Katakan saja tidak apa-apa Pak Hadi, aku juga kaget kabar hilangnya Rara ini” ucap Gama, terlihat kondisinya masih setengah lemas.

“Tidak ada penculikan anak, atau pertanda kejahatan kriminal di kampung Rara tinggal, anehnya malam itu ketika sakit Rara hilang begitu saja, terlebih kedua orang tuanya baru saja sore itu tiba” ucap Pak Hadi menjelaskan, suaranya didengar jelas juga oleh Budi.

“Apa benar yang diceritakan Pak Hadi sebelumnya perihal orang tuanya yang menjadi kaya mendadak” tanya Gama sangat penasaran.

“Benar Gam, tapi...” jawab Pak Hadi dengan ketakutan.

“Katakan saja Pak!” bentak Budi tiba-tiba.

“Budi!” ucap Gama melihat ke arah matanya Budi, Gama tahu betul kecemasan apa yang sedang Budi rasakan, terlebih di tanah kelahirannya itu ada yang membuka kembali pintu masuk menuju sebuah leuweung yang amat sangat menyakitkan untuk Budi, sedikitnya rasa tanggung jawab ada di benaknya saat ini.

“I...ibu dan Bapaknya melakukan cara lain untuk mendapatkan kemudahan, terdengar kabar angin dari warga katanya datang ke arah barat ke sebuah leuweung, ini alamat rumah Bapak dan Ibunya Rara, aku takut salah dan menjadi fitnah karena belum tahu kebenarannya...” lanjut Pak Hadi menjelaskan, memberikan kertas kepada Gama.

Gama tidak sempat membaca tulisan sebuah alamat dari dalam kertas itu, langsung berdiri dan melangkah ke arah Budi yang sedang duduk.

Budi langsung menundukan kepalanya, rokok yang terjepit di antara jarinya itu ia simpan perlahan di atas asbak.

“Dengar aku bicara Bud” bisik Gama.

Budi hanya menganggukan kepalanya, ketika Gama singkirkan beberapa helai rambut gondrongnya itu agar bisa melihat wajah Budi, begitu juga dengan Pak Hadi yang heran pada tingkah Gama, seperti sedang mengendalikan seekor harimau yang bisa jinak di tangannya.

“Jauh disana, ada seorang nenek tua dan pamannya yang sedang menanti cucu dan keponakannya pulang, anak itu jauh lebih malang nasibnya di tinggalkan hidup-hidup oleh orang tuanya, orang tuanya kembali ke rumah, seketika anak itu hilang! Aku tahu rasanya hati kamu waktu kecil kehilangan Abah dan Mak, tapi anak ini membutuhkan bantuan kita...” bisik Gama perlahan, menenangkan hati Budi.

“Baik Gam, ucapan Ki Duduy, Mang Idim dan Kamu sudah membuat aku paham, lalu...” jawab Budi jauh lebih pelan dari bisikan Gama.

“Pastikan keberadaan anak ini, setelah itu kita selesaikan masalah leweung sasar, pastikan orang tuanya, dari ikhtiar Mang Idim dan Ki Duduy ada kaitannya! Jangan datang ke leuweung sasar seorang diri! Paham!” bisik Gama jauh lebih tegas lalu memberikan kertas alamat rumahnya orang tua Rara kepada Budi, Gama sangat tahu di tempat kelahirannya itu Kampung Wetan Tilasjajah sedang terjadi hal-hal yang bisa membuat Budi lepas kendali.

Setelah dirasa Gama bisa kembali mengendalikan Budi, Gama sudah berhadapan dengan Pak Hadi, menyusun rencana besok hari di sekolah agar kabar ini tidak menyebar, walaupun sangat sulit karena beberapa teman satu kelasnya yang berada satu kampung dengan Rara sudah mendengar kabar buruk ini.

“Setidaknya Pak Hadi buat aman dan terkendali guru-guru saja dan jangan bicara jika sudah berjumpa denganku ya, tolong ini” ucap Gama.

Setelah Pak Hadi sepakat dan mengerti maksud dan kemauan Gama, Pak Hadi pamit karena sama dengan Gama besok pagi harus sudah kembali mengajar.

“Gam!” ucap Budi sudah berdiri, mengikat rambut gondrongnya.

“Maafkan aku Bud, bukan melarang ini demi kebaikan, leuweung sasar tidak mungkin begitu saja terbuka kembali, tapi ada orang yang sedang menanti pertolongan kita, kasihan murid bernama Rara itu, anak baik Bud! malang nasibnya tidak seberuntung kita punya keluarga...”

“Setelah itu... Kita bereskan apapun yang terjadi di leuweung sasar, sekalipun sarebu lelembut (seribu lelembut) seperti yang dikatakan Ki Duduy dan Mang Idim, percaya saja bantuan akan datang kepada kita!” jawab Gama sambil menepuk pundak Budi berkali-kali, membuat hatinya sedikit tenang, walaupun gejolak keinginannya kembali ke tanah kelahiranya itu sudah ada sejak dari pulang dari kampung jabang mayit.

“Kabari aku secepatnya malam ini atau besok tentang Rara” lanjut Gama, manakala berpisah dengan Budi yang sudah mengenakan motornya, untuk menuju alamat kedua orang tua Rara.

Tatapan tajam dan hembusan angin yang mengenai rambut gondrong Budi terus mengiringinya ke sebuah alamat yang akan ia tuju malam ini.

Motor tua yang ditumpanginya melesat diantara sorotan lampu-lampu kendaraan lain, untuk menuju ke sebuah jalanan besar yang sudah tidak asing lagi bagi Budi, setelah barusan berhenti memastikan alamat yang ditujunya.

“Jika ke arah barat berarti jembatan, lalu kampung wetan tilasjajah...” bisik hati Budi harus kembali menahan keinginannya menuju kampung kelahirannya itu, namun ucapan Gama tetap teringang di kepalanya saat ini.

Setelah dua kali berhenti menanyakan alamat, tidak sulit untuk Budi sudah menemukan rumah yang di maksud Gama dan Pak Hadi, baru saja motornya berhenti di seberang jalan yang cukup jauh dari rumah tujuannya itu, malah tiba-tiba ada seorang lelaki yang baru saja turun dari dari motornya, berjalan perlahan masuk melewati pintu gerbang yang berukuran sangat besar dan tinggi itu, membuat Budi langsung memperhatikan.

Dari pakaian yang dikenakannya Budi yakin itu bukan orang tua Rara, dari samping ia masih melihat jelas amarah wajah yang tergambar jelas dari lelaki itu.

“Apa itu Mamangnya Rara” ucap Budi bersamaan dengan gerbang ditutup kembali, memperhatikan ada sesuatu yang aneh terlihat oleh kedua mata Budi, dibalik gerbang besi itu sudah berdiri sosok hitam yang sudah belasan tahun tidak Budi lihat, membuat bulu pundaknya berdiri, bersamaan tubuhnya gemetar, ingatan tentang kampung yang sudah ia coba lupakan berhari-hari kebelakang kini nampak hadir dan sangat jelas.

“Bahaya! Bukan hanya terbuka! Sudah jelas sosok hitam dari leuweung sasar!”

Bahkan ketika sosok hitam itu mengetahui kedatangan Budi, hanya melihatnya dengan mata yang merah menyala.

“Hanya penjaga harusnya masih aman orang itu!” bisik hati Budi, setelah memastikan keberadaan sosok yang seharusnya sudah tidak bisa keluar dari leuweung sasar dan sekarang berada di rumah nan besar itu.

Karena tidak ingin membahayakan lelaki yang Budi curigai adalah Mamangnya Rara dan tidak ingin mengundang reaksi lain dari sosok-sosok penjaga di rumah orang tua Rara, Budi sudah tahu sesuatu, kemana selanjutnya ia akan pergi, tidak perlu waktu lama untuk memastikan sangkaan Ki Duduy, Mang Idim dan Gama akan terkaitan hilangnya Rara dengan leuweung sasar.

“Maaf Gam, aku hanya memastikan tidak akan masuk ke kampung itu” bisik hati Budi, tidak ingin melanggar janji setia seumur hidupnya kepada Gama.
...
Detak jantung yang semakin berdebar, pikiran yang sudah berkali-kali Budi kendalikan bisa membuatnya sedikit tenang, namun satu sosok hitam dari leuweung sasar sudah membuatnya cukup puas dan mengetahui sesuatu, bahwa pintu masuk leuweung sasar bukan hanya terbuka, tapi ada yang benar-benar menghendaki.

Kendaraan roda dua itu kini menuju ke arah barat, melaju ke sebuah leuweung yang belum bisa Budi masuki terutama kampungnya itu, tangan Budi sudah menarik gas lebih dalam agar motor tua Mang Idim itu melaju lebih kencang, angin malam tidak membuat dirinya dingin melainkan sebaliknya rasa penasaran sudah bergejolak panas dalam tubuh Budi.

Seketika motornya langsung berhenti, mesin motor langsung di matikannya dengan perlahan, tidak ingin ada seorangpun yang mengetahui kedatangaanya yang sudah larut malam ini, motor segera Budi sembunyikan diantara pohon besar.

Hamparan jembatan besar dan sungai yang sama besarnya itu sudah Budi lihat, matanya memejam cukup lama, karena dari hamparan pepohonan itu didalamnya terdapat tempat yang amat sangat mempunyai kenangan buruk untuknya.

“Sampai...” bisik hati Budi sudah bisa merasakan hembusan angin dari arah leuweung itu, bersamaan dengan ingatan pada kematian Abah dan Maknya yang kini tergambar semakin jelas.

“Ada yang aneh, benar-benar pertanda ini” ucap Budi perlahan, ketika melihat ke arah rerumputan menjulang tinggi di samping jembatan dan sungai, rumput-rumput itu seperti bekas terkena gerimis, padahal musim kemarau masih berlangsung.

“Harus kamu ingat baik-baik semua pertanda yang barusan Abah katakan Jalu, mungkin hal itulah yang nantinya suatu saat membawa kamu kembali menuju leuweung sasar” pesan berupa wasiat dari Abah Amar sekarang Budi ingat dengan jelas.

“Benar dari sana sosok hitam di rumah orang tua Rara tidak salah lagi, apa yang sudah mereka lakukan pada tempat yang sudah lama aku tinggalkan!” ucap Budi perlahan terus memandang ke arah leuweung, berdiam di ujung jembatan besar dibawah pohon yang dekat dengan jalan, yang didepannya terdapat gapura masuk Kampung Wetan Tilasjajah.

Tatapanya tiba-tiba buyar, ketika mendengar suara kendaraan lain yang akan melintas, bukan kendaraan biasa pada umumnya, dari suara yang Budi dengar semakin dekat suara itu lebih kepada motor vespa.

Pengendara motor itu tidak mengetahui keadaan Budi, melewatinya begitu saja sampai dua roda ban-nya itu menginjak jembatan, namun Budi sangat kaget manakala melihat jelas sebuah sarung lusuh itu tersampai di bahu lelaki yang mengendarai vespa tua.

“Tidak mungkin!” ucap Budi langsung teringat pada sosok lelaki yang pernah ia lihat pertama kali di depan warung matrial kayu Arya, apalagi Gama dan Budi yakin lelaki itu bukanlah sembarang orang.

Belum selesai rasa penasaran pada sosok lelaki yang sudah ia lihat kedua kalinya itu, kini kepala Budi tiba-tiba di buat kaget untuk kedua kalinya, melihat burung-burung hitam keluar dari dalam leweung sasar, sangat banyak berterbangan diatas leweung sasar, di bawah langit hitam yang pekat, bahkan membuat motor vespa itu juga berhenti seketika di tengah jembatan, kepala lelaki itu melihat ke arah burung-burung yang sama dengan Budi, seolah memahami sebuah pertanda.

“Akhirnya terjadi, burung-burung hitam misterius itu berterbangan tinggi, pertanda bakalan terjadi malapetaka jauh lebih berbahaya...” ucap Budi sambil merasakan hatinya bergetar.

Selain membawa pertanda burung-burung hitam itu seolah memberikan ucapan selamat datang kepada pemegang juru kunci leuweung sasar yang sudah lama hilang.
Namun Budi baru menyadari lelaki yang berada di atas vespa tua itu bisa melihat ke arah yang sama.

“Tidak mungkin dia bisa melihat burung penjaga leuweung sasar!” bisik hati Budi semakin penasaran pada lelaki itu, terlebih didalam leuweung sasar sedang terjadi sesuatu, yang harus ia selesaikan.

Baru saja nafas panjang Budi hembuskan, ia masih melihat jelas motor vespa dan lelaki bersarung lusuh itu, yang kini sudah kembali melaju diatas jembatan, terus saja Budi perhatikan sambil menyimpan rasa penasaran manakala hatinya itu belum tenang, dan burung-burung hitam itu masih berterbangan hanya di atas leuweung sasar.

Dari pandangan yang semakin jauh itu, diluar dugaan Budi motor vespa dan lelaki bersarung lusuh itu berbelok masuk melewati gapura kampung wetan tilasjajah.

“Apa jangan-jangan dia yang menghendakinya! Dia juga bisa melihat pertanda yang sama! Siapa lelaki itu! Akan aku habisi jika ada kaitannya dengan leuweung sasar dan hilangnya Rara!” ucap Budi menyaksikan jelas lelaki bersarung lusuh itu dengan motor vespa tuanya sudah masuk lebih dulu ke dalam kampung wetan tilasjajah.

BERSAMBUNG

Garisan takdir menerpa Jaka dan keluarganya atas hilangnya Rara, orang tuanya sudah jelas menghendaki hal itu terjadi, apakah secara bersamaan Mimin dan Karta juga yang memulai leuweung sasar bisa kembali dibukanya untuk tujuan mereka,

atau masih ada sebuah rahasia yang masih tersimpan rapat.

*****
Selanjutnya
close