Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUSUK MAYAT SARMINAH (Part 3 AND)


Aku Bukan Pencuri

Di suatu pagi sepulang dari hutan, Sarminah mendapati Mbok Ibah terkapar di halaman rumah. Ia meninggal. Malangnya nasib Sarminah, ia harus hidup sebatang kara di gubuk reot. Bayang Mbok Ibah selalu ada dalam benaknya. Apalagi kalau melihat barang-barang peninggalannya, sudah pasti Sarminah menangis tersedu-sedu.

Ia mewarisi profesi Mbok Ibah, jadi tukang pijat. Demi mencukupi kebutuhan hidup, ia harus rela memijat bapak-bapak yang kulitnya keras. Tak jarang, mereka juga bau ketiak. Terkadang Sarminah muntah-muntah setelah memijat mereka.

Sarminah tidak mau nasibnya berakhir jadi tukang pijat selamanya. Sampai pada akhirnya ia ingin menjadi penari ronggeng saja. Namun, orang-orang selalu meledeknya. Bahkan, orang-orang itu bersumpah demi semua dedemit di muka bumi ini. Bagi mereka, Sarminah mustahil bisa menjadi penari ronggeng.

“Mana ada penari ronggeng wajahnya jelek sepertimu, Sarminah?"

"Jangan mimpi!"

"Sangat mustahil. Mau sampai kiamat pun kau tidak akan pernah bisa jadi penari ronggeng."

"Kau pantasnya jadi demit, Sarminah. Kan keturunan demit, ya. Wajah kok jelek banget.”

Begitu cacian yang sudah biasa didengar Sarminah. Ada kalanya ia putus asa dan mengubur impiannya itu. Tapi, Sarminah selalu kembali pada tekadnya. Ia yakin pasti bisa mengikuti jejak ibunya. Hingga pada suatu malam, sepulang memijat pelangganya, ia mampir ke sebuah pertunjukan ronggeng.

Pertunjukan itu dipadati penonton. Sarminah sampai harus naik ke pohon duku agar bisa melihat para penari ronggeng. Setelah beberapa menit di atas pohon, ia merasa pegal kemudian turun.

Tiba-tiba terpikir di benaknya, ingin sekali Sarminah melihat ruang dandan para penari ronggeng. Selama ini, ia memang penasaran bagaimana cara mereka mematut diri hingga jadi sangat menawan di atas panggung.

Di tengah-tengah keramaian, Sarminah mengendap-endap ke belakang panggung. Di sana ada sebuah tenda yang ditutup seadanya dengan bilik bambu. Dari lubang bilik itu Sarminah mengintip pelan-pelan. Dilihatnya para penari ronggeng sedang berdandan. Ada tiga orang penari di dalam sana.

Mereka semua cantik. Tubuhnya juga indah dan berpakaian bagus. Sarminah menguping percakapan mereka bertiga yang sedang membahas lelaki tampan di kampung Ci Ijau. Sesekali para ronggeng itu tertawa sambil terus memupuk wajahnya dengan bedak.

“Tampaknya baju ini sudah tidak layak pakai,” Jumaira menunjukkan sebuah pakaian ronggeng kepada Sekar.

Sekar berhenti membedaki wajah. Ia menoleh ke arah Jumaira.

“Iya, buang saja.”

Dilemparlah pakaian tersebut ke belakang tenda. Sarminah melihat pakaian ronggeng yang dibuang. Segera ia memungutnya, kemudian mengenakan pakaian tersebut. Hatinya sangat senang. Tidak disangka-sangka pakaian itu pas di badannya.

Dengan perasaan gembira, ia menari-nari di belakang tenda layaknya penari ronggeng. Tak terasa kakinya tersandung akar pohon duku. Tubuhnya terjerembap ke semak-semak. Para sinden di dalam tenda mendengar suara tersebut. Mereka berhambur keluar untuk melihat siapa yang ada di belakang tenda.

Ternyata si wanita buruk rupa. Mereka kenal Sarminah. Dan, tentunya mereka membenci perempuan itu karena wajah Sarminah buruk rupa. Mereka yakin kalau Sarminah bisa membawa sial.

“Oh, rupanya kau, Sarminah,” ucap Jumaira.

“Maling kau, ya!” Sekar membentak.

“Kita habisi saja dia,” Komariah mengusulkan ide kejam.

Dengan sadis mereka menyeret Sarminah ke tengah-tengah penonton. Di sana, mereka menelanjanginya. Sarminah kemudian lari sambil menangis. Ia sangat terluka diperlakukan tidak manusiawi seperti itu.

Sarminah tidak pulang ke rumah, melainkan pergi ke makam ibunya. Malam-malam seperti itu, ia menangis tersedu-sedu di pinggir pusara ibunya. Ia tumpahkan semua kesedihan. Saat itu pula, dari kegelapan di antara batang-batang pohon, muncul sesosok kakek berpakaian hitam. Kakek itu mendekati Sarminah.

***
Grup Ronggeng

“Kau rindu ibumu, hah?” Tanya kakek tersebut sambil melangkah mendekati Sarminah.

Sarminah waspada, walau pun ia sudah berpakaian rapi, tetap saja kejahatan bisa terjadi. Buru-buru menyeka air mata yang menjuntai di pipinya lalu mundur beberapa langkah ke belakang. Bulan sedang terang benderang menyinari malam, semakin dekat wajah kakek itu semakin jelas terlihat. Rambutnya gondrong warna hitam berselang putih karena ada ubannya. Ia punya brewok yang sudah berwarna putih, ada tahi lalat yang cukup besar di bagian pipi kanannya.

“Jangan takut. Aku Sadiman,” kakek itu menyunggingkan senyum.

Tetap saja Sarminah waspada, ia menatap kakek di hadapannya dengan tatapan penuh kecurigaan.

“Aku baru selesai ziarah dari makam istriku, kau Sarminah, kan?”

Sarminah mengangguk tampaknya hampir semua orang mengenal Sarminah. Pasti karena wajahnya buruk dan mengerikan. Manusia memang gampang dikenali kalau wujudnya tidak lazim dan berbeda dengan manusia lainnya.

“Aku dengar kau ingin menjadi penari ronggeng?”

Tanpa menjawab Sadiman, Sarminah lari terbirit-birit menjauh dari kakek tersebut. Ia takut diperkosa oleh kakek itu. Walau Sarminah jelek, tetap saja ada kemungkinan ia diperkosa. Sesampainya di rumah, Sarminah mengunci rapat-rapat pintunya. Kemudian menangis kembali.

Tidak pernah terpikir dalam hidupnya akan ditelanjangi seperti itu di depan umum. Malam itu juga, dendam tumbuh dengan subur dalam dadanya, ia ingin menghabisi tiga ronggeng tersebut. Kalau tidak bisa membunuh nyawa mereka, dia harus membunuh karier mereka. Bagaimanapun caranya, dia harus menjadi penari ronggeng tersohor di Ci Ijau.

***

Sore itu, Sarminah sedang menjemur pakaian di halaman rumah. Tiba-tiba terdengar suara tabuhan gamelan dari arah Timur. Sarminah mengerutkan dahi, sisa pakaian di ember yang belum dijemur ditinggalkan begitu saja. Ia melangkah mengikuti sumber suara gamelan tersebut. Ada jalan setapak dekat rumahnya, suara gamelan terdengar semakin jelas.

Dan di bawah pohon durian, ia melihat Sadiman beserta tiga orang kawannya sedang menabuh gamelan. Di hadapan mereka, ada seorang gadis perempuan yang masih kecil, mungkin umurnya baru delapan tahun. Ia menari dengan lincah layaknya ronggeng kawakan. Sarminah mengintip dari balik pohon durian. Benaknya mulai bertanya-tanya, siapa sebenarnya kakek tersebut? Kenapa dia punya grup ronggeng.

Sadiman menyadari ada yang mengintip di balik pepohonan. Ia memberhentikan alunan musik. Semua anggota menoleh pada Sadiman dengan tatapan heran kenapa permainan dihentikan. Sambil tersenyum, Sadiman melangkah mendekati Sarminah yang masih berdiri di balik pohon. Menyadari hal itu, Sarminah beranjak pergi.

“Sarminah tunggu,” pinta Sadiman sambil berlari kecil menghampirinya.

Kali ini Sarminah mau berhenti.

“Kau suka menari, kan? Bagaimana kalau kau ikut grup ronggengku?”

“Iya benar, kami setuju Bah. Kita butuh penari,” timpal tukang gendang, ia ikut menghampiri Sarminah.

“Apa kalian mau menerimaku yang buruk rupa ini?” tanya Sarminah sambil tertunduk.

“Ah, tidak masalah yang penting kau bisa menari,” jawab Sadiman.

“Kenalkan ini Icung, Kurawa, dan Sarkam mereka semua pemain musik. Sedangkan ini yang cantik dan lucu namanya Melati cucuku. Dia senang sekali menari,” Sadiman menyentuh pundak cucunya.

“Aku Sarminah.”

“Kami semua sudah kenal kamu Sarminah,” ujar Icung sambil tersenyum ramah.

“Selamat bergabung Sarminah,” Melati tersenyum.

Malu-malu Sarminah menerima tawaran tersebut. Dan semenjak saat itu, Sarminah bergabung dengan grup ronggeng Sadiman. Mereka tidak manggung seperti grup ronggeng besar pada umumnya. Yang mereka lakukan adalah menjadi grup ronggeng keliling kampung yang ditonton anak-anak kecil lalu dilempari uang koin.

***
Potong Saja Kakiku

Grup ronggeng Sadiman semakin lama semakin terkenal. Mereka bukan saja berkeliling di kampung Ci Ijau, tapi juga ke kampung-kampung lain seperti Parakan Beusi, Cirinten, dan kampung Babakan Haur. Wajah Sarminah yang buruk rupa malah menjadi daya tarik sendiri di kampung-kampung tetangga, mereka juga terkagum-kagum dengan tarian Sarminah yang indah gerakannya. Bukan hanya anak-anak kecil saja yang menonton, orang-orang dewasa pun ikut berkrumun dan sesekali menyawer Sarminah.

Namun, tidak semua orang senang pada grup ronggeng Sadiman. Salah satunya, Acih seorang penari ronggeng yang sangat benci grup mereka. Apalagi pada Sarminah, menurutnya dia tidak pantas menjadi seorang penari ronggeng.

Maka malam itu sepulang menari, Sarminah didatangi Acih dan dua orang lelaki berbadan kurus yang tak lain adalah pesuruh Acih. Mereka menyeret Sarminah lalu memukuli wanita malang tersebut. Berkali-kali Acih melontarkan sumpah serapah. Sarminah berteriak minta tolong, tapi tidak ada yang bisa mendengarnya karena rumah peninggalan Mbok Ibah itu terpisah dari pemukiman warga.

Acih tahu kalau Sarminah yang menjadi daya tarik grup ronggeng Sadiman. Maka dari itu dialah yang harus diberi pelajaran. Acih mengancam akan membunuhnya kalau dia berani menari lagi. Sarminah ditinggalkan sendiri di bawah pohon bambu, mukanya bonyok, lengannya berdarah, pergelangan kaki kirinya patah.

Acih sengaja mencederakannya agar dia tidak bisa menari lagi. Di tengah kegelapan, Sarminah berteriak kesakitan sambil menangis meminta tolong. Tubuhnya mulai melemah, matanya perlahan terkatup. Ia tidak sadarkan diri.

Keesokan paginya, saat Sarminah tersadar, ia sudah ada di atas tempat tidur di rumahnya. Melati mengambilkannya minum, sementara Sadiman duduk di samping Sarminah. Wajahnya terlihat khawatir, ia membasuhkan kain basah pada luka di lengannya Sarminah. Sesekali wanita itu meringis kesakitan saat kain menyentuh lukanya.

“Siapa yang berbuat ini padamu, Sarminah?”

“Acih, Bah. Dia membawa dua orang lelaki untuk memukuliku,” seketika Sarminah ber-aduh kesakitan saat hendak menggerakkan kaki kirinya.

“Kurang ajar! Biar kuberi pelajaran dia!” delik Sadiman.

“Jangan Bah. Dia banyak pesuruhnya. Sangat berbahaya, Bah.”

Sadiman tertunduk. Ada benarnya juga perkataan Sarminah. Acih itu orang kaya, dia bisa membayar orang untuk melakukan apa pun yang dia mau. Dan sekarang terbukti, kemauan Acih terkabul. Sarminah tidak akan bisa menari lagi, kakinya cedera. Lagi pula Acih juga mengancam akan membunuh Sarminah jadi walau pun sembuh ia tidak berani menari lagi.

“Aku tidak bisa menari lagi, Bah.”

“Aku akan menyembuhkanmu,” kata abah Sadiman.

“Kakiku patah, Bah.”

Sadiman terdiam. Ia melihat tulang kaki Sarminah yang menonjol ke luar, sangat parah dan sulit disembuhkan.

“Kakiku mungkin harus dipotong,” air mata keluar membasahi pipi Sarminah.

“Sarminah kalau kau mau abah bisa bantu kamu untuk menanamkan susuk mayat dalam tubuhmu.”

“Susuk mayat?” dahi Sarminah mengkerut, ia tidak pernah mendengar susuk itu sebelumnya.

“Iya, kau akan sembuh kembali. Bukan hanya itu Sarminah, tapi wajahmu juga akan berubah jadi cantik.”

“Syaratnya apa, Bah?”

“Makan daging mayat orang yang baru meninggal.”

“Tidak Bah, aku tidak sanggup,” Sarminah menolak.

Sadiman mengembuskan napas berat.

“Kakimu akan membusuk Sarminah,” Sadiman melirik kaki Sarminah yang tulangnya menonjol.

“Potong saja Bah. Lagi pula aku sudah terbiasa cacat. Sangat pantas bagi wanita berwajah buruk sepertiku punya kaki buntung.”

Melati mendekati kakeknya, ia memandangi Sarminah dengan penuh iba.

Sadiman tidak mau memaksanya untuk menggunakan susuk mayat, ia akhirnya hanya mengobati Sarminah dengan rempah-rempah alakadarnya. Semakin lama luka Sarminah semakin parah, kakinya membusuk dan mengeluarkan bau tidak sedap. Hingga pada suatu sore, ia meminta Sadiman memotong kakinya.

Wanita itu menjerit kesakitan sambil menggigit kain saat sebuah golok yang sudah diasah tajam menebas kakinya. Seketika, kakinya yang busuk tersebut putus. Ia mengerang-erang sambil menangis, suaranya membuat sekawanan burung pipit di dahan pohon kecapi terbang berhamburan.

***
Nini Bogem

Sadiman merawat wanita malang itu setiap hari. Kaki kiri yang sudah buntung dilumuri rempah-rempah agar lukanya cepat pulih. Setiap hari ia mengganti kain pembungkus kaki Sarminah. Anehnya, luka itu tidak kunjung sembuh, malah semakin parah. Kakinya bernanah, mengeluarkan bau busuk, memar menjalar ke betis Sarminah. Setiap malam ia tidak bisa tidur karena menahan rasa sakit yang seperti membakar kakinya.

“Abah,” tengah malam Sarminah membangunkan Sadiman. Ia tidak kuat menahan sakit.

“Iya Sarminah?” masih dalam keadaan kantuk, Sadiman menghampiri wanita yang sedang kesakitan itu.

“Susuk mayat itu. Apa aku masih boleh memakainya?”

“Tentu Sarminah. Kau akan sembuh dan berwajah cantik.”

“Berikan aku susuk itu, Bah. Aku sudah tidak kuat lagi menahan sakit.”

“Baik, nanti abah carikan daging mayat manusia," Sadiman menyeringai senang.

“Seberapa banyak aku harus memakannya?”

“Semua Sarminah. Semua bagian tubuhnya kecuali tulang.”

“Aku tak akan mampu, Bah.”

“Tidak perlu sekali habis, kau bisa menghabiskannya berhari-hari.”

“Tapi setelah aku melakukannya, apa aku benar-benar akan sembuh, Bah?”

“Setelah kau selesai memakan mayat itu. Abah akan tanamkan susuk mayat di tubuhmu.”

“Kalau begitu, lekas carikan mayat untukku, Bah.”

***

Satu bulan berlalu, tapi belum juga ada orang kampung yang meninggal. Sementara itu, kaki Sarminah semakin parah, membusuk hingga menjalar ke paha mengundang lalat-lalat hijau yang selalu hinggap di kakinya. Sadiman kebingungan, kalau tetap dibiarkan seperti itu, Sarminah bisa meninggal.

“Melati, abah titip Sarminah, ya. Tolong kau jaga dia, abah ada urusan di kampung seberang.”

Anak itu megangguk.

Sadiman pergi ke kampung tetangga untuk memata-matai kuburan, mencari mayat yang baru saja meninggal. Sayangnya, tidak ada warga yang meninggal, Sadiman kesulitan mendapatkan mayat segar. Hingga akhirnya, ia menyerah dan pulang dengan tangan hampa.

Di perjalanan pulang, tepatnya di kampung Balangandang, ia melihat iring-iringan orang yang sedang memikul keranda. Wajah Sadiman seketika cerah, ia membuntuti proses pemakaman tersebut. Dan ternyata yang meninggal adalah seorang lelaki.

Malamnya saat semua warga sedang terlelap tidur, Sadiman mengendap-endap ke pemukiman warga. Ia mencuri cangkul dan sebuah karung besar. Setelah itu, ia segera ke pemakaman untuk menggali kuburan orang yang baru meninggal tadi siang. Dengan tergesa-gesa, ia mulai membongkar kuburan .

Keringat membasahi seluruh badan, sesekali ia menoleh ke sekeliling, memastikan kalau tidak ada orang yang melihatnya. Selang beberapa saat, ia berhasil mengangkat mayat itu kemudian dimasukkan ke dalam sebuah karung, tapi sialnya tidak muat.

Sadiman mengeluarkan sebuah golok. Ia memotong bagian perut mayat itu hingga terburai semua isi perutnya. Akhirnya mayat tersebut bisa dimasukkan ke dalam karung. Ia mengikat karung itu dengan sebuah tali yang terbuat dari sobekan bajunya sendiri.

Dengan susah payah, Sadiman berhasil membawa mayat itu. Ia keluarkan isi karung di hadapan Sarminah. Seketika wanita itu mual melihatnya. Untung saja Melati sudah tidur dan tidak melihat apa yang dibawa kakeknya.

Selama berhar-hari Sarminah dikurung di dalam kamarnya, Melati tidak diperbolehkan masuk karena Sarminah sedang berusaha untuk menghabiskan seonggok mayat. Di dalam kamar itu, ia memakannya sedikit demi sedikit. Tidak jarang Sarminah muntah-muntah.Sadiman sudah mencincang mayat itu agar mudah disantap Sarminah.

Setelah satu minggu, akhirnya ia berhasil memakan semua organ tubuh dari mayat lelaki itu. Yang tersisa hanya tulang belulang saja. Setelah tahu kalau Sarminah telah menghabiskannya, Sadiman membawa dua buah jarum sepanjang telunjuk orang dewasa. Lalu jarum tersebut ditusukkan ke kening Sarminah dan perutnya. Sarminah menjerit kesakitan, Sadiman membacakan mantra-mantra, bibirnya bergetar, dan matanya terpejam.

Asap seketika muncul dari sela-sela tanah, memenuhi kamar Sarminah. Ia meniup pelan-pelan asap putih yang menghalangi pandangannya, tampaklah Sarminah yang sudah berubah menjadi wanita yang sangat cantik.

Bibirnya tipis imut, wajahnya putih dengan tahi lalat kecil di pipi sebagai pemanis, matanya sipit, rambutnya tergerai indah sepinggang, ia telanjang bulat di atas tempat tidurnya. Entah apa yang terjadi, pakaiannya yang lusuh dan bau seketika hilang begitu saja.

Sadiman menutupi tubuh Sarminah dengan kain. Semenjak saat itu Sarminah berganti nama menjadi Nini Bogem. Wajahnya sudah benar-benar berbeda dari sebelumnya, ia kembali menari dengan grup ronggeng Sadiman.

Nama Nini Bogem semakin terkenal, grup ronggeng Sadiman semakin besar dan tidak bisa ditandingi. Bukan sekali dua kali Acih mendatangi Nini Bogem untuk menghabisinya, tapi semenjak punya susuk mayat, wanita itu makin sakti. Semua pesuruh Acih kalang kabut, tidak bisa menghabisi Nini Bogem.

***

Bertahun-tahun Sarminah menggunakan nama panggung Nini Bogem. Tidak ada yang mengenalinya, mereka menganggap Sarminah si tukang pijat itu sudah mati. Sadiman dan Melati juga merahasiakan identitas asli Nini Bogem. Sarminah hidup panjang umur sampai ronggeng tidak lagi laku.

Hingga pada suatu hari ia jatuh sakit dan mengalami sekarat yang berkepanjangan. Susuk itu, ya susuk mayat yang membuatnya susah untuk mati. Tidak ada yang tahu dan tidak ada yang bisa mengeluarkan susuk itu kecuali Sadiman.

[SELESAI]

*****
Sebelumnya
close