Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MONYET KEMBAR ALAS WETAN (Part 2) - Teror Penunggu Pabrik Gula

Sebuah bangunan besar terletak di balik hutan desa tempat tinggal Cahyo dan Paklek saat ini. Ternyata itu adalah sebuah Pabrik Gula yang sudah lama terlantar dan terlarang dimasuki oleh warga desa.


JEJAKMISTERI - "Jangan keluar dari desa ini tanpa seijin Paklek!"

Kata-kata itu selalu terucap setiap Paklek meninggalkanku di desa. Sebenarnya tidak masalah, toh warga desa ini juga sudah mulai akrab denganku, apalagi masakan Bulek juga membuatku betah untuk ada di rumah.

“Heh Kliwon mudun! Nggoleki opo to?” (Heh kliwon.. turun! Nyariin apa to?) ucapku yang masih selalu heran dengan tingkah laku kliwon yang berbeda dengan monyet pada umumnya.

Seringkali ia menaiki atap rumah dan terus menatap ke arah barat. Entah insting apa yang membuatnya selalu melihat ke arah sana.

Untungnya walaupun seperti itu Kliwon selalu menurut apabila mendengar perintah dariku.

“Cahyo.. Paklek lungo meneh to?” (Cahyo.. Paklek pergi lagi ya?) Ucap Mas Gimin yang kebetulan berjalan melewatiku.

“Iyo mas.. enek tugas negara, Ngeterke pejabat negara ke pasar malem” (Iya mas.. ada tugas negara, nganterin pejabat negara ke pasar malam) Jawabku.

“Heleh.. sing nggenah kowe njul,” balas Mas Gimin yang segera pergi setelah mengusap-usap kepalaku.

Aku hanya tertawa kecil melihat reaksi Mas Gimin atas jawaban isengku.

Setelah Kliwon turun aku mengajaknya ke kebun pisang di belakang hutan untuk mencari makan sekaligus mengisi waktu.

Seperti biasa setelah memasuki kebun pisang, kliwon melompat dari satu pohon ke pohon lainya tanpa lelah.

Awalnya aku kesulitan mengikutinya namun kali ini aku sudah mulai terbiasa, kemanapun dia pergi aku sudah siap untuk mengikutinya.

Kami mengumpulkan beberapa pisang yang kami dapat dan memakanya di salah satu dahan pohon yang besar di hutan itu.

“Panjul.. Njupuk gedang meneh?” (Panjul, ngambil pisang lagi?) Ucap Bu Darmi pemilik kebun pisang yang tiba-tiba datang untuk membersihkan kebun.

“Eh... nggih bu, Njaluk setitik yo.. mengke Panjul bantu ngeresikke kebon” (Eh.. iya bu, minta dikit ya.. nanti panjul bantu bersihin kebunya) Ucapku yang merasa malu pada Bu Darmi karena ketahuan mengambil pisang di kebunya.

“Iyo.. Ora popo, sing penting dipilihi ojo gedang sing arep di dol” (Iya Ga papa, yang penting dipilihin jangan pisang yang untuk dijual) Balas Bu Darmi.

Bu Darmi memang sangat baik padaku, namun tetap saja aku harus menjaga etika. Jangan sampai ia jatuh miskin karena pendapatanya dari berjualan pisang jadi bangkrut gara-gara aku dan Kliwon.

Setelah kenyang dengan pisang dari kebun Bu Darmi, aku dan kliwon melanjutkan janjiku membersihkan kebun itu.

Kliwon cukup mahir mengumpulkan daun-daun pisang yang sudah kering dan jatuh dari pohonya lalu mengumpulkan ke satu tempat untuk di bakar.

“Wis Cahyo.. wis resik, ndang muliho.. Iki digowo nggo ning omah” (Sudah Cahyo, sudah bersih.. tinggal pulang aja.. ini dibawa buat di rumah) Ucap Bu Darmi sambil membawakan kami sesisir pisang lagi.

“Wah... malah dikei meneh, matur suwun yo Buk!” (Wah malah dikasi lagi, terima kasih ya bu) Ucapku yang segera mencium tanganya dan pamit ke Bu Darmi.

Tak disangka Kliwon juga mengikuti tingkahku, ia mengambil tangan Bu Darmi dan mencium tanganya seperti yang kulakukan.

Sontak terlihat raut muka gemas di wajah Bu Darmi.

***

“Bulek! Aku nggowo oleh-oleh!” (Aku bawa oleh-oleh) Ucapku dengan bangga saat memasuki rumah yang sudah tercium bau masakan.

“Dikasi Bu Darmi lagi, sudah bilang terima kasih belum?” Ucap Bule yang menerima sesisir pisang yang ku bawa.

“Sudah donk... Masak sayur lodeh ya Bulek?” Tanyaku yang mendadak menjadi lapar kembali setiap mencium aroma masakan Bulek.

“Iya.. sana mandi dulu, nanti selesai mandi masakanya sudah siap” Perintah Bulek.

“Siap Bu Komandan” Ucapku yang segera menurut sambil melakukan pose hormat layaknya seorang prajurit dan Bulek hanya menggeleng-geleng saja melihat tingkahku.

***

Baru saja selesai mandi, tiba-tiba terdengar suara pintu rumah diketok oleh seseorang.

“Permisi...” Ucap seseorang memanggil dari luar.

Bulek yang mendengar ucapan itu segera keluar membukakan pintu.

“Paklek belum pulang to bu?“ Tanya seorang bapak warga desa yang sepertinya ingin menyampaikan sesuatu.

“Itu lho bu.. di rumah timur, muncul pocong lagi... anak-anak pada ketakutan”

Bulek menanyakan dengan detail mengenai kejadian itu namun Bapak itu juga hanya mendengar dari warga lainya. Terdengar ucapan bahwa Bulek akan menyampaikan kejadian ini ke Paklek begitu ia pulang.

Bapak itu menyetujuinya, namun sebelum ia pulang ia sempat menyebutkan sebuah kalimat yang membuatku penasaran.

“Bulek... Kata beberapa warga, pocong itu makhluk dari bangunan di belakang hutan itu...”

Bangunan di belakang hutan? Ada bangunan apa disana?

Setelah Bulek menutup pintu aku segera menanyakan rasa penasaranku pada Bulek.

“Bulek.. di belakang hutan memang ada bangunan apa?”

Bulek hanya mengusap kepalaku dan menjawab sambil berjalan.

“Nanti kamu juga tau, jangan ke sana ya... Suatu saat pasti Paklek ngajak kamu kesana”

Aku mengangguk, jawaban Bulek setidaknya bisa sedikit menahan rasa penasaranku walaupun sebenarnya aku tetap penasaran, bangunan apa yang dimaksud.

Mumpung masakan Bulek masih hangat, aku segera mengambilkan piring dan nasi untuk Bulek dan mengambil juga nasi setinggi gunung di piringku.

“Ya ampun cahyo.. kayak seminggu ga makan aja” Ucap Bulek yang terheran dengan tingkahku.

“Gapapa Bulek, biar Cahyo kenyang cepet besar biar tambah kuat” Jawabku yang segera memilih lauk yang sudah tersusun rapi di meja makan.

“Kasihan paklek ga kebagian Sayur lodeh seenak ini” Ocehku dengan mulut yang masih dipenuhi makanan.

Bulek hanya tertawa saja melihat tingkah lakuku sementara Kliwon sibuk sendiri dengan pisang yang dibawakan Bu Darmi tadi.

“Bulek.. kalau cahyo coba nanganin pocong yang muncul di rumah timur boleh ga?” Tanyaku sambil melanjutkan makan.

“Yakin kamu.. gak kabur kaya kemaren lagi?” Tanya Bulek yang merasa ragu.

Aku diam sejenak sambil melanjutkan makan. Memang benar, bisa jadi nanti aku kabur lagi saat melihat sosok menyeramkan pocong itu. tapi bila tidak nekat aku tidak aka bisa berkembang.

“Cahyo coba Bulek.. kalau emang ga berani ya pulang lagi” Jawabku santai sambil menyelesaikan makanku.

Segera setelah membereskan meja makan dan mencuci piring aku segera pergi ke pendopo belakang dan mencari buku yang digunakan paklek untuk mengajarkanku ilmu batin.

Aku mencoba mengulik-ngulik kembali mengenai ilmu untuk menenangkan makhluk halus terutama yang akan coba kuhadapi nanti.. Pocong.

“Bulek.. Cahyo pamit!” Ucapku sambil berlari keluar namun Bulek malah menyusulku dan memberikanku sesuatu.

“Tunggu dulu.. ini, kalau kamu gagal nyalain ini terus pulang ya...”

Bulek memberikanku sebuah korek api tua dengan ukiran kuno. Aku tau benda ini, ini adalah benda yang digunakan paklek saat menolongku dulu. Dengan segera aku mengangguk dan meninggalkan rumah.

Rumah Timur adalah rumah yang terletak beberapa kebun dari rumah Bulek, tidak jauh dan aku juga sudah sering melewatinya makanya aku berani kesana.

Rumah ini sudah ditinggal cukup lama oleh pemiliknya dan belum ada yang menceritakan kemana perginya mereka.

Setelah malam, warga desa biasanya sudah masuk ke rumah. Namun kali ini aku beruntung, masih ada Bu Darmi dan beberapa warga yang masih beraktifitas di luar rumah setidaknya sepanjang jalan yang gelap ini aku tidak terlalu takut.

Sayangnya setelah mencapai rumah timur yang dikelilingi kebun, penerangan sudah benar-benar hampir tidak ada. Aku berjalan hanya berbekal penerangn dari cahaya bulan dan akhirnya sampai tepat di depan rumah itu.

Rumah ini terbuat dari kayu namun tidak terlalu tua. Saat sampai pekarangan rumah ini, kliwon terlihat sedikit gelisah dan akupun mulai berhati-hati.

Aku mengintip ke arah jendela rumah yang sedikit terbuka untuk mencari petunjuk, namun hanya ada kegelapan yang ada di dalam ruangan itu.

Saat hari semakin larut aku sudah merasakan hawa keberadaan yang tidak biasa. Suara burung gagak yang jarang terdengar kini berkali-kali memecahkan heningnya malam.

Seolah merasakan sesuatu, Kliwon tiba-tiba melompat masuk ke dalam rumah tanpa seijinku dan menunggu di sebuah ruangan di rumah itu.

Aku yang bingung segera bersiap pergi dan menghampiri kliwon namun tiba-tiba hawa dingin yang sejak dari tadi menggangguku membuatku tidak mampu menoleh.

Mungkinkah kliwon melihat sesuatu di belakangku sehingga dia menjauh?

Aku memaksakan kepalaku menoleh ke belakang, walaupun sebenarnya mungkin aku sudah tau apa yang akan muncul di belakangku. Sesosok Jasad manusia yang terbungkus kain kafan dengan wajah pucat yang terus menatap ke arahku.

Seketika aku terjatuh tak mampu menahan rasa takutku. Namun aku sudah membulatkan tekad untuk menenangan makhluk ini.

Aku membacakan doa-doa yang sebelumnya pernah diajarkan Paklek untuk menenangkan makhluk itu namun makhluk itu tidak bergeming.

Bukan... bukan karena doa itu tidak bekerja, tapi sepertinya makhluk itu memiliki maksud lain. Ia saling berpadangan dengan kliwon yang menatap dari dalam rumah seolah terjadi komunikasi diantara mereka.

Tak lama setelahnya Pocong itu menghilang.

Seolah mengerti akan sesuatu, kliwon melompat ke bahuku dan melompat lagi meninggalkanku ke hutan sebelah barat.

Aku mencoba mengejarnya namun ia terlalu cepat, dan setelah cukup lama aku baru sadar, arah kliwon berlari itu adalah arah bangunan di belakang hutan..

Aku merasakan dilema harus mengejar kliwon atau melapor pada Bulek sampai suatu ketika suara ramai mulai terdengar di sekitar desa.

“Ani Mas... Ani belum pulang, biasa sebelum maghrib ia sudah pulang” Terdengar suara Bu Darmi dari jauh.

“Yang benar bu? Hati-hati kemarin juga ada anak kampung sebelah yang hilang sampai sekarang belum kembali” Ucap salah seorang dari warga desa.

Bu Darmi terlihat was-was, ia meminta bantuan warga untuk membantu mencari Ani anak semata wayangnya yang umurnya tidak jauh denganku.

Saat aku memutuskan untuk pulang terlebih dahulu aku berpikir apa mungkin Ani dan anak yang hilang dari desa sebelah itu berada di bangunan belakang hutan tempat dimana arah kliwon berlari. Mungkin aku bisa menanyakan pada Bulek.

Tapi kalau aku pulang sekarang, mungkin Bulek tidak akan mengijinkanku untuk menyusul Kliwon. Kasihan dengan Bu Darmi bila Ani benar-benar tersesat di bangunan itu.

Aku terhenti sejenak tepat di depan rumah Bulek. Rasa khawatirku mulai mengalahkan rasa takutku dan aku memutuskan berlari kembali ke arah kliwon pergi. Bangunan di barat hutan desa.

Hanya dengan sandal jepit dan sarung yang menghangatkan tubuhku aku berlari menerjang pohon-pohon di perbatasan desa. Aku sedikit mengenal hutan ini, namun aku belum pernah tau apa yang ada di baliknya sampai akhirnya aku menyebrangi sebuah sungai.

Samar-samar terlihat bangunan besar yang sudah terbengkalai di luar hutan. Bangunan besar dengan cerobong asap yang sangat besar dan beberapa bangunan pendamping dengan arsitektur belanda.
Bangunan ini dulunya adalah sebuah pabrik...

Aku memperhatikan sekitar bangunan, bukan hutan lagi yang berada di sisi lain dari pabrik itu melainkan rumah-rumah belanda yang sudah pasti tidak ditempati lagi.
Jadi.. ini adalah tempat yang dilarang dimasuki oleh warga desaku.

Sebenarnya aku cukup takut. Seorang anak kecil sendirian di ujung hutan berhadapan dengan bangunan pabrik tua besar terbengkalai. Lumut dan sulur besar dari pepohonan disekitarnya sudah hampir melahap bangunan tersebut.
“Kliwon!” teriaku mencoba mencari keberadaan temanku itu.

Aku berjalan selangkah demi selangkah. Halaman lapang pabrik ini terasa cukup terang dengan sinar bulan purnama yang menyinarinya. Beberapa pohon pisang liar terlihat tumbuh subur di dekat pabrik ini.

Dan aku tahu di sekitar tempat itu sudah ada sesosok makhluk yang mengintip dari sela-sela daun di atas pohon pisang. Pintu pabrik itu terbuat dari besi dan berukuran sangat besar. Salah satu pintunya terbuka setengah membuat siapapun bisa keluar masuk seenaknya.

Aku mengintip sedikit tanpa maksud untuk memasuki bangunan itu. Gelap... tidak ada penerangan sama sekali disana yang membuatku merasakan tidak ada gunanya untuk masuk kesana tanpa membawa penerangan apapun.

Awalnya aku memutuskan untuk pulang, namun tiba-tiba terdengar suara dari dalam pabrik tersebut.

“T... tolong” Suara anak kecil terdengar lirih dari dalam bangunan itu. aku tahu dengan jelas itu adalah suara Ani.

“Ani... kamu Ani kan?” Aku berteriak sambil memasukan kepalaku ke dalam pabrik tersebut hingga suaraku menggema. Aku pastikan seandainya ada seseorang di pabrik itu ia pasti mendengar.

“C...Cahyo? Cahyo kan?” Ucap suara itu.

Setelah memastikan itu suara Ani aku segera berlari ke dalam bangunan mencari keberadaan Ani.

“Ani! Dimana kamu!” Aku berlari ke sekeliling bangunan itu hanya bermodalkan cahaya bulan yang masuk melalui langit-langit.

“Cahyo! Tolong.. cari bantuan” Terdengar ucapanya berasal dari salah satu ruangan di lantai dua.
Aku segera berlari ke atas menaiki tangga yang terbuat dari besi bordes. Suara berisik langkah kakiku terdengar jelas menggema ke seluruh bangunan.

Aku mencari ke asal suara itu hingga sampai di salah satu ruangan yang diisi sebuah mesin besar. Hanya butuh waktu sebentar untuk menyadari itu adalah mesin penggilingan tebu dan segera aku bisa menyimpulkan bahwa tempat ini dulunya adalah pabrik gula.

Di sudut ruangan yang cukup besar itu terlihat seorang anak kecil meringkuk diantara mesin tersebut.

“Ani!” Aku segera berlari menuju tempat dimana anak itu berada.
Anak perempuan itu menoleh, wajahnya terlihat sembab. Namun aku bisa memastikan bahwa itu adalah Ani.

“Cahyo... harusnya kamu jangan masuk,” ucap Ani tiba-tiba.

“Kamu ngomong apa Ani? Ayo kita pulang.. Ibumu nyariin terus daritadi” Jelasku.

Ani menggeleng sambil menyeka air mata yang mulai menetes lagi.

“Nggak Cahyo.. kita ga bisa keluar lagi,” Ani berkata dengan suara sesegukan sambil menunjuk ke salah satu sudut bangunan.

Aku memperhatikan tempat itu, terlihat samar-samar bayangan yang bergoyang-goyang seperti tergantung oleh sesuatu.

Rasa penasaranku membuatku mendekat dan disana terlihat seorang anak kecil yang setengah badan bagian atasnya tergantung di antara langit-langit bangunan tanpa kuketahui dimana bagian tubuh lainya.

“A—Ani! Itu apa?” Tanyaku yang mulai ketakutan dengan pemandangan yang kulihat.

“Makhluk itu mencari korban cahyo.. hari ini dia, malam ini bisa saja aku atau kamu yang sudah memasuki bangunan ini” Jelas Ani masih dengan tangisanya. Aku memaksa menarik tubuh Ani untuk keluar dari ruangan itu.

perlahan selangkah-demi selangkah aku menuju pintu sambil mencoba melupakan apa yang kulihat barusan. Namun saat berhasil mencapai pintu, pemandangan di luar ruangan jauh berbeda dari saat pertama kali tadi aku masuk.

Aula bangunan yang sedari tadi sepi kini dipenuhi dengan sosok makhluk-makhluk kecil seperti anak-anak dengan wajah pucat dan hampir semuanya dengan anggota tubuh yang tidak utuh.

“Mau kemana?” Ucap sosok makhluk yang menghadangku di depan pintu.

Sesosok tubuh anak kecil pucat dengan dengan tanganya yang menggendong kepalanya sendiri.

“Dia akan menjadi teman kami... kalian juga,”

Segera aku menahan niatku untuk keluar ruangan dan mencari salah satu sudut yang paling aman di ruangan itu.

“Maksud kamu kita ga bisa keluar karna makluk-makhluk berwujud anak kecil itu?” Tanyaku pada Ani.

Ani hanya menggeleng terlihat berharap sesuatu yang akan ia ceritakan tidak benar-benar ada.

“Kata anak yang mati tergantung tadi, yang akan menyerang kita adalah makhluk yang meminta tumbal yang meminta tumbal anak-anak dari sejak pabrik ini didirikan” Jelas Ani.

Aku merinding mendengar cerita dari Ani.

Seketika hujan turun begitu deras membuat suasana di ruangan ini semakin mencekam. Aku mencopot sarungku dan mengenakanya kepada Ani agar ia tidak kedinginan.

“Kamu sudah lihat makhluk itu?” Tanyaku pada Ani. Ia mengangguk.

“Tadi kami berdua, tapi saat menjelang maghrib makhluk itu menangkap anak itu dan aku ga tau lagi apa yang terjadi sama dia” jawabnya dengan menahan rasa takutnya.

Aku tidak mau menyerah, entah mengapa kondisi seperti ini membuatku sedikit lebih berani.

“Ani kita pergi dari sini! Kalau makhluk itu belum muncul harusnya kita masih bisa menerobos hantu anak-anak itu,” jelasku.

“Ta.. tapi?”
Sebelum sempat berkala lebih jauh aku segera menggandeng tangan Ani dan membawanya keluar ruangan itu.

Seperti tadi hantu anak-anak korban tumbal itu masih memenuhi aula pabrik. Dengan segera aku merogoh kantongku dan mengeluarkan sebuah korek api pemberian Bulek dan menyalakanya di depan makhluk-makhluk itu.

Seketika cahaya kuning mengelilingiku dan Ani.

Makhluk-makhluk berwujud anak kecil itu merasa terusik dengan cahaya itu dan menjauh dari kami. Perlahan-lahan kami berjalan menuju pintu keluar.

Ani yang merasa takut dengan semua sosok itu hanya menyembunyikan wajahnya di balik punggungku.

Sayangnya saat kami baru berhasil turun tiba-tiba telihat bayangan makhluk yang sangat besar di belakang kami.

Aku mencoba menoleh ke belakang dan melihat sesuatu berbentuk seperti tangan besar yang sangat panjang meraih ke bawah dari lantai atas.

Gila.. makhluk apa yang memiliki tangan sebesar itu, pikirku.
Perlahan terlihat bayangan besar menutupi cahaya bulan yang masuk dari lubang langit-langit pabrik itu.

Bentuknya menyerupai badan manusia namun sangat panjang.

Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa, cahaya kecil dari korek api ini tidak mungkin mampu melindungi kami dari makhluk ini.

Kesini...
Samar-samar terdengar suara berbisik dari salah satu sudut bagunan.

Matikan api itu...
Suara itu terdengar semakin jelas, hingga aku memastikan itu adalah suara perempuan.

Namun dengan ilmu yang sudah kupelajari dari Paklek aku bisa merasakan tidak adanya niat jahat dari suara itu.

Dengan segera aku mematikan korek api dan mengikuti arah suara itu berada hingga sampai di sebuah ruangan kecil yang sangat gelap.

Makhluk berwujud anak kecil itu kembali berkumpul namun tidak di tempat kami berada.

Sesekali aku menutup mulut Ani yang masih menahan tangis agar makhluk-makhluk itu tidak menyadari keberadaan kami. Entah kami harus bersembunyi sampai kapan.

Hujan terdengar semakin deras diluar bangunan dan membuat suara berisik dari beri dan seng yang terhantam oleh tetesan air hujan.

Kami menghitung detik demi detik yang mencekam dengan sesekali mengintip mengenai keberadaan makhluk hitam besar itu.

Saat aku mencoba memberanikan diri untuk keluar aku kembali mengurunkan niatku saat melihat lengan besar itu sudah menggenggam bagian tubuh anak yang tadi tergantung dengan darah segar berceceran di tanganya.

Kalaupun menunggu sampai pagi adalah pilihan terbaik mungkin aku akan mencoba bertahan sampai saat itu.

Ya... mungkin itu yang terbaik.

Cukup lama kami menunggu dan Ani sudah ketiduran selama beberapa lama. Tiba-tiba suara wanita yang berbisik kembali terdengar.

Kalau kalian mau pergi sekarang waktunya...
Aku memperhatikan keluar saat mendengar suara itu, dan benar makhluk besar itu sudah tidak ada. Tapi makhluk berwujud anak kecil itu masih ada ditempatnya.

“Nggak.. kami tunggu sampai pagi..” Ucapku.

Kalau pagi sudah datang, kalian sudah tidak di alam kalian lagi... Seketika Ani terbangun.

“Cahyo! Kita harus pergi dari sini sebelum matahari terbit!” Ucap Ani tiba-tiba.

“Kalau makhluk itu menghilang kita juga akan ikut terbawa ke alamnya”

Sepertinya Ani mendapat suatu petunjuk dari mimpinya barusan, dan petunjuk itu sama seperti yang diberitahukan wanita itu kepadaku.

Sepertinya memang kami harus bertaruh untuk menerobos makhluk berwujud anak kecil itu dan menerjang derasnya hujan di luar.

Hati-hati.. makhluk itu mungkin saja masih ada di luar

“Baik, terima kasih atas bantuanya... tapi kamu siapa?” Tanyaku sebelum meninggalkan persembunyian itu.

Nyalakan saja korek itu

Aku mengikuti saranya dan sekali lagi cahaya kuning menerangi ruangan persembunyian kami yang ternyata berada di dalam mesin yang sudah tua.

Ketika aku menoleh ke arah suara itu, terlihat sosok wanita dengan wajah pucat melayang dengan pakaian putihnya yang lusuh dengan noda-noda darah.

“C...Cahyo! Itu kuntilanak!” Ucap Ani yang ketakutan dan segera menariku keluar mesin itu

Khikhikhikhihi….
Hanya suara tawa itu yang menemani kami menerobos gelapnya pabrik gula yang dipenuhi makhluk korban tumbal setan raksasa itu.

Dengan nafas yang hampir habis, tanpa terasa kami berhasil sampai di luar pabrik dengan guyuran hujan yang sangat deras.

Korek api yang dibawakan oleh Bulek tak lagi dapat menyala. Aku mencoba mencari ke arah dari mana aku datang, namun aku sedikit tidak yakin.

Seketika muncul kilatan yang disusul dengan suara petir yang menggelegar.

Dan samar-samar..

Aku melihat sosok makhluk sebesar bangunan rumah belanda di belakang kami memperhatikan dengan matanya yang merah.

Aku terjatuh di tanah melihat makhluk itu merangkak dengan kaki dan tanganya yang sangat panjang ke arah kami.

“Kenapa cahyo?” Tanya Ani yang bingung.

“Se.. setan itu masih disini!” Jawabku sambil menunjuk ke arah makhluk itu.

Ani yang melihatnya juga terjatuh dan tak hampir tak mampu mempertahankan kesadaranya. Saat makhluk itu mulai mendekat sesuatu seperti menarik bajuku dengan pelan.

Aku menoleh ke belakang, dan ternyata itu adalah Kliwon. Ia seolah memberi isyarat kepadaku untuk mengikutinya.

“Ani! Berdiri..” Ucapku berusaha mengangkat tubuh Ani dan menariknya ke arah Kliwon berlari.

Kami menerjang hutan yang dipenuhi pohon pisang sesuai jalur yang ditunjukan oleh Kliwon, makhluk itu mengejar hingga semakin dekat.

Namun saat melewati sosok rumah dengan arsitektur belanda yang sangat tua sepertinya makhluk itu tidak lagi mengejar kami.

Aku berhenti sebentar untuk menarik nafas dan memastikan kondisi Ani. Kliwon berbalik seolah memerintahkanku untuk terus berlari.

Memang, aku merasakan bahaya yang tidak lebih baik dari makhluk itu di sekitar tempat ini.

Mungkin saja ini yang membuat makhluk itu tidak lagi mengejar kami.

Tanpa sengaja aku menengok ke arah jendela rumah belanda itu.. dan disana terlihat sesosok wanita dengan pakaian bangsawan belanda berwarna merah menatap tajam ke arah kami dengan tatapan yang mengerikan.

Aku mencoba tidak mempedulikanya dan segera masuk ke dalam hutan yang menghubungkan tempat ini ke desaku.

Lelah berlari.. aku dan Ani terjatuh di tengah derasnya hujan dan di tengah gelapnya hutan ini. Namun Kliwon tidak lagi terlihat terburu-buru.

Ia malah kembali ke arahku seolah memastikan keberadaanku.

“Kamu ngga papa Ani? Kuat jalan ga?” Tanyaku sambil menyempatkan meminum air tetesan hujan untuk menghilangkan dahagaku.

Ani mengangguk, namun wajahnya sudah terlihat pucat karena kelelahan.

Kami berjalan perlahan di hutan mengikuti arahan dari Kliwon yang sepertinya lebih hafal tentang hutan ini daripada aku. dan tak lama setelahnya hujan perlahan mulai berhenti.

Tak lama setelahnya kami melihat cahaya api mendekat masuk kedalam hutan.

Aku yakin itu adalah warga yang sedang mencari kami.
Aku segera memberi isyarat hingga mereka menghampiri kami berdua tak jauh dari mulut hutan.

“Ya ampun Cahyo.. Ani!” Ucap pak Gimin yang sangat prihatin dengan kondisi kami.

“Cahyo..!” Bulek yang ikut mencariku segera memeluku dengan erat.

“Bulek.. Cahyo ceritanya nanti aja ya, Cahyo capek mau pingsan dulu habis ini” Ucapku yang memang sudah benar-benar lelah.

“Makasi ya Cahyo..” Ucap Ani yang sekarang dibopong oleh Mas Gimin karena tidak kuat lagi berjalan.

“Iya sudah.. ga apa-apa, kalau kenapa-kenapa bilang Mas Cahyo aja ya, ga usah takut,” ucapku mencoba sedikit menghibur Ani di perjalanan pulang.

“Gaya kamu... bisa selamat dari sana aja udah syukur” Ucap bule sambil mengusap kepalaku.

Aku hanya bisa sedikit tertawa dengan sisa tenaga yang kupunya.

“Tapi Ani.. aku penasaran, pas kamu tidur tadi yang ngasi tau kalau kita ga boleh menunggu sampai pagi itu siapa?” Tanyaku penasaran.

“O.. itu, yang bilangin ke Ani tadi.. Paklek..
Paklek Bimo...”

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close