Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KINASIH (Part 4) - Dendam Arwah Perempuan Pekerja Komersil


Menyesal. Mungkin kata itu yang aku pikir saat ini. Kenapa aku sampai tidak membahas perkara seperti ini. Bagaimana dan dengan cara apa nantinya kalau aku dan Gama berhasil membawa Kinasih.

Sedangkan jarak dari bangunan ke rumah Eko juga lumayan jauh, mana mungkin Gama mampu menggendong sejauh itu, apalagi aku. Jujur, aku sendiri sampai tidak pernah membayangkan harus membelah hutan di tengah malam seperti ini, dan lagi, dengan menggendong Kinasih.

Oke! Aku sejenak menghentikan langkahku sembari mengatur nafas, kemudian menoleh ke belakang melihat Gama yang terlihat berpacu dengan nafasnya sendiri dengan Kinasih yang berada dLm gendongannya. Tak lama aku dan Gama semakin jauh dan benar-benar hilang di balik gelapnya hutan, meninggalkan bangunan belanda yang kini kosong tak berisi jasad Kinasih.

Aku sedikit menjaga jarak untuk menghindari bau dari tubuh Kinasih. Walaupun aku juga bisa membayangkan bagaimana perasaan Gama saat menggendongnya.

Pasti dia juga tidak nyaman dengan bau yang keluar dari tubuh Kinasih.

Sebenarnya aku cukup terganggu dengan suara Kinasih yang terus menerus ketawa cekikikan. Tapi aku tidak mau menyuruh perempuan ini untuk tutup mulut.

Karena aku tahu bagaimana penderitaan Kinasih yang sekarang di alaminya.

Sambil terus berjalan cepat menuju titik di mana Eko dan Riri menunggu, aku membayangkan betapa tragisnya nasib Kinasih. Keadaannya ketika di temukan benar-benar tidak bisa di terima oleh akal sehat manusia.

Iblis macam apa yang sampai hati melakukan hal sekotor ini! Benar-benar tidak bisa di maafkan, mungkin kalau Kinasih mau balas dendam akan aku bantu sampai ke akar-akarnya. Agar siapa pun mereka yang ikut dalam kejahatan ini, bakal menanggung akibatnya.

Sembari aku membayangkan, sayup-sayup aku mendengar suara motor dari arah belakang. Aku panik. Seketika berteriak ke arah gama yang sedang berlari di depanku.

“Mas Gama! Cepetan sedikit! Ada suara motor dari belakang!”
Gama pun menoleh, mengangguk, mendengar teriakanku. Seketika membuatnya mempercepat langkahnya.

Deretan pohon demi pohon kami berdua lewati dengan susah payah. Di tambah lagi suasana yang gelap dan suara cekikikan Kinasih yang tak henti keluar dari bibirnya, membuat aku semakin panik jika sampai terdengar oleh orang lain yang mungkin sedang mengejar kami bertiga.

Sampai aku melihat ada sebuah pohon yang lebih besar, aku berteriak sekali lagi.

“Mas, sembunyi di balik pohon depan!”
Seakan Gama tahu dengan pohon yang aku maksud, dia kemudian memelankan langkahnya dan berhenti di balik pohon.

Aku bisa mendengar nafas Gama yang terengah-engah yang sedang duduk bersender di pohon, tampaknya dia benar-benar kehabisan nafas. Bahkan nafas Kinasih pun bisa aku dengar.

Tapi tunggu! Tiba-tiba aku sadar akan sesuatu. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling, menelisik dari balik gelapnya hutan. Yang awalnya aku tadi mendengar ada suara motor, kali ini sepi dan hening. Apakah aku sudah berlari jauh, sampai suara motor sudah tak ku dengar?

Sepertinya benar, aku dan Gama sudah jauh masuk ke dalam hutan. Aku memandang Gama, yang tampaknya masih belum mengerti apa yang terjadi.

“Kenapa, Las?” tanya Gama heran dan penasaran.

“Mas? Bukannya ini kita sudah jauh ya larinya? Kok Mbak Riri dan Mas Eko belum kelihatan?”

Sekarang Gama yang ikut-ikutan memandangku dan ke sekeliling.

Aku berusaha mengingat-ingat, di mana titik terakhir aku meninggalkan Riri dan Eko. Apakah aku sudah melewatinya atau memang masih jauh? Tapi sepertinya sia-sia, di dalam hutan ini aku melihatnya sama,

di setiap sudut hutan tampak sama tak ada bedanya. Hanya deretan pohon-pohon menjulang tinggi dan keremangan malam serta tawa Kinasih yang menambah parah keadaan mentalku.

“Terus Gimanaa, Las?” tanya Gama yang mulai panik dengan nafasnya yang masih terengah-engah.

Aku tak mampu menjawab, pikiranku sudah kalang kabut. Aku merasakan diriku sendiri hilang. Tenaga yang aku miliki benar-benar sudah di ambang batas. Dan tanpa bisa di cegah lagi, lututku mulai melemah, jatuh terduduk di tanah.

Hingga tanpa kusadari, tubuh Gama tiba-tiba saja roboh ke tanah.

“Mas Gama, Mas! Jangan pingsan dulu! Jangan tinggalin aku di tengah hutan seperti ini!” aku spontan langsung menampar pipi Gama, berusaha agar Gama sadar.

Tapi sedikit membantu, kesadaran Gama perlahan kembali. Dia kemudian duduk dan menyenderkan tubuhnya di samping Kinasih.

“Hihihihi... Lemah!” kalimat pertama yang meluncur, yang sesungguhnya tidak aku dan Gama harapkan terucap dari mulut Kinasih. Membuatku dan Gama seketika menoleh ke arahnya.

“Las, kita lanjut lagi! Jangan lama-lama di sini! Takut kalau penjaga yang tadi menyusul!” ucap Gama sembari berdiri dengan bertumpu pada batang pohon yang ada di dekatnya.

“Yakin Mas? Tenagamu sudah pulih?” jawabku balik bertanya.

“Aman. Nanti gantian kamu kalo aku sudah pingsan. Hahaha...” sahut Gama sedikit bercanda.

“Hahaha bisa saja kamu, Mas...”

“Kinasih di pegangi terus, Mas! Nanti kalau sampai kabur bisa tambah rumit keadaannya!”

aku mendongakkan kepala berujar, sambil menatap Gama yang wajahnya kini tampak begitu masam setelah Gama kembali menggendong tubuh Kinasih.

Aku kemudian mempersilahkan Gama untuk jalan terlebih dulu. Hingga tak sampai lebih dari sepuluh langkah, aku dan Gama berhenti bersamaan.

Bukan karena bingung jalannya, melainkan satu suara yang berasal dari arah belakang mengejutkan kita berdua.

“Mbak! Memang kalian tahu jalan pulangnya?”
Aku menoleh ke belakang, di sana sosok lelaki sedang berdiri dan memandangi ke arahku dan Gama sedang tertegun.

Itu Mas Eko, benar-benar Mas Eko. Dia kemudian berjalan mendekat ke arahku dan Gama.

“Astaga!” desis Gama dengan senyum merekah sembari berjalan mendekat di sampingku.

Perasaan kaget dan lega bercampur jadi satu. Apalagi aku, yang tak hentinya mengucap syukur setelah melihat Mas Eko muncul dari arah belakang sana. Tapi sedetik kemudian, kelegaanku berubah menjadi kejanggalan.

Bagaimana tidak, yang awalnya Mas Eko tadi bersama Riri, kini dia hanya sendiri. Lantas di mana Riri sekarang?

“Loh, Mbak Riri di mana, Mas?” tanyaku heran.

“Riri balik ke rumah.” jawab Eko sambil memperhatikan Gama dengan pandangan yang berbeda, seperti mengintimidasi.

“Riri balik ke rumah? Gak! Gak mungkin dia punya pikiran begitu!” batinku mulai berkecamuk.

Seakan-akan Eko tahu apa yang mengganggu di benakku, dia kemudian memandangku tajam, sebelum satu kalimat meluncur mencoba menenangkan.

”Iya Mbak, Riri balik ke rumah karena saya suruh untuk menemani istriku.” ujar Eko sambil berlalu, seakan-akan dia tahu apa yang sedang mengganggu batinku.

Aku mengalihkan pandanganku ke arah Gama kemudian Kinasih, kenapa dia tiba-tiba saja terdiam, bahkan wajahnya menunduk di belakang kepala Gama. Sepertinya Kinasih melihat ada sesuatu yang janggal sedang terjadi.

Gama sepertinya juga menyadari akan kejanggalan kali ini, terlihat dari cara Gama memperhatikan Eko, pandangannya sekarang tajam seolah sedang menerawang. Bahkan aku yang melihatnya pun mulai merasa ketakutan.

Terjadi hening sejenak. aku, Gama dan Eko, kami saling diam. Sebelum terpecah oleh suara perintah dari Eko terucap dari bibirnya.

“Ayo cepat, kita lewat sini!” ujar Eko yang langsung berjalan maju ke depan, membawa aku dan Gama berjalan di belakangnya, masuk ke sisi hutan yang jauh lebih dalam.

Kami yang berjalan beriringan, terus melangkah menembus malam dengan gelapnya hutan. Rasanya sunyi, hingga suara ranting yang terinjak pun juga terdengar di telingaku. Aku yang berada di barisan paling belakang, menatap tajam ke arah depan.

Tepat di tengah, Gama tampak mulai kewalahan dengan nafasnya sendiri karena harus berjalan sambil menggendong Kinasih. Sedangkan Eko yang berada paling depan, tak sekalipun menoleh ke belakang. Itu yang membuatku semakin kesini, mulai merasakan kejanggalan.

Bahkan Eko hanya sesekali menjawab pertanyaan ketika aku atau Gama mengajaknya bicara.

Kali ini aku mulai merasa curiga. Perasaanku terus menerus berkata bahwa ada yang tidak beres sedang terjadi.

Mulai dari kemunculan Eko sendirian sampai jalur yang aku lewati sebelumnya, tampak berbeda.

“Mas, apa gak salah jalan? Harusnya kita belok ya, kok ini malah lurus?” Gama yang mulai curiga, mulai memberanikan bertanya.

Tapi bukan jawaban yang mengenakkan di terima, melainkan sebuah ejekan terucap dari bibir Eko tanpa menoleh.

“Mau kemana, Mas? Mbok jangan sok tahu sampean.”
Aku yang juga mulai tersusupi rasa curiga, ikut membela Gama.

“Loh iya Mas. Bukannya tadi kita harus belok ya, ini kok malah lurus? Apa ini jalan pintas?”

Namun Eko tak menjawab, dia terus berjalan semakin masuk ke dalam hutan, yang membuat semuanya terasa semakin janggal.

kecemasan dan keresahan yang sudah aku coba pendam, kembali menyeruak dan mengganggu pikiran. Kenapa perjalanan ini jadi terasa begitu lama? Bukankah sekarang harusnya kami sudah sampai di rumah Eko?

Tapi sejauh mataku memandang dan menelisik dalam kegelapan malam, hanya tampak jalan setapak yang seakan tak berujung.

Tak hanya itu saja, aku juga merasakan ada yang aneh dengan Kinasih. Jika di perhatikan dari belakang, perempuan ini benar-benar berubah sejak kedatangan Eko.

Yang awalnya Kinasih selalu berisik dengan tawa cekikikannya, kini dia lebih banyak diam. Seakan apa yang ada di depannya adalah sebuah ancaman yang besar.

Karena perasaanku yang semakin tak karuan, aku mempercepat langkahku untuk mendekat ke arah Eko di depan.

Aku ingin memastikan kembali, setidaknya aku ingin bertanya kepada Eko tentang jalur yang kami lewati ini adalah benar. Namun baru lima langkah aku jalan ke depan, Eko kemudian berbelok ke arah tempat yang berbeda lagi, kali ini yang ada di hadapanku ada sebuah pelataran luas. Kenapa aku semakin menjauh dari lokasi?

“Mas, Mbak ayo cepat!” seru Eko sembari berbalik.

Tapi kenapa suara Eko mendadak berubah menjadi suara berat? Jelas banget aku mendengar kalau suara yang keluar dari bibir Eko, itu bukanlah suara Eko yang baru beberapa jam yang lalu aku kenal.

Aku yakin dia bukan Mas Eko! Benar-benar bukan Mas Eko. Kesadaran yang tiba-tiba itu muncul membuatku tersentak dan tertegun sekaligus membuatku ketakutan setengah mati.

Apalagi, entah kenapa, mendadak kakiku rasanya kebas, aku tak mampu merasakan kakiku lagi. Dan aku mencoba untuk menunduk untuk melihat ke bawah, sepasang kakiku masih tetap berfungsi normal, akan tetapi, aku tak lagi memiliki kuasa atas langkahku sendiri.

Kedua kakiku berayun maju bukan lagi atas kehendakku. Seakan ada sesuatu yang lain, yang membuat bergerak dengan sendirinya.

Aku panik. Aku berteriak memanggil Gama untuk meminta bantuan. Tapi lidahku kelu, bibirku beku seperti terpaku.

Teriakanku seperti tertahan di tenggorokan dengan cara yg tak bisa di nalar akal sehat. Sekuat aku berteriak, seperti terdengar di dalam kepalaku sendiri.

Aku kemudian mengarahkan pandanganku kembali ke depan, dan di sana aku menemukan Gama seperti sudah kehilangan kesadaran.

Nafasnya yang tadi terdengar ngos-ngosan, kini tampak tenang. Tapi anehnya, Gama tetap berjalan sambil menggendong Kinasih yang sekarang terlihat lebih panik daripada aku.

Dan di titik inilah, aku merasakan semakin ngeri.

Apalagi ketika aku mengetahui bahwa jalan yang aku lalui ini ternyata memiliki ujung. Dan di sana, di paling ujung, aku melihat ada sebuah bangunan. Tampak bangunan yang tak asing buatku.

Namun semakin aku dan Gama berjalan maju, semakin mendekat, kali ini aku baru sadar, jika bangunan itu adalah rumah awal aku dan Gama membawa Kinasih.
Tapi....
Tunggu....

Aku menemukan satu keanehan lagi. Ketika kakiku melewati gerbang besi, semuanya menjadi tak lagi masuk akal. Apa pun yang ada di balik pagar itu, tak seharusnya ada di sana.

Sebuah pendopo berbentuk persegi yang luasnya tak kurang dari 10x10 meter persegi, berdiri tepat di depan bangunan belanda. Di setiap pilarnya terdapat kain hitam yang menutupi. Apalagi ketika aku semakin mendekat, aroma kemenyan bercampur bunga setaman,-

membaur menjadi satu dengan sapuan angin yang menerpa wajahku. Sesaat ketika aku mengedarkan pandanganku, aku juga membaui aroma yang sangat menusuk di hidungku. Aroma ini seperti aroma amis darah. Tapi karena keadaan masih gelap, aku belum bisa menebak asalnya dari mana bau amis itu.

Logikaku mulai tersiksa. Apa yang sebenarnya aku lihat? Bagaimana ada pendopo berdiri di depan bangunan ini?

Ketika kakiku memaksa melangkah maju, berjalan masuk lebih dalam mengikuti langkah Eko dan Gama. Aku menemukan jawaban dari mana sumber bebauan itu.

Tepat di tengah pendopo, satu sosok lelaki sedang duduk bersila membelakangi. Terlihat kepulan asap membumbung tinggi tepat di hadapannya. Namun lelaki itu tak sendiri. Masih di tempat yang sama, posisinya di sebelah kiri lelaki sedang bersila.

Entah makhluk apa, yang jelas sosok itu mempunyai tanduk. Dia sedang sibuk dengan sesuatu yang ada di depannya. Aku belum bisa melihat dengan jelas karena kondisinya memang masih gelap.

Tapi tampaknya, tak hanya itu saja keanehan yang aku tangkap. Di belakang lelaki itu, yang seakan menjadi titik pusat, tergeletak sosok perempuan tanpa busana di atas sebuah tampah bambu dengan sesajen yang di taruh di sampingnya.

“Gama, berhenti! Sadar, Mas!”

Kalimat itu berkali-kali aku teriakkan, tapi sia-sia. Karena pada kenyataannya, peringatan itu tak pernah keluar dari mulutku. Seperti ada sesuatu yang menahan di kerongkonganku.

Tak ada yang bisa aku lakukan kecuali pasrah, semakin mendekat, sebelum langkah Eko berhenti secara tiba-tiba.

“Sudah sampai, Mbak.”

Tepat saat Eko berucap, seakan memiliki energi yang membuat kakiku dan Gama berhenti sesuai perintah.

Saat itu juga, kaki dan mulutku tak lagi kaku dan kelu, kembali seperti semula. Hal yang sama terjadi juga pada Gama. Tubuhnya seketika ambruk ke tanah bersama Kinasih yang ada di gendongannya.

“Mas Gama!!”

Hal pertama yang aku lakukan, berteriak memanggil Gama sambil merangkak mendekat ke arah Gama terduduk.

“Las! Ini kita di mana? Kok tiba-tiba ada pendopo? Dan... dan itu? kenapa kita balik lagi di bangunan ini?”

Suara Gama terdengar lemas, tapi aku tak punya waktu untuk memberinya penjelasan tentang apa yang telah terjadi. Aku kemudian mencoba untuk mengangkat tubuh Gama, membentangkan tanganku untuk merangkul Gama.

Dan entah bagaimana caranya, aku harus segera membawa mereka berdua keluar dari tempat mengerikan ini.

Tapi belum juga aku berhasil mengangkat tubuh Gama, tubuh Kinasih tiba-tiba saja bangkit dan berdiri, seperti ada energi lain yang mampu mengangkat tubuhnya.

Seketika Kinasih menjerit keras dan matanya melotot ke depan dengan cara yang menakutkan.

Aku dan Gama secara bersamaan terkejut dan ikut bangkit. Aku kemudian menatap ke arah tatapan Kinasih. Di sana, tepat di posisi Eko berdiri,-

-Eko sudah berubah menjadi sosok yang aku lihat ada di dalam pendopo tadi. Tapi kali ini lebih jelas dan menakutkan. Tubuhnya tinggi berbulu tipis, dengan tanduk menjulang tinggi di kepalanya. Tubuhnya di balut dengan pakaian dombor serba hitam.

Tangannya panjang dan kukunya runcing. Sosok itu menatap tajam ke arahku dan Gama sedang berdiri.

“Sini, Nduk...”

Makhluk itu memanggil Kinasih. Suaranya berat dan tebal. Namun ketika sosok itu memanggil Kinasih,-

-seketika membuat Kinasih berhenti menjerit dan berjalan gontai mendekat. Dan di waktu yang bersamaan, sosok lelaki yang duduk bersila tadi juga tiba-tiba saja berada di belakang sosok bertanduk itu. Lelaki tua itu kemudian mengeluarkan keris dan mulutnya mulai komat-kamit.

Entah apa yang dia bacanya, karena setelah itu membuat Kinasih menari dengan lihai layaknya seorang penari.

Tak lama, puluhan makhluk menyeramkan keluar dari dalam tanah, mereka kemudian mengikuti Kinasih sedang menari.

Aku dan Gama melihat parade menyeramkan itu dengan jelas dan nyata ada di hadapan kami berdua.

“Apa itu, Mas!”

Aku menarik lengan Gama, memaksanya untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi di depan sana. Tapi Gama bergeming, dia masih terpaku di tempatnya.

Malah sekarang mata Gama menatap nanar menyaksikan bagaimana makhluk menyeramkan itu menjilati tubuh Kinasih, begitu pun denganku yang juga mengarahkan pandanganku ke arah Gama menatap.

Bingung, takut dan panik bercampur menjadi satu. Ingin rasanya aku berlari meninggalkan tempat itu, tapi tertahan oleh berbagai macam pertanyaan mulai membuncah begitu saja tanpa bisa aku kendalikan.

Apakah aku harus melarikan diri? Atau aku harus melawan? Tapi keberanian dari mana aku bisa melawan makhluk iblis itu? Tapi walaupun aku bisa melawan, bisa saja aku mati malam ini. Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kelapaku.

Aku berharap ada seseorang yang menyadarkanku atau membangunkanku kalau ini hanya mimpi dan aku terbangun di kamar. Tapi setelah sekian lama menunggu, dan akhirnya aku sadar bahwa semua ini nyata adanya.

Ketika tiba-tiba saja Gama yang sedari tadi bergeming, berlari melesat, kemudian merengkuh tubuh Kinasih dan membawanya lari keluar dari pelataran pendopo. Melewatiku yang masih terpekur melihat pemandangan dari sosok bertanduk yang mulai mengaum dengan penuh amarah.

“Las, lari!”

suara milik Gama sangat terdengar jelas di telingaku. Dan seperti diberi komando, aku kemudian berbalik dan menyusul Gama berlari. Tak sudi bagiku untuk menoleh ke belakang, walaupun dari arah sana, auman amarah dari sosok bertanduk itu berteriak lantang.

Seperti pahlawan yang baru saja mendapatkan kekuatannya, Gama berlari secepat kilat. Entah apa yang baru saja membuat Gama demikian, tapi aku sangat terbantu olehnya.

“LAS! CEPAT, CEPAT, CEPAATT!!!”

***

Aku yang mengekor di belakang Gama, masih terpikirkan dengan kejadian satu jam yang lalu. Kenapa Gama tidak dari awal melakukan tindakan gila itu, kenapa aku harus menyaksikan kengerian dulu baru Gama beraksi? Ah apa memang semua lelaki seperti itu? Terlalu lama berpikir.

Entah sudah berapa lama aku berlari mengikuti Gama, yang jelas ini sudah lebih dari setengah jam. Sedari awal cobaan tampaknya belum usai sampai di sini. Setelah berbagai macam peristiwa kengerian dan kejadian di luar nalar yang silih tersaji di depan mata,-

kini aku harus berlari lagi mengikuti langkah Gama yang kali ini lebih cepat dari yang tadi. Sepertinya Gama di bantu oleh energi lain yang entah dari mana datangnya. Tentu saja itu membuat menambah banyak pertanyaan lagi di kepalaku.

Siapa sebenarnya Gama? Sesakti apa ilmu yang dia miliki sampai dengan berani membawa lari Kinasih dari hadapan dukun dan iblis mengerikan tadi? Dan andaikan benar dia orang sakti, maka semuanya akan menjadi tambah rumit, karena sudah bisa di pastikan, akan ada malapetaka yang akan menyambangi.

Aku dan Gama masih berlari membabi buta, menembus gelap malam dalam kepanikan. Keluar dari area pendopo dan masuk area hutan.

Beberapa kali aku menemui jalur naik dan turun, melewati pohon demi pohon yang kadang menghalangi, bahkan terhitung beberapa kali aku harus terjatuh dan terguling ke tanah karena kakiku menabrak akar pohon yang mencuat keluar.

Benar-benar seperti diburu oleh waktu. Aku dan Gama terus masuk jauh lebih dalam. Aku saja sampai heran dengan diriku sendiri, bagaimana bisa aku masih punya energi yang begitu besar setelah apa yang aku lalui sepanjang malam ini.

Proses penyelamatan yang awalnya aku pikir akan berjalan dengan lancar tanpa kendala, ternyata menjadi sedemikian kacau dan berantakan. Aku yang terpisah dengan Riri dan Mas Eko yang sekarang entah di mana keberadaannya,-

dan terjebak di tempat yang tak akan pernah aku kunjungi lagi seumur hidup. Berhadapan dengan makhluk tak masuk akal yang nyaris membuatku menyerah dan meninggalkan Kinasih dan Gama di sana.

Hingga seberkas harapan yang tak terduga kembali muncul, Gama yang awalnya aku kira orang biasa, kini yang sedang menggendong dan berlari dengan begitu kencang dan penuh keyakinan. Tampak sekali bahwa Gama benar-benar menjadi penyelamat hidup bagiku.

Sampai di titik, di mana Gama menghentikan langkahnya secara mendadak. Aku yang tepat di belakangnya pun sampai menabraknya.

“Braaakkk”

Aku terjatuh tepat di belakang Gama.

“Aduuh Mas... kalau berhenti jangan mendadak napa? Sakit nih....”

Gama mengarahkan telapak tangannya ke arahku dengan wajah yang memerah dan deru nafas yang ngos-ngosan. “Maaf, Las. Kita istirahat sebentar. Aku capek.”

Aku mengangguk setuju, karena aku pun juga sama merasakan demikian.

Tentu dalam kondisi seperti ini, adalah kesempatanku untuk memberondong banyak pertanyaan yang sempat terjeda beberapa saat. Aku penasaran, kemudian mendekat ke tempat Gama terduduk.

“Mas, jelasin dulu. Kenapa tiba-tiba kamu berani melakukan hal gila tadi? Apa Mas Gama orang sakti? Kalau Sakti kenapa tadi tidak melawan dukun dan makhluk bertanduk tadi?”

Sejenak Gama terdiam. Dia mengatur nafasnya terlebih dahulu sebelum menatapku tajam.

“Aku merasa terdesak tadi, Las. Kemudian ingat dengan kata-kata kakekku. Tiba-tiba saja ada energi lain yang membuatku berani, dan taukan tadi seperti apa....”

“Untung Kinasih gak sadar. Kalau sadar dan berontak bisa kacau tadi, Las. “ sambung Gama.

Tiba-tiba Gama yang sudah berdiri sambil menggendong Kinasih, menarik tubuhku ke balik pohon yang ada di sekitar. Aku penasaran, aku edarkan pandanganku ke sekitar. Tak ada apa pun dan siapa pun. Namun Gama kemudian memberi isyarat dengan jari telunjuknya untuk tidak bersuara.

“Diam Las, ada yang datang!” bisik Gama.

Seketika aku terdiam sembari mataku menelisik. Dari kejauhan, aku mulai melihat samar-samar ada seseorang yang akan mendekat, terdengar dari injakan ranting dan dedaunan. Tapi sialnya, mereka ada dua orang. Tampak sedang berbincang.

Jarak mereka semakin dekat, mungkin sekitar sepuluh langkah dengan tempatku sedang bersembunyi. Hingga akhirnya mereka berdua berhenti. Kini terlihat mereka berdua memakai jaket warna hitam dengan celana panjang warna coklat, kepala mereka di tutupi dengan kupluk.

Yang satu terlihat lebih tua daripada orang yang lebih pendek darinya. Samar-samar aku mendengar obrolannya.

“Mas, katanya orang-orang kalau tempat ini angker lho. Ada yang bilang kalau yang masuk kesini gak bakal bisa balik, Mas. Terus katanya lagi ada penunggu yang menyeramkan juga.” Ucap lelaki yang lebih pendek dan paling muda.

Tampaknya lelaki yang lebih tua itu tidak terlalu senang dengan pernyataan temannya tersebut. Ia kemudian mengacungkan goloknya yang ia genggam di tangan kanannya.

“Brisik kamu Jon! Bisa diam gak? Daripada cerewet ngomongin setan, mending cepat cari dua bocah tadi! Daripada kita di cincang sama Mbah Dukun!” jawab lelaki yang lebih tua, dia kemudian mendorong temannya.

Tiba-tiba saja Kinasih tertawa, kali ini tawanya sedikit lebih seram daripada yang tadi. Sontak membuat dua lelaki itu yang hendak berjalan lebih dekat ke arahku dan Gama, menghentikan langkahnya. Mereka saling pandang, entah mereka ketakutan atau malah penasaran.

Kinasih tertawa lagi, kali ini tawanya ngikik seperti kuda perempuan.

“Mas! Suara apa itu?”

“Heh! Itu manusia apa bukan?” celetuk lelaki yang lebih tua sembari mengarahkan goloknya ke depan.

Sekali lagi Kinasih tertawa lebih panjang. Yang Setelahnya, membuat mereka berteriak dan berlari tunggang langgang menjauh.

Aku menghela nafas panjang, lega. Ternyata tawa Kinasih ada gunanya juga. Gumamku.

Kemudian Gama bangkit, membawa Kinasih dalam gendongannya. Sedangkan aku masih terpaku di tempat, menatap kosong ke arah dua lelaki yang kian menjauh, kemudian menghilang dari pandanganku di gelapnya hutan.

“Las!” panggil Gama yang sudah berjalan lebih dulu.“

Aku mengangguk dan menyusul Gama di belakang.
Tak lama setelah aku dan Gama berjalan menyusuri jalanan setapak lagi, yang kali ini aku sangat yakin kalau jalan ini menuju ke arah Eko dan Riri menunggu.

Bagai menatap terbitnya sang fajar, tepat di depan sana, aku melihat Riri dan Eko sedang terduduk bersender di batu.
“Mbak Riri....”
“Mas Eko....”

Aku berteriak memanggil nama mereka, seketika itu juga mereka menoleh dan bangkit, berlari menghampiriku dan Gama. Wajah-wajah berbinar dan senyum terkembang sangat jelas terlihat ketika Riri dan Eko menghampiriku.

“Gama! Lastri!” Riri yang pertama kali menyahut, bahkan kali ini tak segan-segan dia memelukku begitu erat. Sepertinya Riri sangat khawatir dengan keadaanku dan Gama. Dan untung saja kami selamat dalam misi penyelamatan ini.

“Las, Gam. Coba deh liat wajah kalian? Lusuh, pucat, berantakan banget kalian.” Celetuk Riri sesaat setelah memelukku.

Aku menoleh ke arah Gama. “Hahaha...mukamu Mas.”

“Mukamu juga sama, Las. Sama-sama berantakan. Haha...”

Di akhir cerita, aku dan Gama semuanya selamat. Semuanya baik-baik saja. Dan terlebih penyelamatan ini menurutku sudah berakhir. Semuanya terasa lebih dari cukup untuk kami berempat. Tanpa membuang waktu, kami kemudian menuju rumah Mas Eko.

“Mas Eko, tolongin saya dulu...” ujar Gama yang terlihat kewalahan menggendong Kinasih.

“Eh iya, Mas. Saya sampai lupa kalau sampean masih di sini. Hahaha...” sahut Eko dengan candaannya, berharap suasana sedikit mencair.

Eko kemudian menarik perempuan yang di gendong Gama dengan lembut, merengkuhnya dan menggendongnya. Namun sebelum Eko menggendong Kinasih, satu ucapan terlontar dari bibirnya, membuat suasana kembali menegang.

“Sudah...sudah jangan lama-lama di sini. Ayo kita cepat keluar dari sini.”

“Setelah ini, langsung bawa pergi perempuan ini! Kalau bisa secepatnya langsung keluar dari area sini.”

Hingga sampai akhirnya, kami sampai di rumah Eko. Kami langsung di sambut haru oleh Murni dan Anisa. Sepertinya mereka juga ikut khawatir dengan keadaan kami.

Apalagi kalau melihat sikap Anisa yang melihat suaminya pulang tanpa kurang satu apa pun, dia langsung memeluknya sembari menangis.

Sesampainya kami di halaman rumahnya Eko, saat itu juga Eko memberi perintah untuk segera meninggalkan rumahnya.

Karena yang di takutkan, kalau saja ada orang yang sampai mengetahui keberadaan Kinasih ada di rumahnya, bakal menjadi lebih rumit lagi.

Mesin mobil kemudian menyala, roda-roda bergerak, melaju kencang membawa kami menjauh dari rumah Eko. Tanpa halangan yang berarti, mobil yang di kemudikan Riri berhasil menembus hutan dan akhirnya bertemu dengan jalan aspal yang lebih lebar dan halus.

Meninggalkan tempat laknat jauh di belakang. Sedangkan matahari mulai muncul malu-malu dari arah timur.

Aku yang duduk di jok belakang bersebelahan dengan Kinasih, memandang ke arah spion tengah. Tampak wajah sedikit cemas Riri berkali-kali melirik melalui spion.

Menatap Kinasih yang sedari tadi tak sadarkan diri. Sepertinya Riri hanya ingin memastikan saja kalau Kinasih masih tertidur.

“Gam, Las. Semua ini belum berakhir...”
Riri, yang duduk di kemudi, tiba-tiba saja berucap tanpa menoleh.

Aku yang begitu terkejut, mengernyitkan mata memandang Riri melalui spoin.

“Maksudnya, Mbak?”

“Iya, semua ini belum selesai. Kita harus membawa Kinasih ke tempat yang aman.”

Sebuah jawaban yang membuat kepalaku semakin pusing, karena yang aku kira semua ini sudah berakhir, ternyata salah.

“Kita tidak mungkin membawa Kinasih di sekitaran sini, Ri. Masih rawan kalau ada yang tahu.”

Gama kali ini ikut menyahut, dan membenarkan perkataan Riri.

Hingga tanpa di duga, Riri sendiri sudah mengetahui tempat yang aman untuk membawa Kinasih. “Kemarin waktu di rumah Pak Warno, aku sempat di kasih tahu sama beliau. Pak Warno menyarankan untuk membawa ke rumahnya Lek Bimo, saudaranya Pak Warno.”

Tukas Riri sambil menyebut nama seseorang dan desa. Sebuah Desa yang memaksa kami untuk pergi jauh ke barat.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close