Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

RADEN RONGGO BAGIAN 1


Sesosok tubuh berpakaian serba hitam berlari dengan ringan. Sesekali melenting melompati gundukan batu dan pohon yang melintang di tengah jalan. Gerakan kedua kakinya enteng dan hampir tidak terdengar. Namun binatang-binatang yang bertelinga tajam dan ada disekitar situ masih dapat mendengar gerakan langkah kaki orang ini lalu cepat-cepat melarikan diri menjauh.

Di samping serumpun pohon asem yang besar batangnya sepelukan orang dewasa orang ini hentikan langkahnya. Lalu merebahkan tubuhnya terlungkup di atas rumput yang basah oleh embun yang mulai turun. Telinganya dipasang tajam-tajam. Kedua matanya memandang tajam ke depan. Di depannya dalam kegelapan dia melihat, tenda-tenda yang jumlahnya sangat banyak. Mungkin puluhan atau mungkin bahkan ratusan.

Di tengah tenda-tenda itu ada tiga tenda yang berukuran sangat besar. Di depan tenda tampak api perapian sudah nyaris padam. Hanya menyisakan bara dan asap yang membumbung tertiup angin. Beberapa prajurit bersenjata tampak berjalan hilir mudik berjaga di sekitar tenda. Di sudut lain tampak puluhan ekor kuda tertambat rapi. Rata-rata kuda itu besar dan kekar. Tentu bukan kuda-kuda sembarangan. Tentulah kuda-kuda itu milik seorang petinggi atau pejabat. Orang misterius ini masih mendekam di kegelapan mengawasi keadaan di depannya.

“Tampaknya orang-orang Pajang sudah sampai di sini. Kalau lancar tengah hari baru sampai di Randubelang. Aku harus secepatnya menyampaikan pada Gusti Senopati di Mataram“

Orang itu membatin dalam hati, dengan beringsut-ingsut pelan. Orang yang mendekam di bawah pohon asem perlahan meninggalkan tempat itu. Tubuhnya seperti di telan kegelapan malam.

***

Sang surya sudah lama bergeser ke ufuk barat. Warnanya yang tadi demikian terik menyilaukan kini memudar merah kekuningan seperti tiada sanggup menahan diinya dirampas oleh kedatangan sore. Sore yang akan dirampas oleh senja dan senja yang akan bertekuk lutut di pintu malam. Di balai paseban agung Mataram di sebuah ruangan yang besar. Terhampar permadani tebal berwarna merah.

Terdengar suara alunan gamelan yang tidak berhenti-henti sejak siang tadi. Jajaran sinden dan niyaga tempak duduk bersila dan bersimpuh memainkan alat musik karawitan. Lima kursi besar berjajar rapi di depan. Kursi yang ditengah berupa kursi besar dari kayu jati. Pada bagian belakang sandaran kursi terdapat ukiran berbentuk kepala burung garuda. Di atas kursi dengan ukiran kepala burung garuda duduklah seorang lelaki gagah, tampan dan berwibawa. Pandangan matanya tajam menyiratkan kearifan disana. Kumis yang tidak terlalu tebal melintang di atas bibirnya. Rambut hitam panjangnya di sanggul dan di tutupi oleh ikat kepala berwana coklat kekuningan. Dialah Senopati ing Alogo calon raja pertama di Mataram kelak.

Di sebelah kanannya duduk seorang tua dengan jenggot putih yang tidak terlalu panjang. Surjan hitam batik membungkus tubuh orang tua ini. Senopati sesekali berbisik pada orang tua ini. Si orang tua hanya manggut-manggut sambil sesekali mengelus jenggotnya yang memutih. Dialah Ki Juru Mertani seorang penasihat yang tugasnya memberikan wejangan ataupun masukan pada Senopati. Di sebelah tempat duduk Ki Juru Mertani seorang pemuda memakai blangkon serupa warna bambu wulung, berpakain surjan bewarna biru muda duduk dengan seenaknya. Kadang-kadang kaki diangkat lalu di tumpangkan di lututnya. Sesekali terdengar pemuda ini menghela nafas panjang. Sepertinya dia bosan dengan acara di paseban Agung.

“Ngger Ronggo, jaga sikapmu”

Ki Juru Mertani berbisik pada pemuda yang duduk di sampingnya.

Pemuda yang dipanggil Ronggo itu. Tampak gelisah.

“Saya ngantuk Eyang, apa musti saya ikut sampai acara ini selesai. Sedari siang tadi saya disini bersama Ayahanda Senopati menemani orang-orang Pajang ini. Badan saya kaku Eyang”

Ki Juru Mertani tersenyum.

“Sabar Ngger“

Ki Juru Mertani sadar bahwa Raden Ronggo anak pertama dari Panembahan Senopati memiliki perangai yang sulit diatur dan seenaknya sendiri. Sering membuat kekacauan dengan kesaktiannya.

Seorang lelaki tinggi besar berikat kepala berwarna kuning gading tampak berbicara kepada Panembahan Senopati.

“Kedatangan saya ke Mataram ini atas keinginan Ayahanda Hadiwijaya di Pajang kakang Senopati. Karena sudah tiga tahun ini tidak pernah sowan ke Pajang. Ayahanda takut terjadi sesuatu pada kakang di Mataram”

“Adi Benowo, maafkan kakangmu ini. Bukan maksud untuk tidak menghormati pada Ayahanda di Pajang. Akan tetapi, sekarang ini Mataram sedang dalam pembangunan. Sepeninggal Ayahanda Pemanahan tanggung jawab kelangsungan rakyat Mataram semua berada di pundak saya”

“Apakah tidak ada waktu sebentar pun untuk berkunjung ke Pajang adi Senopati?! Sepertinya memang ada sesuatu yang adi rencanakan.. misalnya mau mbalelo dan memberontak pada Pajang?!”

Seorang yang memakai pakaian serba hitam dengan kumis tebal yang melintang. Sontak bertanya. Dialah Adipati Tuban salah satu menantu Sultan Hadiwijaya.

Senopati memandang tajam ke arah Adipati Tuban. Diam-diam hatinya panas dan tersinggung oleh ucapannya.

“Tidak seperti itu Ngger Adipati, sedikitpun orang-orang Mataram tidak akan memberontak pada Pajang. Memberontak sama saja saling bunuh dengan saudara sendiri”

Ki Juru Mertani berusaha menengahi.

Adipati Tuban itu nampaknya tidak suka. Raut mukanya bersemu merah. Rahangnya kelihatan menonjol menahan amarah. Memang sejak dahulu pada saat Sultan Hadiwijaya menghadiahi alas Mentaok untuk orang-orang Selo (cikal bakal Mataram) atas jasanya karena telah membantu menumbangkan Arya Penangsang di Jipang Panolan.

“Sudah adi Permalat, kakang Senopati telah menyambut kita dengan sambutan yang meriah. Tolong jangan diusik dengan syak prasangka yang bukan-bukan. Kedatangan kita kesini sebagai cara untuk bersilaturahmi. Hampir tiga tahun kita semua tidak bertemu dengan kakang Senopati dan kerabat-kerabat Mataram”

Ki Juru Mertani tersenyum menganguk-anguk. Dia tahu akibatnya selama tiga tahun Sutawijaya atau Panembahan Senopati tiga tahun tidak sowan ke Pajang, membuat Sultan Hadiwijaya mulai curiga. Lebih lebih setelah di kompori kedua menantunya, Adipati Tuban dan Adipati Demak yang sedari dulu memang tidak suka dengan orang-orang Selo. Oleh karena itu, seribu prajurit tiba di Kotagede. Salah satu maksud menggertak Mataram secara halus.

Seorang Pengalasan (Intel/teliksandi Mataram) telah melaporkan hal itu pagi tadi mejelang subuh. Sehingga pengalasan itu mengusulkan agar Panembahan Senopati menyiapkan penyambutan meriah. Panembahan Senopati beserta keluarga menyambut rombongan dari Pajang di Randulawang. Panembahan Senopati mempersilahkan Pangeran Benowo dan Adipati Tuban untuk naik gajah dan bersama dirinya pergi ke pusat kerajaan Mataram.

“Kalau hanya menyaksikan tari-tarian dari Mataram dan mendengarkan geding seperti ini. Rasanya membuat mata berat dan ingin tidur Dimas Senopati. Saya dengar di Mataram ini banyak pendekar digdaya dan bilih tanding. Bolehkah saya membuktikan dengan mata kepala saya sendiri?”

Adipati Tuban rupanya ingin menantang secara halus. Ki Juru Mertani tersenyum.

“Iya Ngger Senopati, sepertinya Ngger Adipati ini ingin melihat beladiri dari Mataram yang mungkin beda dengan yang ada di Tuban sana”

“Sebenarnya saya tidak ingin ada semacam pamer kekuatan dan kesaktian di sini Kakang Adipati. Cuma karena saya seorang tuan rumah. Alangkah tidak bijak jika saya menolak keinginan tamu-tamu saya. Tapi baiklah, saya akan meminta anak saya untuk sekedar bermain barang dua atau tiga jurus”

Panembahan Senopati berdiri dari tempat duduknya. Lalu menolah ke arah Raden Ronggo yang sedari tadi tampak menguap-menguap mengantuk.

“Ayo Ronggo, tunjukkan pada para tamu kita barang beberapa jurus yang kau miliki”

Mata Raden Ronggo nampak berbinar-binar, mata itu yang tadi berat mendadak menjadi enteng.

“Baik Ayahanda Senopati”

Pemuda itu bangkit dari kursinya dan beranjak maju. Setelah menyembah hormat kepada ayahnya itu. Raden Ronggo berjalan gagah ke tengah paseban agung. Disitu dia menyembah hormat sekali lagi. Matanya tajam memandang orang-orang yang duduk di depan dan sekelilingnya. Dipejamkan matanya sebentar lalu menarik nafas dan menghembuskan secara perlahan. Anak pertama Panembahan Senopati ini segera memasang kuda-kuda. Lalu tubuhnya melompat sampai hampir menyentuh wuwungan paseban agung.

Setelah berjumpalitan beberapa kali kembali turun ke lantai bertutupkan permadani merah itu. Dilanjutkan dengan beberapa jurus pukulan dan tendangan. Pukulan dan tendangannya tampak bertenaga. Angin pukulannya terdengar seperti merobek udara di ruangan itu. Diam-diam orang yang menyaksikan berdecak kagum. Seorang yang masih muda memiliki ilmu kanuragan yang begitu mumpuni. Setelah beberapa jurus berlalu. Raden Ronggo melompat ke belakang. Setelah menarik nafas. Dia menghaturkan sembah sebagai tanda telah selesai pertunjukan ilmu silatnya.

“Terimakasih Ronggo, kembalilah ke tempat duduk mu“

Tepuk tangan riuh memenuhi ruangan paseban agung.

Saat Raden Ronggo akan berjalan ke arah kursinya tiba-tiba...

“Kalau hanya seperti itu anak-anak kecil yang baru mbrojol dari perut biyungnya juga bisa!”

Seorang lelaki berbadan tinggi besar. Wajahnya tertutup cambang dan bawuk serta kumis tebal yang hampir menutupi bibir berbicara seakan mengejek Raden Ronggo.

Langkah kaki Raden Ronggo terhenti. Mukanya langsung merah padam menahan amarah. Giginya bergemeretakan. Kedua tangannya terkepal. Ki Juru Mertani yang tahu betul tabiat anak muda ini yang memang gampang tersulut amarah dan tidak segan-segan menghajar orang. Berusaha menenangkan suasana.

“Sudah Ngger Ronggo, pertunjukan Beksan Rangin telah usai. Tidak ada gunanya untuk menuruti hawa nafsumu itu”

Akan tetapi, maksud itu di tentang oleh Adipati Tuban.

“Paman Juru, pertunjukan Beksan Rangin hanya untuk anak-anak. Tidak ada salahnya kalau kita latih tanding. Agar bisa dilihat sampai seberapa kuat anak muda itu. Tentu adi Senopati tidak berkeberatan kalau putra sulungnya adu tanding dengan salah satu senopati Tuban?”

Panembahan Senopati tampak gelisah. Di tahu kemampuan putranya itu, tidak ada seorang pun pendekar yang bisa menandingi Raden Ronggo.

***

Pernah suatu ketika saat Raden Ronggo membuat kekacaun dengan pamer ilmu di alun-alun. Sebuah pedang digenggam di tangan kanan dan sebuah keris tergenggam di tangan kiri. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa kedua senjata tajam itu di tusuk-tusukkan ke badannya. Senjata-senjata itu patah jadi dua bagian. Sementara badan Raden Ronggo tidak lecet sedikitpun. Sebagai orang nomor satu di Mataram Panembahan Senopati malu terhadap sifat anaknya yang suka pamer ilmu kesaktian itu. Hingga pada suatu siang..

“Ronggo, pergilah temui Eyang Juru Mertani. Bergurulah kepadanya, tuntut ilmu sebanyak-banyaknya pada beliau“

“Beribu maaf ayahanda Senopati. Apakah nanda belum cukup sakti? Sehingga ayahanda menyuruh saya untuk berguru pada Eyang Juru Mertani?”

Panembahan Senopati menarik nafas panjang. Kalau bukan anaknya tentu sudah di tempeleng pemuda ini sampai pecah kepalanya.

“Jangan banyak bicara Ronggo, turuti perintah ayahandamu ini. Akan banyak pelajaran yang berharga dari Eyangmu itu. Tidak hanya ilmu kedigdayaan yang selalu kau agung-agungkan itu”

Raden Ronggo yang bisa melihat kalau ayahandanya sudah mulai marah. Segera bangkit dari tempat duduknya. Menyembah hormat. Kemudian beranjak dari pendopo itu. Dasarnya pemuda ini rada tengil dia tidak keluar dari pintu gerbang tetapi menembus tembok. Tembok setebal dua jengkal orang dewasa bobol di terjang tubuhnya. Tidak berapa lama Raden Ronggo telah sampai di kediaman Ki Juru Mertani. Rumah itu lengang. Tidak ada seorang pun yang tampak. Raden Ronggo beranjak ke pendopo yang berada di samping rumah. Pendopo itu pun kosong. Ada seorang tukang kebun yang sedang menyapu halaman di depan pendopo. Tanah hampir tertutup oleh daun sawo kecik yang berguguran.

“Genju..”

Raden Ronggo memanggil tukang kebun yang sedang menyapu.

Si tukang kebun berbadan kecil yang di panggil dengan nama Genju. Buru-buru meletakkan gagang sapu lidi yang sedari tadi dipegangnya. Tergopoh-gopoh Genju menghampiri Raden Ronggo yang berdiri di depan pendopo.

"Ada apa Gusti?" Genju menyembah hormat.

Dia tidak berani memandang wajah putra pertama Panembahan Senopati itu.

“Dimana Eyang Juru?”

“Ki Juru sedang sholat di masjid yang ada di belakang rumah. Mari saya antarkan Gusti?”

“Tidak usah Genju. Aku saja yang akan kesana sendiri. Selesaikan saja tugasmu”

Raden Ronggo berjalan ke belakang rumah. Dilihatnya ada sebuah masjid kecil atau surau. Dindingnya terbuat dari papan papan kayu jati yang sangat kuat. Sementara atapnya menggunakan daun rumbia. Surau itu terletak di atas sehingga ada undak-undakan yang terbuat dari batuan marmer hitam tebal keras. Dari tempatnya berdiri sayup-sayup Raden Ronggo mendengar suara Ki Juru Martani sedang melafalkan bacaan sholat. Raden Ronggo berjalan gontai menapaki undakan demi undakan. Lalu dia duduk di undakan ke dua dari atas. Menunggu Eyangnya selesai sholat.

Tidak berapa lama terdengar suara Ki Juru Mertani menutup sholat dengan salam. Hati Raden Ronggo bersuka ria karena tidak perlu menunggu lama dan akan memiliki ilmu kedigdayaan baru. Hanya saja hal itu cepat menguap, tatkala terdengar suara Ki Juru Mertani melanjutkan dengan membaca Al-Quran. Waktu seakan lama berjalan. Raden Ronggo sudah bosan menunggu. Hatinya mengumpat habis-habisan. Sambil menunggu Ki Juru Mertani yang masih mengaji. Jari tangannya di tusuk-tusukan ke arah batu marmer keras itu. Anehnya batu itu tembus. Seperti tanah liat lunak. Jari Raden Ronggo amblas masuk di batu keras itu. Kini tampaklah undak-undakan batu itu berlubang-lubang oleh ulah Raden Ronggo. Saking asyiknya melubangi batu dengan jari dia tidak menyadari kalau ki Juru Mertani sudah selesai mengaji dan memperhatikan kelakuannya.

“Ngger....”

Raden Ronggo terkejut.

“Eyang....”

Putra sulung Panembahan Senopati itu segera berdiri dari tempat duduknya. Menyalami Ki Juru Mertani lalu mencium punggung tangan lelaki tua itu.

“Ayo duduk di tempatmu tadi. Eyang juga ingin duduk di sana. Hawanya lebih sejuk”

“Monggo Eyang“

Keduanya kemudian duduk di tempat Raden Ronggo tadi.

“Ada angin apa kamu datang kesini Ngger?”

“Saya kesini atas keinginan ayahanda Senopati. Disuruh untuk berguru pada Eyang. Saya tidak habis pikir. Semua jagoan Mataram sudah bertekuk lutut di hadapan saya. Tapi mengapa ayahanda inginkan saya berguru pada Eyang? Saya kurang sakti apalagi?”

Raden Ronggo berbicara dengan sombongnya. Ki Juru Mertani hanya tersenyum. Orang tua bijaksana itu yang dulu merupakan sahabat dekat Ki Ageng Pemanahan yang merupakan ayah dari Sutowijaya atau sekarang yang lebih dikenal dengan nama Panembahan Senopati itu lalu berkata.

“Tadi Eyang melihat jarimu menembus batu-batu keras itu? Apakah tidak patah jarimu itu?”

Raden Ronggo tersenyum pongah.

“Itu bukan batuan Eyang itu gethuk (makanan dari singkong yang ditumbuk). Lihat saja sangat empuk hingga dengan mudah jari-jari ini dapat menembusnya tanpa kesulitan. Sepertinya Eyang harus mengganti dengan batu yang lebih kuat dan bagus.”
Ki Juru Mertani kembali tersenyum bijak.

“Begitu toh Ngger, Eyang sengaja memakai batu itu karena kuat dan tebal. Kamu bilang empuknya seperti gethuk. Eyang masih tidak percaya. Jangan-jangan itu penjualnya bohong ke Eyang“

“Coba sekali lagi kau colokkan jarimu ke batu itu. Eyang ingin membuktikan lagi“

Pandangan Raden Ronggo berkilat-kilat. Dia yakin batu tebal itu akan amblas terkena ujung jari telunjukknya. Tanpa banyak bicara di tusukan jari tangannya ke arah undakan batu itu. Tapi apa yang terjadi batu itu menjadi keras. Raden Ronggo mulai meradang dan penasaran karena tadi batu itu begitu empuk. Diam-diam dia lipat gandakan tenaga dalamnya. Keringat menitik dari sudut keningnya yang tidak tertutup ikat kepala. Dicobanya lagi. Ditusukannya jarinya ke atas undakan batu itu. Jarinya mentok dan patah. Dia meringis kesakitan.

“Bagaimana Ngger?Ternyata masih keras. Eyang sudah berprasangka buruk pada penjual batu ini”

Raden Ronggo diam-diam malu. Ilmu orang tua yang duduk di depannya itu masih lebih tinggi dibandingkan dirinya. Mulai saat itulah Raden Ronggo berguru kepada Ki Juru Mertani. Sikapnya lama-lama berubah lebih bisa mengontrol diri. Panembahan Senopati lega melihat perubahan kelakuan anak sulungnya ini. Akan tetapi, hal itu tidak lama. Karena suatu ketika tabiat Raden Ronggo kembali ke aslinya. Suka pamer kesaktian dan congkak.

***

Kembali lagi kejadian di paseban agung. Tatkala salah seorang Senopati Tuban menantang adu kesaktian dengan Raden Ronggo.

“Bagaimana adi Senopati?! Apakah senopatiku bisa menjajal kedigdayaan anak lelakimu itu?

“Maaf Kanda Adipati. Bukan maksud saya menolak. Akan tetapi Beksa Rangin hanya pertunjukan. Saya pribadi tidak mau ada adu kesaktian di sini. Saya terpaksa mengijinkan putra saya untuk membawakan Beksa Rangin sebagai permintaan Kanda Adipati sebagai tamu kehormatan di Mataram ini”

“Ah.. adi Senopati terlalu banyak alasan. Saya yakin adi takut kalau sampai Si Ronggo dipermalukan oleh salah satu senopati Tuban di kandangnya. Adi Senopati terlalu pengecut!”

Air muka Panembahan Senopati berubah. Amarahnya menggelegak saat adipati Tuban menuduhnya seorang yang pengecut.
Dia menoleh ke arah Ki Juru Mertani yang duduk di sampingnya. Orang tua itu tersenyum lalu mengangguk. Artinya, Ki Juru mengizinkan untuk memberi pelajaran kepada kecongkakan Adipati Tuban.

Panembahan Senopati berdiri dari tempat duduknya. Suaranya yang lantang dan berwibawa bergema memenuhi ruangan paseban agung.

“Orang Selo bukan pengecut! Orang Mataram bukan kumpulan penakut! Baiklah Kanda Adipati. Saya ijinkan putra saya meladeni senopati mu. Silahkan monggo ke depan...”

BERSAMBUNG
close