Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

RADEN RONGGO BAGIAN 2


Panembahan Senopati mempersilahkan senopati dari Tuban itu maju ke depan. Seorang lelaki bertubuh tinggi besar berdiri dari duduknya. Tubuhnya tinggi besar saat berdiri berhadap-hadapan dengan Raden Ronggo. Putra sulung Panembahan Senopati ini hanya setinggi bahu si senopati Tuban. Keduanya berdiri tegak ditengah ruangan paseban. Setelah menyembah hormat kepada yang duduk di hadapan mereka. Kedua orang ini memasang kuda-kuda siap menyerang.

“Aku tahu kau bilih tanding Raden. Kesaktianmu itu kawentar sampai ke wetan. Tetapi aku Brajanata ingin menjajal pukulan Gelap Ngamparmu yang konon kata orang bisa menghancurkan kepala gajah dengan sekali pukul“

“Jumawa kau orang tua!”

"Aku tidak perlu mengeluarkan ajian itu. Sebentar lagi tamparanku ini akan membungkam mulut sombongmu itu!"

Senopati Tuban yang bernama Brajanata menggebrak ke depan. Tendangan di arahkan ke dada, Raden Ronggo hanya tersenyum lalu dengan ringan melompat mundur. Mengetahui tendangannya luput Brajanata menyerang dengan pukulan tangan. Raden Ronggo dengan sigap menangkap tangan yang terkepal itu. Setelah tangan Brajanata tertangkap Raden Ronggo menarik tangan itu. Tubuh tinggi besar Brajanata seperti terbetot ke depan. Serta merta Raden Ronggo membanting tubuh Brajanata ke lantai. Brajanata membentak nyaring sembari berjumpalitan ke udara menghindari agar tubuhnya tidak terbanting.

Wajah Brajanata membesi, merah padam. Di seberang sana Raden Ronggo tertawa sambil berdiri kacak pinggang.

“Ayo tunjukkan kehebatanku Senopati Tuban?”

Menggembor marah Brajanata menyerang dengan cepat. Tendangan dan pukulan di arahkan ke badan Raden Ronggo yang masih berdiri berkacak pinggang. Pemuda itu sama sekali tidak bergeming untuk menghindar. Saat pukulan dan tendangan mampir di dada, perut dan kepala. Raden Ronggo hanya tertawa-tawa. Wajah Brajanata sekilas terkejut. Pukulan dan tendangannya yang dilambari tenaga dalam seakan membentur tembok tebal. Bahkan, tangan dan kaki Brajanata serasa ngilu dan kesemutan.

“Anak begajulan itu ilmunya ternyata hebat juga“

Membatin Senopati Tuban ini.

Plak !

Tamparan keras mampir di pipi Brajanata. Sesaat matanya berkunang kunang. Tamparan itu sangat keras hingga membuat tubuhnya terjajar ke samping. Bibirnya pecah mengucurkan darah.

Tiba-tiba terdengar suara berteriak dari depan.

“Brajanata...pakai ini !”

***

Adipati Tuban berteriak sembari melemparkan sebilah keris yang masih dalam warangkanya. Keris itu segera disambut oleh Brajanata. Keris segera di hunus. Keris itu lurus tidak berluk dengan panjang sekitar dua jengkal itu memancarkan sinar hitam yang keluar dari pamornya.

Ki Juru Mertani, Pangeran Benowo dan Panembahan Senopati terkejut.

“Welah... ini maksudnya apa Ngger Adipati? Dari adu tanding kok malah jadi saling bunuh-bunuhan?“

Ki Juru Mertani bertanya keheranan.

“Maaf adi, ini terlalu berlebihan menurut saya. Ini rentan membuat suhu yang panas ini jadi semakin memanas. Bisa pecah perang ini.. Sudahi saja semuanya!”

Pangeran Benowo tampak gelisah dan mencoba meluluhkan hati Adipati Tuban. Rupanya sang adipati tidak menggubris hal itu. Amarah telah menguasai hatinya.

“Mari kita buktikan apakah anak Senopati yang congkak itu tubuhnya alot tidak mempan dengan keris pusaka itu“

“Ooooo.... mau memakai keris? Silahkan pakai semua keris pusaka mu!”

Raden Ronggo masih berdiri berkacak pinggang. Lalu ia melirik pada Panembahan Senopati ayahandanya.

Lewat ilmu penyusup batin. Panembahan Senopati memperingatkan anaknya ini.

“Ingat Ronggo jangan terbawa amarah. Tahan diri mu !”

Raden Ronggo tersenyum.

“Ayo senopati Tuban pilih tubuh ku mana bagian yang ingin kau coba dengan keris mu itu. Keris itu banyak di pasar. Tiap pasaran Legi setumpuk keris seperti itu ada. Dan kau... ingin mencincangku dengan keris itu?!”

“Jumawa kau anak Senopati !”

Brajanata menyerang lagi dengan keris yang telah terhunus di tangan kanannya. Tentu saja Raden Ronggo tidak kaget. Bahkan dia sengaja tidak menghindar, dirinya telah terkurung curahan serangan keris yang sangat ganas. Bacokan, tusukan dan babatan menderu ke arah kepala, bagian tubuh dan kaki. Raden Ronggo tak mengelak ataupun menangkis seolah-olah memasang badan untuk di cincang dengan keris itu.

Brajanata dapatkan kenyataan bahwa semua bacokan, tusukan maupun babatan keris sakti itu sama sekali tidak mencelakai atau melukai Raden Ronggo yang masih berdiri tegak sambil tertawa -tawa. Terdengar suara bergedebukan ketika senjata tajam itu mendarat di kapala, tubuh ataupun kaki. Tubuh pemuda itu sama sekali tak mempan dibacok!

Brajanata ternganga keheranan. Pada saat itulah Raden Ronggo melompat sambil menghantamkan tangan kanannya ke arah pelipis Brajanata. Senopati dari Tuban itu tidak sempat mengelak. Tubuhnya terbanting ke lantai. Keris terlepas dari pegangannya. Kepalanya pecah. Orang Tuban itu mati seketika. Gemparlah suasana di balai paseban agung itu.

Panembahan Senopati melompat ke arah anaknya berdiri.

“Sudah aku bilang Ronggo tahan amarah mu !Tahan amarah mu! Mengapa kau pukul orang itu dengan Gelap Ngampar. Kau membuat masalah menjadi semakin runyam”

“Ayahanda selalu menyalahkan saya. Tadi tidak kah ayahanda lihat bagaimana Senopati itu dengan sengaja ingin membunuh saya dengan kerisnya?“

“Sudah cukup, jangan membela diri! Dari awal kau juga tahu orang itu bukan tandingan mu. Tidak ada gunanya membunuh orang itu. Cukup diberi pelajaran saja“

Raden Ronggo dinasehati seperti itu bukannya minta maaf tetapi sebaliknya pemuda itu malah tambah panas hatinya. Tubuhnya melompat, berkelebat dan berlalu dari paseban agung. Batu besar yang ada di depan gerbang ditendangnya hingga hancur berkeping-keping. Tubuh pemuda itu lenyap di balik tembok istana.

Panembahan Senopati hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah polah putra sulungnya itu. Di hampirinya Pangeran Benowo yang masih duduk dengan gelisah di kursinya.

“Adi Benowo, saya pribadi mohon maaf atas kelancangan Ronggo“

“Aku sangat memaklumi hal itu Kangmas, darah Ronggo darah muda. Darah yang mudah meletup dan mendidih. Alangkah baiknya, kalau Kangmas Senopati tidak terlalu keras kepadanya“

“Mungkin hari ini juga saya beserta rombongan akan pulang ke Pajang. Akan saya sampaikan pada Romo Sultan kalau Mataram baik-baik saja“

“Terimakasih Adi Benowo. Saya sungguh berterimakasih. Saat nanti ada balai paseban agung di Pajang. Insha Allah saya akan datang untuk sowan bersilaturahmi“

Hari itu juga rombongan pasukan dari Pajang meninggalkan Mataram. Arya Pamalad Adipati Tuban itu terlihat masih menyimpan amarah. Sepanjang perjalanan tidak ada satu patah ucapan yang keluar dari mulutnya. Pikirannya penuh dengan cara bagaimana membumi hanguskan Mataram.

Setelah rombongan dari Pajang meninggalkan Mataram. Panembahan Senopati segera memanggil dua orang kepercayaannya. Dua Senopati Mataram yang sangat dia percayai.

“Mereka adalah Sekartaji dan Pranajaya. Sekartaji merupakan senopati muda yang mumpuni ilmunya. Sedangkan Pranajaya adalah adik seperguruan Sekartaji. Mereka berdua berasal dari sebuah pesanggrahan di lereng gunung Merbabu“

“Paman Sekartaji dan paman Pranajaya, saya minta tolong cari Ronggo sampai ketemu. Saya yakin anak itu belum jauh dan masih ada di sekitar Mataram“

“Ngestoaken dawuh Gusti Senopati...”

Kedua senopati Mataram itu segera berlalu dari balai paseban agung. Terguncang-guncang di atas punggung kuda keluar dari Kotagede untuk mencari dan membawa pulang Raden Ronggo.

BERSAMBUNG
close