Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ASMARA GILA


DI DALAM KEDAI yang tak seberapa besar itu hawa terasa hangat dan pengap padahal di luar hujan rintik-rintik dan angin bertiup cukup keras. Rana Wulung seharusnya sudah sejak tadi meninggalkan kedai dengan perut kenyang. Rana Wulung meletakkan gelas tuaknya ke atas meja perlahan-lahan. Seorang gadis berwajah manis yang setiap mata lelaki tak mau berkedip memandangnya, duduk di depannya persis. Tampak sedang menikmati nasi pecel dengan lauk ikan mas goreng di atas piring yang terbuat dari tanah liat berlambarkan daun pisang.

Si jelita itu makan dengan tenang di depannya. Kepalanya hampir selalu tertunduk. Namun dari tempatnya duduk Rana Wulung bisa melihat hampir keseluruhan wajah yang cantik itu. Sang dara mengenakan pakaian kuning gading sebentuk kebaya panjang dengan kancing besar-besar yang tebuat dari kain putih. Gadis itu tidak lain Sri Tanjung, gadis yang ditemukan di tengah hutan Wonogalih. Korban penculikan gerombolan rampok Suro Gedug.

"Sri Tanjung... apakah kau anak dari pejabat tinggi di Mataram?"

Sri Tanjung menghentikan suapannya. Kepalanya mendongak, memandang ke arah Rono Wulung.

“Mengapa tiba-tiba kau bertanya seperti itu Rana? Apakah ada bedanya anak pejabat dengan anak rakyat jelata?”

Ranu Wulung tersenyum.

“Bukan seperti itu maksud ku. Aku lihat kau tampak berbeda dari gadis desa kebanyakan.”

Sri Tanjung bersemu merah pipinya. Kemudian dia menjawab.

“Aku kebetulan anak dari salah satu orang kepercayaan Gusti Senopati di Mataram. Ayahku seorang bekel di Mataram.“

Terbeliaklah sepasang mata Rana Wulung. Mulutnya ternganga. "Betulkah?!" tanyanya ingin meyakinkan.

Sri Tnjung mengangguk. Lalu dia melanjutkan suapannya yang hanya tinggal beberapa gelintir. Buru-buru Rana Wulung menyembah Sri Tanjung.

“Maafkan hamba Den Ayu, hamba yang ndeso ini tidak tahu siapa Den Ayu sebenarnya”

“Sudah Rana, tidak perlu menyembahku seperti itu. Jasa mu sungguh banyak untukku. Kau sudah menyelamatkan hidupku.”

Dan memang terasa sebagai satu kerugian besar bagi Rana Wulung jika saja dirinya tidak mengantarkan gadis itu ke Mataram. Dengan ikut ke Mataram bukankah lebih mudah mendapat jalan untuk mencapai cita-cita yang diidam-idamkannya selama ini yaitu menjadi Senopati Kerajaan?! Apalagi dia telah menanam jasa kepada seorang anak petinggi di Mataram.

“Tadi kau sempat mengatakan kepadaku bahwa kau baru turun dari Gunung Merapi?“

"Betul, Den Ayu." jawab Rana Wulung.

"Kalau begitu pastilah pendekar murid orang tua sakti yang bernama Empu Wanabaya."

Rana Wulung menggeleng perlahan. Di sebutnya nama Empu Wanabaya membuat hatinya tidak enak karena mengingatkan dia atas pembunuhan yang dilakukannya terhadap orang tua itu!

***

HUJAN yang tadi hanya rintik-rintik turun dengan deras seperti tercurah dari langit. Senja itu suasana diselimuti kegelapan layaknya sudah malam. Sesekali halilintar menyambar ganas dan guntur menggelegar menggoncang bumi. Dalam keadaan seperti itu tidak mungkin Rana Wulung melanjutkan perjalanannya ke Mataram.

"Tuaknya tambah den……?"

Rana Wulung berpaling. Pelayan perempuan paruh baya memakai kemben coklat menawarkan minuman lagi.

"Cukup. Perutku sudah kenyang dan rasa hausku sudah lepas……Sebentar lagi aku akan pergi….."

"Hujan masih mengguyur dengan deras. Kali Winongo meluap sampai menggenangi beberapa desa di depan. Kemungkinan surut baru besok pagi Den.“

Kelihatannya raden dan den ayu ini keletihan dan mengantuk. Jika ingin istirahat, di belakang ada penginapan. Beberapa kamar masih kosong bisa untuk berbaring-baring….."

Rana Wulung menoleh ke arah Sri Tanjung.

“Baiklah Mbok, saya akan menginap disini malam ini. Sampai air surut. Kalaupun memaksakan diri untuk berangkat sekarang musti memutar jalan. Dan itu lebih jauh. Sehingga memakan waktu yang lama.”

Sri Tanjung tanpa berpikir panjang lagi menerima usulan si pelayan warung.

Rana Wulung hanya menerima saja tatkala harus menginap malam ini di penginapan. Sesungguhnya badan juga terasa capek dan letih. Hampir tidak memejamkan mata barang sekejap. Semenjak dirinya turun dari Gunung Merapi dua hari yang lalu.

***

DI BAGIAN belakang rumah makan itu penginapan. Sebuah kamar-kamar berjajar rapi sekitar tujuh kamar. Di depan masing-masing kamar terdapat taman kecil dengan bunga-bunga beraneka warna. Sementara satu kursi panjang terpampang di serambi kamar yang hanya berukuran kecil.

Setelah mengantar Rana Wulung dan Sri Tanjung. Pelayan warung itu kembali ke depan. Sri Tanjung lalu merebahkan tubuhnya di atas ranjang dengan sprei berwarna biru. Dua kancing kebaya kuning gadingnya bagian atas sengaja dibiarkan terlepas sehingga membuat payudara gadis itu tersembul menantang. Rana Wulung sedikit jengah dan tidak nyaman melihat hal itu. Lalu dia melangkah ke luar.

“Maaf Den Ayu, saya duduk-duduk dulu di depan mencari angin segar. Di sini kamarnya terlalu pengap. Udara tidak bisa masuk dengan bebas.“

Sri Tanjung hanya mengangguk saja. Tanpa menunggu lama Rana Wulung berjalan keluar kamar. Di hempaskan tubuhnya ke atas bangku panjang yang ada di depan kamar. Di kepalanya sudah muncul khayalan-khayalan sesampainya di Mataram tentu dia akan disambut layaknya senopati yang baru pulang dari medan perang. Kemudian tentu orang tua Sri Tunjung yang seorang bekel itu akan dengan mudah membuatnya menjadi salah satu senopati tinggi di Mataram. Derajatnya akan langsung naik, orang-orang akan hormat kepadanya. Rana Wulung tersenyum-senyum sendiri. Lamunannya pecah tatkala terdengar suara panggilan dari dalam kamar.

“Rana..kemarilah....”

"Den Ayu memanggil saya?" tanya Rana Wulung setelah terlebih dahulu menyembah hormat.

Gadis itu mengangguk.

"Mataram masih jauh dari sini, Rana..."

"Saya tahu Den Ayu..."

"Untuk kesekian kalinya aku mengucapkan terimakasih karena telah menyelamatkan diriku. Aku tidak tahu lagi bagaimana nasibku jika kau tidak datang Rana. Sebagai balas budi ku, aku akan membujuk ayah ku untuk mengangkatmu sebagai prajurit di Mataram. Atau kalau bisa mungkin kau bisa diangkat menjadi salah satu senopati di Mataram. Ilmu kesaktianmu sangat tinggi. Mataram butuh orang-orang sepertimu.”

"Aku tidak berani menolak, Den Ayu. Apa lagi baktiku kepada tanah air kalau bukan berbakti pada Mataram?"

"Terima kasih Rana...

"Buang saja sebutan Den Ayu itu, Rana. Panggil saja namaku Sri Tanjung..." potong gadis itu.

"Baik... baik Den... maaf Sri Tanjung Tunjung," kata Rana Wulung pula gugup.

Di lain pihak pada saat itu Sri Tanjung diam-diam tengah memperhatikan pemuda itu dengan kedua bola matanya yang hitam dan bersinar-sinar penuh kagum akan kegagahan si pemuda apalagi sesudah mengetahui ketinggian ilmunya. Rana Wulung sama sekali tidak mengetahui bahwa meski Sri Tanjung adalah salah satu anak bekel di Mataram. Tapi gadis itu bukanlah gadis yang bersifat dan berkelakuan baik-baik.

Semua orang di Mataram sudah tahu akan tabiat gadis itu. Adalah memalukan seorang keluarga pejabat bertabiat seperti Sri Tanjung. Tapi apakah mereka musti mengadu pada orang tua Sri Tanjung yang merupakan salah satu orang terhormat di Mataram? Salah-salah mereka bisa mencari penyakit sendiri! Dituduh memfitnah!

Dilubuk hati Sri Tanjung saat itu, di balik pandangan matanya yang bersinar-sinar itu bergejolak satu hasrat kotor yang membuat darah diseluruh pembuluh tubuhnya laksana mendidih. Kening dan puncak hidungnya penuh oleh butir-butir keringat sedang pandangan matanya semakin berani dan sikap duduknya semakin menantang.

"Keras benar angin dari luar sana. Aku mulai kedinginan..." kata Sri Tanjung. "Tolong tutupkan pintu itu, Rana."

"Baik Den... Tanjung." Rana Wulung melangkah ke pintu dan sambil menutupkan daun pintu dia hendak keluar.

"Oh, maksudku... aku tidak menyuruh kau keluar Rana," kata Sri Tanjung pula ketika dilihatnya pemuda itu menutupkan pintu sambil berjalan keluar.

"Tutupkan saja dari dalam sini."

Rana Wulung masuk kembali ke dalam dengan perasaan heran. Ditutupnya pintu itu dari dalam. Ketika dia memutar tubuh, Sri Tanjung tersenyum padanya. Aneh senyum gadis itu di mata si pemuda. Berdesir darah Rana Wulung, berdebar dadanya sewaktu Sri Tanjung berkata,

"Besok pagi kau akan mengantarku pulang ke Mataram. Berarti malam-malam begini kau butuh istirahat yang cukup, Rana."

"Aku rasa begitu..."

"Nah, kau boleh beristirahat disini, Rana."

"Biar aku tidur di bangku serambi saja Tanjung."

Sri Tanjung tertawa. Seraya berdiri dari tempat tidur dia berkata, "Mengapa harus menyusahkan diri saja, Rana? Kau istirahat disini sambil bicara-bicara denganku. Kau tahu, aku orang yang paling senang bercakap-cakap."

Perasaan aneh mula-mula yang ada didiri Rana Wulung kini berubah menjadi satu prasangka adanya maksud-maksud yang tidak senonoh dari gadis itu. Tapi seorang anak pejabat yang terhormat mempunyai sifat begitu rupa? Sementara Rana Wulung berdiri mematung di tengah kamar itu, Sri Tanjung datang melangkah mendekatinya.

Senyum yang menawan dan sinar matanya yang mengundang memukau Rana Wulung. Walau bagaimanapun Rana Wulung adalah seorang laki-laki, seorang pemuda yang baru saja turun gunung dan tak banyak tahu tentang seluk beluk hidup di dunia luar, apalagi cara-cara untuk menjauhkan diri dari semua nafsu itu.

Meski mula-mula hatinya bingung bercampur takut menghadapi sikap Sri Tanjung namun ketika gadis itu memeluknya dan menyandarkan kepalanya ke dada, Rana Wulung mulai memberikan reaksi, reaksi sebagai seorang pemuda yang berdarah panas! Dirangkulnya tubuh dara itu erat-erat dalam gejolak nafsu yang seumur hidupnya baru kali itu dirasakan oleh Rana Wulung. Namun sesaat kemudian kambuh lagi rasa kawatirnya.

"Tanjung, kalau pemilik penginapan memergoki kita berdua-duaan begini, kita bisa celaka..."

Sri Tanjung tertawa merdu. Rasa digelitik liang-liang telinga pemuda itu, tambah terangsang darah mudanya mendengar suara tertawa itu. "Dia tahu siapa aku. Rana. Dan dia juga tahu apa yang bakal menimpanya jika berani-beranian turun tangan. Aku sanggup menyuruh tutup penginapan dan rumah makannya! Bahkan lebih dari itu aku bisa menjebloskannya ke dalam penjara."

Rana Wulung yang tahu bahwa Sri Tanjung adalah anak seorang pejabat, dengan sendirinya mempercayai ucapan gadis tersebut. Karenanya lenyaplah kekhawatirannya dan kembali keberanian membuat nafsunya mengumbar. Gadis itu dipeluknya erat-erat hingga Sri Tanjung merintih antara kesakitan dan kenikmatan! Ada kira-kira sepeminuman teh kedua insan berlainan jenis itu berpagut-pagutan di dalam kamar. Sesaat kemudian keduanya pun telah berada ditempat tidur. Berpagut dan berguling seperti sepasang ular!

BERSAMBUNG
close