Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

GEGER MUSTIKA (Part 11) - Pahlawan

Lanjutan kisah hidup seorang manusia dengan iblis yang bersemayam dalam dirinya.

Titisan Raja Siluman Ular


Pahlawan

Diriku terbangun saat merasakan sesuatu yang hangat menetes di wajahku. Perlahan kubuka mata, hal pertama yang kulihat adalah wajah Mayang Kemuning yang menangis hingga air matanya menetes di wajahku.

"Yudhaaa!"

Mayang histeris melihatku siuman. Dia memelukku erat-erat. Saking eratnya sampai napasku sesak hingga rasanya mau pingsan lagi.

"Kamu nggak apa-apa?" Tanya Mayang khawatir.

Aku hanya mengangguk sembari melirik ke arah lain. Nampak mpu Dharmapala berdiri di samping Thole. Keduanya tersenyum melihatku telah sadar kembali.

"Saya ada dimana?"

"Di rumah nak. Kamu ada di rumah." Jawab mpu Dharmapala.

Thole mengambil air minum lalu memberikannya padaku. Aku meminumnya dibantu Mayang yang dengan sabarnya menyeka air minum yang tumpah dan meleleh di daguku.

"Bagaimana saya bisa pulang?" Tanyaku lagi. Karena seingatku, diriku terkapar di medan pertempuran usai menjelma menjadi ular raksasa.

"Para prajurit yang membawamu kemari tiga hari yang lalu." Jawab mpu Dharmapala.

"Tiga hari? Saya pingsan sampai tiga hari?"

"Iya. Kami sangat khawatir. Apalagi beberapa tabib yang sempat datang tak mampu membuatmu siuman." Sahut mpu Dharmapala lagi.

"Perangnya bagaimana?"

"Perang sudah berakhir nak. Kita menang, kamu jadi pahlawan."

Pahlawan? Ah, sebutan itu terlalu hebat dan berlebihan. Tapi tidak bagi orang-orang yang terdengar ramai di luar sana.

"Ada apa ramai-ramai di luar?" Tanyaku sembari melongok.

"Mereka para prajurit bawahanmu. Setiap hari mereka datang lalu sengaja menunggu di luar. Mereka khawatir dengan keselamatanmu. Mereka bilang, mereka merasa berhutang budi karena kamu sudah menyelamatkan mereka di medan perang." Jawab Mayang.

Ya Tuhan? Sampai begitu?

Meski masih lemas, kupaksakan diri bangun walau Mayang sempat melarang. Aku ingin menemui mereka, meminta agar mereka pulang karena aku baik-baik saja.

Sembari dipapah Thole, diriku melangkah tertatih sampai depan pintu rumah. Seketika para prajurit bersorak sorai.

"Panglima kita sudah siuman! Hidup panglima Yudha!"

Setelah beberapa hari, tubuhku berangsur pulih. Meski belum genap 100 persen, tapi setidaknya semua luka sayatan itu sudah mulai kering. Beberapa orang tabib yang sengaja dikirim istana ternyata punya kemampuan yang patut diacungi jempol.

Sejak hari itu, rumah mpu Dharmapala tak henti kedatangan tamu. Mereka antusias ingin bertemu dan melihat sosok pahlawan mereka.

Bagaimana tidak? Cerita tentang diriku yang menjelma menjadi ular sebesar gunung telah menyebar dan melegenda beserta bumbu tambahannya.

Hingga hadir serombongan prajurit kerajaan yang datang membawa kereta kencana untuk menjemputku. Sang prabu yang ternyata selamat dari aksi pembunuhan itu memintaku untuk datang menghadap.

Dengan ditemani Mayang, mpu Dharmapala dan juga Thole, kami semua berangkat menuju istana. Sepanjang perjalanan, orang-orang berbaris di tepi jalan sambil melambaikan tangan.

Sampai di gerbang istana, makin banyak orang yang berkerumun sembari berteriak-teriak mengelu-elukan namaku. Lalu kami diantar masuk menghadap sang prabu yang telah menunggu di atas singgasana.

"Selamat datang panglima Yudha." Ucap sang prabu sumringah menyambut kedatangan kami.

"Terima kasih baginda. Bagaimana dengan luka baginda?" Jawabku sembari menjura hormat.

"Sudah diobati. Terima kasih atas pertolonganmu. Adipati pengkhianat itu telah mendapatkan hukumannya. Asal kamu tau, kemarin dia telah tewas di tiang gantungan."

Hatiku lega mendengarnya. Terutama melihat sang prabu yang nampak baik-baik saja. Dan adipati sialan itu? Hukuman gantung memang layak sebagai ganjaran atas kejahatannya.

"Panglima Yudha, kami semua sangat berhutang budi padamu. Untuk itu, aku akan memberimu hadiah. Sejak hari ini, aku mengangkatmu jadi adipati menggantikan Pralaya." Sabda sang prabu.

Tentu saja aku terkejut. Ini nggak salah? Perlakuan orang-orang saja kuanggap sudah berlebihan. Apalagi ini? Jadi adipati?

Mayang sama terkejutnya. Mulutnya sampai melongo namun tetap terlihat cantik. Lain halnya dengan mpu Dharmapala dan Thole. Keduanya nampak manggut-manggut tanda setuju.

"Maaf baginda, ini terlalu berlebihan. Saya merasa tak pantas menerimanya." Sahutku coba menolak halus.

"Tidak. Kamu pantas menerimanya. Kamu layak untuk memimpin kadipaten dan mewarisi semua harta milik adipati Pralaya, termasuk 10 orang selirnya." Jawab sang prabu sembari menunjuk ke arah barisan wanita cantik yang berdiri tak jauh darinya.

DHHUAAAR!

Gila! 10 orang selir? Spontan kepalaku menoleh ke arah Mayang Kemuning. Tapi kali ini Mayang tidak melongo, melainkan mengepalkan tangan dengan wajahnya yang merah padam. Tatapan sinisnya ke arah barisan wanita itu membuatku jadi merinding.

"Bagaimana? Setuju? Jangan khawatir. Kamu boleh minta siapa saja untuk membantumu memimpin kadipaten." Desak sang prabu.

"Maafkan saya baginda. Saya benar-benar tak bisa. Tapi kalau baginda tak keberatan, saya punya calon lain yang lebih pantas. Saya yakin beliau akan jadi pemimpin yang baik."

"Oh ya? Siapa?"

"Mpu Dharmapala."

Sang prabu terkejut. Begitu pula mpu Dharmapala dan Thole. Aku balas dengan senyuman dan anggukan. Aku yakin kalau aku tak salah pilih.

"Mpu Dharmapala layak jadi pemimpin. Beliau mantan penasihat yang setia pada kerajaan. Asal baginda tau, mpu Dharmapala bahkan rela dianiaya karena menolak membuat senjata yang akan digunakan adipati Pralaya untuk membunuh baginda." Ucapku coba meyakinkan sang prabu.

Sang prabu kembali kaget. Sudah jelas kalau dia baru tau tentang hal ini. Lama dia menunduk sambil manggut-manggut. Aku tau dia sedang menimbang-nimbang. Tapi aku yakin kalau dia bakal setuju.

"Hmm.. Baiklah. Aku setuju. Tapi aku minta kamu tetap jadi panglima. Kerajaan ini butuh perlindunganmu. Aku yakin dengan adanya dirimu, takkan ada lagi yang berani mengusik kerajaan ini dan seluruh penduduk akan hidup dengan tentram."

Aku mengangguk. Aku tak bisa menolak untuk permintaan yang satu itu. Sang prabu benar. Kerajaan ini memang butuh perlindungan. Lagi pula wajah Mayang kini nampak lebih bersahabat. Sepertinya dia pun tak keberatan.

Dan begitulah. Acara penobatan pun digelar. Penduduk kadipaten bergembira menyambut pemimpin mereka yang baru.

Mereka yakin kalau mpu Dharmapala akan memimpin dengan arif dan bijaksana, jauh berbeda dengan adipati Pralaya yang selama ini memimpin dengan buruk dan semena-mena.

Dan aku? Kini aku adalah panglima kerajaan kebanggaan sang prabu. Thole aku minta untuk jadi prajurit utamaku. Bagaimanapun, dia memang berbakat untuk jadi seorang ksatria.

Sedangkan Mayang? Dia langsung menagih janjiku untuk menikahinya. Aku pun tak kuasa menolak. Mungkin sudah jadi takdir kami untuk jadi pasangan suami istri di dunia kami yang baru ini.

Harinya pun telah ditentukan. Segala persiapan segera dilakukan. Mayang yang memang sudah lama menantikan pernikahan ini, minta dibuatkan pesta yang megah dan meriah.

Aku tak keberatan. Mayang memang layak menerimanya. Lagi pula sejatinya dia adalah seorang putri raja. Dan seorang putri tak boleh menikah dengan cara yang biasa.

Kami berdua tak sabar menantikan hari bersejarah itu. Hari dimana kami akan mengucap janji suci lalu hidup bahagia hingga menua di tempat ini.

Tapi rupanya Tuhan punya rencana lain..

Sore itu, seminggu sebelum hari pernikahan, aku dan Mayang ditemani mpu Dharmapala dan juga Thole sedang berkumpul dan berbincang-bincang di rumah.

Lalu tiba-tiba, tak ada angin tak ada hujan, sebuah kilat menyambar begitu dekat dengan suara menggelegar memekakkan telinga.

DHUAAARRR!

Astagfirullah!

Mayang memekik histeris spontan menutup telinga, mulutku mengucap istighfar saking kagetnya, sementara mpu Dharmapala dan Thole sontak menundukkan kepala.

Lalu dari luar sana, terdengar suara angin kencang yang bergemuruh menerpa pepohonan dan menghantam dinding rumah hingga bergetar.

BRAKK!

Tiba-tiba pintu rumah terbuka lebar terkena sapuan angin yang teramat kencang. Mayang ketakutan hingga merapatkan tubuhnya ke arahku. Sementara aku terkejut saat melihat sesuatu...

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close