Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DALANG DEMIT KAMPUNG WAYANG (Part 4) - Ki Jaruk

Saat ini dihadapan kami telah berdiri sosok yang menjadi dalang atas hilangnya warga Desa Kandimaya yang tergabung dalam kelompok pementasan wayang.

Ya dalang...

Bukan hanya dalang dalam arti kiasan, tapi juga Dalang dalam arti sebenarnya.


JEJAKMISTERI - Dia adalah Dalang demit yang mengendalikan makhluk-makhluk mengerikan dengan boneka wayang kulit yang ada di tanganya.

“Khekhekhe... Menungso kuwi wis dadi wong kene, ora usah ikut campur” (Manusia itu sdah jadi orang sini.. ga usah ikut campur) Ucap makhluk itu.

Aku bersiap menerjang dengan kerisku sementara Bimo menjagaku dari belakang, namun tepat sebelum mendekat Dalang itu mengeluarkan wayang kulit berbentuk Kurawa dan mengibaskanya.

Seketika tengan besar berwarna hitam muncul dari wayang itu dan menghempaskanku.

Dengan sigap Bimo menangkap tubuhku dan bersiap bergantian menyerang dalang itu dengan pukulan yang telah diselimuti api dari ilmunya.

Dalang itu tidak sempat menghindar, namun serangan Bimo sepertinya tidak membekas di tubuh dalang itu.

Tak lama setelahnya tangan dalang itu sudah menggengam berbagai wayang kulit dengan bentuk yang mengerikan.

Mantra berbahasa jawa kuno terdengar dari mulut dalang itu. Perlahan seluruh boneka wayang itu berubah menjadi asap yang mengambil posisi disekitar kami.

Satu persatu asap itu berubah menjadi berbagai wujud seperti demit-demit dengan wujud tokoh pewayangan.

Buto... raksasa besar dengan taring yang panjang dan matanya yang berwarna merah...

Wanara.. Ras kera, namun yang muncul saat ini lebih menyerupai demit kera seukuran manusia dengan tangan yang melebihi panjang tubuhnya bergelantungan di atas pohon.

Kidangan... Makhuk berwujud burung besar bersayap hitam seperti yang tadi menyerang kami.

Hingga siluman-siluman yang sama sekali tidak kumengerti wujudnya.

Aku cukup gentar melihat semua ini.

“Demit... di cerita pewayangan yang kuketahui, dia lemah dengan panas api matahari..” Ucap salah satu anggota kelompok wayang yang berhasil kami selamatkan.

Kurasa aku mengerti maksudnya, aku memberi isyarat pada Bimo dan ia segera membacakan mantra yang menciptakan api yang sangat panas di sekitar kami.

Ras Buto tidak terpengaruh dengan api itu, namun Burung hitam itu segera berubah kembali menjadi boneka wayang kulit seperti semula.

Dalang Demit itu merasa kecewa, namun itu tidak lama..

Setelahnya ia segera tertawa dengan keras dan mengembalikan makhluk-makhluk itu ke wujud wayang.

“Khekhekhe... Pertunjukan yang menarik! Sayang sekali kalau tidak ada yang menyaksikan” Ucapnya dengan tawa yang mengerikan.

“Tak enteni kowe ning alas iki... nek nganti satu suro kowe kabeh ra teko, tak balike konco-koncomu nanging mung jasate tok... Khehekhe”
(Saya tunggu kalian di hutan ini... jika sampai satu suro kalian semua tidak datang, saya kembalikan teman-temanmu tapi hanya Jasadnya saja) Ucap makhluk itu yang segera menghilang ke dalam kegelapan.

***

Kakiku lemas... begitu juga dengan Bimo. Seandainya harus melawan semua makhluk itu kemungkinan kami tidak akan sanggup, apalagi sepertinya Makhluk itu masih menyimpan ilmu yang lebih mengerikan.

“Piye mas... nek ngadepi demit kuwi, nyowo taruhane” (Gimana mas? Kalau menghadapi demit itu, nyawa taruhanya) Ucap Bimo yang juga merasa gentar.

Aku berusaha memutar otak berusaha mencari cara untuk menghentikan permasalahan ini.

“Mas... sepertinya mas tau kelemahan makhluk-makhluk tadi” Tanyaku pada anggota kelompok wayang itu.

“Hanya sedikit mas... tapi jika itu memang berguna, mungkin dalang lain tau” Ucapnya.

Aku menoleh kepada Bimo, sepertinya ia juga sepakat untuk kembali mempersiapkan diri sebelum menjawab tantangan makhluk itu.

***

Kedatangan kami disambut oleh warga desa, walaupun belum mampu membawa kembali warga yang lain setidaknya sudah ada bukti bahwa mereka masih hidup dari cerita seseorang yang kami tolong tadi.

Apalagi sekarang kami sudah mengetahui apa yang menjadi lawan kami.

Ki Daru Baya bukanlah dalang yang tersohor, tapi pengetahuanya mengenai cerita pewayangan menurutku masih diatas rata-rata dalang lainya.

“Ki Daru Baya ceritakan pada kami mengenai tokoh-tokoh jahat di pewayangan, dan bagaimana mereka bisa kalah” Tanyaku pada Ki Daru Baya.

Awalnya beliau bingung dengan permintaan kami, namun saat mendengar cerita saat kami di hutan tadi. Ia segera meminta kami beristirahat sebelum besok mendengarkan cerita darinya.

Esok malamnya tanpa kami sangka, seluruh anggota kelompok wayang Ki Daru Baya sudah bersiap dengan semua kelengkapan untuk pagelaran wayang.

“Ki.. mau ada pementasan?” Tanyaku.

Sambil mempersiapkan wayang dengan berbagai tokoh Ki Daru Baya mencoba menjelaskan kepadaku.

“Lakon cerita pewayangan itu sangat panjang... satu malam tidak akan cukup untuk menceritakanya... setidaknya Kami berusaha menceritakan secara detail melalui ilmu pewayangan yang kami mengerti” Ucap Ki Daru Baya.

“Iya mas Bisma... Sejujurnya kami bingung, saat kami datang ke desa itu seluruh warga di desa tengah hutan itu sangat baik kepada kami. Semoga dengan ini kami bisa mengetahui kebenaranya” Ucap salah seorang pemain gamelan anggota Ki Daru Baya.

Aku dan Bimo segera mengerti dan mengambil posisi terbaik untuk menyaksikan pertunjukan mereka.

Sebuah pementasan wayang yang luar biasa disajikan di hadapan kami. Siluet wayang yang beradu dengan cahaya membuat adegan peperangan terlihat semakin menegangkan.

Aku dan Bimo terlihat seperti anak kecil yang beberapa kali terlihat Takjub dengan adegan Rama saat bertarung dengan Rahwana saat Ki Daru Baya memainkan cerita Ramayana.

Tak Cukup sampai di situ, Ki Daru Baya juga memainan adegan ketika lima pandawa bertarung melawan Kurawa.

“Mas Arjuna itu ternyata titisan Dananjaya ya? Jangan-jangan nama anakmu diambil dari cerita ini?” Tanya Bimo yang masih menikmati kisah mengenai pandawa lima.

“Haha.. iyo Bim, Aku memberikan nama itu berharap Danan bisa tumbuh sebagai sosok kesatria yang bijaksana” Jawabku.

Dari pementasan wayang Ki Daru Baya kami mengerti mengenai Wayang kidangan yang menceritakan ras Burung seperti Garuda dan Jatayu, Wayang Kurawa yang menceritakan sosok antagonis dari berbagai ras.

Hingga jin dan makhluk-makhluk aneh dan bagaimana mereka bisa dikalahkan.

Selesai pementasan itu kami bertepuk tangan tak henti-hentinya.

Wajar saja walaupun namanya tidak besar, tapi permainan wayang Ki daru Baya mampu membuat semua penontonya semangat hingga lupa daratan.

“Ki... terima kasih banyak, Semoga setelah semua permasalahan ini selesai saya bisa nonton pementasan Wayang Ki Daru Baya lagi” Ucapku yang masih tersenyum dan senang atas pementasan tadi.

“Ya sudah... Hanya itu yang dapat saya bantu, sisanya hanya usaha kalian dan Berkat dari Gusti Yang Maha Kuasa yang bisa membantu kalian” Ucap Ki Daru Baya yang bersiap untuk beristirahat.

***

Esok harinya aku dan Bimo mulai mempersiapkan rencana. Bimo meminjam wayang-wayang milik Ki Daru Baya dan memperagakan bersamaku mengenai cara-cara mengalahkan kekuatan Dalang Demit itu.

“Nek sing dilawan ketek wanara koyo ngene... piye mas?” (Kalau yang dilawan kera wanara seperti ini bagaimana mas?) Tanya Bimo sambil menunjukan wayang kulit berbentuk kera.

“Wanara kuwi selain lincah juga ahli kekuatan ghaib... aku sing ngelawan. Nah Nek wayang kidangan kuwi lawane nganggo api opo panah, kuwi jatahmu” (Wanara itu selain lincah juga ahli kekuatan ghaib, aku yang melawan... kalau wayang burung itu lawanya dengan api atau panah.. itu jatahmu) Jawabku sambil terus mensimulasikan pertarungan kami nanti.

Walaupun sebenarnya belum tentu yang akan kami hadapi akan sama seperti yang kami perkirakan.

Tepat saat hari menjelang malam, kami telah memasuki hutan tempat desa ghaib itu berada.

Kali ini tidak ada serangan apapun hingga kami bisa memasuki jalan yang tertutup kabut di tengah hutan itu.

Tak membutuhkan waktu lama untuk mencapai tempat yang konon sulit ditemukan itu karena sepertinya kedatangan kami sudah di sambut.

Sayangnya tempat ini jauh dengan seperti yang digambarkan ki Daru Baya. Bukan penduduk berwujud manusia yang berada di sini, melainkan sekumpulan Roh penasaran yang berwujud pocong, mayat hidup, hingga potongan tubuh yang merayap seolah bersiap menikmati pertunjukan.

Di ujung tempat itu berdiri sebuah panggung dengan cahaya yang menyinari sebuah latar putih. Sesosok makhluk yang kukenal wujudnya duduk membelakangi kami memainkan wayang-wayang kulitnya yang berwarna hitam.
“Kheeekhe...khe... Tokoh utamane wis teko” tawa dalang itu.

“Tidak usah banyak omong... dimana manusia-manusia yang kamu culik?” Tanya Bimo yang tidak sabar.

“Culik... enak saja, mereka sendiri yang datang kepadaku” Ucapnya sambil melemparkan sebuah wayang hitam ke arah bangunan seperti kandang yang terbuat dari kayu.

Sosok mahluk hitam besar dengan taring yang besar dan mata yang hampir keluar dari tempatnya menghampiri tempat itu.

Dengan tanganya yang besar ia merogoh ke dalam kandang kayu itu dan menemukan seorang manusia dengan tubuh yang sudah kurus kering.

“Bim.. Bimo... itu warga desa!” Ucapku yang mulai khawatir saat makhluk itu menggigit tubuh manusia itu hingga lenganya terlepas.

“Brengsek!!” Ucap bimo yang segera mengerjang makhluk itu, Ia melompat dan menendang tangan buto itu hingga menjatuhkan Manusia itu.

Dengan segera aku menyusul mengalihkan perhatianya sementara Bimo menyembuhkan tangan manusia itu. sayangnya Bimo hanya mampu menutup lukanya dan tidak bisa menyambung lenganya kembali.

“Bimo.. kita selesaikan ini” Ucapku yang semakin emosi melihat perbuatan makhluk hitam itu.

Aku dan Bimo menarik keris pusaka kami. Dengan segera aku menusukan keris ragasukma ke dahi makhluk hitam itu hingga darah hitamnya bermuncratan. Setelahnya kami segera menerjang Dalang demit itu.

Masih dengan duduk membelakangi kami, ia mengibaskan beberapa wayang kulitnya dan mengeluarkan makhluk-makhluk mithologi yang ada di pewayangan.

“Garuda Hitam... di cerita Ki Daru Baya, ia menjadi hitam karena melindungi Jatayu dari panas matahari... dia biar urusanku” Ucap Bimo.

“Buto Alas.. kekuatan fisiknya besar, tapi tidak dengan sukmanya... biar keris ragasukmaku yang menangani.” Ucapku.

Dengan memisahkan sukmaku, aku menghabisi roh Buto itu dengan keris ragasukma hingga tubuh besarya hanya menjadi raga kosong.

Bimo tak mau kalah, ilmu apinya berhasil membangkitkan trauma garuda hitam hingga membuatnya tidak berdaya.

Pengetahuan yang kami dapat dari Ki Daru Baya sangat berguna hingga tidak satupun makhluk yang dikeluarkan oleh dalang demit itu berhasil melukai kami.

“Sudah cukup... mainanmu itu tidak akan mampu melukai kami lagi” Ucapku yang bersiap menyerang Dalang itu.

Namun hal yang tak kuduga terjadi. Seseorang menusuk tubuhku menggunakan kayu runcing yang entah ia dapat dari mana. Itu adalah manusia yang tadi kami tolong.

“Jangan hentikan pementasan... kami ingin menonton...” Ucap orang itu diikuti dengan munculnya warga desa dari kandang yang menyerang kami.

“Tu.. tunggu apa maksudnya ini?” Tanyaku pada mereka.

“Khekhekhe... sudahh kubilang, mereka yang datang ke tempat ini sendiri, dan mereka akan marah bila kalian berusaha menghentikan pertunjukanku” Ucapnya.

Seolah terbius dengan alunan nada gamelan pementasan wayang, warga desa terus mendesak kami dan mencoba membunuh kami dengan benda apapun yang mereka temukan.

Bimo membacakan beberapa doa berusaha memulihkan kesadaran warga desa. Namun sepertinya mereka tidak kesurupan, mereka seperti kecanduan akan suatu hal sehingga tidak dapat mengendalikan diri mereka.

Dalang Demit itu akhirnya berdiri menghampiri kami. Ia mengeluarkan sebuah keris hitam berukiran naga dan menusuk seorang wanita warga desa dengan pakaian sinden.

Darah merah bermuncratan dari mulutnya namun iya tidak melawan melainkan malah berlutut mencium kaki dalang demit itu dan memohon kepadanya.

“Ki... kami harus menonton lagi ki... jangan berhenti, kami akan mengikuti semua maumu” Ucap Sinden itu.

“Khekhekhe... Menungso-menungso goblok!” (Manusia-manusia Goblok!) Ucap Dalang itu yang segera menjambak perempuan itu dan menunjukanya kepada kami.

“Ndelok! Ayu To...?” (Lihat... cantik kan?) Dalang itu mengunakan kerisnya merobek baju sinden wanita itu hingga kulitnya yang sebelumnya begitu mulus tergores oleh luka dari keris itu. Namun tetap saja wanita itu tidak melawan.

“Nek arep urip karo demit yo.. kudu dadi demit” (Kalau mau hidup sama demit. Ya harus jadi demit) Lanjut dalang itu dengan menggoreskan kerisnya di wajah wanita itu.

Wanita itu terliihat kesakitan, namun tetap aja tidak melawan.

“Aarrrggg... Demit sialan!” teriaku yang mulai tembakar emosi.

“Jangan Gegabah mas!” Ucap Bimo.

Namun aku terlanjur melompat menerjang dalang itu dan menghujamkan keris ragasukma. Sayangnya seranganku segera ditahan oleh kerisnya dan menciptakan gelombang energi yang sangat besar.

Pertarungan sengit terjadi diantara kami. Berbagai jurus ku keluarkan untuk menyerang dalang itu, namun dengan mudah ia menahanya.. bahkan sampai tertawa puas.

Beberapa kali serangan keris dalang itu mengenai tubuhku, namun aku tetap tenang karena seharusnya bimo segera menyembuhkan lukaku.

Entah walaupun beberapa kali seranganku mampu mengenai dalang itu, ia tetap tertawa geli seolah berhasil melakukan sesuatu.

Di satu sisi luka di tubuhku juga semakin banyak.

“Mas Dimas... Cukup” Ucapan itu terdengar dari Bimo yang jauh berada di belakang sedari tadi.

Namun aku tidak menghiraukanya, rasa kesalku pada demit ini membuatku ingin segera mengakhiri nyawanya secepatnya.

Namun lukaku yang semakin banyak membuatku menoleh pada Bimo dan pemandangan yang kusesalkan terlihat dihadapanku.

Rupanya sedari tadi warga desa tetap mencoba menyerangku, namun mereka gagal karena kuatnya energi dari pertarunganku dan Dalang itu hingga membuat Warga desa terluka parah oleh seranganku.

Sementara aku sibuk meluapkan emosiku. Bimo berusaha memulihkan warga desa dari semua seranganku yang membuat mereka terluka.

Di tengah rasa bersalahku dalang itu menusukan keris hitamnya tepat di punggungku hingga aku memuntahkan darah dari mulutku.

“Mas Bisma!“ Teriak Bimo yang segera menggunakan kekuatan keris sukmageninya untuk menyembuhkan lukaku.

Dengan segera ia menyusulku, mengalihkan dalang itu dengan ilmu bela dirinya dan membawa tubuhku mundur.

“Mas... Tenang mas, apiku masih bisa nyembuhin luka Mas Bisma.. tapi butuh waktu” Ucap Bimo.

Aku berusaha mengatur tenagaku sebaik mungkin. Sayangnya dari arah panggung Dalang itu sudah mempersiapkan pasukan demitnya dan Warga desa yang ia gunakan sebagai tameng.

“Duh... Piye iki” (Duh Bagaimana ini?..) Bimo terlihat kebingungan. Ia bersiap meletakanku di tanah dan mencoba melawan mereka sendirian.

Namun sebelum itu terjadi.. terdengar suara seseorang dari jarak yang tidak begitu jauh.

“Mas... Rene mas.. cepet” (mas.. kesini mas cepet) Ucap seorang pria dari sela pohon di hutan belakang kami.

Tanpa berpikir panjang, Bimo segera memapahku dan membawaku ke sela-sela pohon besar yang ada di hutan.

Aku memaksa berjalan sekuat tenaga sembari membaca mantra pengalih agar makhluk-makhluk itu sulit untuk menemukan kami.

Seorang pria dengan pakaian pada umumnya berjalan di depan kami menuntun ke sebuah tempat.

Kami tidak berniat untuk bertanya, setidaknya kami berharap kami sampai di tempat yang aman.

“Hati-hati mas...“ Ucap orang itu yang ternyata menuntun kami ke sebuah desa.

Cukup sulit untuku dengan luka ini untuk bisa mencapai salah satu rumah di desa itu.

Sebelum sempat melakukan apapun Bimo mendudukanya, menggoreskan jarinya pada keris sukmageni dan menggunakan api yang muncul dari keris itu untuk menyembuhkan lukaku.

Setelah merasa sedikit pulih aku menguatkan diriku untuk berbicara.

“Terima kasih ya mas... sebenernya ini kita di mana?” Tanyaku.

“Ini desa saya mas... Masnya ngapain sampai bisa bertarung sama Ki Jaruk?” Ucap orang itu.

Ki Jaruk? Mungkin itu nama dalang demit yang bertarung dengan kami..

“Kami dari desa Kandimaya mas.. kami mencari keberadaan warga desa kami yang hilang” Ucapku.

“Desa Kandimaya?” Pria itu seperti memikirkan sesuatu dan segera memanggil seseorang.

Tak lama setelahnya muncul beberapa wajah-wajah seperti orang-orang yang pernah kami kenal.

Ada lima orang menghampiri kami dan sepertinya mereka adalah warga desa Kandimaya.

“Mas... Mas dimintain tolong sama pak kades buat nolongin kami ya?” Ucap salah satu dari mereka.

“I iya mas... kalian gapapa?” Tanyaku.

“Kami gapapa mas.. warga desa ini sempat menolong kami, tapi banyak yang masih menjadi budak Ki Jaruk” Ceritanya.

“Lalu kenapa kalian bisa selamat dan mereka tidak?” Tanya Bimo yang telah selesai memulihkanku.

Kelima warga desa itu mengeluarkan sebuah benda dari kantungnya. Itu adalah sebuah kunir.

“Ma.. maksudnya?”

“Seharusnya kalian juga punya ini, kalau tidak warga desa ini tidak akan bisa menemukan kalian” ucapnya.

Aku merogoh kantongku dan menemukan sebuah kunir di situ begitu juga dengan Bimo.

“Mas Dimas... bukanya ini sebelumnya batu merah delima pemberia Ki Daru Baya” ucap Bimo.

Aku tidak mengerti, tapi warga desa kandimaya yang selamat itu mengangguk.

“Saat kami nekat ingin pergi mencari desa ini.. salah satu anggota wayang Ki daru baya memintaku membawa batu merah delima untuk berjaga-jaga.

Rupanya dengan ini Warga desa tempat dulu Ki Daru Baya melakukan pementasan bisa mencium bau kunir dan menolong kami” Ucap warga desa kandimaya itu.

Sepertinya aku sedikit mengerti. Hutan ini tidak hanya menghubungkan ke satu desa ghaib.

Tapi masih banyak tempat yang tidak kami ketahui yang dihubungkan oleh hutan ini.

“Kalau begitu kita harus kembali sebelum semakin banyak warga desa yang jadi korban” Ucapku pada warga desa yang menolong kami.

“Sudah.. tidak usah repot-repot untuk kembali, tidak lama lagi Ki Jaruk pasti akan menyusul kalian.. mohon maaf kami tidak bisa membantu apa-apa, ada sebuah kekuatan yang membuat kami tidak bisa menyentuhnya dan begitu juga sebaliknya..” Jelas Warga desa ghaib itu.

“Mas Dimas... kita sudah babak belur begini, bagaima cara kita mengalahkan dalang itu?“ Tanya Bimo.
Belum sempat menjawab, sebuah kekuatan hitam besar terlihat memancar dari sela-sela hutan.

Seperti yang kami duga, Itu adalah Ki Jaruk.. sang dalang demit yang menyusul kami dengan semua pasukanya.

“Khkehekeheh... Ojo lungo, kowe kabeh musti dadi bonekaku”
(Jangan pergi.. kalian harus menjadi mainanku) Ucapnya yang segera berjalan ke arah kami dengan sekumpulan demit dan warga desa yang dibawah kendalinya.

“Bimo suruh semuanya mundur... Ingat, kamu harus jaga warga desa jangan sampai ada yang mati!” Perintahku pada Bimo.

“Lalu gimana cara Mas Dimas menghadapi Ki Jaruk dan Demit-demit itu” Tanya Bimo.

“Masih ada ilmu yang diturunkan oleh leluhur kita yang hanya mampu digunakan olehku... ini adalah satu-satunya mantra yang terkuat yang kuketahui saat ini” Jelasku.

Aku berjalan seorang diri meninggalkan Bimo. Ia meminta orang-orang yang menolong kami untuk mundur sebelum akhirnya Bimo menyusulku.

Aku menarik keris Rogosukmo dari sukmaku, meletakanya di dada dan membacakan Mantra yang diturunkan oleh leluhurku.

Jagad lelembut boten nduwe wujud
Kulo nimbali...
Surga loka surga khayangan
Ketuh mulih sampun nampani
Tekan Asa Tekan Sedanten...

Mendadak langit menjadi gelap, hujan turun begitu deras dan muncul sesosok mahkluk di hadapan kami...
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close