Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MONYET KEMBAR ALAS WETAN (Part 3) - Alas Sewu Lelembut

Tepat lima tahun setelah aku berhasil lolos dari teror makhluk penunggu pabrik gula, kini paklek mengajaku untuk menghampiri tempat itu sekali lagi.


JEJAKMISTERI - “Malam ini dia akan muncul lagi, kamu sudah siap?”

Paklek memastikan sekali lagi tentang kesiapanku menghadapi makhluk yang dulu menculik Ani temanku di desa.

“Iyo Paklek, kali ini nggak akan sama seperti dulu!”

Tepat setelah matahari terbenam suasana di tempat ini tidak lagi sama. Seolah seluruh kompleks pabrik gula telah berganti penghuni dan dipenuhi oleh roh-roh penasaran dan makhluk halus yang entah berasal darimana.

Tidak seperti malam yang lain. Saat malam-malam tertentu makhluk yang dikenal sebagai penguasa tempat ini muncul untuk meminta tumbal yang biasa ia terima saat pabrik ini masih beroperasi.

Sayangnya walaupun sudah tidak beroperasi makhluk itu kerap menjebak anak-anak kecil yang tersesat di hutan untuk menjadi tumbalnya. Kemunculanya selalu ditandai dengan suara tangisan roh-roh anak kecil yang berkeliaran di dalam pabrik gula.

Persis dengan yang sedang terdengar saat ini.

“Dia datang, roh-roh bocah itu biar paklek yang nenangin.. kamu fokus sama makhluk itu” Seketika aku menelan ludah. Walaupun sudah bersiap dan melatih diri, wujud makhluk itu tetap membuatku merasa cukup gentar.

Bagaimana tidak, yang aku hadapi adalah makhluk pemakan tumbal yang telah ada sejak hampir ratusan tahun yang lalu. Tubuhnya seperti genderuwo dengan bekas borok hampir di setiap tubuhnya dan ukuranya saat berdiri sudah hampir menyamai tinggi pabrik gula ini.

“I..iya paklek, kalau aku nggak sanggup kita kabur ya!” ucapku.

“Jangan nyerah dulu, saat roh anak-anak korban tumbal itu mulai tenang dia tidak akan sebesar itu lagi” Balas paklek mencoba menyemangatiku.

Aku percaya dengan paklek dan segera berlari ke arah makhluk itu sebelum ia masuk ke pabrik gula. Kami harus bergegas karena kami tahu ada seorang anak lagi yang terjebak disana.

“Kliwon!” teriaku memanggil kera kecil sahabatku yang segera menaiki pundakku.

Sebuah kekuatan aneh muncul dari tangan kecil kliwon dan ia menyalurkanya ke salah satu lenganku hingga sebuah kekuatan mengalir ke tanganku. Dengan kekuatan yang ia pinjamkan aku memukulkanya pada salah satu kaki makhluk raksasa itu hingga ia terduduk.

Namun sepertinya seranganku tidak berarti banyak tapi setidaknya itu bisa mengalihkan perhatianya ke arahku sementara Paklek membacakan doa untuk menenangkan roh anak kecil yang menjadi tumbal.

Aku berlari ke arah hutan menghindari kejaranya dan bersembunyi dari pohon satu ke pohon lain. Sayangnya kekuatan besar makhluk itu mampu menumbangkan beberapa pohon sehingga dengan mudah bisa menemukanku.

Namun aku tidak khawatir, perlahan aku melihat tubuh makhluk itu semakin menyusut persis seperti ucapan paklek. sepertinya paklek telah berhasil menenangkan roh bocah-bocah itu.

Saat ini makhluk itu tidak lebih dari ukuran genderuwo, wewe gombel atau makhluk demit biasa namun wajahnya tetap menyeramkan dia melampiaskan amarahnya dengan suara erangan yang terdengar di seluruh penjuru hutan.

Tepat ketika makhluk itu ingin kembali ke pabrik aku menghadangnya. Tidak perlu kekuatan kliwon kali ini. Paklek mengajarkanku ilmu kontak batin yang membuat setiap sentuhanku dapat dirasakan oleh makhluk halus.

Itu artinya ilmu beladiriku bisa berguna untuk melawan makhluk seperti ini. Dengan segera aku menarik sarung yang kulipat di bahuku, dan melompat menutupi wajahnya. Saat itu juga aku menghujamkan setiap pukulan tepat di dada makhluk itu hingga beberapa kali terpental.

Makhluk itu mencoba melawan dengan cakarnya yang tajam namun aku menahanya dengan tendanganku dan sekali lagi membuatya terjatuh dengan pukulanku.

Aku mengakhiri pertempuran ini dengan membacakan amalan api untuk membakar makhluk yang telah menghabisi banyak nyawa manusia untuk menjadi tumbalnya itu.

“Paklek, bener kata paklek.. makhluk itu nggak ada apa-apanya” Ucapku saat kembali ke pabrik gula dan melihat paklek yang telah keluar dari tempat itu.

“Jangan sombong kamu, ingat kekuatanmu itu hanya titipan..” Jelas paklek.

Aku tertawa sambil menggaruk kepalaku. Namun mataku tertuju pada sebuah anak kecil yang diselamat kan paklek.

“I..itu anaknya paklek”

“Iya, untung kita datang tepat waktu.. habis ini kita cari keluarganya”

Aku mencoba menghampirinya mencoba sedikit menghiburnya.

“sudah aman kok dek.. Namamu siapa? kita cari orang tuamu ya” tanyaku pada seorang bocah yang masih terisak menahan tangisnya.

“Namaku, Tari mas.. Indartari Sasena”


***
*****
Cerita ini adalah kiriman seseorang yang tinggal di sebuah desa di jawa tengah. Narasumber kita kali ini bercerita tentang sebuah hutan terlarang yang ada di desanya. Sebuah hutan yang dilarang dimasuki oleh siapapun, termasuk kepala desanya sendiri.

Sebuah sungai mengalir di pinggir hutan itu. Disitulah warga desa melihat keanehan-keanehan terus terjadi. Tak jarang mereka melihat sosok mengerikan dari dalam hutan itu. Terkadang mereka melihat kuntilanak yang memandanginya sepanjang hari.

Kadang mereka juga mendengar suara sosok makhluk yang mengamuk dari hutan itu. Menurut cerita warga desa yang sudah lama tinggal di sana, dulunya hutan itu dijaga oleh sosok monyet kembar hingga suatu kejadian mengakibatkan monyet itu mati dan makhluk jahat di hutan itu terus mencoba untuk keluar. Kini hutan itu dijaga oleh sebuah pusaka yang ditinggalkan oleh seseorang.

Benda itu membuat roh-roh di hutan itu tidak bisa keluar. Tapi itu seolah sama seperti sebuah bom waktu dimana semua roh yang ada disana yang sebelumnya tenang, kini menjadi beringas karena terkurung selama bertahun-tahun.

Entah pusaka itu bisa menahan mereka sampai kapan. Yang pasti hingga sekarang hutan itu masih menjadi momok mengerikan bagi warga desa sekitarnya. Mereka menyebut hutan itu dengan nama.. Alas Wetan.“

Sebuah cerita yang sangat mengerikan. Aku membayangkan bila menjadi warga desa itu yang harus hidup berdampingan dengan sebuah hutan yang dipenuhi demit-demit jahat yang terbelenggu.

Tinggal berdampingan dengan pabrik gula tua saja sudah cukup membuat kami was-was. Beruntung makhluk halus disana masih pasif dan tidak akan meninggalkan pabrik gula tanpa sebab. Lain dengan hutan itu yang dihuni oleh makhluk yang siap mengamuk kapan saja.

Tapi kisahnya tentang monyet kembar penjaga hutan itu membuatku sedikit tersenyum. Rupanya ada juga monyet lain yang sakti seperti Kliwon dan punya niat baik.

Aku menoleh ke atas langit-langit rumah ini. disanalah Kliwon memilih tempatnya sendiri untuk tidur. Ia selalu tidur lebih cepat dan selalu bangun lebih cepat dariku.

Malah saat aku bangun kadang dia sudah membawa pisang dari kebun Bu Darmi yang memang selalu menyediakan sebagian pisangnya untuk kliwon.

*****

Cahaya matahari mulai menerangi jendela kamarku. Aku segera membasuh mukaku dan mencari keberadaan kliwon yang tidak ada sejak pagi tadi.

“Bu Darmi! Kliwon di sini?” Teriakku saat sampai di kebun pisang Bu Darmi.

“Iya, itu lagi asik sarapan.. sana ikutan” Balasnya.

“Hehe.. Matur nuwun bu! Hari ini senyuman Bu Darmi tambah cantik”

“Dasar Panjul, besok-besok cari gombalan lain.. udah nggak mempan”

Aku segera berlari menghampiri kliwon dan ikut menikmati beberapa buah pisang yang sudah dikumpulkan olehnya.
Seperti biasa, setelah mengisi perut aku dan kliwon selalu balapan menuju sungai dan mandi seadanya disana sebelum kembali ke rumah.

Namun saat sedang asik mandi aku melihat sebuah mobil yang berjalan menuju ke arah rumah paklek.

Sambil menikmati udara pagi aku menikmati perjalanan menuju rumah dan memang disana paklek dan bulek sedang menerima tamu. Sepertinya mereka adalah keluarga yang menjemput Tari.

Aku mengintip dari jendela dan melihat mereka membawakan berbagai macam oleh-oleh dan makanan kota yang jarang sekali kutemukan.

“Kliwon.. kayaknya habis ini kita makan enak” Ucapku.

Kliwon tertawa nyengir dengan memamerkan giginya seolah setuju denganku.

“Itu yang diplastikin namanya chiki... enak banget itu! tar itu jatahku ya” Ucapku pada kliwon namun sepertinya iya tidak setuju dan segera menerobos ke dalam rumah ke arah makanan itu.

“Heh Kliwon! Kuwi jatahku!” Teriaku yang menyusulnya dan kalah telak setelah melihat kliwon memeluk bungkusan makanan itu dan memanjat ke atas lemari.

“Ya ampun panjul! Kliwon! Yang sopan donk!” Ucap Bude dengan nada yang cukup marah.

“Hehe.. maaf ya bulek” Ucapku yang segera menunduk malu.

“Mas.. itu Mas Panjul, yang nolongin Tari Juga!” Ucap Tari yang mencoba mengenalkanku pada seseorang yang mungkin adalah kakaknya.

“Wah terima kasih ya Panjul.. Eh? Bener namanya Panjul?” Tanyanya yang merasa heran dengan namaku.

“Panjul nama kerenya aja.. nama asliku Cahyo mas” Balasku.

Belum sempat berbicara lebih panjang tiba-tiba Kliwon berteriak dan bertingkah sedikit aneh.

Ia melompat ke bawah dan bersiap menerjang orang itu.

“Kliwon! Jangan!“ Ucapku yang terlambat menahanya hingga kliwon sudah ada di atas kepala orang itu.

Entah apa yang terjadi, kliwon melompat menari kegirangan seolah bertemu dengan seseorang yang dikenalnya.

Paklek merasa sedikit heran dan memperhatikan kejadian itu dengan seksama.

“Monyet ini... jangan-jangan kamu?”

Kliwon duduk dengan tenang di pangkuanya sambil menatap orang itu seolah mengenang sesuatu.

“Iya! Ini aku! Linggar... Linggar Sasena!” Ucap orang itu.

Kliwon kembali melompat kegirangan dan aku hanya menatapnya dengan bingung. Tidak pernah Kliwon bertingkah segirang ini selain denganku.

“Mas Linggar kenal dengan Kliwon?” Tanya Paklek.

“Kalau ini memang dia.. tidak, ini pasti dia..” ucapnya Mas Lingar dengan matanya yang berkaca-kaca.

“Dia sudah dua kali menyelamatkan saya, saya kira dia sudah mati saat terbawa arus sungai”

Paklek menoleh kearahku yang masih terpaku melihat Kliwon begitu akrab dengan mas linggar.

“Benar mas linggar, panjul nemuin kliwon saat terbawa arus sungai.. ternyata kita terikat oleh takdir” Ucap Paklek.

“Mas.. apa yang terjadi sampai Kliwon bisa terluka separah itu”

Mendadak aku teringat saat-saat aku bertemu dengan kliwon yang sudah sekarat.

Mas Linggar menghela nafas seolah bersiap menceritakan sesuatu. Sebuah cerita saat dia menyelesaikan KKNnya di sebuah desa hingga terjebak oleh tipu daya dukun yang menyamar sebagai warga desa.

Disitulah ia ditolong oleh dua ekor kera yang menjaga hutan itu sebelum akhirnya temanya meninggalkan pusakanya untuk menghalangi demit di hutan itu agar tidak keluar. Aku merasa pernah mendengar cerita ini.

Benar, ini persis seperti yang diceritakan Mas Ardian waktu itu.

“Mas Linggar, apa yang dimaksud itu.. Alas Wetan?” Tanyaku.

Mas linggar terlihat kaget dengan pertanyaanku.

“I—iya benar,” Ucap mas Linggar.

“Kamu tau hutan itu dari mana Jul?” Tanya paklek yang penasaran.

Aku mulai tersenyum.

“Jadi monyet kembar yang nyelamatin warga desa itu salah satunya bener kliwon?! Jadi Kliwon Monyet jagoan donk!” Ucapku senang mengetahui kenyataan itu.

Kliwonpun segera melompat ke bahuku mengangkat lenganya seolah memamerkan kekuatanya.

Aku tertawa tak henti-hentinya sementara semua orang di ruangan hanya mengelengkan kepalanya.

“Cahyo tau cerita itu dari mas Ardian, cerita tentang hutan terlarang bernama alas wetan. Katanya ada pusaka yang melindungi hutan itu sampai sekarang”

Paklek mengangguk, sepertinya kebingunganya mulai terjawab.

“Iya, itu adalah pusaka sahabatku Linus. Tapi bukan hanya itu saja, saudara kembarnya Kliwon juga masih disana menjaga hutan itu sedirian. Seandainya saja ada yang bisa menolongnya..” Ucap Mas Linggar.

Kliwon punya saudara kembar?

Aku berpikir dalam hati, entah mengapa semua kenyataan ini membuatku semangat padahal jelas saja sesuatu yang terjadi di hutan itu adalah hal yang mengerikan.

“Paklek, gimana kalau kita ke Alas Wetan? Kita tolongin warga disana biar bisa hidup tenang..” Pintaku pada Paklek.

“Heh Panjul, kalo ngomong mbok yo dipikir dulu.. yang dihadapi disana itu demit satu hutan!”

Tidak ada yang salah dari kata-kata paklek, tapi aku mempunyai lebih dari satu alasan untuk kesana. Selain membantu warga desa, aku merasa harus menolong saudara kembar Kliwon.

Kali ini kliwon menatapku dengan wajah yang muram.

“Paklek, kira-kira kalau bukan kita? Siapa yang bisa nyelesain masalah ini? Kalau kata Mas Ardian waktu itu.. Hutan itu seperti bom waktu. Kita tidak tahu sampai kapan pusaka itu bisa melindungi hutan itu”

“Sudah dek Cahyo, tidak usah memaksakan diri... bisa melihat Kliwon selamat saja saya senangnya minta ampun. Pasti nanti akan ada jalan untuk permasalahan ini.”

Sebenarnya aku melihat wajah paklek juga cukup resah.

Ia tidak akan pernah tenang saat mendengar seseorang atau malah satu desa menghadapi masalah yang berhubungan dengan makhluk ghaib.

“Mas Linggar, apa mas Linggar bisa mengantar kami kesana?” Tanya Paklek tiba-tiba.

“B-bisa Paklek, tapi Paklek yakin?” Balas Mas Linggar.

“Kita lihat dulu keadaanya, seandainya diatas batas kemampuanku sebaiknya kita mencari bantuan lagi” Kami semua mengerti, namun tetap saja terlihat wajah cemas di wajah Bulek.

“Tenang aja bulek, nanti Cahyo yang jagain Paklek” Ucapku berusaha menghiburnya.

“Halah gaya kamu.. Bulek cuma pesan kalian jangan memaksakan diri. Masalah yang kalian hadapi bukan hal remeh seperti sebelum-sebelumnya.”

Aku setuju dengan ucapan Bulek. Tepat setelah menerima restu dari bulek kami menyusun rencana untuk ke sebuah desa yang bernama Desa Ranggilawu yang tepat berbatasan dengan Alas Wetan.

***

“Linggar? Kamu Linggar kan?” Seorang pria paruh baya datang menyambut kami yang baru saja sampai di desa Ranggilawu menggunakan mobil milik mas Linggar.

“Iya Pak Damar.. sudah lama sekali ya” Balas Mas Linggar.

Sebuah reuni singkat terjadi di antara mereka sebelum akhirnya Mas Linggar mengenalkan kami dengan Pak Damar yang merupakan seorang kepala desa di tempat ini.

“Pak Damar ingat monyet kecil ini?” Tanya Mas Linggar.

Pak Damar memperhatikan kliwon yang berada di bahuku yang sedari tadi bersikap berbeda dari biasanya. Ia seolah berusaha mengingat sesuatu.

“Tidak, Tidak mungkin.. Dia salah satu monyet kembar yang menolong kita dulu?” Ucap pak damar dengan senyuman yang tak henti henti menghiasi wajahnya.

“Iya pak, Cahyo yang nolongin monyet ini saat terbawa arus.. dia dikasih nama Kliwon” Jelas Mas Linggar.

“Kliwon? Nama yang cocok untuk seekor kera pelindung hutan..” Balas Pak Damar.

Kami melanjutkan perbincangan kami dengan kisah saat Mas linggar melakukan KKN di desa ini.

Ia bercerita tentang seorang dukun bernama pak dirman yang menjadi pengikut Demit penguasa hutan yang ingin menjadikan Mas linggar, teman-temanya, dan warga desa sebagai tumbal.

Dukun itu menghasut warga desa untuk menyerang Kliwon dan saudara kembarnya yang bermaksud melindungi mereka dari demit itu. Sayangnya saat itu Kliwon menahan diri untuk tidak membunuh manusia sehingga kalah oleh dukun bernama pak dirman itu.

Linus sahabat Mas Linggar ternyata memiliki pusaka yang mampu melindungi seluruh warga desa hingga bisa melarikan diri dengan bantuan Kliwon. Namun pengorbanan harus terjadi..

Kliwon sekarat dan hampir mati dan akhirnya terseret arus sungai. Pusaka Linus harus ditinggal di hutan untuk mencegah demit itu keluar sementara saudara kembar Kliwon menahan demit itu dan ikut terkurung di hutan.

“Mas Linggar, lalu sahabat mas yang memiliki pusaka itu sekarang ada dimana?” Tanya Paklek.

“Dia akan datang nanti, saya sudah menghubunginya” Jawab Mas Linggar dengan cepat.

Belum sempat melanjutkan pembicaraan tiba-tiba terdengar suara teriakan dari luar rumah pak damar.

“Tolong!”
Kami segera keluar dan melihat bahwa Itu adalah suara wanita dengan tubuh yang penuh bekas luka berusaha melarikan diri dari sesuatu.
Kowe wis teko?

“i..Itu suara apa paklek?” Tanyaku yang mendengar suara tanpa wujud itu.

“Entah paklek belum tahu, yang penting kita tolong dulu wanita itu..” Balas Paklek.

***

"Waktumu ora suwe.. kekuatanku wis melemah"

***

“Pusaka Linus! Itu suara Pusaka Linus!” Teriak mas Linggar Namun paklek sudah berlari ke luar dan mencari keberadaan makhluk yang menyerang warga desa itu.

Paklek mencari ke arah hutan dan akhirnya menemukan sekumpulan makhluk kerdil yang penuh dengan bisul di tubuhnya. Mereka memiliki kuku-kuku yang tajam dan menyerang secara bersama-sama.

Sebelum seranganya menyentuh paklek, sebuah amalan pedang dibacakan untuk mengabisi setiap makhluk yang mendekati paklek.

Melihat kemampuan paklek makhluk-makhluk itu segera berlari kembali ke arah hutan yang dibatasi oleh sebuah sungai.

Kami mengejar mereka dan sampai di mulut hutan dan terhenti tepat dimana sebuah pelindung menyelimuti tempat ini.

Belum sempat berdiri cukup lama, aku dan paklek segera menyadari sosok-sosok yang memandang kami dari dalam hutan.

Gila! Tak jauh dari tempat kami berdiri sudah berkerumun puluhan pocong dengan kain kafan berwarna hitam seolah darah pekat sudah memenuhi tubuhnya.

Belum lagi sosok makhluk wanita kurus berambut pancang dan acak-acakan menggantung terbalik di atas pohon dengan lebar mulutnya yang hampir sepanjang diameter wajahnya.
Dan di balik kengerian itu masih ada kekuatan besar yang menunggu kebebasanya dari kelamnya sisi hutan itu.

“I..itu pusaka Linus!” Ucap Mas Linggar sambil menunjuk ke arah sebuah benda yang tertusuk di tanah tepat di mulut hutan itu. Sebuah batu berbentuk pisau yang sama sekali tidak terlihat kemewahanya sedikitpun.

Namun dengan jelas aku dan paklek merasakan seluruh perlindungan di hutan ini berasal dari benda ini.

“Kekuatanya sudah melemah, pantas saja makhluk kerdil itu bisa menemukan cara untuk keluar dari hutan itu” Ucap Paklek.

“Iya Paklek, sama satu lagi.. pusaka ini punya kesadaranya sendiri” Balas Mas Linggar.

Aku memperhatikan kliwon yang sibuk bolak balik di pinggir hutan sambil berteriak dengan rintihan yang belum pernah kudengar sebelumnya.

Sepertinya ia berusaha memanggil saudara kembarnya berada di hutan itu. Namun sama sekali tidak ada balasan dari sana. Bahkan tidak ada satupun kera yang membalas teriakanya.

Melihat hal itu Mas Linggar seperti merasa menyesal.

Dari ceritanya dialah yang menusukan pusaka itu sebelum saudara Kliwon sempat keluar karena melindunginya dari serangan demit penguasa hutan itu.

Aku.. aku tidak bisa melihat kliwon bertingkah seperti ini. Tapi aku juga tidak tahu apa yang harus kuperbuat.

Seketika aku merasa seperti melihat sebuah kilatan muncul dari sisi hutan namun sama sekali tidak ada suara gemuruh yang menyusulnya.

“Sepertinya terjadi sesuatu dengan pelindung ini” Ucap Paklek yang merasakan hal yang sama.

Benar saja tepat setelah kilatan itu, tiba-tiba dari sisi lain hutan ini muncul sosok hitam setinggi pohon dengan kaki dan tangan yang sangat panjang.

“De..demit opo kuwi!” Ucap Pak Damar yang terlihat ketakutan melihat sosok itu.

“Bagaimana makhluk itu bisa keluar” Tanya Linggar.

Paklek membacakan sebuah mantra yang menimbulkan api besar di tubuh demit itu. Sebuah mantra pembakar yang hanya membakar makhluk yang berasal dari alam lain.

Seketika makhluk itu mengurunkan niatnya dan kembali melarikan diri ke dalam hutan.

“Kilatan tadi menandakan mulai munculnya celah dari kekuatan pusaka ini, ini tidak akan lama lagi” Ucap Paklek Khawatir.

“Ta... tapi sampai kapan Paklek?” Tanya Pak Damar.

Paklek hanya menggeleng dan mencoba menyampaikan apa yang terbaik untuk warga desa.

“Pak Damar sebaiknya besok kita bersiap mengevakuasi warga desa, kita tidak akan tahu bencana apa yang akan datang” Perintah paklek.

“Tidak akan sempat”

Tiba-tiba muncul sebuah suara dari arah belakang kami yang berasal dari seorang pria yang sepertinya seumuran dengan mas linggar.

“Linus!” Ucap Mas Linggar. Rupanya dia adalah Linus, sahabat Mas Linggar sekaligus pemilik pusaka ini yang sebenarnya.

“Pusaka ini hanya bertahan sampai malam ini.. jika menunggu besok semua akan terlambat” Ucapnya.

Paklek terlihat panik.

“Lantas apa yang harus kami perbuat Mas Linus?” Tanya Paklek.

“Aku bisa sedikit memulihkan kekuatan pusaka ini dengan beberapa syarat yang kubawa, namun selama aku melakukan itu makhluk di hutan ini akan dengan bebas keluar masuk.. itu akan sangat berbahaya” Jelasnya.

Tidak.. itu terlalu beresiko. Sepertinya demit-demit di hutan ini sudah bersiap untuk mengamuk tepat saat pelindung ini hilang.

“Tidak ada pilihan lain..“ Ucap paklek.

“Aku akan berusaha menahan demit-demit yang keluar dari hutan ini dengan ilmuku! Lakukan secepatnya!”

Sontak aku menoleh pada paklek, ini adalah pertaruhan besar. Tapi di satu sisi kami tidak menemukan jalan lain. Aku ingin meminta bantuan kliwon untuk membantuku melindungi hutan ini namun ia masih tak henti-hentinya mengelilingi pinggiran hutan dengan teriakan lirihnya.

Paklek melakukan sebuah mantra pemanggil dengan membacakan doa dan melakukan beberapa gerakan seperti mengumpulkan sebuah energi. Samar-samar terbentuk sebuah api putih yang membesar dengan perlahan melayang membara di bawah kendali paklek.

“Geni baraloka? Apa sedarurat itu sampe harus menggunakan ilmu itu Paklek?” Tanyaku heran.

Paklek mengangguk.

“Api ini setidaknya bisa menahan niat jahat mereka dan menenangkan roh penasaran yang tengah mengamuk”

Tepat setelah api itu cukup membesar Mas Linus memberi isyarat dan kamipun mundur. Hanya paklek yang berdiri di belakang linus sementara linus berlutut melakukan ritual untuk mencabut pusaka itu.

“Jangan lengah”

Tiba-tiba suara linus berubah menjadi berat tepat saat ia menyentuh pusaka itu.

“Kekuatan mereka sudah berlipat-lipat semenjak aku mengurung mereka”

Jadi.. inilah suara dari pusaka yang memiliki kesadaran itu? Gila ternyata masih banyak misteri di alam ini yang tidak kumengerti. Cahaya kilatan seperti tadi berulang berkali-kali tepat saat Linus membacakan doa dan mencabut pusaka miliknya.

Sontak hujan turun dengan deras bersahutan dengan sambaran petir seolah menandakan akan datangnya sebuah bencana besar. Api paklek tidak padam oleh hujan ini, sebaliknya ia melebarkan apinya dan menunggu kedatangan demit-demit yang siap menerjang keluar hutan.

Angin bertiup kencang, petir saling menyambar dan hujan turun tanpa belas kasihan. Namun tidak ada satupun makhluk yang keluar dari hutan itu. Kami heran, entah ini hal baik atau hal buruk. Linus tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.

Ia mengambil perlengkapan dari tasnya mengeluarkan beberapa bunga dengan berbagai warna. Sebuah kendi tanah liat yang berisi air. dan segera mencari tempat teduh untuk menyalakan kemenyan yang ia bawa.

Sebuah ritual layaknya seorang sesepuh yang mencuci pusakanya dilakukan oleh linus. Ia menuangkan perlahan air dari kendi itu. Jelas aku tahu itu bukan air biasa. Ini tidak akan cepat, pikirku.

Sebelum memutuskan bagaimana keadaan saat ini, tiba-tiba muncul sosok bayangan hitam besar setinggi pohon dengan tubuhnya yang besar berjalan ke arah kami. Aku tidak melihatnya dengan jelas. Namun matanya terlihat menyala dari tengah kegelapan hutan.

Sebelum aku ia menampakan wujudnya. Makhluk itu berhenti dan mengeluarkan sebuah benda menyerupai bambu. Dan sialnya ia punya maksud brengsek dibalik tingkahnya itu. Kepala seekor monyet, yang hampir persis mirip dengan kliwon tertusuk tepat di ujung bambu yang runcing itu.

Darahnya sudah tidak menetes menandakan kepala itu sudah menancap di sana sejak lama. Aku menoleh pada kliwon dan memang hal yang kutakutkan terjadi. Mata kliwon dipenuhi dengan amarah ia menggeram dengan taring yang mencuat dari mulutnya dan kekuatan besar muncul di sekitarnya.

“Kliwon Jangan!” Ucapku.

Terlambat, kliwon yang terbakar emosi segera melesat masuk ke dalam hutan mengejar sosok itu masuk ke kedalaman hutan. Aku yang khawatir dengan kliwon spontan ikut berlari menuju kegelapan hutan itu.

“Panjul! Berhenti!” Teriak Paklek namun rasa khawatirku pada kliwon mengalahkan semuanya.

“Susul mereka! Saat pusakaku siap aku dan Linggar akan menyusul kalian!” Teriak Mas Linus yang samar-samar terdengar dari jauh.

Sebuah cahaya putih besar muncul dari arah belakangku. Sepertinya paklek meninggalkan geni baralokanya dan menyusulku ke dalam hutan ini.
Sayangnya aku terhenti di sebuat tempat di tengah hutan.

Sebuah tempat dengan ladang rumput mati yang luas dengan pohon-pohon yang terlihat hitam mengelilinginya.
Disini.. ya, disini. Semua makhluk yang pernah diceritakan oleh Mas Linggar dan warga desa berkumpul menyaksikanku berdiri di tengah-tengah mereka. Pasukan pocong.

Makhluk kurus yang merayap seperti mayat hidup, wanita penuh darah yang bergantung terbalik di atas pohon. Semua memandangku dengan penuh amarah seolah ingin melampiaskan dendamnya.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close