Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DALANG DEMIT KAMPUNG WAYANG (Part 6) - Titisan

Sambil menikmati kopi hitam buatan warga desa, aku dan Bimo menyaksikan keasikan dua anak kecil yang saling bertukar cerita.

“Mas Bisma, sepertinya Danan sudah semakin kuat ya?” Tanya Bimo yang melihat perubahan pada Danan.

Aku menggeleng kepala.

“Masih jauh dari kata siap... tapi coba, kamu sadar apa yang paling berubah dari Danan?” Tanyaku.

Bimo menatapku heran dan mengalihkan pandanganya ke Danan. Awalnya ia tidak mengerti, tetapi lambat laun Bimo sepertinya mulai menyadari apa yang ada di dalam sukma Danan.


JEJAKMISTERI - “Ke..Keris Ragasukma?”
Bimo terlihat cukup kaget mengetahui wujud ghaib keris itu ada di sukma Danan.

“Mas Bisma sudah mewariskan keris pusaka itu ke Danan? Di umurnya yang sekecil ini?”

Aku tertawa dan menyeruput kopiku yang masih hangat.
“Bukan Bimo, aku sendiri juga kaget. Keris itu yang memilih Danan. Saat ini aku sudah bukan pemilik pusaka itu” Jelasku.

“Nggak mas.. aku masih belum mengerti, Mas Bisma pasti masih membutuhkan kekuatan Keris itu” Ucap Bimo dengan wajah khawatirnya.

“Sudah nggak usah khawatir. kalau aku tidak bisa mengatasi permasalahan yang ada tanpa kekuatan keris itu, berarti aku memang tidak pernah pantas jadi pemiliknya” Jawabku menjelaskan pemikiranku saat ini.

“Lagipula kalau bukan sekarang, aku tidak tahu apa aku punya kesempatan untuk mewariskan keris itu padanya”

Bimo menghela nafas seolah mencoba menerima keputusanku.

“Lha kamu sendiri apa berencana mewariskan pusakamu ke anak itu? Siapa namanya ? Panjul?” Aku balik bertanya sambil menoleh ke arah seorang anak sederhana yang hampir tidak pernah melepas sarungnya.

“Haha.. nama aslinya Cahyo mas. Awalnya aku berpikir begitu, tapi baru-baru ini aku baru sadar akan ada sesuatu yang membimbing bocah itu untuk mendapat kekuatanya sendiri” Jawab Bimo.

“Hmmm.. ternyata kamu juga punya kejutan ya! Seandainya terjadi sesuatu, Aku titip Danan ya Bimo” Ucapku sambil menepuk bahunya.
Bimo berusaha mencoba menahanku mengucapkan perkataan itu, namun ia sendiri tahu mengenai kondisiku saat ini.

***

“Panjul, Danan.. Ikut paklek yuk.. ada yang mau paklek tunjukin,” perintah paklek pada kedua bocah itu.
Kali ini Bimo mengajak kami ke rumah seorang warga. Di salah satu kamar di rumah itu terbujur kaku seorang pemuda tanpa ada gerakan sedikitpun.

Bimo mengajak Danan dan Panjul memeriksa keadaan pemuda itu dan memintanya mengambil kesimpulan.

“Paklek... kenapa ga dibawa ke rumah sakit to paklek?” Tanya Danan dengan polosnya.

“Ngawur kamu... nek kondisine koyo ngene iki jelas kesurupan” (Ngawur kamu... kalau koniinya seperti ini sudah jelas ini kesurupan) Balas Panjul yang mencoba memberikan jawabanya sendiri. Seketika pukulan dari koran yang dinggenggam Bimo mendarat di kepala Panjul.

“Kesurupan Mbahmu! Ndelok sing bener!” (Kesurupan Nenekmu! Lihat yang benar) Ucap Bimo.

Aku tertawa, sepertinya anak kecil ini memiliki kemiripan dengan Bimo yang tingkah lakunya seenaknya sendiri.

“Sekarang kalian sudah tahu?” Tanya Bimo lagi.

“Paklek masnya ini... sukmanya ga ada?” Tanya Danan yang heran.

Panjul masih mencoba memperhatikan, sepertinya dia berbeda dengan Danan yang memiliki kemampuan bawaan sejak lahir. Anak ini membutuhkan bantuan Bimo untuk membuka mata batinya.

Awalnya aku khawatir dengan cara yang Bimo lakukan, tapi aku yakin Bimo memiliki alasanya sendiri.

“Piye Jul.. uwis ngerti?” (Gimana Panjul? Sudah mengerti?) Tanya Bimo.

Panjul mengangguk.

“Jawaban pertama Danan benar. Saat menemukan kejadian seperti ini lakukan pertolongan medis sebisa mungkin. Ketika ilmu medis tidak bisa membantu baru kalian menggunakan kemampuan kalian” Jelas Bimo.

Setelah cukup jelas melihat kondisi korban, kami memutuskan menunggu hingga malam. Menurut warga, korban-korban ini mendapat serangan saat matahari mulai terbenam.

Kami berempat menunggu di pos ronda yang ada di desa Kandimaya sambil menikmati merahnya langit yang bersanding dengan pemandangan pegunungan yang megah.

“Sepertinya nggak ada yang aneh di kampung ini Bim” Tanyaku yang masih belum menemukan hal mencurigakan di kampung ini.

“Iya mas... aku juga sudah beberapa hari tapi belum dapat petunjuk” Jawab Bimo.

“Aku sudah...”
Tiba-tiba anak kecil bernama Panjul itu mengatakan hal yang tidak kami duga.

“Maksudmu piye jul... ojo guyon lho” (Maksudmu gimana Jul? Jangan bercanda lho) peringat Bimo.

“Ora... tenang Paklek, sebentar lagi dateng” Ucap Panjul dengan tingkah yang sama sekali tidak kami mengerti.
Tak lama setelah Panjul bilang seperti itu tiba-tiba muncul sesuatu dari semak-semak di belakang pos ronda ini.

Itu seekor kera, dia segera melompat ke bahu Panjul dan menyerahkan sesuatu.
Aku memperhatikan kera itu. Jelas terlihat kera itu bukan kera biasa. Sebuah kekuatan seperti tersegel di tubuh kera itu.

“Bimo.. maksud kamu ini?” Tanyaku memastikan ucapan Bimo mengenai kekuatan bocah ini tadi. Bimo mengangguk dengan senyuman kecilnya.

“Paklek, Pakde... ini, Kliwon nemuin sesuatu” Panjul menyerahkan pecahan batu kapur yang dibawa oleh Makhluk itu.

“Mas Bisma.. batu kapur? Apa ada hubunganya dengan Bukit batu tempat Buto Lireng dulu?” Tanya Bimo.

“Satu-satunya cara untuk tahu kita harus ke sana..” jawabku.

Kami berempat segera pamit ke kepala desa dan pergi ke sebuah bukit batu yang tidak jauh dari desa. Di sanalah tempat dulu makhluk bernama Buto Lireng berkuasa sebelum akhirnya aku dan Bimo berhasil mengalahkanya.

Tepat saat menjejakan kaki di rimbunan pepohonan di bukit itu, aku sudah merasakan adanya perasaan mengerikan yang menggangu inderaku.

“Mas Bisma... perasaan ini, sama persis seperti saat bertemu Ki Jaruk dulu. Tapi bukanya seharusnya ia sudah mati” Ucap Bimo.

Aku mengangguk.
“Jika benar yang ada di sini adalah Ki Jaruk, kita tidak boleh melibatkan anak-anak ini” Ucapku.

Tetapi sebelum sempat meminta anak-anak untuk kembali tiba-tiba Danan berlari menuju suatu tempat yang dipenuhi beberapa pohon yang sudah mati.

“Bapak.. Itu! mereka di sana!”
Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Danan. Benar seperti ucapanya, sekumpulan roh yang diantaranya merupakan roh warga Desa Kandimaya berjalan menuju puncak bukit yang langsung berbatasan dengan langit malam.

Kami segera mengikuti mereka dan terhenti pada sebuah pemandangan yang mempesona sekaligus mengerikan. Seseorang mengenakan pakaian dalang yang serba hitam sedang memainkan wayang kulit dibawah terangnya sinar bulan purnama diatas bukit saat itu.

Sayangnya pengiringnya adalah demit dengan berbagai wujud dan penontonya adalah Roh manusia yang terlepas dari raganya.

“Ki Jaruk!” Aku berteriak mencoba memastikan siapa dibalik pementasan demit ini.

Namun bukanya menjawab, Dalang itu mengibaskan wayang kurawanya dan sekilas sosok Demit muncul dan kembali masuk lagi ke dalam wayang kulit yang ia ngenggam. Sebuah gerakan yang tidak mungkin dilakukan oleh dalang biasa.

Sekali lagi ia melakukan hal serupa. Semua itu terlihat mengagumkan apalagi dengan terpaan sinar rembulan yang menjadi sumber cahaya pementasan itu.

“Sudah cukup! Hentikan!” Ucap Bimo mencoba mendekat.

Namun sebuah wayang yang tidak pernah kami lihat sebelumnya dilemparkan ke hadapan bimo.
Wayang berbentuk ular berkaki dengan mahkota di kepalanya menjelma menjadi sosok yang seperti tergambar oleh wayang kulit itu.

Ular raksasa dengan empat kaki.

“U—Ular apa itu paklek!” Tanya Cahyo.

“Bukan.. itu bukan ular! Itu Naga! Sosoknya persis seperti yang diceritakan di legenda jawa” Teriak Danan.

Kami mundur lebih jauh, dan Dalang itu menghampiri makhluk yang ia panggil dan menatap kami semua.

I--Itu bukan Ki Jaruk! Ia tidak semuda itu.
Di hadapan kami berdiri seorang pemuda berambut panjang menggunakan pakaian yang persis digunakan oleh Ki Jaruk. Sayangnya seluruh matanya berwarna hitam menandakan ia sudah menyerahkan Jiwanya kepada Setan.

“Si--siapa kamu!” Tanyaku pada makhluk itu.

Makhluk itu melemparkan sebuah wayang kurawa yang sebagian sudah rusak. Aku dan Bimo mengenal benda itu. Itu adalah milik ki jaruk yang sudah rusak saat bertempur dengan kami.

“Aku anak dari orang yang kalian bunuh!” Jawabnya dengan wajah yang penuh amarah.
Tunggu! Anak? Ki Jaruk memiliki anak? Aku tidak habis pikir dengan apa yang ada di depanku saat ini.

“Bapak.. maksud orang itu apa?“ Tanya Danan.

Aku belum mampu menjawab pertanyaan Danan.

“Sudah Danan.. nanyanya nanti saja, kalian berdua sebaiknya bersiap menjauh dari sini” Perintah Bimo.

“Hentikan Perbuatanmu dan kembalikan roh-roh ini!” Ucapku mencoba memberinya peringatan.

“Kalau aku tidak mau, Apalagi yang mau kalian lakukan? Membunuhku seperti kalian membunuh Ayahku!” Ucap Pemuda itu dengan wajah yang penuh dendam.

Mendengar perkataanya aku tidak tau harus berbuat apa. Di satu sisi kami tidak siap menghadapi mereka dan di satu sisi lagi tiba-tiba aku bersalah membunuh Ki Jaruk yang berwujud demit itu.

“Mas Bisma.. Kita tidak siap! Kita mundur!” Ucap Bimo.

Aku setuju dan segera mundur menjauh dari kerumunan roh itu.

Makhluk itu tidak mengikuti kami, sebaliknya ia mengembalikan Naga Jawa yang ia panggil ke wujud wayang lagi.

“Aku tidak akan berhenti melakukan pementasan ini hingga seluruh roh warga desa hadir di sini!” Ancaman Dalang itu mengantar kepergian kami.

Kami meninggalkan tempat itu secepat mungkin dan segera kembali ke desa.

Permasalahan ini tidak hanya bisa diselesaikan hanya dengan adu kekuatan saja.

Sesampainya di desa terlihat warga sedang berkumpul seolah terjadi sesuatu.

“Ada apa ini Ki?” Bimo bertanya kepada Ki Daru Baya yang ikut berada diantara kerumunan itu.

“Satu lagi Bimo, satu lagi warga desa kehilangan sukmanya..” Jawab Ki Daru Baya.

Bimo terlihat kesal dan melampiaskan dengan menendang sebuah batu yang ada di tanah.

“Ki.. ada yang harus kita bicarakan, Kami sudah tau penyebab semua permasalahan ini.” Ucapku.

Malam itu, di rumah pak kepala desa kami berempat bersama Ki Daru Baya menceritakan mengenai apa yang kami lihat di bukit batu.

Kami menceritakan mengenai sosok dalang yang mengaku sebagai anak dari Ki jaruk yang berniat mengumpulkan sukma warga desa untuk membalas dendam.

Pementasan dalangnya memiliki kemampuan untuk menarik roh manusia dari tubuhnya dan membuatnya terikat di bukit batu dengan pementasan yang ia lakukan.

“Bukan ilmunya saja yang mengerikan Ki.. tapi permainan orang itu saat memainkan wayangnya benar-benar indah, wajar saja roh yang kehilangan kesadaranya itu tertarik ke sana” Jelasku.

“Bila kami menyerang demit dalang itu, roh yang terhipnotis dengan permainanya pasti akan menghalangi kami seperti saat melawan Ki Jaruk dulu..”

Ki Daru Baya berpikir sejenak sebelum ingin menyampaikan sesuatu.

“Keberadaan roh itu yang membuat kalian tidak bisa bertarung dengan makhluk itu?” Tanya Ki Daru Baya,

“Itu salah satu alasanya ki.. tapi sepertinya aku merasa tidak sanggup melawanya setelah menghabisi ayahnya, Ki Jaruk” Jelasku.

“Saya mengerti... seharusnya kalian tidak perlu merasa bersalah, apalagi yang diucapkan oleh makhluk itu belum tentu bisa dipercaya.” Ucap Ki Daru Baya yang mencoba menenangkanku.

“Yah.. mungkin saya bisa sedikit membantu kalian”

Mendengar ucapan Ki Daru Baya kami menjadi penasaran, bantuan apa yang ingin diberikan oleh Ki Jaruk.

“Berkat kalian, kami tahu di mana Roh-roh warga desa berada.. sekarang akan kami coba dengan cara kami”

Aku masih belum mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Ki Daru Baya.

Setelahnya Ki Daru baya memerintahkan anggota untuk mempersiapkan pertunjukan di tengah desa.

“Paklek, mau ada pementasan wayang?” Tanya Danan yang mulai mengerti situasi ini.

“Sepertinya begitu Danan, kamu suka cerita wayang ya?”

“Iya Paklek...”

Semenjak kecil aku memang sering mengajak Danan menonton pementasan wayang walaupun terkadang ia sering tertidur sebelum acara itu selesai.

Biasanya besok paginya Danan akan merengek kepadaku meminta untuk diceritakan cerita yang tidak sempat ia saksikan.

“Kalau kamu suka pementasan wayang Jul?” Tanyaku pada Panjul.

Anak kecil itu menggeleng.

“Aku ga pernah nonton wayang pakde, satu-satunya pementasan yang pernah kutonton hanya pementasan Ludruk”

Jawabnya dengan wajah yang terlihat berbeda dan dibalas dengan Bimo yang mengusapkan tanganya di kepala Panjul. Sepertinya ia memiliki kenangan buruk tentang itu.

Hanya butuh waktu beberapa jam hingga panggung pementasan selesai disiapkan. Ketika gending gamelan mulai berbunyi, warga mulai berkumpul menyaksikan penampilan wayang yang dipimpin Ki Daru Baya sendiri sebagai dalangnya.

Sebuah pementasan lakon Pandawa Kurawa yang diambil dari kitab Mahabrata dipentaskan dengan meriah.

Ki Daru baya menceritakan mulai dari kelahiran Puntadewa, Kurawa, hingga peperangan antara Prabu Setyajit raja Lesanpura melawan Prabu Garbanata raja Garbaruci.

Pementasan ini berlangsung meriah walaupun warga yang datang tidak tahu maksud dari pementasan ini. Tapi ada sesuatu yang menarik perhatianku. Kera milik Panjul mengambil posisi terdepan dan menyaksikan pementasan itu dengan khusuk.

“Gimana? Seneng ga nonton wayang?” Tanyaku pada Panjul yang menemani keranya menonton di paling depan.

Panjul mengangguk dan sepertinya ingin menanyakan sesuatu.

“Pakde, hutan Wanamarta itu apa pakde?”

Rupanya bocah ini mengikuti cerita ini dengan baik.

“Di cerita wayang wanamarta adalah hutan yang diisi makhluk ghaib yang dijaga oleh kelima jin yang akhirnya menitis ke lima pandawa, memangnya kenapa?” Balasku penasaran.

“Nggak pakde.. itu Kliwon, katanya dia berasal dari hutan itu”

Mendengar ucapanya, aku menatap wajahnya Panjul. Dari wajahnya terlihat bahwa ia tidak sedang bercanda. Namun apakah itu mungkin?

“Bapak, Ki Daru Baya Hebat! Danan sampe merinding nontonya” Ucap Danan yang terlihat sangat semangat.

Benar, penampilan Ki Daru Baya kali ini berbeda dari biasanya. Permainan wayang dan caranya menceritakan kisahnya benar-benar membuat kami merasa masuk ke dalam alam itu.

Nyanyian sinden yang mengisi jeda setiap perpindahan ceritapun mampu membuat kami terhanyut tak mau meninggalkan tempat ini.

Ki Daru Baya... Akan kuingat nama itu sebagai nama seorang dalang terhebat yang pernah kukenal.

Saat pertunjukan mencapai klimaks mendadak seseorang keluar dari salah satu rumah warga yang kemarin kami datangi.

Dia adalah seseorang yang rohnya hilang karena ditarik oleh dalang demit anak yang mengaku sebagai anak Ki Jaruk itu.

“Mas... Mas sudah sembuh?” ucap seseorang yang sepertinya adalah istri dari orang itu.

Beberapa warga mulai mengerumuni orang itu dan menanyakan keadaanya. Tak lama kemudian beberapa warga yang kehilangan sukmanya satu persatu pulih dan mendatangi pementasan Ki Daru Baya.

“Pementasan di atas bukit menarik roh kami, namun saat ada suara pementasan dari desa ini rasa ketertarikan kami terhadap pementasan di atas bukit menghilang dan ingin menyaksikan pementasan Ki Daru Baya” Jelas salah seorang dari mereka.

Mendengar cerita orang itu aku dan Bimo saling berpandang. Rupanya ini adalah duel antara dua dalang yang memperebutkan kesadaran warga desa Kandimaya.

Gila! Seumur hidup aku tidak pernah melihat hal sehebat ini. Darahku bergejolak saat mengetahui ini juga merupakan sebuah pertempuran. Pertempuran yang tanpa harus meneteskan darah.

Apalagi saat melihat Danan melompat berjingkrakan saat menyaksikan klimaks Perang Baratayudha apalagi saat tujuh senopati pandawa berhasil mengalahkan Kurawa dan hanya menyisakan tiga senopati Kurawa.

Seolah mengerti apa yang harus kami lakukan, Bimo segera menghampiri Panjul dan aku menghampiri Danan.
“Danan, Kamu masih mau nonton Ki Daru Baya atau mau ikut Bapak ?” Tanyaku.

“Panjul, Masih betah?” Tanya Bimo pada Panjul.

Kedua bocah itu saling menatap seolah mengerti maksud kami.

“Aku melu paklek! Gara-gara nonton wayang ini Kliwon jadi semangat!” Ucap Panjul.

“Kita mau kembali ke bukit tadi kan? Danan Ikut... Permentasan wayang seperti itu harus dihentikan” Jawab Danan dengan wajah yang cukup kesal walapun sesekali ia menoleh ke panggung tidak rela meninggalkan serunya pementasan Ki Daru Baya..

Tepat beberapa Jam sebelum subuh datang kami pergi meninggalkan pemetasan semalam suntuk yang diadakan Ki Daru baya untuk menghentikan pementasan terkutuk dari penerus Dalang Demit yang mencelakai warga desa.

Sebelum sempat meninggalkan desa, Panjul meninggalkan kami dan berlari kembali ke Desa.

“Kosek paklek... sarungku keri” (Sebentar paklek, sarungku ketinggalan...”
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close