Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DALANG DEMIT KAMPUNG WAYANG (Part 5) - Para Penerus

Jagad lelembut boten duwe wujud…

Di sebuah gubuk di tengah sawah aku memaparkan sebuah mantra.


JEJAKMISTERI - “Tidak semua bisa melihat keberadaan ‘mereka’ Danan.. mereka tidak memiliki wujud” Ucapku.

“Tapi kita kan bisa melihat keberadaan mereka pak?” Balas satu satunya putraku Dananjaya Sambara yang terlihat masih belum mengerti dengan apa yang kumaksud.

Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaanya.

Kulo Nimbali...
Surga Loka... Surga Khayangan...

“Beberapa bisa mengundang mereka, dari tempat yang sangat jauh.. tapi pastikan mengundang mereka yang berasal dari tempat yang baik-baik.. entah dari bumi atau dari alam lain...” Jelasku lagi sementara Danan hanya mengangguk mendengar ucapanku.

Ketuh mulih sampun nampani..
Tekan asa.. Tekan sedanten...

“Saat kita memanggil, kita sudah siap atas kedatangan mereka apapun konsekuensinya.. dan sejatinya mantra ini bertujuan merubah keputus asaan menjadi sebuah harapan...”

Sepertinya Danan masih terlalu kecil untuk menerima makna dari mantra yang diturunkan oleh leluhur kami.

Namun aku tau pasti, suatu saat ia akan pantas mengemban tanggung jawab dan beban yang turun-temurun dijalankan oleh keluarga kami sejak jaman leluhur.

Sebuah tanggung jawab penyandang nama Sambara...

***

Hujan yang begitu deras membasahi tanah lapang diantara sebuah hutan dan desa. Kilatan dan sambaran petir bersahutan seolah menyambut kedatangan sesosok makhluk yang muncul di hadapan kami.

Kakek tua bungkuk berambut putih panjang muncul berdiri di hadapanku.

“Bocah Asu! Kowe nyeluk aku arep mateni awakmu dewe?” (Kamu memanggil aku mau membunuh dirimu sendiri) Ucap makhluk itu dengan nada marah dan sedikit rasa khawatir.

“Ngapunten eyang... boten wonten dalan liyane, kulo butuh bantuan eyang” (Maaf eyang, tidak ada jalan lainya. Aku butuh kekuatan eyang) Ucapku menjelaskan situasi yang terjadi.

Makhluk itu melihat segerombolan pasukan demit yang dipimpin seseorang berpakaian dalang dengan kekuatan hitam di sekitarnya.

“I... itu apa Mas Bisma” Tanya Bimo yang penasaran dengan perbincangan kami.

“Dia leluhur kita... dengan mantra yang kubacakan aku bisa memanggilnya dengan perantaraan Keris Ragasukma” Jelasku pada Bimo.

Bimo masih belum yakin, namun ia memaksakan dirinya untuk mengerti.

“Bimo, Aku butuh kekuatanmu.. saat dia mengamuk dia tidak bisa membedakan mana musuh mana kawan.. tolong lindungi warga desa“

Bimo mengangguk walau aku yakin masih banyak pertanyaan di kepalanya.

Sebelum siap menyerang, tubuhku mulai terhuyung. Aku sudah tahu konsekuensi apabila menggunakan mantra ini lagi.

Aku tetap berusaha sekuat mungkin menjaga agar cairan merah di mulutku tidak sampai keluar dan membuat Bimo khawatir.

“Khekhekhe... Wis arep mati wae ndadak njaluk tulung” (Sudah mau mati saja masih minta tolong) Ledek Ki Jaruk yang sedang memperhatikan makhluk yang kupanggil itu.

Seketika makhluk berwujud kakek tua bungkuk itu melompat dengan diselimuti kabut hitam dan menyerang semua makhluk yang ada di depanya.

Dengan sekali tebasan cakaranya makhluk berwujud burung raksasa yang menjaga dalang itu terbelah menjadi dua dan kembali menjadi wayang kidangan yang sudah terbelah.

“Kakek Asu...!” Ucap Ki Jaruk yang kembali melontarkan serangan dari wayang Buto untuk melindungi dirinya.

Kakek tua itu semakin mengamuk dan melompat dari tanah ke pohon-pohon lainya dan menyerang ke segala arah.

Aku menerjang ke medan perang, bukan untuk melawan ki jaruk.. tapi untuk menahan serangan leluhur yang ku panggil setiap akan menyerang ke warga desa yang masih terpengaruh kutukan Ki Jaruk.

Bimo juga tidak henti-hentinya merapal mantra agar semua serangan kakek itu yang mengenai warga segera pulih dan tidak mengakibat kematian.

Dengan strategi ini kami bisa menghabisi hampir seluruh anak buah Ki Jaruk hingga tidak bisa lagi ia panggil menggunakan wayang kulitnya.

Sayangnya ini terlalu lama.. aku hampir tidak bisa mempertahankan kesadaran dengan kondisi ini.
Setelah pertarungan yang cukup sengit, Akhirnya aku melihat hanya tinggal sesosok makhluk yang melindungi Ki Jaruk. Dia adalah sosok wayang kurawa berwujud Buto.

Dengan segera aku mengarahkan setiap serangan Kakek tua itu hingga seranganya terpental ke arah raksasa hitam dengan wajah yang paling beringas.

Sebuah cakaran tak cukup untuk menumbangkan makhluk raksasa itu, berkali-kali serangan dari leluhur yang kupanggil itu tidak mampu menumbangkan senjata terakhir ki Jaruk.

Aku teringat dengan siasatku saat melawan Bulo Lireng di desa kandimaya dulu dan segera memberi isyarat pada bimo.

Seketika aku menghujamkan keris ke arah dada raksasa itu dan tentu saja segera dihempaskan dengan lengan besarnya yang sudah penuh luka oleh serangan kakek leluhurku itu.

Seketika Bimo menangkap tubuhku dan merapalkan mantra penyembuh.

“Khekhekhekhe... kowe bakal mati sio-sio” (Kamu akan mati sia-sia) Ucap Ki Jaruk yang segera menarik kerisnya dan menerjang ke arahku.

Namun dia tidak sadar, saat ini keris Rogosukmo telah tertancap di punggungnya dengan sukmaku yang telah berpindah dari ragaku melalui sisi mati Ki Jaruk. Seketika darah hitam bermuncratan dari mulut Dalang Demit itu hingga membasahi tubuhnya.

“Bocah.. bocah Bajingan!” Umpat Ki Jaruk.

“Haha… Mana tawa cekekekanmu yang dari tadi meledek kami” Ledekku yang sebenarnya juga sedang setengah mati mempertahankan kesadaran.

Darrrrr...!

Seketika terdengar suara besar yang berasal dari tumbangnya Demit Buto yang dipanggil oleh Ki Jaruk.

Melihat itu wajah panik terlihat di wajah Ki Jaruk.. ia memanggil warga desa untuk menjadi tameng bagi dirinya.

Beruntung Bimo cukup sigap untuk membacakan mantra yang menahan gerakan warga desa itu.

Seolah mencari kesempatan, Ki Jaruk berjalan mundur dan mencoba melarikan diri masuk ke dalam hutan yang menghubungkan desa ini dengan kediamanya tadi.

Sialnya di sana sudah berdiri Kakek tua bungkuk dengan wajahnya yang penuh amarah. Matanya memutih seolah sudah siap mengamuk.

Melihat keadaan itu aku segera kembali ke ragaku dan meminta Bimo untuk memasang mantra pelindung.

Sementara itu Eyang leluhurku itu terus menghabisi Ki Jaruk dengan mencabik-cabik tubuhnya dengan bengis hingga tidak berwujud.

Setelah kejadian itu aku menyimpan kerisku kembali ke dalam sukma dan kakek tua itu kembali mendapatkan kesadaranya.

Sebaliknya denganku, seketika darah bermuncratan dari mulutku seolah menandakan bahwa ini adalah bayaran atas ilmu yang kugunakan tadi.

“Mas.. Mas Bisma kenapa?” Ucap Bimo yang segera membacakan mantra pemulih untuku namun tidak berhasil.

Bimo tidak menyerah ia menggunakan kesaktian keris sukmageninya untuk memulihkan tubuhku namun itu semua percuma.

“Geni seko Keris SukmaGeni mung iso mulihke Luka karo kutukan.. ora iso nyembuhke penyakit”
(Api dari keris sukmageni hanya bisa memulihkan luka dan kutukan... tidak bisa menyembuhkan penyakit) Ucap leluhurku yang sepertinya sangat mengenali keris yang dipegang oleh bimo.

“Pe..Penyakit? Bukanya semua ini karena mantra itu?” Tanya Bimo yang bingung harus berbuat apa.

Aku mencoba tertawa dengan semua darah yang masih membanjiri mulutku dan menggelengkan kepala untuk memberi penjelasan kepada Bimo.

“Bukan... Penyakitku membuat tubuhku menanggung beban saat menggunakan mantra pemanggil itu, Eyang juga sudah tau itu” Jelasku, Namun Kakek itu hanya memalingkan pandanganya dan meninggalkan kami.

“Sambara.. keturunan Goblok sing ora sayang nyowo” (Sambara.. keturunan bodoh yang tidak sayang nyawa) Ucap kakek tua itu yang segera menghilang bersama dengan rintik hujan di tengah kegelapan hutan.

Itulah yang hal yang terakhir kali kuingat selain wajah cengeng Bimo yang melihat tubuhku penuh dengan darah.

Aku tidak tahu yang terjadi setelahnya namun saat itu... di tempat itu... yang aku tahu kesadaranku perlahan mulai memudar.

Sebuah mimpi muncul pada saat itu, sebuah penglihatan tentang seorang pemuda..

Seorang pemuda yang ditakdirkan bertemu dengan berbagai bencana...

Dia menghadapi Roh-roh jahat berbagai wujud hingga berbagai kutukan dari berbagai tempat.

Terlihat juga suatu kejadian dikala pemuda itu menghadapi sebuah pertarungan sengit.. untungnya dia tidak sendirian.

Seorang pemuda lain selalu menemaninya dengan roh kera yang melindunginya, di sisi lain ada seorang nenek tua berilmu hitam, dan kakek sakti yang mengendalikan pusaka mata tombak.

Ia membacakan mantra yang baru saja kurapalkan... seolah kejadian itu menjawab siapa sosok pemuda itu.

Tak lama setelahnya aku tersenyum saat melihat masih ada seseorang yang mendampinginya. Wajahnya memang sudah menua namun dia terlihat semakin bisa diandalkan.

Aku bersyukur saat mengetahui dia.. Bimo masih ada untuk mendampingi Pemuda itu..

***

Perlahan sebuah cairan masuk membasahi kerongkonganku seolah memberikan sedikit tenaga untuku membuka mata.

Saat ini terlihat di hadapanku Bimo dan Ki Daru Baya memandangku yang berada di atas sebuah ranjang dan ruangan yang dipenuhi dengan bau obat.

“Bimo.. ini dimana?” Tanyaku.
Bimo menatapku dengan mata yang sayu, terlihat rasa lelah yang amat sangat di wajahnya.

“Di Rumah sakit mas... kenapa Mas Bisma ga cerita kalo ada Kanker di paru-paru Mas Bisma?” Tanya bimo yang tidak sabar menunggu penjelasanku.

Aku hanya tersenyum dan kembali menutup mataku dari silaunya lampu kamar rumah sakit ini.

“Kamu juga manggil Danan dan Kirana ke sini?” Tanyaku.
Bimo menggeleng.

“Ngga Mas... aku ga tau apa mereka tau penyakit Mas Bisma” Jawabnya.

“Bagus... Nanti biar aku yang cerita pelan-pelan ke mereka” Balasku.

Bimo mengangguk setuju.
“Nanti biar saya yang bilang ke Kirana kalau kamu masih membantu saya di desa, Mas Bisma Istirahat saja sampai pulih” Ucap Ki Daru Baya yang berusaha membantuku.

“Terima kasih Ki... maaf merepotkan” Ucapku sambil tersenyum.

“Ga usah ngomong aneh-aneh, yang kami lakukan masih jauh untuk membalas budi kepada kalian” Lanjut Ki daru baya.

Mendengar ucapanya aku segera menoleh pada Bimo.
“Berarti... Warga desa selamat?” Tanyaku pada Bimo.

Bimo hanya mengangguk dan aku membalasnya dengan sebuah senyuman yang menunjukan rasa lega.

***

“Bapak! Itu bapak pulang!” Ucap seorang anak berlari menyambut kedatanganku.

Itu Danan... Dananjaya Sambara, Putra kesayanganku satu-satunya.

“Paklek... Kok motornya keren! Danan diajak jalan-jalan dong!” Pintanya dengan polos.

“Sini naik! Paklek Boncengin sampai depan..” Balas bimo yang segera mengajak danan berkeliling desa menggunakan Vespa yang dipinjam dari pak kepala desa Kandimaya.

“Buk.. Maaf ya bapak lama perginya” Ucapku pada istiku Kirana yang segera membantu membawakan barang-barangku ke dalam rumah.

“Sudah.. gapapa, Mbah Daru juga udah cerita gimana sibuknya kamu di sana... yang penting abis ini jangan kemana-mana lagi” Jawab Kirana yang menyambutku dengan wajah manisnya. Aku beruntung bisa memiliki istri secantik Kirana dan anak sebaik Danan.

Apalagi aku bisa menikmati tenangnya tinggal di rumah pinggir sawah tanpa memikirkan masalah-masalah yang tidak penting.

“Bapak.. Montornya Paklek keren ya! Kapan bapak punya montor begitu juga?” Ucap Danan yang terkesima dengan Vespa yang dibawa Bimo.

“Motor Paklek?” Tanyaku sambil menoleh ke arah Bimo namun ia malah meletakan jarinya dimulut memberikan isyarat padaku untuk diam.

Aku menggeleng melihat tingkahnya.

“Ga usah Danan.. kalau Bapak punya juga nanti Paklekmu stress karna kalah keren” Jawabku pada Danan.

“Hehe.. iya, bener juga ya. Bapak kan ganteng, ga kayak Paklek” Ucap Danan yang sepertinya memang mencoba menggoda Pakleknya itu.

“Eeee.. Bocah! Awas ya ga tak boncengin lagi..” Ancam bimo sambil tertawa.

Senang rasanya bisa kembali ke rumah dan berkumpul dengan seluruh keluargaku. Namun aku sadar.. waktuku tidak banyak. Setidaknya aku harus menghabiskan sisa waktu yang kupunya untuk mewarisi semua yang kupunya kepada Danan.

***

“Pak kok bentuk naganya kayak begini ga kayak naga yang diceritain di film-film” Tanya Danan yang memperhatikan ukiran bergambar Naga di beberapa lembaran peninggalan leluhurku.

“Ini Naga Jawa Danan.. di legenda kita Naga itu bertubuh ular memiliki kaki dan tangan dan mahkota di kepalanya.

Itu menandakan Makhluk ini menguasai sesuatu..” Jelasku yang berusaha mengenalkan mengenai sosok-sosok makhluk di Tanah jawa yang mungkin kelak akan ia temui.

“Kalau ini siapa pak? Kenapa cantik banget” Tanya Danan lagi yang menunjuk kepada lukisan sesosok wanita cantik dengan kebaya berwarna hijau.

“Dia penguasa laut selatan.. sebisa mungkin jangan pernah berurusan denganya atau anak buahnya” Jelasku lagi.

Aku segera mengambil lembaran-lembaran itu dari Danan dan mengajaknya keluar untuk mempelajari hal baru.

“Danan.. coba ikuti gerakan bapak” Ucapku sambil memberikan sebatang kayu pendek sambil memperagakan gerakan bela diri.

Danan memperhatikan dengan seksama setiap gerakanku dan perlahan mulai mengikutiku.

“Gimana sudah hafal belum?” Tanyaku.

“Untuk hafalnya sih bisa pak.. tapi kenapa pake batang kecil, pakai yang panjang aja.. lebih gampang buat nyerang musuh” Tanya Danan Bingung.

Aku tersenyum dan mengusap kepala Danan.

“Emang musuh apa yang mau kamu lawan?”

“Orang jahat lah pak” Jawabnya polos.

“Bukan... itu urusanya polisi” Jawabku dengan cepat.

“Terus... Bapak ngajarin Danan buat apa?” Tanya Danan lagi.

“Buat ngebantu melawan mereka yang bahkan tidak bisa diatasi sama polisi” Jawabku singkat.

Entah bagaimana Jawabanku bisa membuatnya merasa semangat.

“Maksudnya ada yang ga bisa ditangkep sama polisi dan kita bisa melawan mereka?” Tanyanya.

Aku mengangguk dan tersenyum mendengar kesimpulan polosnya.

“Ya makanya, batang pendek ini untuk membiasakan saat nanti kamu sudah pantas memegang Keris.. senjata yang ampuh untuk melawan musuhmu nanti” Jelasku.

Setelah mendengan penjelasanku Danan semakin semangat dan dengan cepat mempelajari setiap gerakanku.

***

Waktu berjalan begitu cepat, Danan tumbuh dengan semakin pintar.

Di umurnya yang masih kecil ia sudah banyak mempelajari ilmu yang kuberikan hingga akhirnya aku memutuskan untuk melakukan latihan khusus denganya di sebuah hutan pinggir desa.

“Ini Keris Ragasukma, pusaka yang diturunkan turun temurun di keluarga kita” Jelasku pada Danan.

Danan memperhatikan dengan seksama.
Aku membaca sebuah mantra dan menancapkan keris itu pada sebatang pohon tua.

“Tugasmu kali ini hanya satu... Cabut keris ini” Perintahku pada Danan dan segera menunggunya di sebuah batu besar di samping pohon.

Danan tidak bergerak sedikitpun. Ia hanya memperhatikan keris itu tanpa bergerak.

“Kenapa Danan?” Tanyaku.

“Tidak mungkin semudah itu kan pak? Pasti ada maksud tersembunyi dari latihan ini” Jawabnya.

Aku tersenyum..

Rupanya diumur yang sekecil itu ia sudah mampu menganalisa sesuatu yang akan ia hadapi.

Ia hanya terdiam di tempat dan memandang keris itu tanpa bergerak. Itu berlangsung cukup lama hingga aku tertidur di sana.

***

“Bapak bangun pak...!“ Terdengar Suara Danan membangunkanku yang tertidur hingga tengah hari.

“Ini pak makan dulu.. Ibu nganterin Sayur lodeh” Ucap Danan dengan penuh semangat.

Aku menoleh pada keris Ragasukma yang ada di pohon dan melihat keris itu masih menancap di sana.

“Heh... siapa yang nyuruh kamu makan? Tugasmu belum selesai! Keris itu masih ada di pohon itu” Ucapku mengingatkan Danan.

“Lha pak, kerisnya udah Danan cabut kok...” Jawabnya dengan percaya diri.

Aku kembali menoleh pada pohon itu dan masih melihat keris ragasukma tertancap di sana.

“Lalu itu apa?” Tanyaku pada Danan sambil menunjuk pada keris itu.

“Da..danan juga ga tau pak, Danan benar-benar sudah mencabut keris itu. tapi keris itu masih ada di sana” Jawabnya dengan polos.

Aku merasa bingung dengan jawabanya. Tapi raut wajah danan tidak terlihat sedang berbohong.

“Danan coba kamu berdiri” Perintahku yang penasaran.

Aku menempelkan tanganku di punggung Danan mencoba mencari keberadaan sesuatu yang seharusnya tidak berada di sana.
Sayangnya aku menemukan itu. Wujud ghaib keris ragasukma sudah merasuk dalam tubuh danan. Rupanya ia berhasil mencabut Wujud Ghaib dari keris itu.

Aku tak bisa menahan tawaku atas hasil yang tidak terduga ini.

“Ke... kenapa pak?” Tanya Danan padaku.

“Haha... Sudah kita makan dulu, setelah ini kita akan belajar hal yang lebih seru.. mengenai keris ragasukma”

***

Waktu berjalan semakin cepat hingga membawa kami ke penghujung hari.

Perjalanan singkat membawaku dan Danan sampai di rumah. Selama perjalanan Danan tidak henti-hentinya membicarakan mengenai keris Ragasukma yang ia pelajari tadi.

Sayangnya saat sampai ke rumah aku seolah melihat wajah kirana yang sedikit termenung.

“Ada apa bu.. tumben cemberut” Tanyaku sambil memasuki rumah.

“Ngga papa pak.. Tadi ada warga desa Kandimaya dateng. Katanya ada masalah lagi di sana” Ucap Kirana yang seolah tidak ingin menceritakan hal ini.

“Masalah apa Bu?” Tanyaku berusaha menggali lebih.

“Jelasnya dia ga cerita, kalau ga salah ada beberapa warga yang tiba-tiba tidak sadarkan diri... seolah rohnya ga ada” Jelas Kirana.

Aku mengernyitkan dahiku. Jelas itu sudah masalah yang serius. Pantas saja mereka sampai meminta seseorang mampir ke sini.

“Bapak pasti mau ke sana kan?” Tanya Kirana yang sudah mengerti dengan tabiatku.
Aku mengangguk.

“Ibu ga akan ngelarang... tapi kalau ada hal berbahaya jangan nekat ya pak” Ucap Kirana.

Aku tersenyum dan berjanji akan mengikuti ucapanya itu. namun sebenarnya ada satu hal lagi yang ingin kusampaikan.

“Kirana... aku ijin membawa Danan ke desa Kandimaya ya.” Ucapku yang segera dibalas dengan wajah kesal Kirana dan wajah bingung Danan.

***

Setelah semalam berdebat cukup panjang dengan Kirana, akhirnya ia mengijinkan Danan untuk ikut denganku. Danan sangat senang mendengar kabar itu.

Pagi ini aku dan Danan berangkat ke desa kandimaya dengan menaiki angkutan umum.

Sudah beberapa tahun semenjak aku meninggalkan desa ini dengan tidak sadarkan diri setelah bertarung dengan Ki Jaruk.

Terlihat sebuah motor vespa terparkir di depan rumah kepala desa. Kupikir akhirnya Danan akan tau bahwa motor Vespa itu bukan milik Bimo.

“Bapak Itu bukanya Montor Paklek?” Tanya Danan dengan Polos.

Aku hanya tersenyum membayangkan ekspresinya saat bertemu Bimo nanti. Namun tiba-tiba dari rumah itu muncul seseorang yang kukenal.

“Lha Mas Bisma, dateng juga ke sini” Ucap Orang itu.

Rupanya Bimo sudah datang ke desa kandimaya terlebih dahulu. Warga menghubunginya dulu karena khawatir dengan penyakitku apabila meminta pertolonganku.

“Paklek! Nanti ajak Danan muter-muter lagi ya!” Teriak Danan dengan polos.

“Beress!” Ucap Bimo dengan percaya diri.

Aku tertawa sendiri melihat pertemuan kami. Namun tiba-tiba aku teringat mengenai kabar saat Bimo pergi ke Jawa timur.

“Bimo.. katanya habis dari Jawa Timur kamu ngajak anak untuk tinggal sama kamu?” Tanyaku memastikan.

“Oooo.. iya aku belum cerita ya” Ucapnya dengan santai.

“Panjul sini... keluar! Kenalan sama pakdemu”
Terdengar suara seorang anak setengah berlari di lantai kayu rumah kepala desa menghampiri kami.

Terlihat seorang anak seumuran Danan yang bergegas mengenakan sandal jepitnya dan merapikan sarung yang sepertinya selalu ia kenakan di bahunya.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close