Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

BUKIT ORANG BUNIAN (Part 6 END) - Perang Semesta Bunian

Bagian Akhir Bukit Orang Bunian
Sebuah kisah dari tanah Minangkabau


Di rumahnya, Supardi tersentak bangun dari tidur dengan peluh yang membanjiri kaus yang ia kenakan. Ia sadar mimpi tadi adalah jawaban dari paku paku yang ia tancapkan di pepohonan bukit.

Namun ketika ia melihat ke sebelah, Buyung yang semula disana kini sudah lenyap.

“Buyung??” panggil Supardi. Tapi tidak ada suara yang menyahut panggilan itu.

Supardi bergegas ke belakang dan mendapati setengah dari minyak tanah yang sudah mereka siapkan sebelumnya sudah lenyap.

Selain itu kain putih berisi senjata senjata pemberian Nur juga sudah tidak ada lagi di tempatnya.

Ia juga memeriksa keluar dan tidak menemukan motor miliknya di ruang tengah.

“BUYUANG P*ANTEK!!” umpatnya.

Di sisi terluar sawah, Buyung membawa jerigen minyak tanah yang sudah direndam bunga layu pemberian Nur. Ia menyiramkan minyak minyak itu ke sekeliling sawah yang sudah mati yang mengelilingi bukit tersebut.

Setelah seluruh minyak yang ia bawa habis, Ia menatap Bukit Bunian dengan tatapan penuh amarah.

“Kalian sudah mengambil ayah saya.. dan sekarang kalian juga mau mengambil anak saya, sialan?? Jangan kira karena kalian tidak terlihat.. saya tidak bisa melakukan apa apa!” ujar Buyung dengan tangan mengepal.

Ia lalu membuka bungkusan putih di sakunya, mengeluarkan kunyit-kunyit pemberian Nur. Tapi ia tidak melemparkannya sebagaimana instruksi Nur..

“Sesama jin seharusnya bisa saling melihat bukan?.. ahahaha” Buyung tertawa gila lalu melemparkan kunyit itu ke dalam mulut dan menelannya.

Para sosok yang sejak tadi mengelilinginya langsung melompat ke dalam tubuh Buyung dan mengambil alih matanya. Sensasi yang begitu menyakitkan namun setimpal.

Karena sekarang ia bisa melihat sebanyak apa pasukan yang ia miliki dan pasukan bunian yang sudah bersenjata lengkap menatapnya dari atas.

Buyung juga melihat ke sekelilingnya. Ia baru sadar bahwa sosok sosok jin liar yang sudah terikat perjanjian darah dengannya sudah berada di belakangnya sejak tadi.

Tubuh mereka beraneka ragam bentuk dan ukuran, namun yang pasti jumlah mereka lebih banyak dari para orang Bunian di atas bukit sana.

Sufyan memandangi Buyung di bawah tanpa menurunkan dagunya. Sebuah pembatas ghaib masih berdiri kokoh memisahkan alam manusia dan jin darat dengan kekuasaan makhluk penunggu bukit.

Hal ini juga yang membuat jin jin di sekitar sawah selama ini tidak bisa menyerang penghuni bukit untuk mengambil alih kekuasaan mereka.

Abbas yang masih terikat di tiang kayu hanya bisa memandangi pasukan besar bunian yang berbaris di hadapannya. Dan entah bagaimana caranya, ia juga bisa melihat ayahnya bersama ratusan sosok jin ada di bawah sana, menantang para Bunian.

Karena di dalam dirinya sudah terdapat jin yang masuk akibat kunyit yang ia telan, Buyung juga bisa melihat keberadaan tabir besar pemisah dunia bunian dan dunia jin bawah yang sama dengan manusia.

Buyung mengambil potongan potongan kunyit tadi dan melamparkannya ke arah tabir itu. Jin dengan ukuran tubuh seperti raksasa langsung berlari mengejar kunyit itu dan menabrak tabir tadi.

Tepat ketika jin bersentuhan dengan tabir itu, sebuah kilat muncul dan seketika menyambar jin tersebut. Tubuh jin tadi dalam satu kedipan mata hancur dan terbakar menjadi abu.

Merasa belum cukup, Buyung mengambil segenggam kunyit melemparkannya lagi ke arah tabir itu. Jumlah jin yang mengejar kunyit itu cukup banyak. Namun tetap saja, setiap mereka bersentuhan dengan tabir tadi, sebuah kilat menyambar mereka hingga lenyap.

Sufyan masih memperhatikan Buyung dari atas. Ia belum mengatur serangan dan hanya melihat bersama orang orang Bunian lainnya.

“Pagunoan lah taruih umpan ang tu.. indak ka ciek jo nan ka liwaik dari paga pamisah tu doh!” (gunakan terus umpanmu itu. Mereka tidak akan mampu melewati tabir pemisah dunia bunian dan duniamu..) ujar Sufyan.

Buyung hampir saja mengambil kunyit kunyit itu lagi dan mencoba cara yang sama, namun ia sadar satu hal. Kunyit kunyit itu berhasil melewati tabir tadi, namun tidak dengan jin jin yang mengejar kunyit itu. Tandanya, benda nyata bisa melewati tabir itu tanpa mengalami hal apapun..

Buyung batal mengambil kunyit dan mengambil benda lain di dalam kain putih itu. Ia mengeluarkan pisau pendek pemberian Nur. Melihat benda itu Sufyan tersentak.

Ia merasakan sesuatu yang berbeda dari senjata yang Buyung pegang.
Dan kekhawatiran Sufyan ternyata terbukti..

Buyung melemparkan pisau itu sekuat tenaga kearah bukit. Pisau itu menembus tabir dan menancap di tanah, seketika itu juga alam Bunian diguncang gempa yang sangat kuat.

Para bunian yang berada di bukit kehilangan keseimbangannya. Mereka semua terduduk dan sebagian lagi berjongkok. Akibat guncangan itu, kayu tempat Datuk Pagaralam dan Abbas diikat jatuh ke tanah.

Guntara yang juga sudah tiba di lokasi itu harus berpegangan pada pepohonan agar keseimbangannya terjaga.

Sufyan kini terdiam.. terdengar suara gemuruh yang sangat kuat.. untuk pertama kalinya sejak tabir pemisah itu dibuat oleh dirinya dan Badaro dahulu, di hadapannya sekarang tabir raksasa itu hancur runtuh berkeping keping..

Melihat runtuhnya tabir itu, jin jin yang ada di sisi Buyung mendadak bertindak agresif dan menggila. Mereka berlari, merangkak, terbang dan melesat bagaikan angin ke arah Bukit Bunian. Di belakang mereka Buyung berlari kecil sambil mencabut pisau yang tadi menancap di tanah.

Namun ada beberapa sosok besar yang tetap diam dan tidak bergerak mengikuti jin jin yang lain..

Sufyan mengangkat tangannya memberi aba aba. Para bunian yang memegang panah menarik busur busur panah mereka yang sudah menyala oleh api.

Sementara para bunian dengan tombak sudah memasang kuda kuda untuk bersiap melempar tombak tombak mereka.

“TEMBAK!” perintah Sufyan.

Hujan panah api dan tombak menuju ke arah pasukan jin yang masih berlari ke arah bukit. Jumlahnya ribuan dan terlihat seperti hujan yang berwarna merah menyala. Sebagian besar panah dan tombak itu mengenai para jin dan membuat mereka roboh dan terbakar.

Buyung sendiri juga menjadi sasaran para pemanah, namun ada jin yang terus berdiri di depannya dan menghalangi semua panah dan tombak itu untuknya.

Para pemanah Bunian kembali mengambil busur busur api mereka, begitu juga para penombak yang sudah kembali memasang kuda kuda. Hujan panah dan tombak kedua akan segera terjadi..

Namun melihat itu, Buyung tidak tinggal diam...

Sebelum Sufyan menurunkan tangannya, ia melempar kembali pisau itu ke tanah bukit dan sekali lagi menciptakan gempa besar yang menghilangkan keseimbangan para penombak dan pemanah bunian.

Sosok sosok jin yang mulai merayap ke arah bukit. Para bunian pemanah mencoba menyeimbangkan tubuh mereka dan menyerang jin yang semakin mendekat. Beberapa busur panah api dari orang bunian mengenai tubuh para jin itu.

Mereka mengerang kesakitan dan terbakar habis. Namun beberapa yang lain tetap bisa berjalan mendekat meski api dan panah sudah menancap di tubuh mereka. Tapi itu belum cukup karena banyaknya jin yang berhasil memanjat mendekati pasukan Bunian.

Sufyan mengangkat satu jarinya dan menunjuk ke langit. Dari arah barisan tengah, desing suara logam beradu terdengar diantara riuh suara suara mengerikan yang dikeluarkan jin jin liar yang semakin mendekat.

Barisan yang ada di tengah pasukan Bunian maju, mereka adalah kelompok yang menggunakan pedang, tameng dan gada raksasa dengan ujung logam mengkilat.

“Linduangi tanah wak lakik awak atau inyo nan binaso!” (Lindungi tanah kita sampai kita atau dia yang binasa!) pekik Sufyan tepat ketika para jin tanah dan bunian saling berhadapan.

Perang jarak dekat itupun tidak bisa lagi dihindari..

***

“Guntara.. Guntara ada di bukit?? Di alam bunian??” tanya Bagindo belum percaya.

“Saya bersama dengan Guntara, Abbas, ayah dan… Datuk Pagaralam.. kami semua berada di dunia itu! Mereka semua yang hilang ada disana!” ujar Dedet yang langsung dibalas istighfar oleh warga disana.

Beberapa orang memandangi Dedet dengan wajah ragu. Sebagian mulai mencibir Dedet karena dianggap sudah tertular gila seperti ayahnya.

“Baa bisa masuak ka sinan ang Det?.. manga ang?..” (kenapa kamu bisa masuk kesana Det?) tanya salah seorang warga dengan nada meremehkan.

“Abbas.. pelaku yang membuat padi padi disana mengering adalah dia. Dia yang bertugas menyiramkan racun ke sawah warga di tengah malam atas perintah ayahnya! Saya mengejarnya hingga kami masuk ke dunia bunian” jelas Dedet menggebu gebu.
Seketika orang orang disana terdiam...

“Det istighfar.. kita semua melakukan sisir sawah hampir setiap malam dan kita tidak melihat siapapun disana, kamu juga ikut kan..” ujar warga yang pernah mengikuti sisir sawah dan keesokan harinya masih ada sawah yang mati.

Dedet terdiam.. ia tidak bisa menjawab sanggahan itu dan apa alasannya hanya malam itu ia bisa menemukan Abbas, setelah Pagaralam memintanya mengubah arah sisiran sawah...

Di sudut ruangan, Firman menggigit bibirnya kuat kuat.. Keringatnya bercucuran dan tangannya mengepal. Dengan terbata, Firman bersuara..

“Saya.."

Seluruh pandangan di ruangan yang hening itu teralih pada Firman. Bibirnya terasa kaku untuk melanjutkan kalimatnya. Namun ia juga sudah tidak tahan untuk terus membohongi orang orang..

“Saya.. saya dan almarhum bapak yang memberitau arah penyisiran agar pak Buyung dan Abbas bisa merusak sawah di sisi yang tidak kita jelajahi tiap malamnya.. maafkan saya.. maafkan saya… tapi saya takut.. dan saya juga almarhum bapak tidak berani untuk melawan Pak Buyung..

Mohon ampuni saya pak Bagindo..” Firman membungkukkan tubuhnya hingga hampir bersujud. Ia terisak dan gemetar tanpa berani mengangkat lagi kepalanya.

Dedet menatap nanar sahabatnya itu. Ia tidak tau Firman yang selama ini menjadi mata mata Buyung, pelaku utama dari semua hal ini. Bagindo Sati meskipun sudah menduga ada orang yang membocorkan arah sisiran mereka, namun pengakuan Firman juga tetap membuatnya terkejut...

Meski demikian, Bagindo Sati tidak serta merta menghukum Firman sekalipun ia mengakui kesalahan besarnya. Dengan nada bicara yang tenang, beliau mengusap punggung pemuda itu dan memberinya nasehat..

“Kita semua tau kau adalah orang yang baik Firman.. setiap orang bisa salah.. tapi orang yang baik adalah orang yang sadar akan kesalahannya dan mau berubah..” ujar Bagindo sambil menenangkan Firman.

Pandangan Bagindo kembali beralih ke Dedet. “jadi.. bagaimana cara kita mengembalikan orang orang yang terjebak disana?..” tanya Bagindo.

“Orang Bunian hanya meminta pemanfaatan bukit untuk lahan sawit dihentikan.. hanya itu. Namun jika kita, manusia, masih bersikeras.. mereka bilang akan memilih jalur perang...” jelas Dedet.

Bagindo langsung melihat ke arah Dedet dengan wajah khawatir.

“Apa Pagaralam berhasil keluar seperti kau?” tanya Bagindo.

“Tidak.. Pagaralam tidak akan keluar lagi.. hanya saya dan Guntara yang diizinkan keluar oleh mereka.. selain itu Pagaralam.. sudah meninggal disana..” jawab Dedet lemas.

“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun…” sebut Bagindo dan warga lain.

Bagindo tertunduk. Air matanya menggantung dan kepalanya terasa sakit. Ketakutan yang ia tahan dan coba hilangkan sejak awal ternyata justru menjadi kenyataan. Pagaralam sang jembatan antar dua alam itu kini sudah tiada..

“Baa painyo di wakatu takah ko Tuak… a nan ka den lakuan..” (kenapa engkau pergi disaat seperti ini Tuk.. apa yang bisa saya lakukan..) ujar Bagindo Sati pasrah.

“Bagindo! Datuk Pagaralam memang sudah tidak ada, tapi kita disini masih ada untuk menjaga bukit itu dari keserakahan Supardi dan Buyung!!” bentak Dedet.

DUM! DUM! DUM!

Suara dentuman yang cukup keras menggema dan terdengar oleh semua orang di rumah Bagindo Sati.

Mereka saling melihat satu sama lain dan memastikan bahwa suara dentuman dini hari itu bukanlah halusinasi mereka belaka.

Bagindo, Dedet dan warga bangkit dan berdiri di depan pintu sambil memasang pendengaran masing masing.

Lalu dari kejauhan terdengar teriakan warga yang saling bersahut sahutan..

“PUSARO BADANTAM BABUNYIIII!!! ALLAH A NAN KA TAJADI KOOO” (Makam Berdentum berbunyii!! Ya Allah apa ini yang akan terjadii) pekik suara itu.

Supardi akhirnya menyusul Buyung ke arah Bukit Bunian. Di lokasi tersebut ia tidak bisa mempercayai apa yang ia lihat sendiri. Ada cahaya cahaya yang muncul lalu menghilang dari bukit itu, dan ada suara seperti pukulan logam, teriakan dan bahkan nyala api yang berterbangan.

Rusaknya tabir pemisah antara alam manusia dan alam bunian membuat apa yang terjadi disana bocor dan bisa dilihat oleh manusia biasa meskipun tidak sepenuhnya.

Di bukit itu sendiri pertarungan sengit antara para masyarakat Bunian melawan jin jin liar yang dikerahkan Buyung terus berlangsung. Meskipun secara jumlah pasukan jin yang dibawa Buyung lebih banyak, namun pihak orang Bunian masih unggul dan belum dapat ditembus..

Mereka membuat benteng lapis dua menggunakan tameng dan tombak, dengan para pemanah di bagian belakang.

Para pemanah Bunian mencoba terus melemparkan anak anak panah apinya ke Buyung. Namun jin jin yang ia bawa selalu memasang badannya di hadapan Buyung dan menjadi menjadi tameng untuknya. Buyung berjalan terus tanpa gangguan yang berarti.

“Kalian hanya jin rendahan yang merasa lebih baik dari manusia!” ujar Buyung sambil menghantamkan lagi pisaunya ke tanah dan gempa besar kembali terjadi. Namun kali ini gempa yang terjadi lebih kuat hingga sisi bukit di alam bunian itu terbuka dan barisan orang bunian terpencar.

Kesempatan ini dimanfaatkan para jin liar untuk menyerang lagi orang orang bunian yang sudah kacau. Naas, akhirnya mereka satu persatu dihabisi oleh jin jin yang terus berdatangan tanpa henti.

Tubuh para bunian itu terkoyak, kepala mereka terputus dan sebagian lagi terbakar menjadi abu. Keadaan bisa dikatakan seimbang karena disisi lain, Bunian masih unggul dan mampu menjatuhkan beberapa jin yang coba mendekat.

“Kembali bentuk barisan!” pekik Sufyan dari tengah.

Dari kejauhan ia melihat Buyung yang berjalan santai ke arahnya sambil menghisap sepuntung rokok di mulutnya. Ia akhirnya melihat posisi Abbas yang berada, tepat di belakang dengan keadaan masih terikat pada sebuah tiang kayu yang menimpanya.

Buyung mengacungkan pisaunya ke arah Sufyan dan menantangnya untuk bertarung. Tapi dua orang bunian pengawal Sufyan muncul di kiri dan kanannya dengan pedang terhunus dan langsung berlari ke arah Buyung.

Namun dalam hitungan detik dua kepala pengawalnya terbang terlepas dari tubuhnya begitu saja dan mereka roboh seketika, tergeletak di hadapan Buyung.

Sebuah nyala api kini berada di genggaman Buyung. Pisau digenggamannya sudah ia lumuri dengan minyak tanah rendaman bunga dan ia menyulutnya dengan api hingga membuat pisau itu terbakar.

Pisau yang kini lebih terlihat seperti pedang api itu menyambar apapun yang menghalangi jalan Buyung menuju Sufyan.

Para Bunian yang lain terpecah konsentrasinya, mereka meninggalkan pertarungan mereka dengan para jin dan mulai menghalangi Buyung yang mengarah ke pemimpin mereka.

Para Bunian berkumpul mengelilingi Sufyan untuk melindunginya. Sebagian lagi maju menerjang Sufyan dengan pedang dan tombak di tangan mereka. Namun para bunian itu kalah tanding dengan pedang yang Buyung gunakan dan perlindungan jin jin yang terus melindungi jalannya.

Tapi setidaknya, serangan dari para Bunian itu bisa membuat Buyung sedikit melambat.

Disaat yang sama, Guntara akhirnya berhasil mendekat ke Abbas.
“Bas! Kamu gapapa???” tanya Guntara sambil membuka tali yang mengikat Abbas.

Abbas terlihat lemah namun ia masih mengangguk.
“Kita harus pergi darisini!” ujar Guntara sambil membawa tubuh sahabatnya itu menjauh dari lokasi pertempuran. Mereka berlari sambil menunduk diantara kilatan pedang dan Bunian Bunian yang roboh karena kalah dalam pertarungan.

Buyung yang sempat teralihkan perhatiannya sadar bahwa Abbas kembali menghilang. Amarahnya memuncak karena mengira Bunian kembali menyembunyikan anaknya.

“KEPARAT KALIAN!” bentak Buyung sambil melompat ke posisi Sufyan berada.

Keduanya akhirnya berada dalam jangkauan satu sama lain. Sufyan masih dalam wujudnya yang seperti kera besar mencoba menyerang terlebih dahulu dengan mencengkram kepalanya, namun Buyung berhasil menghindari serangan tersebut bahkan nyaris memotong tangan Sufyan.

Sufyan mengelak dan mundur selangkah. Ia jelas akan kalah jika melawan pedang itu dengan tangan kosong. Ia melihat ke kiri dan kanan, mencari senjata yang bisa ia gunakan. Namun kelengahan itu dimanfaatkan Buyung untuk mengayunkan pedangnya ke arah Sufyan..

Beruntung, tebasan pedang itu tidak mengenai Sufyan. Seseorang meloncat dan menghalangi pedang itu dengan tubuhnya sendiri. Darah mengalir dari luka melintang yang didapatnya dan ia melenguh menahan sakit dari tebasan itu.

Buyung melihat ke arah sosok yang baru ditebasnya itu dengan tatapan kosong. Sementara sosok itu sendiri terus meringis memegangi luka mengaga di dadanya yang tak henti mengeluarkan darah.

“Buyung hentikan ini! Mereka tidak pernah menculik kami semua! Kamilah yang memutuskan untuk tinggal disini!” Heri muncul dari belakang Sufyan.

Sufyan tidak menunjukkan ekspresi apapun. Matanya tetap tertuju pada orang yang baru saja ia tebas.

Orang yang tadi Buyung tebas itu kini merangkak di bawah kakinya, menahan sakit dan berkata..

“Akhh.. nak.. maafkan ayah yang pecundang ini.. dan kurang mendidik kamu hingga kamu dewasa.. tapi nak akh.. para penghuni bukit ini bukan yang menculik ayah.. ayah sendiri yang salah.. ayah yang..”

CLEB!

Buyung menghunuskan pedangnya dan menebas leher sosok yang menyerupai ayahnya itu tanpa memberi kesempatan menyelesaikan kalimatnya. Kepala itu menggelinding di kakinya dengan keadaan mulut yang menganga..

Dahulu, ayah kandung Buyung menghilang begitu saja saat ia masih kecil dan membuat kehidupan keluarganya yang selama ini tentram dan berkecukupan berubah total. Ia harus bekerja keras dan terbiasa dengan kejahatan demi bertahan hidup.

Ayah Buyung tidak kunjung pulang sejak pergi untuk berburu babi di bukit belakang dan diduga diculik oleh orang Bunian. Sejak itulah karakter keras dan bengis Buyung terbentuk, ditambah lagi ia menyimpan dendam pada makhluk yang telah mengambil kebahagiaannya dulu..

“Ayah saya sudah meninggal.. hentikan meniru niru tubuhnya.. kalian makhluk menjijikan!” bentak Buyung.

Heri terdiam.. sosok yang baru saja ditebas Buyung memang adalah ayah kandung Buyung yang memilih tinggal di dunia bunian sama sepertinya..

Awalnya Heri mengira ayah Buyung adalah orang yang paling potensial menghentikan kegilaan anaknya, namun ternyata hubungan keluarga yang tadinya ia kira mampu menghentikan Buyung, berakhir begitu saja.

Wajah Buyung terlihat lebih dingin dari biasanya Ia memandangi potongan kepala yang ada di kakinya dan menendangnya menjauh. Tiba tiba saja dia tertawa dengan ekspresi yang tidak bisa ditebak..

“Ahahaha.. saya menunggu puluhan tahun untuk bisa bertemu lagi dengan ayah, tapi ayah muncul dalam keadaan seperti ini.. ahahaha...” Buyung tertawa, namun air matanya juga mengalir di pipinya.

“Kita akhiri ini sekarang..” ujarnya sambil tersenyum lebar. Senyuman bengis seseorang tanpa rasa takut dan tanpa belas kasih sama sekali terhadap apapun..

Buyung melemparkan kuat kuat rokoknya ke bawah bukit. Putung rokok itu seketika menyulut seluruh padi padi kering di bawah dan minyak tanah yang ia sebar tadi.

Kobaran api menyala di kedua dunia itu, api berkobar di dunia manusia, begitu juga di dunia bunian. Bedanya, api di dunia bunian ini berkobar lebih besar dan merembet ke bagian atas bukit.

Buyung menghentakkan kakinya dan tiba tiba saja jin jin besar yang sejak awal diam di bawah mulai bergerak dengan gerakan aneh. Mereka menuju ke arah kobaran api di.

“Menurut kalian.. apa jadinya jika api ditambah api?..” tanya Buyung.

Sosok sosok besar dan mengerikan itu berubah menjadi sosok dengan pijar bara di tubuh mereka. Setiap langkah yang mereka lakukan membuat semua tumbuhan yang ada di alam bunian menghitam, mengering dan terbakar.

Kekuatan mereka berkali kali lipat dari pasukan jin yang daritadi dihadapi Bunian.

***

Di dunia nyata..

Dentuman dari arah pusaro badantam membangunkan warga desa. Mereka semua keluar akibat suara yang terdengar sangat keras dan berulang ulang itu.

Bagindo Sati, Dedet dan beberapa warga berlari ke arah Surau dan mendapati Pusaro Badantam terus berbunyi dengan sangat kuat. Kehadiran Bagindo di lokasi itu bertepatan dengan warga yang keluar untuk melihat.

“Suaro dari pusaro tu Bagindo?..” (suara dari kuburan itu Bagindo?..) tanya salah seorang warga.

“Iya..” Bagindo mengangguk lemah.

“Apa yang akan terjadi Bagindo?... mana Pagaralam juga masih belum ketemu..” ujar warga.

Bagindo melihat wajah kecemasan para warga itu tanpa bisa menenangkan mereka. Kabar dari Pusaro Badantam memang bukan isapan jempol semata..

Tiba tiba saja, sebuah kobaran api besar dari arah bukit menerangi langit desa.

“API! API! API!” teriak salah satu warga yang berlari dari arah bukit.

“Dimana?? Dimana yang terbakar??” tanya Bagindo ke warga itu.

“Sawah sawah kering dan bukit terbakar Bagindo!!” ujar warga itu panik.

Warga hanya bisa saling pandang dan kepanikan terlihat dari wajah mereka. Suasana terasa begitu kacau dan suara dentuman berulang ulang terdengar dan nyala api dengan asap yang membumbung tinggi dari arah bukit.

“Tubuh Abbas dan ruh Guntara masih ada disana!!" ujar Dedet yang tanpa aba aba langsung berlari ke arah bukit disusul Bagindo sati serta beberapa warga lain.

Warga yang masih terkejut dengan kekacauan yang terjadi, untuk beberapa saat hanya berdiri setelah ditinggal Bagindo Sati.

Mendapati arah suara dentuman tadi dari Pusaro Badantam Surau Pamatang, ditambah lagi bukit yang begitu sakral di belakang terbakar hebat, saat itu warga-

-sadar ini adalah kode bahaya dan pertanda akan datangnya sebuah bencana. Mereka yang tadi sempat keluar masuk kembali ke rumahnya, membangunkan keluarga yang masih terlelap dan mengajak mereka untuk sholat tahajjud saat itu juga.

“Ayah, bangun yah..” ujar salah seorang ibu di salah satu rumah di desa Rangkiang.

“Hari pagi baru bun.. baa pagi na jago..” (Hari masih pagi bun.. kenapa bangun pagi sekali..) ujar sang suami sambil melihat jam yang masih menunjukkan waktu dini hari.

“Yah.. pusaro badantam babunyi kareh sajak tadi.. sumbayang wak lah..” (Yah.. makam berdentum dari tadi terus berbunyi keras.. ayo kita sholat..) ujar sang istri.

Suaminya yang semula hanya membuka satu mata dan belum sadar sepenuhnya seketika terperanjat membuka matanya lebar lebar. Sang istri hanya mengangguk dengan air mata ketakutan yang mengalir di pipinya.

Kedua pasangan itu akhirnya berpelukan pasrah. Entah bencana apa yang sedang menuju desa mereka sekarang, apalagi ditengah pagi buta seperti ini.

“A jo nan ka tajadi, awak akan taruih basamo..” (apapun yang terjadi, kita akan tetap bersama..) ujarnya sambil memeluk istrinya.

***

Sosok sosok jin bertubuh seperti bara api itu tidak bisa ditandingi oleh para Bunian. Mereka terus terdesak bersamaan dengan hangusnya pepohonan yang menjadi tempat tinggal mereka. Beberapa bunian yang mencoba maju langsung terbakar dan berubah menjadi abu.

Buyung masih terlibat duel dengan Sufyan yang dibantu Heri. Menang jumlah bukan berarti membuat Sufyan unggul, ia tetap kewalahan karena pedang yang dibawa Buyung begitu berbahaya.

Heri juga tidak bisa berbuat banyak, ia tidak memiliki kemampuan fisik yang mumpuni dan hanya bisa melempari Buyung dengan batu batu yang seringkali meleset.

Dibelakang Buyung, api terus berkorbar dan semakin mendekat. Sufyan tanpa disadari semakin mundur dan terdesak.

Guntara dan Abbas yang berlari menjauh dari lokasi peperangan itu masuk sisi dalam hutan.

Namun ternyata hutan di belakang pasukan perang tadi tidak begitu luas, buktinya saat ini ia sudah bertemu sebuah tebing yang begitu kokoh dan curam.

Abbas melihat ke sisi kanan dan kirinya, tebing ini begitu panjang hingga ia tidak bisa melihat kapan tebing ini melandai. Sementara dari belakangnya, nyala api terlihat semakin dekat.

“Buntu! Tidak ada yang bisa kita lakukan!” gerutu Guntara.

“…” Abbas terdiam.

“Mau Bunian menang atau pak Buyung menang, kita akan sama sama terjebak disini selamanya! Menjadi orang bunian juga, atau terpanggang oleh api itu!” sesal Guntara sambil meremas kepalanya.

Abbas mendekati Guntara. Ia menepuk pundak sahabatnya itu dan memintanya tenang...

“Aku tau ini terdengar aneh.. tapi ayah dari tadi melihat ke arahku. Dan Sufyan juga bilang aku ditahan untuk memancing ayah agar membatalkan niatnya menghancurkan bukit agar bisa menolongku.. aku tidak yakin mengatakan ini.. tapi...

...kalau memang ayah berbuat ini untuk menolongku, ia berarti peduli padaku.. aku harus keluar dan menyerahkan diriku padanya agar ia berhenti!” ujar Abbas.

“Pak Buyung tidak sayang kamu bas! Dia selalu menyiksa kamu!” sanggah Guntara.

“…. Mungkin memang begitu.. namun bagaimana kalau itu agar aku jadi dewasa dan jadi seorang abang yang kuat untuk Mina?..

...bagaimana kalau ayah punya alasan untuk itu dan hanya aku yang selama ini tidak menyadarinya??..” Abbas bersungguh sungguh.

“Tapi Bas..”

“Guntara. Terima kasih atas semuanya!” ujar Abbas yang langsung berbalik dan lari ke arah lokasi peperangan tadi.

Guntara tidak bisa mencegahnya. Abbas berlari meninggalkan Guntara sendirian. Guntara lalu melihat ke arah tebing kokoh itu dan mencari cara lain yang bisa membuatnya aman.

Namun.. dari belakangnya terdengar suara semak semak yang dilalui sesuatu.. dan tak lama terdengar suara tulang tulang yang dipatahkan bersamaan dengan kemunculan dua jin berbentuk manusia setinggi pohon yang mendekat ke arahnya..

Guntara tidak dapat bergerak. Kakinya kaku dan ia tidak memiliki ruang untuk lari. Lalu tiba tiba saja kedua makhluk itu mulai merunduk dan berlari kencang ke arahnya dengan cara merangkak!!

***

Sufyan dan Heri semakin tersudut. Barisan Bunian juga kacau dan para Bunian kini lebih mendekat ke arah Sufyan berada. Tidak ada formasi ataupun pertahanan yang bisa mereka lakukan.

Kekuatan mereka semakin lemah dan hutan yang selama ini mereka jaga perlahan musnah akibat ulah para jin dan Buyung.

“Bisa tadasak wak sampai bateh panduduak ateh kok takah ko caronyo..” (bisa tadasak sampai batas penduduk atas kalau kita terus begini..) ujar Sufyan kepada Heri.

“Bara jauahnyo bateh tu dari tampek awak ko?” (berapa jauhnya batas itu dari kita?)

“Ndak jauah gai doh.. awak salamoko hanyo bisa maisi sapatigo bukik, duo patigonyo punyo panduduak ateh..” (tidak jauh.. Bunian selama ini hanya bisa menempati sepertiga bukit, dua pertiga sisanya adalah kekuasaan penduduk atas..) ujar Sufyan.

Jin bertubuh bara api itu terus mendekat dan mengurung para orang Bunian dengan api, begitu juga Buyung yang berhasil menekan Sufyan. Tapi tiba tiba pandangan Buyung sesaat kosong, tubuhnya sempat mendadak oleng sebelum kembali bisa berjalan.

Heri melihat keganjilan itu dan menyadari Buyung semakin pucat jika dibandingkan dari pertama kali ia menyerang tadi. Entah apa yang terjadi padanya, tapi perlahan gerakan Buyung memang melambat dan genggamannya tidak terlihat kuat. Tebasan tebasannya juga terlihat semakin berat..

Tidak jauh dari sana, Abbas terus membelah hutan. Ia dengan mudah menemukan jalan kembali ke peperangan dengan hanya melihat arah kobaran api yang dihasilkan oleh jin jin itu di alam bunian.

Hingga pada satu titik, Abbas melihat sekumpulan orang Bunian yang sudah tersudut dengan Buyung yang terus mengayun ngayunkan pedang yang ia pegang menebas bunian bunian yang mencoba menghalanginya.

“AYAH!! SUDAH!! BERHENTI!!! AKU BAIK BAIK SAJA!” teriak Abbas yang muncul dari dalam rerimbunan pohon.

Buyung melihat ke arah Abbas dan pandangannya berubah. Ia seperti baru saja menemukan apa yang ia cari daritadi. Sejenak perhatiannya teralihkan ke arah Abbas yang berlari ke arahnya sambil membuka tangan. Namun tiba tiba dari arah belakang Buyung, salah satu jin mencoba menyerang Abbas.

“BERHENTI! ITU BUKAN MANGSA KALIAN!” bentak Buyung.

Jin berbentuk kera itu berhenti menyerang dan berdiri diam beberapa meter dari Abbas. Tapi ia tidak lari darisana..

Buyung memberi tanda dengan mengangkat tangannya.

Seluruh jin yang ada disana berdiri diam dan seakan memberi jalan kepada Abbas untuk tiba di posisi Buyung berada.

“Jangan sentuh.. akh!” Buyung tiba tiba saja menyemburkan darah dari mulutnya.

Jin yang tadi ada di hadapan Abbas tiba tiba kembali bergerak dan menyerang Abbas. Namun beruntung, sebuah tombak yang dilemparkan orang Bunian menembus tepat dada jin itu hingga membuatnya mati. Abbas segera ditarik Heri mendekat ke sudut pertahanan terakhir Bunian bersama Sufyan.

Buyung terduduk sambil terus terbatuk memuntahkan darah. Pandangannya nanar dan pedang yang ia pegang di tangannya terlepas hingga api pada pedang itu padam.

Beberapa makhluk yang ada di tubuh Buyung keluar, wujud mereka seperti laba laba dengan kepala manusia dan sosok sosok lain yang jumlahnya sangat banyak. Selama sosok sosok itu keluar, Buyung terus menerus batuk dan mengeluarkan darah.

Sufyan memandangi Buyung dengan tatapan datar dan bergumam..

“Rajah darah.. itu nan ang pagunoan ruponyo..” (rajah darah… itu yang kau gunakan ternyata..)

“Rajah darah?” tanya Heri yang juga terdengar oleh Abbas di sisinya.

“Jin jin itu bukan tunduk kepadanya.. tapi ia memberi makan mereka dengan darah.. darah lebih mereka sukai daripada persembahan persembahan lainnya.. pemakaianya sama seperti menyerahkan darah yang ada di tubuhnya untuk makanan para jin.. dan dengan sebanyak ini jin yang ia bawa..

..saya rasa orang itu sudah sampai kepada batasnya..” ujar Sufyan.

“Hoek!!” Buyung kembali memuntahkan darah yang kini berwarna kehitaman.

Disaat yang bersamaan, jin jin yang ada disana menjadi menggila dan maju secara serentak!

Padahal sejak tadi mereka sudah bergerak dengan cepat, namun kali ini kecepatan mereka melebihi yang sebelumnya. Panah dan batu batu coba dilemparkan oleh para Bunian yang tersisa tapi tidak memberikan pengaruh sama sekali.

Sufyan melihat ke sekelilingnya. Sudah tidak ada kemungkinan mereka untuk menang ataupun lari. Apalagi di hadapannya sekarang sudah ada jin bertubuh bara api yang tidak mempan diserang dengan apapun.. Ia memejamkan matanya dan berteriak dengan lantang..

“SAMPAI MATI!” ujarnya sambil memberi aba aba untuk menyerang terakhir kalinya.

Bunian di belakangnya bersorak bersiap untuk terjun ke peperangan itu lagi dan mempersembahkan kehidupan mereka demi bukit ini..

Hingga tiba tiba..

Tiga kilatan biru disertai suara gemuruh melesat kencang dari atas bukit ke arah jin bara api tadi dan menembus kepala, dada serta perutnya. Tubuh jin tersebut terbelah dua dan api di tubuhnya seketika padam.

Ketiga tombak yang menembus tubuh jin tadi masih tertancap dalam di tanah, tepat di sebelah sosok itu.

Seluruh jin yang tadi menggila tiba tiba saja berhenti dan mendongak ke arah datangnya tombak tadi..

Dan kini.. pada bagian atas bukit kini sudah ada titik titik cahaya berwarna biru yang mengarah ke bawah.. cahaya yang sangat menyilaukan itu tersebar sejauh jarak pandang dan jumlahnya tidak bisa terhitung.

Para Bunian yang panik juga mengarahkan panah panah mereka ke arah atas, namun Sufyan menahan mereka semua untuk menurunkan senjata mereka.

Ratusan jin jin itu lalu menantang ke atas, mereka berteriak dan membuat lengkingan suara yang memekakan telinga. Para jin bertubuh bara api berbelok ke bagian bukit arah tombak itu berasal.

“RRRRRRR!!!!”

Dari arah dalam hutan terdengar suara auman harimau dan suara semak semak yang dilalui sesuatu dari berbagai arah secara cepat. Jin jin disana hanya bisa diam, sedangkan Sufyan dan para Bunian lainnya langsung bersimpuh..

“Tarimo kasih banyak lah tibo…” (terima kasih banyak sudah datang..) ujar Sufyan tanpa mengangkat kepalanya.

Dari arah hutan lalu muncul ratusan harimau bertubuh besar yang berlari cepat dan menerkam jin jin yang Buyung bawa. Jin yang tidak siap dengan serangan besar itu seketika mati dengan kepala pecah atau dimakan oleh harimau tadi.

Mereka sempat mencoba untuk menyerang balik, tapi harimau harimau yang terlihat ganas itu tidak memberikan mereka celah.

Melihat arah peperangan yang berubah, jin yang ada di barisan belakang mencoba lari menjauh, namun mereka tidak dibiarkan begitu saja.

Panah serta tombak dengan kilat biru dari atas bukit menghujani mereka tanpa celah. Panah dan tombak itu tidak sekedar menancap, tapi menembus tubuh mereka seketika.

Abbas memandangi itu tanpa bisa berkedip. Semua terlihat begitu cepat, begitu juga Heri yang baru pertama kali melihat kemunculan penduduk atas bukit ini. Sementara Sufyan masih dalam posisi bersimpuhnya.

Jin jin bara api yang sejak tadi kebal dari serangan para Bunian kini menghadapi harimau harimau yang mengelilinginya. Salah satu jin itu berputar putar dengan sangat cepat untuk menutupi ruang serang, namun itu belum cukup untuk menghindarinya dari lemparan tombak yang-

-menancap tepat di dadanya dan disusul serangan dari harimau harimau yang mengelilinginya sejak tadi. Satu persatu jin bara api itu akhirnya tumbang dengan tubuh yang terpotong potong.

Tombak tombak berkilat biru dari atas juga terus meluncur ke sisi yang lebih jauh. Bukan untuk sekedar menyerang jin yang mencoba lari, tapi juga untuk membuat pagar yang menjebak mereka tidak bisa kembali ke alam manusia.

Jeritan para jin itu terus terdengar sebelum akhirnya terdiam karena dihabisi oleh harimau harimau yang terus berdatangan.

Ditengah peperangan penuh auman harimau dan cahaya biru itu, dari dalam hutan tadi keluar seorang pria dewasa berbadan tegap dengan wajah teduh.

Ia mengenakan baju hitam dari atas hingga bawah. Disisinya ada Guntara, yang digandeng oleh pria itu.

Pria itu lantas melihat ke arah Sufyan, tersenyum dan menyapanya..

“Lamo ndak basobok, Sufyan..” (lama tidak bertemu, Sufyan..) sapanya.

“Iyo.. salamaik datang baliak di alam kami dan tarimo kasih banyak bantuannyo, Badaro..” (Iya.. selamat datang kembali di alam kami dan terima kasih banyak bantuannya, Badaro..) ujar Sufyan.

***

Di dunia manusia, Supardi yang kedapatan ada di bibir sawah segera ditahan warga atas perintah Bagindo Sati. Ia tidak bisa berkata apapun karena ada Firman dan Dedet disana yang mengungkapkan semua rencananya.

Warga bahu membahu mengambil air dari terasering sawah dan sungai sungai di sekitar lokasi untuk memadamkan api yang ada di area sawah kering dan kaki bukit.

“Siram sambil membaca doa atau bershalawat!!” perintah Bagindo kepada yang lainnya.

Semua orang bahu membahu memadamkan api itu. Sedikit demi sedikit api di bagian bawah mulai padam dan hanya menyisakan asap asap yang keluar dari padi padi kering.

Sementara nyala api lainnya masih menyala di kaki bukit bagian atas. Jarak yang cukup jauh dari sumber air yang bisa mereka ambil..
Ditengah bayang bayang asap itu, Bagindo melihat sebuah siluet yang sangat ia kenali. Seorang pria dengan kacamata dan tongkat yang sedang ia pegang.

Perlahan asap itu semakin menipis, dan siluet itu kini sudah jelas membentuk tubuh seorang Datuk Pagaralam. Ia tersenyum disana sambil melihat ke arah Bagindo Sati. Bagindo Sati terpana dan tidak bisa bergerak saat sosok itu tiba tiba saja berkata

“Tarimo kasih banyak.. awak manang..” (terima kasih banyak.. kita menang..) ujar sosok itu sebelum akhirnya kembali menghilang.

Pikiran Bagindo Sati terasa begitu lapang, namun disisi lain ia merasa sangat sedih.

Dengan terpaksa akhirnya ia harus mengakui, Datuk Pagaralam kini sudah tidak ada..

“…samo samo Tuak.. istirahatlah disinan, lah panek lo salamoko hiduik mamikiaan kami, kini babahagiolah lah surang di sarugo..” (sama sama Tuk.. beristirahatlah disana.. Engkau sudah lelah hidup selama ini untuk memikirkan kami, sekarang berbahagialah di surga sana..)

Tiba tiba saja dari gelapnya langit itu turun hujan yang sangat deras dan memadamkan api di bagian atas kaki bukit. Semua orang memandang langit sambil mengucapkan syukur.. dan disaat yang sama, dentuman dari Pusaro Badantam berhenti berbunyi.

Di dunia bunian..

Guntara melepaskan pegangannya kepada Badaro dan beranjak menemui Abbas. Mereka saling berpandangan selama beberapa saat sebelum akhirnya saling berpelukan haru.

Sufyan memandangi Guntara dan memalingkan wajahnya ke Badaro. Seakan tau apa yang dipikirkan Sufyan, Badaro tersenyum tipis dan berkata..

“Alasan kami turun dek untuak malinduangi cucu kami.. Pagaralam nan baru..” (alasan kami turun adalah untuk melindungi cucu kami.. Pagaralam yang baru..) ujar Badaro.

Sufyan sempat tersentak namun ia mengingat sesuatu yang membuatnya paham.

“Pantas anak tu bisa masuak kamari padahal jalannyo sadang kami tutuik.. patuiklah Pagaralam ciek sajo nan bisa takah tu..”

(Pantas saja anak itu bisa masuk kesini padahal jalannya sedang kami tutup.. memang hanya seorang Pagaralam yang bisa melakukan itu).

Ditengah keharuan Abbas dan Guntara, Abbas tersentak saat teringat kondisi ayahnya yang masih terkapar dengan darah keluar dari mulutnya.

Abbas melepas pelukannya dengan Guntara dan bersegera mendatangi ayahnya itu.

Buyung ada di tengah kobaran api yang mulai padam.. saat itu ia masih bernafas. Namun dengan keadaan yang sudah sangat kepayahan. Nafasnya terdengar berat dan pandangannya kosong.

Badaro menepuk bahu Guntara yang daritadi menyaksikan hal itu dan berkata,
“tentukanlah bagaimana kebijakanmu sebagai seorang Pagaralam baru..” ujar Badaro.

Guntara nampak berpikir keras. Ia melihat ke arah Abbas yang begitu tertekan dengan keadaan ayahnya.

“Sepertinya keadaanya sangat parah dan jika dibiarkan lebih lama itu sama saja menyiksanya..” ujar Guntara.

“Jadi.. kau ingin mengakhirinya?” tawar Badaro.

“Ya..” ujar Guntara sambil mengambil pedang milik Bunian yang ada di sampingnya.

Badaro dan Sufyan hanya melihat keputusan yang dibuat Guntara tanpa mencegahnya. Namun apa yang dilakukan Guntara diluar dari apa yang keduanya pikirkan...

Guntara berbelok ke arah hutan, menggunakan pedang yang ia bawa untuk menebas tangkai salah satu pohon dan kembali dengan buah yang ia temukan di dalam. Ia membawa buah itu ke samping Abbas dan berbicara padanya.

“Kamu ingat? Datuk Pagaralam pernah bilang, mereka yang makan makanan dari Bunian akan menjadi bagian dari mereka.. Kamu boleh memilih ayahmu tetap menjadi manusia dengan keadaan seperti ini,..

...atau menetap sebagai Bunian dengan keadaan yang bisa lebih baik.. meski kamu tau di dunia nyata nanti..” ujar Guntara tidak melanjutkan kalimatnya.

Abbas memandangi Guntara dalam dalam dan menerima buah pemberiannya. Abbas mengalami dilema yang sangat berat dalam memilih apa yang akan ia lakukan pada ayah kandungnya.

Ia seakan lupa apa yang pernah Buyung perbuat padanya, kini yang ia tau adalah Buyung satu satunya ayah yang ia punya.. dan ia adalah yang akan menentukan apa yang terjadi pada ayahnya kedepan..

“Aku mau ayah sehat dan bisa menjalani kehidupannya lagi dengan normal..” ujar Abbas sambil menyodorkan buah itu ke mulut Buyung dan ayahnya itu menelannya.

Buyung perlahan berkedip dengan intens lalu sadar.. kini ia tidak lagi merasakan sakit atau apapun. Ia melihat ke sekelilingnya dan mendapati Abbas, Guntara, serta para Bunian dan pria yang tidak ia kenali berada di sampingnya.

“Abbas?..” ujar Buyung

Abbas mengangguk haru dan memeluk sang ayah.
"I..iya yah.."
Buyung membalas pelukan yang sama eratnya sambil menangis. Hal yang tidak pernah Abbas pikirkan akan dilakukan oleh ayahnya.

“Begitulah kebijaksanaan seorang Pagaralam..” ujar Badaro sambil tersenyum dan dibalas anggukan Sufyan.

Satu persatu harimau yang tadi muncul berbalik kembali ke dalam hutan dan disusul oleh Badaro yang juga pamit.

“Jago tanah awak basamo pagaralam nan baru..” (jaga tanah kita bersama Pagaralam yang baru..) pesan Badaro sebelum memberi salam dan lenyap dalam gelapnya hutan.

Perlahan, langit semakin gelap dari biasanya. Sufyan mengingatkan Abbas dan Guntara untuk segera kembali karena mereka berdua sudah cukup lama berada di dunia bunian. Keluarga mereka pasti mencari keberadaan keduanya tanpa henti.

“Tapi.. tubuh saya tadi menghilang setelah saya dekati. Apa saya sudah tidak bisa kembali??” ujar Guntara.

Sufyan tersenyum.
“Seorang Pagaralam bisa ke dunia ini kapanpun dan dimanapun ia inginkan..” jawabnya.

Wajah Guntara sumringah. Buyung melepaskan pelukannya dari Abbas dan juga menyuruhnya pulang.

“Pulanglah Bas.. titip salam untuk Nek Pampang dan Mina dari ayah.. maafkan perbuatan ayah selama ini karena terlalu keras dengan kalian..” ujar Buyung.

Abbas mengangguk sambil menyeka air matanya yang belum bisa berhenti mengalir. Guntara lalu menghampirinya dan mengajaknya untuk kembali, ia akan menunjukkan posisi tubuh Abbas agar ia bisa kembali ke dunia nyata.

“Ayo bas, kita pulang..” ajak Guntara sambil menggandeng tangan Abbas.

“Ya..” jawab Abbas dan mengikuti arah yang dituntun Guntara.

Namun baru beberapa langkah, Abbas mengentikan langkahnya dan melepas pegangan Guntara di tangannya. Guntara yang sadar Abbas berhenti lantas berbalik dan bertanya,

"Ada apa bas?”

“…jadi kamu sekarang adalah Pagaralam? Pengganti Datuk?..” tanya Abbas.

“Iya.. Inyiak Badaro yang menyebutnya padaku tadi..” jawab Guntara.

“Berarti kamu bisa kesini lagi kan?..” tanya Abbas lagi..

“..seharusnya begitu.. karena tugas Pagaralam menyeimbangkan kedua alam.. kenapa?” tanya Guntara lagi.

“.. kalau begitu.. tolong titipkan salamku pada nek Pampang dan Mina ya bas..” ujar Abbas yang tiba tiba saja menggigit buah yang ada di tangannya lalu menelannya.

“ABBAS!! KENAPA????” Guntara panik dan gagal mencegah Abbas dari perbuatannya.

“Aku ingin tinggal disini bersama ayah…” ujar Abbas dengan mempertahankan senyumnya walaupun ia juga menangis di waktu yang bersamaan.

Di tengah hutan, tubuh Abbas yang terbaring mulai dirambati oleh akar akar pohon, disisinya terbaring tubuh Buyung yang juga sudah dililit oleh tumbuhan tumbuhan menjalar. Keduanya sudah menetap di dunia Bunian untuk selamanya..

Guntara menangis dengan sangat keras sambil memeluk Abbas. Sementara Abbas mencoba tetap bercanda meskipun juga merasakan haru yang sama..

“Hei, kenapa menangis? Kamu seorang Pagaralam, kita masih bisa bertemu kan? Kita masih bisa bermain bersama dan mencari makanan” ujar Abbas.

“Tapi Bas.. kamu yang ada disana akan…” ujar Guntara tertahan.

“Iya aku paham, jadi.. boleh aku titip Mina ya?.. jadikan dirimu jadi abang barunya. Aku tau aku meminta tolong ke orang yang tepat..” ujar Abbas.

Guntara kembali memeluk Abbas dengan sangat erat. Disaat yang sama ia melihat ke arah Sufyan yang memberikannya kode bahwa Bagindo Sati dan ibunya sudah menunggu lama kepulangannya.

Guntara mengangguk paham dan melepaskan pelukannya itu.
“Baiklah kalau itu pilihanmu.. aku akan menjaga nek Pampang dan Mina disana untukmu, aku janji!”

Abbas tersenyum mendengar kalimat itu dan keduanya bersalaman.. salaman paling erat dan lama yang pernah keduanya lakukan.

Perlahan Guntara memejamkan matanya dan suara suara Abbas yang mengucapkan salam perpisahan itu terdengar semakin jauh.. kecil.. dan menghilang..

***

“Ayah! Ayah! Guntara sadar!!” panggil ibu Guntara kepada Bagindo Sati.

Bagindo Sati langsung mendekat kearah Guntara dan memanggil manggil namanya berkali kali untuk melihat respon Guntara. Guntara mengangguk dan menjawab “iya yah.. kedengaran..” ujarnya.

Saat itu juga Bagindo Sati dan Ibu Guntara bersujud syukur dengan tangis haru pecah di rumah itu. Beberapa orang yang juga ada disana melakukan hal yang sama.

Guntara mencoba duduk meskipun kepalanya berat. Ia melihat ke orang orang di sekelilingnya, disana ada para tetangga, bang Firman dan.. bang Dedet! Seketika ia ingat hal penting yang harus ia tanyakan

"Ayah.. Abbas dan Pak Buyung gimana keadannya?..”

Bagindo Sati terdiam. Orang orang yang ada disana saling pandang satu sama lain dan terlihat sedikit berbisik bisik. Dedet yang ada di ruangan itu juga langsung menunduk seakan enggan untuk menjawabnya.

“Nanti ayah ceritakan setelah Tara sehat dulu ya..” janji Bagindo Sati walaupun masih ada keraguan di matanya..

Saat api telah padam pasca hujan deras yang mengguyur area sawah dan bukit, warga bahu membahu menyusuri hutan dan area bukit untuk mencari Abbas. Mereka memang berhasil menemukan Abbas dalam keadaan sadar, namun ia sudah tidak bisa berkomunikasi dengan lancar,-

ia bicara tidak jelas dan emosinya tidak stabil. Semula, orang orang mengira Abbas hanya mengalami trauma karena berhari hari di hutan, namun ternyata sikap anehnya itu tidak hilang hilang..

Tidak hanya Abbas, disisi lain hutan yang terbakar, warga menemukan jasad laki laki yang mati terpanggang. Awalnya mereka tidak tau jasad siapa itu, namun setelah melihat jam tangan logam yang dikenakan, orang orang langsung mengenalinya sebagai jam tangan milik Buyung..

***

Beberapa waktu kemudian, Guntara jujur tentang yang terjadi di bukit dan bagaimana ia menjadi Pagaralam baru menggantikan Datuk Pagaralam yang lama. Sebuah beban berat untuk menengahi 2 alam yang berbeda.. namun Bagindo Sati yakin Guntara sudah memiliki kebijaksanaan itu sejak ia kecil.

Datuak Pagaralam akhirnya dinyatakan meninggal dunia meski jasadnya tidak ditemukan. Warga melakukan sholat ghaib yang dipimpin oleh Bagindo Sati untuk mendoakan tokoh berpengaruh dan berjasa di kampung itu, kuburan dengan nisan bertuliskan “Datuk Pagaralam” juga dibuat sebagai-

- tempat bagi orang orang yang ingin mendoakan dan mengingat beliau meski dibawah makam itu tidak ada jasad Pagaralam yang dikuburkan selain tongkat dan kacamata milik mendiang.

Lokasi makam itu berada tepat di samping Surau Pamatang, di sebelah makam Badantam, yang kini sudah diketahui nama dua orang yang dikubur disana, yaitu Badaro dan Patiah. Tepat rasanya mensejajarkan ketiga orang itu disana.

Supardi pada akhirnya diserahkan ke kepolisian karena laporan perusakan sawah, kasus suap saat pemilihannya sebagai Kepala Jorong dan berbagai macam kesalahan yang dilaporkan oleh masyarakat. Ia mendekam selama beberapa tahun dan setelah bebas ia memilih merantau ke Jawa.

Sebagai penggantinya, posisi Kepala Jorong digantikan oleh kandidat kedua sekaligus orang yang sejak awal lebih pantas menduduki posisi itu, Bagindo Sati.

Mina dan nek Pampang ditawari Bagindo untuk tinggal di rumahnya, namun Nek Pampang menolak dan memilih Mina saja yang diasuh oleh keluarga Bagindo. Nek Pampang meninggal 3 tahun setelahnya dengan sangat tenang di rumahnya.

***

Bertahun tahun kemudian, Guntara Pagaralam tumbuh sebagai seorang yang bijaksana seperti ayahnya. Ia tetap meneruskan apa yang diperjuangkan Pagaralam sebelumnya mengenai keseimbangan antara dunia dan bagaimana bertindak adil terhadap alam.

Sesekali ia akan singgah ke alam Bunian untuk bertemu Sufyan dan Abbas yang juga hidup bahagia dengan Buyung disana. Terkadang Guntara datang dengan membawa ucapan salam dari Mina untuk abangnya itu.

Mina sendiri tumbuh sebagai wanita dewasa yang cerdas dan sigap. Meski melakukan semua kegiatannya diatas kursi roda, Mina mampu berprestasi dan bersekolah hingga jenjang yang tinggi. Ia juga sudah menganggap Guntara sebagai abang kandungnya sendiri.

Sementara Abbas.. Abbas masih hidup hingga dewasa. Namun sebagaimana Heri, ia kini menjadi orang gila yang berkeliaran sepanjang hari mengelilingi kampung.

Tapi tidak seperti orang gila lainnya yang sering diejek dan bahkan diisengi oleh orang orang serta anak kecil, tidak ada orang yang berani mengganggu Abbas.

Ini bukan karena Abbas sering mengamuk atau berkelakuan yang mengancam keselamatan, tapi karena Abbas dilindungi oleh sahabat yang terus merawatnya dan sering menemani Abbas berjalan jalan.. ya, Abbas masih terus bersama sahabatnya, Guntara si Datuk Pagaralam..

***

Cerita ini hanyalah cerita fiksi yang dibuat berdasarkan beberapa urban legend, mitos, dan kabar kabar yang tersebar di Sumatera Barat. Nama tokoh, lokasi kejadian dan detail cerita tidak berhubungan dengan lokasi tertentu di kehidupan nyata.

Terima kasih sudah membaca dan mengikuti cerita ini hingga tamat. Mohon maaf jika ada kekurangan atau kesalahan dalam pengetikan. Sampai bertemu di cerita berikutnya, salam..

-TAMAT-
close