Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SENJA KALA DI MATARAM


Sang surya telah menggelincir ke barat. Sinarnya yang terik menyilaukan kini berubah redup kekuningan. Setiap benda yang disapu sinar itu seolah-olah berubah warnanya menjadi kuning. Disaat hari menjelang sore sebuah kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda meluncur keluar dari sebuah lembah yang rapat oleh pohon-pohon besar dan semak belukar. Kereta terbuka ini bergerak perlahan tetapi pasti. Sais yang mengendalikan dua ekor kuda penarik kereta agaknya sengaja bergerak lambat perlahan. Orang ini mengenakan ikatan kepala berwarna kuning kecoklatan. Baju hitamnya yang tidak dikancing tersibak ditiup angin senja, membuat dadanya tersingkap. Sebilah keris terselip dipinggang pemuda ini. Sementara di belakang sais itu. Seorang gadis memakai kebaya putih tampak duduk terkantuk-kantuk.

“Sri .... apakah kita sudah memasuki kotaraja Mataram?”

Gadis yang dipanggil Sri itu terhenyak. Lalu mengucek ke dua matanya dengan punggung tangan. Kepalanya di julurkan ke luar.

“Belum Rana. Sebentar lagi. Kita masih di Randubelang. Sebentar lagi sampai di Mataram. Mungkin menjelang Isya”

Ternyata penumpang kereta kuda itu Rana Wulung dan Sri Tanjung.

“Sepertinya usai ada acara besar. Aku lihat banyak tapak kaki kuda dan beberapa pancang pasak bekas tenda tersebar dimana-mana”
Rana Wulung seperti berbicara sendiri.

“Mungkin Gusti Senopati usai mengadakan pertemuan agung. Aku juga tidak tahu Rana. Biasanya kalau ada acara-acara besar. Ayah ku juga turut serta”

Tiba-tiba Rana Wulung menarik tali kekang kuda yang menarik kereta. Serentak kedua ekor kuda itu pun berhenti.

“Mengapa kau hentikan kereta kuda disini Rana? Apakah kau berniat untuk beristirahat?!”

“Bukan Sri, kau lihatlah ada batang pohon roboh menghalangi jalan. Kita tidak bisa maju ke depan. Selama pohon itu tidak disingkirkan”

Sri Tanjung kembali menjulurkan kepalanya ke luar. Dilihatnya sebuah pohon besar tumbang melintang di tengah jalan. Pohon itu seperti dicabut dari dalam tanah. Akarnya yang besar-besar mecuat mirip cakar-cakar raksasa.

“Sebentar Sri, aku akan coba menghancurkan dan menyingkirkan pohon itu”

Sehabis berkata seperti itu Rana Wulung melompat turun dari kereta. Dia berdiri tegak. Tangan kanannya meloloskan keris yang terselip di pinggang. Cahaya biru kemerahan memancar keluar dari pamor keris Kelabang Sewu. Sembari membentak Rana Wulung membabatkan keris Kelabang Sewu ke arah pohon yang roboh melintang di tengah jalan. Selarik sinar biru kemerahan keluar dari keris Kelabang Sewu menghajar pohon yang melintang itu. Pohon itu hancur berkeping-keping berceceran ke tanah. Tatkala Rana Wulung akan memasukkan keris itu ke pinggangnya.

Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dan bertepuk tangan. Rana Wulung terkejut. Seorang pemuda muncul dari balik pepohonan. Wajahnya rupawan, ikat kepala serupa warna bambu wulung, berpakain surjan bewarna biru muda. Di pinggangnya mecuat hulu keris terbuat dari gading berwarna kuning kecoklatan.

“Hebat sekali kisanak senjata pusakamu. Sepertinya itu senjata yang ampuh, sakti mandraguna. Aku ingin mencicipi bertarung dengan mu. Barang sejurus dua jurus. Biar perasaanku yang sedang buruk ini bisa menjadi cerah kembali”

Pemuda misterius itu sudah memasang kuda-kuda untuk menyerang. Tatkala tiba-tiba Sri Tanjung berteriak dari dalam kereta.

“Kami tidak punya waktu Raden Ronggo. Kami harus secepatnya sampai di Mataram”

Raden Ronggo menarik kuda-kudanya.

“Rupanya kau Sri Tanjung anak gadis dari bekel Wiro Sentana. Darimana kau sore-sore begini keluyuran dengan seorang pemuda? Tidak tahu kalau di rumah orang tua mu risau menunggumu”

***

Mengapa Raden Ronggo tiba-tiba bisa berada di Randubelang dan menghadang perjalanan Rana Wulung? Setelah memukul seorang senopati dari Tuban hingga mati. Raden Ronggo dengan amarah memuncak meninggalkan paseban agung. Panembahan Senopati yang tidak ingin putra sulungnya itu gelap mata lalu mengamuk di jalan segera memerintahkan Sekartaji dan Prana Jaya untuk menyusul anaknya itu. Raden Ronggo berlari bagai orang kesetanan. Tubuhnya laksana terbang melompat dari pohon ke pohon. Sambil tangan dan kaki memukul serta menendang benda-benda di sekitarnya. Pohon-pohon bertumbangan di hajar tendangannya.

Hingga akhirnya dia menghentikan langkahnya di tepi jalan. Pandangannya liar melihat sekeliling. Tatkala dilihat sebuah pohon besar tumbuh di pinggir jalan Pangeran Ronggo menghampiri pohon itu. Seperti mencabut batang singkong. Pohon besar sebesar dua pelukan orang dewasa itu di cabut dari dalam tanah. Suara berderak terdengar keras saat pohon tercabut paksa dari dalam tanah. Pohon yang telah tercabut itu kemudian dibantingkan ke tanah melintang di tengah jalan. Ketika telinganya mendengar suara derap kuda yang menarik sebuah kereta mendekat. Cepat-cepat Raden Ronggo menyelinap di balik rerimbunan pohon. Dilihatnya seorang pemuda turun dari kereta kemudian melolos sebilah keris yang menyala biru kemerahan.

Sayup-sayup terdengar suara derap kaki kuda mendekat.

“Nampaknya aku harus membatalkan pertempuran kita kisanak. Mungkin suatu saat kita bisa bermain-main lagi“

Raden Ronggo segera melompat, melesat cepat. Tubuh putra sulung Panembahan Senopati itu lenyap di rerimbunan pohon. Tak lama dua orang penunggang kuda sampai di tempat itu. Dua orang pemuda itu dari seragam yang dikenakan dapat dikenali bahwa mereka senopati dari Mataram.

“Maaf kisanak apakah tadi kisanak melihat seorang pemuda lewat jalan ini?”

Sri Tanjung turun dari kereta kuda lalu menghampiri dua orang senopati itu.

“Maksud kalian Pangeran Ronggo? Paman Sekartaji?”

Salah seorang senopati yang dipanggil Sekartaji menoleh ke arah Sri Tanjung.

“Rupanya kau. Orang tua mu mengkhawatirkan kamu Sri. Kemarin lusa beberapa penduduk Kaliwungu menghadap dan melaporkan. Bahwa kau diculik oleh kawanan rampok yang dipimpin oleh Suro Gedug. Bahkan, Gusti Senopati telah mengirimkan prajurit untuk menumpas kawanan itu yang konon katanya bersembunyi di hutan Wonogalih”

Orang yang bernama Sekartaji itu kemudian turun dari punggung kuda di susul oleh kawannya.

“Sampai saat ini prajurit-prajurit yang ditugaskan itu belum juga pulang ke Mataram”

“Rampok-rampok itu telah di basmi paman. Aku pun akhirnya bisa melepaskan diri. Semua berkat pemuda di sampingku ini”
Sekartaji memandang ke arah Rana Wulung.

“Jadi kau yang menumpas gerombolan rampok Suro Gedug?”

Rana Wulung hanya mengangguk.

Sekartaji seperti tidak percaya jika pemuda yang berdiri di samping Sri Tanjung seorang diri dapat membasmi kawanan rampok yang rata-rata memiliki ilmu tinggi. Tapi hal itu tidak digubris. Tugas yang dibebankan kepadanya hanya satu membawa Raden Ronggo pulang ke Mataram.

“Oh ya Sri. Apakah tadi kau melihat Raden Ronggo?”

“Tadi Raden Ronggo meghadang jalan kami paman. Seperti biasanya menantang kesaktian dengan kakang Rana Wulung. Tapi begitu mendengar derap kuda. Dia lari ke arah barat”

“Baiklah Sri. Segeralah pulang aku akan mengejar Raden Ronggo. Mungkin dia belum lari terlalu jauh. Segeralah kau pulang. Orang tua mu sudah menunggu”

Setelah berkata demikian Sekartaji dan kawannya itu segera naik ke atas punggung kuda masing-masing. Hewan itu kemudian lari ke arah barat meninggalkan Sri Tanjung dan Rana Wulung. Debu berterbangan di terjang kaki-kaki kuda.

“Siapa Raden Ronggo Sri? Mengapa kedua senopati Mataram itu mengejarnya? Apakah pemuda itu penjahat atau maling? Sehingga musti dikejar-kejar?”

“Hushhh.. jangan sembarang Rana. Raden Ronggo adalah putra sulung Gusti Senopati. Tabiatnya buruk, dia selalu mencari masalah dan pamer ilmu kesaktian. Orang-orang di Mataram ini pernah ditantang adu ilmu. Adu kanuragan. Dan semuanya kalah. Mungkin yang bisa menandingi Raden Ronggo hanya Gusti Senopati seorang”

“Aku jadi ingin sesekali mencoba melawan pemuda itu Sri”

Rana Wulung yakin dengan berbekal keris Kelabang Sewu di tangannya Raden Ronggo akan bisa ditakhlukan.

“Jangan diladeni Rana. Tidak ada gunanya. Ayo kita lanjutkan perjalanan kita. Mataram sudah di depan mata”

***

Kemudian kedua orang itu segera naik ke atas kereta kuda. Tidak lama kemudian kereta itu telah berjalan pelan menuju ke arah kotaraja Mataram. Kereta semakin jauh masuk ke dalam kota, bumi Mataram mulai diselimuti kegelapan. Kereta bergerak menuju pusat kota dan akhirnya berhenti di pintu gerbang sebuah rumah besar dengan pekarangan luas. Di depan rumah itu terdapat pintu gerbang yang dijaga oleh dua orang prajurit. Tidak lain lagi itu adalah kediaman bekel Wiro Sentana. Begitu ada kereta kuda yang berhenti di depan gerbang.

Salah seorang prajurit mendekati kereta kuda itu seraya bertanya.

“Maaf kisanak? Apakah kisanak mencari bekel Wiro Sentana?”

Pemuda kusir kereta belum sempat menjawab tatkala. Seorang gadis menjulurkan kepalanya keluar dari kereta.

“Tolong segera bukakan gerbang itu kang Mondo“

Prajurit yang dipanggil Mondo itu sejenap menatap gadis yang ada di dalam kereta. Lewat sinar bulan yang temaram dia bisa mengenali siapa adanya gadis itu.

“Maaf kan saya Den Ayu Sri...”

Buru-buru Mondo dan kawannya membuka gerbang. Lalu kereta kuda itu segera masuk ke dalam pekarangan. Rumah itu sangat besar dan megah. Ada sebuah pendopo yang berada persis di samping rumah. Beberapa pohon beringin berdiri kokoh menjulang di sudut-sudut pekarangan. Di serambi depan empat kursi ukir-ukiran di susun mengelilingi sebuah meja kayu. Empat buah lampu minyak jarak tergantung di wuwungan. Lampu itu diletakkan pada sebuah tatakan dengan hiasan membentuk gunungan wayang. Seorang lelaki paruh baya. Duduk di serambi. Wajahnya murung memancarkan kesedihan. Sisa -sia ketampanan di masa muda masih tersimpan di guratan tua yang mulai menghinggapi wajahnya.

Kumis dan jenggotnya yang sudah berwarna kelabu menambah wibawa lelaki itu. Sesekali terlihat menarik nafas panjang. Cangkir tanah yang berisi kopi masih terlihat penuh. Sama sekali belum disentuh meski kopi itu mungkin telah menjadi dingin. Lamunannya terganggu tatkala sebuah kereta kuda berhenti tepat di serambi depan. Kusirnya seorang pemuda. Rambutnya yang panjang tertutup dengan ikat kepala berwarna kunign kecoklatan. Pemuda itu lalu turun dari atas kereta. Lalu berjalan ke samping kereta. Tidak lama kemudian seorang gadis memakai kebaya putih turun dari atas kereta dibantu oleh si pemuda.

Lelaki paruh baya ini berdiri dari kursinya. Parasnya berubah. Tatkala dilihatnya gadis muda itu.

“Sri Tanjung....”

Lelaki itu menghambur lalu memeluk Sri Tanjung.

“Oalahhh Nduk... Romo sangat khawatir dengan keselamatanmu. Setelah mendengar kalau Kaliwungu diserang gerombolan rampok. Dan yang membuat ayah takut. Kamu diculik oleh gerombolan itu. Bahkan, beberapa prajurit yang aku tugaskan untuk mencari mu belum juga pulang“

Sri Tanjung memeluk erat bapaknya itu.

“Sri baik-baik saja Romo. Sri tidak kurang satu apapun. Ini semua berkat pertolongan Rana Wulung“

Sri Tanjung menoleh ke arah pemuda yang masih berdiri di samping kereta.

“Jadi pemuda itu yang menyelamatkan jiwamu Sri?”

Wiro Sentana kemudian menghampiri Rana Wulung sembari menepuk-nepuk bahu pemuda itu.

“Terimakasih anak muda telah menyelamatkan anak perempuanku satu-satunya”

Rana Wulung menyembah hormat.

“Hamba melaksanakan kewajiban sebagai manusia gusti. Saling tolong menolong kepada sesama“

Seorang wanita muncul di balik pintu rumah. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai sampai ke pinggul. Kain jarik berwarna hitam membalut sekujur tubuhnya. Mukanya terlihat pucat. Begitu melihat siapa yang berdiri di depan serambi. Perempuan itu setengah berlari memeluk dan menciumi Sri Tanjung.

“Kau pulang nduk? Ibu sangat khawatir. Duh Gusti... puji syukur hamba ucapkan untuk segala karuniaMu ini”

Perempuan itu lalu menangis penuh keharuan. Sri Tanjung pun tidak kuasa menahan isak tangisnya. Dua perempuan itu saling menangis dan berpelukan di depan serambi. Malam itu di kediaman Wiro Sentana sedang dilanda kebahagiaan. Anak perempuan satu-satunya telah kembali dengan selamat. Belakangan keluarga bekel ini dilanda kesedihan yang mendalam karena mendengar berita kalau Sri Tanjung telah menjadi korban penculikan rampok hutan Wonogalih pimpinan Suro Gedug.

Bekel Wiro Sentana merasa sangat gembira pula dan berterima kasih pada Rana Wulung karena telah menyelamatkan Sri Tanjung dari cengkraman rampok hutan Wonogalih! Seperti yang telah dikatakan Sri Tanjung, atas permintaan gadis itu maka Rana Wulung oleh Bekel Wiro Sentana dibawa menghadap Ki Juru Mertani untuk menjadi salah seorang senopati di Mataram.

BERSAMBUNG
close