Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TRAGEDI CINTA RADEN PABELAN


Sepekan sudah Raden Pabelan terjebak tidak bisa keluar dari keputren Pajang. Dia terus bersembunyi di dalam kamar Sekar Kedaton. Keadaan tambah diperparah dengan kecurigaan dayang-dayang dan para emban. Karena hampir sepekan Sekar Kedaton hampir jarang keluar kamar. Kalaupun keluar hanya sebentar-sebentar. Kemudian masuk dan mengunci kamar.

Seperti halnya siang itu. Tatkala Mbok Warsi akan mengantarkan makan siang. Emban tua itu telah sampai di depan pintu kamar Sekar Kedaton. Tangannya hampir terayun untuk mengetuk pintu. Sayup-sayup dia mendengar seperti orang bercakap-cakap di dalam kamar. Meski suara itu pelan dan cenderung berbisik-bisik akan tetapi telinga tuanya masih bisa mendengar. Karena orang tua itu tidak yakin maka ditempelkan telinga pada daun pintu kamar itu. Jelaslah suara itu dari dalam kamar Sekar Kedaton. Seperti suara seorang lelaki. Lalu suara itu seketika lenyap. Keadaan di dalam kamar sunyi kembali.

Mbok Warsi mengetuk pintu kamar Sekar Kedaton.

"Ndoro Putri, hamba membawa makanan untuk makan siang"

Taklama kemudian terdengar suara langkah kaki mendekati pintu. Pintu terbuka. Sekar Kedaton berdiri di balik pintu. Rambutnya dibiarkan tergerai.

"Silahkan masuk mbok. Letakkan saja makanan itu di atas meja"

Di kamar itu ada sebuah meja berbentuk yang tidak terlalu besar dengan dua kursi di kedua sisinya. Mbok Warsi segera meletakkan makanan, minuman dan beberapa buah-buahan di atas meja dengan dibantu oleh dua dayang yang datang menuyusul. Ekor mata Mbok Warsi tanpa sengaja melihat sebuah pakaian lelaki ada di atas ranjang Sekar Kedataon. Kecurigaannya makin bertambah-tambah.

"Kalau sudah, kalian semua boleh pergi. Terimakasih"

Sekar Kedaton mempersilahkan Mbok Warsi dan kedua dayang itu untuk meninggalkan kamarnya. Setelah ketiga orang itu keluar dengan cepat Sekar Kedaton segera menutup pintu dan mengunci pintu dari dalam kamar.

***

JALAK PAKSI duduk di depan gerbang pos penjagaan. Senopati Pajang itu sesekali menenggak air putih yang ada di dalam sebuah kendi. Cuaca hari itu memang sangat panas. Sementara dua prajurit keputren berdiri di depan pintu gerbang. Seorang perempuan tua berjalan tergopoh-gopoh menuju ke pos penjagaan.

"Den Jalak Paksi....."

Senopati Pajang itu menoleh ke arah suara yang memanggil namanya.

"Ada apa Mbok Warsi?"

"Ketiwasan Den... ketiwasan...."

"Ketiwasan apanya Mbok? Masuklah ke dalam. Duduk disini"

Jalak Paksi menyorongkan sebuah kursi kepada Mbok Warsi. Setelah Emban itu duduk di kursi kayu itu.

"Ceritakan yang gamblang Mbok. Apanya yang ketiwasan? Masalah apa ini?!"

Jalak Paksi kebingungan dengan hal yang diucapkan oleh Mbok Warsi. Setelah wanita tua itu bisa menguasai keadaan. Mbok Warsi lalu berkata,

"Beberapa hari ini Ndoro Putri Sekar Kedaton sering melakukan hal-hal yang mencurigakan Den"

"Mencurigakan bagaimana ?!"

"Ndoro Putri jarang keluar kamar. Kalaupun keluar kamar hanya sebentar. Tadi saya juga melihat..."

Mbok Warsi tidak melanjutkan perkataannya. Orang tua itu menengok ke kanan dan ke kiri meyakinkan diri jika tidak ada yang mendengar selain dirinya dan Jalak Paksi.

"Katakan Mbok? Ada apa? Apa yang simbok lihat ?!"

Jalak Paksi tampaknya sudah mulai geregetan dengan Mbok Warsi karena orang tua itu berbelit-belit mengatakan sesuatu yang penting.

'Saya melihat baju lelaki di ranjang Ndoro Putri. Sebelumnya saya juga mendengar seperti ada suara lelaki di dalam kamar"

"Apa?! Benarkah yang kau katakan itu Mbok?!"

Jalak Paksi terhenyak, terkejut. Matanya sampai setengah terbelalak.

"Iya Den, masa iya saya berbohong. Saya takut Ndoro Putri diapa-apain oleh orang yang mungkin beberapa hari ini bersembunyi di dalam kamarnya"

"Pabelan...." desis Jalak Paksi murka.

"Kembali lah ke kaputren Mbok !Ingat jangan ceritakan kepada siapapun tentang hal ini. Aku akan menghadap dan melapor kepada Gusti Hadiwijaya"

Jalak Paksi segera meninggalkan pos penjagaan dengan cepat. Mbok Warsi yang masih terduduk di atas kursi hanya mengiringi langkah kaki Senopati Pajang itu dengan pandangan matanya.

***

HADIWIJAYA tengah duduk di atas singgasana emas berbentuk segi empat, rambut disanggul rapi ke atas,berpakaian sutera dan memakai selop dari kulit. Beberapa orang pembantu dekat duduk mengelilinginya. Tiba-tiba muncul Jalak Paksi dengan nafas terengah. Senopati ini jatuhkan diri. Begitu bangkit dia segera berkata,

"Gusti Hadiwijaya hamba hendak melaporkan sesuatu mengenai Putri Sekar Kedaton"

Orang nomor satu di Pajang ini mengernyitkan dahinya.

"Tentang Sekar Kedaton? Ada apa dengan anak itu Jalak Paksi?!"

Kemudian Jalak Paksi menceritakan apa yang didengarnya dari Mbok Warsi seorang emban di keputren. Hadiwijaya sampai tertegak dari duduknya mendengar ucapan Jalak Paksi.

"Apakah yang dikatakan emban itu benar Jalak Paksi?! Jika ternyata hal itu hanya fitnah. Maka, aku tidak segan-segan menghukum berat emban itu begitupun kamu ! Ini soal harga diri dan kewibawaan seorang raja !"

"Mohon ampun Gusti. Hamba hanya menyampaikan apa yang dilaporkan oleh emban itu"

Jalak Paksi tidak berani mengangkat kepalanya.

"Tampaknya memang ada orang yang menyusup ke kaputren. Beberapa malam yang lalu prajurit kaputren bergelimpangan di depan pintu gerbang dan juga dilorong-lorong kaputren. Hamba yakin prajurit-prajurit itu terkena sirep yang sangat kuat"

Paras Sultan Hadiwijaya berubah memerah

"Baiklah kalau kecurigaanmu itu beralasan Jalak Paksi. Tumenggung Surakerti bawa beberapa prajurit pilihan geledah kamar Sekar Kedaton"

Sultan Hadiwijaya memerintahkan seorang tumenggung yang duduk bersila di dekat tiang istana.

"Dan kau Jalak Paksi antar Tumenggung Suraketi ke kaputren. Ingat jika tuduhan mu itu tidak benar. Kau akan tahu akibatnya!"

"Siap. Akan hamba laksanakan Gusti"

Tumenggung Surakerti dan Jalak Paksi segera meninggalkan tempat itu. Lima orang prajurit pilihan berjalan dibelakang mereka.

***

BANGSAL KASULTANAN PAJANG, pemuda gagah rupawan berdiri dengan lututnya kepala tegak, menatap dengan dingin ke arah Sultan Hadiwijaya yang duduk di singgasananya. Beberapa orang tumenggung dan senopati duduk berjajar. Di sudut bibir si pemuda tampak pecah. Ada sedikit noda darah disana. Pakaian yang dikenakan tecabik –cabik di beberapa bagian. Sepertinya terkena sabetan keris dan pedang.

Empat prajurit Pajang menarik dan mencengkeram kedua tangan si pemuda ke belakang punggungnya. Raden Pabelan, pemuda gagah dan tampan itu, tahu kalau hidupnya akan segera berakhir di tangan Sultan Pajang. Di sisi lain bangsal itu di samping sebuah tiang istana seorang lelaki paruh baya tidak bisa menyembunyikan kesedihan yang ada di dalam wajahnya. Lelaki itu tidak lain tumenggung Mayang. Ayah dari Pabelan yang tengah di dudukkan di hadapan Sultan Hadiwijaya.

Kesunyian mencekam itu pecah tatkala Sultan Hadiwijaya berdiri dari kursinya. Orang nomor satu Pajang itu berjalan ke arah Raden Pabelan yang masih mentap tajam ke arahnya. Pandangan Hadiwijaya tidak kalah tajam memandang lekat-lekat ke arah Pabelan yang kini duduk berlutut di hadapannya.

"Kau tahu Pabelan? Apa hukuman bagi orang yang dengan sengaja masuk ke kaputren?!

Pabelan tersenyum dingin.

Hukuman rajam Gusti.

"Bagus !! Kau tahu itu. Tetapi mengapa masih juga kau lakukan?!"

"Saya mencintai Sekar Kedaton. Mencintai seorang putri raja, Sekar Kedaton, bisakah dianggap sebuah kesalahan? Bukankah ia tak pernah memaksa sang putri untuk mencintainya? Bukankah sang putri juga menyambut dengan suka cita dan rasa bahagia benang asmara yang saya getarkan? Mengapa harus dihukum, digelandang, diseret-seret seperti maling? Tapi saya tidak menyesal jikalau hari ini Pabelan harus mati karena cintanya pada seorang gadis. Saya selalu siap Gusti"

Suara Pabelan meninggi, menggelegar seperti bergema memenuhi bangsal kasultanan Pajang senja itu. Sultan Hadiwijaya berkobar amarahnya. Keris Kyai Sengkelat yang terselip di pinggang kirinya dihunus. Keris sakti berluk tiga belas itu ditikamkan ke arah dada Raden Pabelan. Keris itu menancap di dada putra satu-satunya Tumenggun Mayang. Pemuda itu tersenyum dalam menjemput ajalnya.

"Pajang sebentar lagi runtuh. Wahyu Keprabon akan pergi dari langit istana Pajang dan lari ke Mataram. Kau tentu ingat dengan ramalan Sunan Mrapen Gusti Hadiwijaya?!! Ingatlah, apa yang kau lakukan hari ini adalah karmamu di masa mendatang!"

Nafas Pabelan akhirnya putus sudah. Putra Tumenggung Mayang yang sekaligus keponakan Panembahan Senopati di Mataram akhirnya tewas di ujung keris Sengkelat milik Sultan Hadiwijaya. Tumenggung Mayang yang melihat anaknya di bunuh di depan matanya hanya pasrah dan diam saja. Dia sadar apa yang dilakukan anaknya itu salah, dia ingin menolong tapi apa daya. Kedudukan dia hanya seorang abdi dalem. Tidak mungkin akan melawan seorang Raja.

"Tumenggung Mayang, kesalahan yang dibuat oleh anak mu sungguh berat dan tidak dapat dimaafkan. Anak polah bapa kepradah (istilah jawa: artinya jika anak berulah maka orang tua yang akan terbawa-bawa dan terkena imbasnya)"

Hadiwijaya mendekat dan berdiri di depan Tumenggung Mayang.

"Melihat garis keturunan dan karena kita masih ada tali persaudaraan. Aku tidak akan menghukum mu. Akan tetapi, aku tidak mengijinkan anak turun mu ada di Pajang. Sekarang juga pergilah dari Pajang. Pergi jauh-jauh ke Semarang. Disana aku punya sebuah rumah di sebuah kaki gunung. Tinggalah disana dan jangan muncul lagi di Pajang !"

Tumenggung Mayang hanya diam saja. Tanpa banyak bicara ipar Panembahan Senopati segera berlalu dari bangsal pulang ke kediamannya untuk bersipa-siap pergi dari Pajang. Menjalani masa pembuangannya ke Semarang. Hati Tumenggung Mayang pedih. Sebejat-bejatnya Pabelan anaknya itu akan tetapi, hati orang tua mana yang tidak pedih melihat darah daging di tikam di depan mata. Sepanjang perjalanan tidak terasa dua bulir air mata menetes di pipi tumenggung Mayang. Rasa sedih, marah, kecewa kehilangan seorang anak terasa berat di dadanya.

***

Mayat Pabelan masih terbujur di bangsal kasultanan. Sultan Hadiwijaya menginginkan agar mayat itu dihanyutkan di sungai.

"Jangan kubur tubuh itu. Aku tidak ingin Pajang terkubur jasad seorang durjana. Hanyutkan ke sungai Laweyan !"

Beberapa prajurit segera menggotong jasad Raden Pabelan. Di halaman dari bangsal telah siap sebuah kereta kuda. Di dalam kereta kuda itu membujur sebuah peti dari kayu jati. Lalu jasad Pabelan dilemparkannya ke dalam peti mati. Dalam keremangan senja, sebuah kereta meluncur keluar dari keraton Pajang menuju ke arah sungai Laweyan. Diiringi oleh lima prajurit berkuda.Tidak berapa lama terguncang-guncang di atas kereta. Kusir itu menghentikan keretanya di sebuah pedataran yang rapat oleh pohon-pohon besar dan semak belukar.

Keempat prajurit segera turun dari punggung kuda. Lalu mengeluarkan jasad Raden Pabelan dari dalam peti. Dengan sigap keempat prajurit pajang menggotong jasad Raden Pabelan menembus semak beluakar dan pepohonan. Dibalik kerapatan semak terdapat sungai Laweyan yang mengalir deras. Jasad Raden Pabelan kemudian dihanyutkan di sungai itu. Jasad pemuda yang hanyut itu terus terbawa arus ke arah timur. Hingga melewati aliran Sungai Pepe yang letaknya di timur desa Solo.

Di situlah mayatnya tersangkut akar-akar pohon di pinggiran sungai. Oleh Ki Gede Solo, sesepuh desa yang pertama melihatnya mencoba untuk mendorongnya ke tengah agar terbawa arus ke Bengawan Solo. Tapi tiap didorong, selama tiga hari berturut-turut, esok paginya mayat tersebut tetap kembali ke tempatnya. Tetap menyangkut di akar-akar pohon pinggiran sungai. Seolah sebuah pertanda, bahwa ia ingin dimakamkan di desa itu. Maka mayat Pabelan pun dimakamkan olehnya, tak jauh dari tempat jasadnya tersangkut, di barat desa Solo.

Tempat dimana jasad Raden Pabelan dikuburkan, konon yang sekarang menjadi nama kampung Pabelan. Sementara tempat dibuangnya mayat, diabadikan menjadi kampung Gembongan. Gembongan berarti tempat mayat, karena berasal dari kata gembung, yang dalam bahasa jawa berarti mayat. Dan letaknya di sebelah utara dari kampung yang sekarang bernama Mayang, yang dulu menjadi kadipaten Tumenggung Mayang.

BERSAMBUNG
close