Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KERIS PUSAKA PENEBAR MAUT


DI DALAM hutan belantara Wonogalih di sebelah barat Gunung Merapi Suro Gedug menyambut kedatangan anak buah kepercayaannya yang bernama Gendruk yang baru saja kembali dari penjarahan di Kaliwungu dinihari tadi. Begitu Gendruk melompat turun dari kudanya, Suro Gedug menepuk-nepuk bahunya. Suro Gedug adalah pimpinan rampok dan gegedug maling hutan Wonogalih. Dia memiliki badan tinggi besar, kulit yang hitam legam dan hanya memiliki satu mata, serta cacat bekas tikaman senjata tajam di pipi kanan.

"Bagus! Kau ternyata mampu bergerak sendiri Gendruk! Satu pertanda bahwa kau semakin kuat!" kata Suro Gedug.

Gendruk tertawa sambil mengusap-usap dagunya yang ditumbuhi janggut kasar.

Suro Gedug bertanya, "Apakah kau tidak menemui kesulitan?"

"Sama sekali tidak kakang Suro. Hanya tadi seorang anak buah ku terbunuh oleh Lurah Lakiwungu. Tapi pada akhirnya lurah itu minggat nyawanya di ujung pedang ini“.

Gendruk mengusap-usap hulu pedang yang berbentuk kepala burung garuda yang terselip di pinggang kirinya.

“Wong-wong Mataram jarang patroli di daerah Merapi ini. Apalagi sekarang ini suhu Mataram dan Pajang sedang memanas sehingga keamanan rakyatnya jadi terlupakan." jawab Gendruk.

Suro Gedug tertawa gelak-gelak. "Mana mereka berani terhadap kita. Baru melihatmu saja mereka sudah terkencing-kencing ketakutan. Kalaupun mereka tahu kita hendak menuju satu sasaran, mereka sengaja menghindar ke jurusan lain, pura-pura tidak tahu!" Suro Gedug tertawa lagi.

“Sebisanya jangan sampai bentrok dengan orang-orang Mataram kakang. Setahuku banyak senopati-senopati Mataram yang sakti mandraguna. Daripada nanti urusannya jadi kapiran”.

"Eh… banyakkah hasil kita kali ini?" Suro Gedug memandang berkeliling.

"Rejeki kita besar sekali hari ini Kakang," menjawab Gendruk

"Apa yang kita sangka tidak meleset. Kaliwungu memang desa kaya. Lihat ini!"

Gendruk melangkah ke arah kuda tunggangannya lalu melepas dua katong besar yang tergantung di pelana kuda. Terdengar suara gemerincing sewaktu kantong itu jatuh di tanah. Suro Gedug membungkuk, membetot lepas ikatan kantong kain lalu memasukkan tangannya ke dalam kantong. Ketika tangannya itu diangkat kelihatan dia menggenggam uang perak dan beberapa potong perhiasan dari emas! Kedua mata Suro Gedug tampak berkilat-kilat.

"Kita akan rayakan peristiwa besar ini nanti malam!" kata Suro Gedug.

"Cocok!" teriak Gendruk. "Tapi kau belum melihat. Ada lagi barang antik yang kudapat di Kaliwungu!" kata Gendruk. Dia mengangkat tangannya, memberi tanda pada anak buahnya.

Seorang anggota komplotan muncul menarik seekor kuda. Di punggung binatang ini melintang sesosok tubuh yang ditutupi dengan sehelai kain jarik. Anggota komplotan itu membawa kuda yang ditariknya ke hadapan Suro Gedug. Gendruk kemudian mendekat dan menarik selimut yang menutupi. Begitu selimut tersingkap kelihatanlah sesosok tubuh seorang gadis, tergeletak menelungkup di atas punggung kuda.
Lalu di baliknya tubuh yang menelungkup dan masih dalam keadaan pingsan itu. Kini kelihatan Wajah gadis yang pingsan itu. Pakaiannya di sebelah dada terbuka membuat payudaranya tersibak menggelembung padat. Rambutnya yang panjang hitam tergerai hampir menyetuh tanah. Kedua mata Suro Gedug berkilat-kilat.

"Anak siapa dia?"

"Sepertinya anak orang penting di Kaliwungu."

"Hemmm, tidak di sangka desa itu menyimpan barang antik begini rupa. Kaliwungu bukan saja memberikan uang dan perhiasan, tetapi juga barang antik ini!" pimpinan gerombolan rampok Wonogalih itu tertawa mengekeh.

"Jadi kita pesta malam ini?"

"Pesta semalam suntuk!" jawab Gendruk.

Anggota rampok yang ada di sekitar situ dan mendengar hal itu serta merta bersorak gembira.

"Tapi ingat besok malam kita segera ke Pajang. Menemui orang itu.” Suro Gedug berteriak dari tempat berdirinya. Semua anggota gerombolan perampok itu mengangguk hormat.

Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda di kejauhan. Makin lama semakin dekat.

"Ada orang datang. Tampaknya cuma sendirian. Kalian bersiaplah!" kata Suro Gedug.

Masing-masing anggota rampok itu memegang hulu golok dan pedang yang terselip di pinggang. Derap kaki kuda terdengar semakin keras. Tak lama kemudian muncul seorang penunggang kuda yang memacu tunggangannya dengan kencang.

"Cuma seorang pemuda gemblung mengantar nyawa!" memberi tahu salah seorang komplotan rampok.

Kuda putih yang ditunggangi seorang pemuda itu berhenti tepat di hadapan para rampok penghuni hutan Wonogalih. Gerombolan rampok yang menjarah Kaliwungu tadi malam ternyata rata-rata memiliki tampang seangker setan. Kumis dan cambang yang tidak teratur membuat tambah seram penampilannya. Tergetar hati pemuda penunggang kuda itu. Belum pernah dia melihat manusia seseram yang di hadapannya. Diam-diam nyali pemuda ini gentar juga. Terlihat gemetar tatkala meloncat dari punggung kudanya.

Digenggamnya erat-erat keris berhulu gading berwarna kekuningan yang terselip di pinggang. Keris itu tidak memiliki sarung dan hanya dibalut dengan kain berwarna putih yang warnanya telah kusam dan bernoda. Sesaat hawa hangat menjalar melalui tangan kemudian menyebar diseluruh tubuh kemudian menjadi panas. Mukanya bersemu merah. Dirasakannya tubuhnya menjadi ringan dan timbul kepercayaan diri pada pemuda itu.

Melihat orang terkesiap, anggota gerombolan hutan Wonogalih yang bermata juling dengan rambut gondrong yang acak-acakan tertawa bergelak.

“Baru melihat tampang kita saja kau sudah kencing di celana. Pergi sana!”

Pemuda yang baru datang itu tidak bergeming. Senyuman berupa seringai terpapar di bibirnya. Setengah mengejek dia berkata.

“Kalian manusia kerak neraka, manusia pengecut. Beraninya merampok penduduk desa yang tidak memiliki kepandaian apa-apa. Aku kesini akan merebut apa yang telah kalian ambil dari Desa Kaliwungu!”

“Eh, ada juga penduduk yang punya nyali berani mengejar! Kamu pulang saja anak ingusan! Kami sekarang lagi bersuka cita. Kami ampuni selembar nyawa anjing mu yang tidak seberapa itu.”

Gendruk maju ke depan. Jarak rampok itu hanya sekitar satu depa dari tempat pemuda asing yang baru datang dengan kuda putihnya. Cepat sekali Gendruk hantamkan kaki kanannya menendang perut si pemuda. Tampaknya pemuda ini tidak memiliki ilmu kanuragan sehingga sulit untuk dapat mengelak. Yang ditendang langsung terpental dan jatuh bergedebukan ke tanah. Tapi anehnya pemuda itu sama sekali tidak merasa sakit!

“Aku kebal pukulan!” desis si pemuda sambil pegangi perutnya seperti tidak percaya. Cepat dia berdiri.

Gendruk terkejut karena menyangka pemuda itu paling tidak telah jatuh pingsan dihantam tendangannya itu.

“Keparat! Kau benar-benar minta mampus!”

Gendruk menggeram marah.

Pemuda itu meloloskan sebilah keris yang dari tadi terselip di pinggangnya. Keris itu tergenggam ditangan kanannya, memancarkan sinar biru kemerahan yang berasal dari pamornya. Menggidikkan.

"Rampok-rampok rendah! Lekas tinggalkan tempat ini beserta barang rampokan kalian. Kalau tidak mau aku terpaksa mengirim kalian menemui malaikat maut!" demikian bentak pemuda itu yang ternyata Rana Wulung gagah laksana seorang pendekar digjaya meski dia sama sekali tidak tahu satu jurus ilmu silatpun!

Tapi dia percaya dengan kesaktian keris Kelabang Sewu. Sewaktu keris ini dipegangnya pertama kali tadi, satu hawa aneh telah menyelimuti sekujur tubuhnya hingga tubuhnya terasa sangat enteng sedang satu kekuatan yang luar biasa terpusat di kedua kaki dan kedua tangannya! Bahkan ketika ditendang oleh Gendruk dirinya sama sekali tidak merasa sakit.

"Kurang ajar! Pemuda kesasar dari mana yang mau jadi jago!" teriak salah seorang anggota rampok, lalu menerjang dan membabatkan golok besarnya ke kepala Rana Wulung.

***

Seperti telah diketahui Rana Wulung hanyalah seorang pemuda pembantu Empu Wanabaya yang sama sekali tidak tahu seluk beluk ilmu kanuragan, apalagi segala macam ilmu kesaktian. Tapi berkat kesaktian yang luar biasa dari keris Kelabang Sewu, pada saat golok perampok menderu ke kepalanya, secara aneh satu kekuatan gaib yang ada pada keris sakti itu membimbing tangan Rana Wulung dan membuat satu gerakan yang cepat sekali, menangkis dengan keris Kelabang Sewu!

"Tranggg...!"

Bunga api memercik. Golok besar ditangan si perampok patah dua dan ke udara. Selarik sinar biru kemerahan sinar keris Kelabang Sewu menderu lalu terdengarlah pekik rampok yang goloknya patah mental tadi. Tubuhnya terhujung kebelakang sambil kedua tangannya memeganggi dadanya yang tertusuk Kelabang Sewu. Sesaat kemudian dia roboh ke tanah yang becek tanpa nyawa.

Melihat munculnya seorang pemuda yang tak dikenal yang dalam satu gebrakan saja berhasil merobohkan kawan mereka, rampok-rampok yang lainpun menjadi marah. Tujuh anggota rampok itu lantas menyerbu Rana Wulung. Mulanya hati Rana Wulung kecut juga melihat datangnya serbuan itu. Tapi dengan penuh keyakinan dia menghadapinya. Tubuhnya berkelebat ringan diantara deru senjata-senjata lawan. Sinar biru kemerahan keris Kelabang Sewu bergulung-gulung dan dalam dua jurus saja enam perampok bergeletakan tanpa nyawa lagi! Satu orang yang masih hidup tentu saja tak punya nyali lagi untuk melanjutkan pertarungan.

Suro Gedug dan Gendruk baru sadar ternyata pemuda asing itu bukanlah orang sembarangan. Mampu menghabisi tujuh anak buahnya dalam waktu yang singkat.

“Kakang Suro Gedug, biar bocah gemblung itu aku yang akan menghadapinya.“

Gendruk berbisik pada kakaknya.

“Hati-hatilah dengan keris yang ada di tangannya Gendruk.“

Gendruk mengangguk. Serata merta tubuhnya melompat ke arah Rana Wulung. Pedang panjang berwarna hitam itu membabat cepat ke arah badan Rana Wulung. Ujung tajam senjata di tangan Gendruk menderu menyambar ke arah tenggorokan Rana Wulung. Serangan ini sama sekali tidak terduga dan sangat cepat. Rana Wulung berseru tegang. Dia melompat sambil miringkan kepala untuk selamatkan leher. Dia berhasil. Tapi lagi-lagi tidak terduga pedang itu menukik ke bawah, menyapu ke arah perut.

Untuk kedua kalinya Rana Wulung berkelit dengan melompat ke belakang. Meskipun dia sempat menyelamatkan perutnya yang hendak direnggut senjata lawan, namun Rana Wulung tidak mampu menyelamatkan paha kanannya. Ujung tajam pedang hitam merobek dan menembus paha celana Rana Wulung lalu melukai daging pahanya. Rana Wulung mengerenyit. Torehan luka itu terasa seperti api membara. Dia sadar kalau senjata lawan memiliki racun sangat jahat! Di depannya Gendruktertawa bergelak.

"Pemuda gila! Ternyata hanya sebegitu saja kehebatanmu! Kau tunggulah beberapa kejapan mata! Racun pedang hitam ku ini akan menghancurkan jantungmu!

"Manusia iblis! Jangan terlalu cepat gembira!" jawab Rana Wulung.

Meskipun Empu Wanabaya menyatakan bahwa keris Kelabang Sewu bisa meredam dan menawarkan terhadap segala macam racun namun Rana Wulung tak mau bertindak gegabah. Diam-diam ditempelkan mata keris Kelabang Sewu ke arah pahanya yang tergores pedang. Ada hawa dingin yang merasuk. Panas membara yang tadi sempat dirasakan saat terkena mata pedang hitam. Hilang sirna tidak dirasakannya lagi.
Gendruk menunggu beberapa saat. Pada perkiraan hitungan yang kesepuluh hatinya mulai risau dan tampangnya berubah. Pemuda di hadapannya itu masih tegak berdiri. Sama sekali tidak menemui kematian akibat racun ganas pedang hitamnya!

Tak ada jalan. Dia harus benar-benar melumat tubuh pemuda itu. Maka didahului satu bentakan keras Gendruk menyerbu dengan senjata beracunnya. Serangannya sungguh luar biasa. Pedang besar berwarna hitam di tangannya lenyap, berubah menjadi lingkaran-lingkaran yang sabung menyabung mengurung Rana Wulung dari segala penjuru.

Sebagai orang kedua dalam komplotan rampok memang Gendruk memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Antara dia dengan Suro Gedug hanya terpaut satu tingkat saja. Tetapi Suro Gedug memiliki satu kehebatan yang tidak dimiliki oleh Gendruk yakni semacam ilmu kebal yang membuatnya tidak mempan pukulan maupun senjata. Tubuhnya bisa dibuat babak belur tetapi tidak mungkin untuk membunuhnya.
Untuk beberapa lamanya Rana Wulung merasakan dirinya tertekan dan seolah-olah tak bisa keluar dari buntalan serangan lawan. Hanya kecepatan geraknya saja yang mampu mengimbangi serangan Gendruk. Setelah didesak terus selama empat jurus Rana Wulung mulai berusaha mengirimkan serangan-serangan balasan. Ada kekuatan aneh yang seperti menggerakkan tubuhnya untuk berkelit ataupun menyerang.

Rana Wulung menghantam hebat dengan kerisnya beberapa kali, tapi hanya mendapatkan pukulan-pukulannya menghantam tempat kosong. Tak ada jalan lain. Dia harus menjaga jarak terhadap lawan. Dengan kata lain dia harus menjauhkan diri hingga punya kesempatan untuk melancarkan serangan. Rana Wulung keluarkan bentakan nyaring. Tubuhnya berkelebat ke arah kerapatan pohon-pohon jati. Gendruk mengejar. Rana Wulung melompat kebalik pepohonan yang lain. Begitu dilakukannya berulang kali.

"Pengecut!" teriak Gendruk. Pedang hitam di tangan kanannya menderu kian kemari. Batang-batang pohon berlubang-lubang dan terbongkar berantakan. Dapat dibayangkan kalau senjata Itu sempat mengoyak tubuh Rana Wulung.

"Keparat! Yang kuhadapi bukan manusia! Bagaimana dia bisa memiliki kekuatan sehebat itul" berucap Gendruk dalam hati. Dia segera mengeruk saku pakaiannya mengambil senjata rahasia berupa paku-paku berwarna hitan sepanjang telunjuk orang dewasa. Selagi dia mengintai mencari kesempatan untuk melepaskan senjata rahasia itu, dari seberang sana Rana Wulung menghantam dengan pukulan sakti. Selarik sinar biru kemerahan keluar dari ujung keris Kelabang Sewu menderu ke arah Gendruk. Gendruk memaki habis-habisan. Dia selamatkan diri dengan membuat lompatan berputar hingga akhirnya dia berada tepat di belakang Rana Wulung.

"Sekarang tamat riwayatmu!" gertak Gendruk. Didahului dengan melemparkan lima senjata rahasia berupa paku hitam itu.

Gendruk kemudian menyerbu dengan pedang hitam beracun. Saat dia melompat itulah, Rana Wulung pukulkan tangan kanannya. Dua senjata rahasia lawan mencelat mental. Yang tiga lainnya dihindarkan dengan menjatuhkan diri ke tanah. Selagi Rana Wulung bergulingan Gendruk cepat mendatangani sambil ayunkan pedangnya ke perut Rana Wulung. Kaki kanan Rana Wulung melesat ke atas lebih cepat.

Kraakkk!

Tulang sambungan siku tangan kanan Gendruk hancur. Pedang yang digenggamnya terlepas mental jeritan orang ini seperti merobek langit. Dengan kalap tangan kirinya mengeruk saku pakaiannya untuk mengambil senjata rahasianya. Namun kembali kaki kanan Rana Wulung bergerak. Kali ini menyapu kedua pergelangan kakinya. Tak ampun lagi!

Gendruk terbanting terbanting tertelentang di tanah. Sewaktu dia mencoba bangun lutut kiri Rana Wulung sudah menekan perutnya. Diangkat keris Kelabang Sewu tinggi-tinggi ke udara lalu di hunjamkan ke dada Gendruk. Jeritan keluar dari mulut perampok itu saat keris Kelabang Sewu bersarang di dadanya. Tidak lama kemudian tubuh itu tidak bergerak lagi. Nyawanya minggat ke neraka!

"Gendruk!" teriak Suro Gedug menggeledek melihat anak buah kepercayaannya itu tewas di depan matanya oleh seorang pemuda asing.

"Anjing kurap! Lebih cepat kau mampus lebih baik!" teriak Suro Gedug. Lalu dia hunus dua pedang pendek. Pedang ini tidak panjang hanya sekitar dua jengkal. Warnanya putih keperakan. Sinar putih keperakan berkelebat ke arah Rana Wulung. Suro Gedug keluarkan seruan tertahan ketika sinar menyilaukan berwarna biru membabat di udara disertai menghamparnya hawa panas menyengat.




Suro Gedug cepat tarik tangannya guna menghindari bentrokan senjata. Dia maklum, keris berluk tiga belas yang ada di tangan lawannya itu sebuah senjata yang ampuh. Rana Wulung giliran merangsek ke depan. Sambil melompat di babatkan keris Kelabang Sewu ke arah leher Suro Gedug. Ia terlambat untuk mengelak. Dan trang!

Suro Gedug berseru kaget sambil melompat mundur. Pedang pendek kembar putihnya kini hanya tinggal gagangnya saja yang ada dalam genggamannya. Bagian yang lain telah amblas putus di hantam senjata lawan. Saat itulah tiba-tiba Suro Gedug menerjang dan hantamkan tinjunya kiri-kanan bertubi-tubi. Rana Wulung terjajar beberapa langkah akibat tinju Suro Gedug yang berhasil mendera dada dan pipi kirinya! Dengan darah mendidih Rana Wulung bacokkan senjatanya. Hebatnya sambil tertawa-tawa Suro Gedug seperti sengaja memasang diri. Pimpinan utama rampok hutan Wonogalih itu yakin ilmu kebal Lembu Sekilan yang dia miliki akan meredam keris berpamor biru kemerahan itu. Tapi apa yang terjadi?!

Pemimpin gerombolan rampok ini meraung dahsyat lalu jatuh dan berguling-guling di tanah. Keris Kelabang Sewu masih menancap di dada kirinya. Rana Wulung berjalan menghampiri pimpinan rampok itu. Begitu sampai di hadapannya Rana Wulung hantamkan kaki kanannya ke selangkangan orang ini. Untuk kedua lalinya Suro Gedug meraung. Tubuhnya kelojotan beberapa kali lalu diam tak bergerak lagi. Gerombolan rampok yang masih tersisa tercerai berai lari tunggang langgang selamatkan diri.

***

Rana Wulung memandang tenda-tenda yang berjajar di tengah hutan Wonogalih. Ada sebuah tenda yang ukurannya lebih besar dari tenda yang lain. Rana Wulung berjalan ke arah tenda besar itu, kemudian menyelinap masuk. Terlihat tumpukan kotak-kotak kayu di dalam tenda itu. Beberapa kotak terbuka. Menampakkan isi perhiasan emas dan beberapa keping uang dari emas. Di pojok tenda ada sebuah ranjang berkelambu merah.

Terlihat sosok tubuh wanita membayang dari balik kelambu. Rana Wulung menyingkap tirai kelambu. Seorang gadis muda terbaring dalam keadaan terikat kaki dan tangan. Pakaian kebaya dan jarik yang dikenakan sudah tidak tentu bentuknya. Terbuka menganga di beberapa bagian. Rana Wulung melangkah kehadapannya, lalu dengan cekatan melepaskan tali yang mengikat tubuh si gadis. Menggunakan selimut yang ada di tutupinya tubuh gadis itu.

"Kisanak, terima kasih atas pertolonganmu." berkata gadis itu.

"Ah... pertolonganku tak ada artinya." jawab Rana Wulung merendah.

"Siapa nama nisanak?"

“Sri Tanjung.. Nama kisanak?”

“Namaku Rana Wulung.“

“Tentu kau seorang pendekar digdaya pilih tanding Rana Wulung?”

"Aku cuma orang gunung yang barusan saja turun dari Gunung Merapi," jawab Rana Wulung.

"Kuharap kau sudi ikut ke Mataram untuk menerima balas jasa dari ayahku."

"Aku menolong tidak mengharapkan balas apa-apa, nisanak." jawab Rana Wulung.

“Cuma karena tujuan kita sama. Aku akan mengantarkan mu pulang ke Mataram. Di luar tadi aku melihat ada kereta kuda yang lumayan nyaman. Bisa kita pakai sampai ke Mataram.”

Dengan memakai kereta kuda Rana Wulung meneruskan pula perjalanan dengan seorang gadis yang duduk di belakangnya. Sepanjang jalan apa yang barusan dialaminya seperti terbayang kembali di depan matanya. Betapa mula-mula dia merasa ngeri diserang oleh perampok perampok hutan Wonogalih itu. Bagaimana kemudian dia menghadapi perampok-perampok itu dengan keris Kelabang Sewu dan membunuh mereka satu demi satu hingga akhirnya pimpinan rampok yang bernama Suro Gedug berhasil dibunuhnya. Kemudian dia ingat pula sewaktu gadis jelita itu Sri Tanjung, tersenyum dan mengucapkan terima kasih!

BERSAMBUNG
close