Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PANTAI TRISIK 1990 (Part 5 END) - Manusia Terpilih


Lalu sesosok tubuh itu melangkah mendekati ranjang dimana Djarot terbaring. Mbok Narti tampaknya sudah terlelap di tepi ranjang sehingga tidak mengetahui kalau ada orang lain yang berada di ruangan anaknya. Seorang lelaki tua berumur sekitar depalan puluh tahun berpakaian serba putih dan di kepalanya memakai sorban putih. Mukanya klimis bersih dihiasi jenggot panjang yang sudah memutih.

Lalu orang tua itu menarik tangan kanan Djarot lalu diletakkan lurus di atas tempat tidur, telapak tangan dikembangkan menghadap ke atas. Dengan cepat orang tua itu meletakkan telapak tangan kirinya di atas telapak tangan kanan Djarot. Tangan orang tua misterius itu memencarkan cahaya putih keperakan menyilaukan mata. Cahaya itu seperti menjalar dan masuk kedalam telapak tangan Djarot.
Si orang tua yang memakai pakaian serba putih itu menarik nafas panjang. Wajahnya yang kelimis dan sedikit keringatan itu tampak lega. Dia menarik tangan kirinya. Lalu mengusapkan ke dua tangan ke wajahnya sendiri. Sesaat dipandangi wajah Djarot yang masih terpejam.

Kemudian tampak mulutnya berkomat-kamit. Asap tipis keluar dari tubuh orang tua itu, semakin lama semakin tebal sehingga sosok orang tua itu tidak terlihat lagi karena tertelan dalam kepulan asap. Dari asap muncullah selarik sinar putih. Sinar itu membumbung tinggi ke udara, berputar-putar sebentar di wuwungan atap ruangan Djarot dirawat kemudian melesat keluar melalui lubang ventilasi dan hilang ditelan kegelapan malam.

Dokter Hernawan membawa Mbok Narti keluar kamar. Perawat Farida mengikuti.
Di luar Dokter Hernawan berkata.

"Anak Ibu dalam keadaan baik. Normal. Saya menyarankan agar banyak istirahat saja"

"Kalau anak saya baik, normal, saya minta dia diperbolehkan pulang saja siang ini." kata Mbok Narti.

Dokter Hernawan berunding dengan suster Farida.

Akhirnya perawat itu berkata.
"Kita lihat perkembangan satu sampai dua jam mendatang. Kalau tidak ada apa-apa, anak Ibu boleh pulang. Saya akan buatkan resep obat penenang dan suplemen vitamin untuk mempercepat dan memulihkan kondisi badannya."

Mbok Narti mengangguk dan mengucapkan terima kasih lalu masuk ke dalam kamar.

Dokter Hernawan lalu dia mendekati rekannya, suster Farida.
"Ini memang satu kejadian aneh. Pasien itu tiga hari tidak juga sadar, denyut nadi juga lemah. Asupan makanan juga hanya dari selang infus. Pagi ini sadar sepenuhnya seperti habis bangun tidur. Benar-benar ajaib."

Beberapa lama Dokter Hernawan tidak bisa berkata apa-apa. Hanya menggelengkan kepala berulang kali. Akhirnya Dokter ini berkata.

"Sulit saya percaya. Saya hampir yakin. Anak itu pasti punya ilmu yang didapat dari dasar lautan. Kalau tidak mustahil dia bisa mengalami kesembuhan begitu rupa."

"Jika dia memang punya ilmu," kata Dokter Hernawan pula.

"Tidak ada salahnya kita belajar. Ilmu kedokteran digabung dengan kekuatan ilmu gaib. Demi kebaikan pasien. Saya rasa itu tidak akan menyalahi Kode Etik Kedokteran."

Dokter dan suster itu lalu sama-sama tertawa berderai.

****

Seminggu sudah sejak Djarot keluar dari rumah sakit. Sore itu Mbok Narti dan Pakdhe Karwo kakak kandung Mbok Narti yang sengaja jauh-jauh datang dari Yogyakarta tengah berbincang-bincang di ruang tengah rumah.

"Mas Karwo saya gembira dan bersyukur Djarot sudah sembuh. Tapi yang membuat saya jadi prihatin. Tingkah lakunya belakangan ini banyak keganjilan. Dia sering mengurung diri dalam kamar. Tak tahu apa yang dilakukan. Dia berubah jadi pendiam. Makanpun juga sangat sedikit, tidak seperti biasanya."

Mendengar kata-kata adiknya itu Pak dhe Karwo membetulkan letak kacamata yang setengah melorot lalu meneguk kopi di atas meja.

"Anak itu, di mana dia sekarang?" tanya Pak dhe Karwo pada adiknya.

"Masih tidur di kamarnya. Sudah sore begini masih tidur."

"Susul ke kamar bangunkan dia Narti, suruh makan dan mandi. Nampaknya anak itu masih sedikit shock dengan kejadian yang dialaminya belakangan ini. Hidup dua minggu di alam lelembut bukan hal yang mudah."

"Kemarin lusa Mbah Kaji juga menengok lalu memberikan sebotol air putih untuk diminum setiap malam sebelum tidur. Sedikit membantu, akan tetapi masih belum belum sepenuhnya normal kelakuannya itu."

"Memang Narti, mungkin masih butuh waktu yang tidak sebentar untuk membuat anak itu benar-benar kembali seperti sedia kala."

Kemudian Mbok Narti beranjak dari ruangan tengah dan menuju ke kamar Djarot yang berada di bagian belakang pondok. Sesampainya di depan kamar Djarot, Mbok Narti tampak ragu untuk mengetuk pintu. Sesaat lamanya Mbok Narti berdiri termangu.

"Djarot, Le.. sudah sore menjelang maghrib ayo bangun. Beranjak dari kamar, makan dulu. Hampir seharian kamu di dalam kamar tidak keluar-keluar."

Tidak ada sahutan dari dalam kamar, lalu Mbok Narti mengetuk pintu dan kembali memanggil.

"Djarot, bangun Le..."

Masih tidak ada sahutan. Kemudian Mbok Narti menekan handel lalu membuka daun pintu. Dilihatnya Djarot masih berbaring menggelung guling membelakangi pintu kamar menghadap ke tembok.
Mbok Narti mendekati anaknya itu lalu dengan lembut mengelus kepala Djarot dari belakang.

"Ayo Le bangun, itu ditunggu Pakdhe Karwo untuk makan bareng. Simbok sudah membuatkan makanan kesukaaanmu."

Tidak ada jawaban sama sekali dari Djarot, pemuda itu masih saja diam dan terpejam.

Mbok Narti kembali mencoba membangunkan Djarot.

"Ayo Le bangun," sembari badan Djarot digoyang-goyangkan dengan perlahan. Akan tetapi, Djarot masih juga terpejam. Tidak sedikitpun terusik dengan ibunya yang berusaha membangunkan dirinya.

Mbok Narti akhirnya menyerah, lalu beranjak ke jendela untuk menutup jendela karena hari sudah memasuki rembang petang. Matanya terbelalak karena Mbok Narti melihat Djarot sedang mencuci muka di sebuah padasan (tampungan air dari gentong tanah liat yang berlubang kecil bagian bawahnya, biasanya untuk tempat wudhu orang jaman dahulu di desa-desa).

Secara refleks Mbok Narti langsung menoleh ke arah ranjang Djarot. Terkejutlah dia di atas ranjang itu kini tidak ada siapa-siapa. Pintu kamar juga masih tertutup rapat. Mbok Narti terduduk lemas di kursi kecil yang berada di pojok ruangan. Mukanya pucat.

"Astagfirullahal 'adziim," Mbok Narti mengucapkan istigfar.

"Ya Allah, apa sebenarnya yang tengah terjadi?"

***

Malam mulai bergulir, dingin udara laut mulai menyergap kulit hingga menusuk sampai tulang belulang. Suara serangga malam mulai bernyanyi bersautan. Di kejauhan sesekali lolongan anjing terdengar menggidikkan bulu kuduk. Jam bulat di dinding ruangan rumah Mbok Narti menunjukkan pukul setengah satu dini hari.

Malam yang sunyi itu tiba-tiba terdengar ada langkah-langkah kaki mendekati pintu.
Djarot berjalan keluar dari pondok. Gerak langkahnya kelihatan aneh. Orang awam tentu akan terheran-heran jika melihatnya, Djarot berjalan dengan mata terpejam. Dengan mata masih terpejam dia memutar anak kunci, menekan handel lalu membuka daun pintu. Dan kemudian melangkah keluar dari pondok.

Di depan Djarot yang berjalan dengan mata terpejam kelihatan tiga ekor asu (anjing) yang berdiri berjajar di atas batu karang seperti sudah menunggu. Lalu ketiga binatang melolong pendek dan beranjak mengiringi langkah Djarot seolah-olah membimbing Djarot dalam melangkah.

Di depan sana tiba-tiba muncul kabut putih. Djarot berjalan terus, masuk ke dalam kabut, lenyap dari pemandangan. Dan tahu-tahu sudah berada di sisi Pandan Segegek. Di kejauhan sana ada beberapa gumuk, diterangi sinar merah kekuningan seolah sang surya berada di baliknya. Memandang ke samping kiri dan kanan hanya melihat hamparan padan laut dan gundukan gumuk yang berdiri laksana pion-pion yang berjajar di atas papan catur raksasa.

Di salah satu cabang tanaman pandan laut yang ukurannya lebih tinggi dan besar terlihat seekor burung gagak yang dari segi ukuran sangat besar untuk ukuran seekor gagak. Burung itu memandang tajam ke arah Djarot. Matanya tampak menyala merah. Burung ini mendongakkan kepala, mengembangkan sayap, mengepakan sayap sebentar lalu terbang dan lenyap dalam kegelapan.

Djarot masih terus melangkah dengan mata terpejam, melangkah lurus ke arah selatan ke arah bibir pantai. Deburan ombak mulai terdengar jelas. Kaki telanjang Djarot sesekali terjilat ombak yang datang membelai mesra bibir pantai. Akan tetapi pemuda dari pedukuhan Banaran itu masih saja berjalan tanpa membuka mata ke arah lautan. Ketika sepasang kaki Djarot mulai tenggelam ke dalam air laut dan pakaiannya mulai basah. Tiga ekor asu (anjing) yang masih mengiringi juga tidak bereaksi saat ombak sesekali mengguyur badan dari ketiga anjing liar itu.

Sesaat saat air laut sudah mulai selutut dari dalam lautan muncul sinar merah menyilaukan, diikuti dengan air laut yang terbelah. Dari dalam laut muncul gadis muda berpakain kebaya merah merah. Wajahnya cantik, pakaian yang digunakan memiliki potongan yang rendah di bagian dada, sehingga payudara gadis muda itu tampak menyembul padat dan indah. Gadis itu tersenyum dan melambaikan tangan ke arah Djarot yang berjalan mendekat makin ke tengah lautan. Kemudian gadis berkebaya merah itu menggandeng tangan Djarot lalu menuntunnya ke tengah lautan. Djarot terus melangkah, masuk ke dalam laut dan lenyap dari pemandangan!

SELESAI

Note:
Awal tahun 94an Bapak saya melakukan lalaku, tirakat/nenepi atau gampangannya bertapa di Pandan Segegek. Hampir satu tahun Bapak tinggal di Banaran hanya sesekali pulang ke Jogja. Pada saat itu usia saya baru menginjak 7 tahun kelas 1 SD. Saya sering nengokin Bapak ke Trisik bersama ibu dan kerabat-kerabat dekat. Sehingga warga Banaran sudah menganggap kami seperti saudara sendiri. Dulu pada waktu itu Mbah Kaji masih ada tapi sudah jarang keluar. Beliau selalu ada di sanggar pamujan. Saya pada masa kecil sangat akrab dengan warga Banaran. Seringkali saya diajak untuk mencari jangkrik di tepian Pandan Segegek. Dan akhirnya sering mendengar kejadian-kejadian mistis, cerita itu mengendap di otak kecil saya. Namun, yang paling berkesan adalah cerita tentang karamnya perahu nelayan dan satu nelayan bisa selamat setelah hampir dua minggu tidak diketahui beritanya. Cerita yang saya tulis berdasar dari kisah nyata.
Untuk saudara-saudara di Banaran yang mungkin membaca cerita ini, salam dari Jogja. Terimakasih...
close