Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUSUK MAYAT SARMINAH (Part 2)


Kita bunuh dia

Suara gong terdengar hanya sekali, perlahan Farah membuka pintu kamar tempat penyimpanan alat-alat musik ronggeng milik Sarminah. Tidak ada siapa-siapa di dalam, hanya ada alat-alat musik ronggeng yang terbungkus sarang laba-laba. Ia kembali ke kamar Sarminah, sontak saja Farah berteriak saking kagetnya lantaran melihat Sarminah duduk di atas kasurnya dengan keadaan mata melotot dan mulut terbuka lebar. Setelah sekian lama sakit, baru kali ini Farah mendapati buyutnya duduk seperti itu.

“Bunuh aku. Susuk mayat....”

Suara yang keluar dari tenggorokan Sarminah terdengar sangat kering dan ringkih. Farah tidak mengerti apa yang sedang diucapkan buyutnya itu.

“Mbok? Udah bisa duduk?” tanya Farah sambil menampakkan wajah ketakutan.

Tidak lama kemudian, terdengar seseorang mengetuk pintu. Farah bergegas membukanya, mereka sudah datang. Itu ternyata kerabat Farah yang juga masih keturunan Sarminah, sebenarnya Farah meminta semuanya hadir, tapi yang datang hanya tiga orang saja. Mereka adalah Ningsih, Gion, dan Rizal semuanya adalah cicit Sarminah.

“Kalian lihat ini,” Farah dengan panik menunjukkan keadaan buyutnya.

“Mbok udah bisa duduk?” tanya Gion.

“Kalian dengar.”

“Bunuh aku. Susuk mayat....”

Sarminah terus-terusan mengucapkan kalimat tersebut. Gion mendekat dan menyentuh kening Sarminah.

“Mbok?” tanya Gion.

"Dia tidak sadar. Ini aneh, baru kali ini aku melihat Mbok duduk dan bisa bicara seperti itu," kata Farah.

“Apakah kalian sadar kalau Mbok kita ini sudah sekarat bertahun-tahun, tapi tak kunjung meninggal,”

“Iya betul ini tidak wajar,” timpal Ningsih.

“Benar sekali Ningsih. Kejadian ini memang tidak wajar,” tambah Rizal.

“Bunuh aku. Susuk Mayat....”

Lirih dan kering suara itu keluar lagi dari tenggorokan Sarminah.

“Apakah kalian sayang sama Mbok kita?” tanya Ningsih.

Mereka semua mengangguk.

“Kalau begitu kita harus mengakhiri penderitaannya,” tambah Ningsih.

“Maksud kamu kita harus bunuh dia?"

Farah menatap kerabatnya, mereka mengangguk.

"Nggak! Itu namanya pembunuhan,” Farah membentak.

“Dengarkan Farah, mau sampai kapan kau ngurusin Mbok, hah? Mau kau warisi ke anak cucumu! Mbok kita pasti punya ilmu hitam dan susah meninggal,” Ningsih pun naik pitam.

“Tapi membunuh Mbok itu bukan solusi!” Farah membentak.

“Lalu apa solusimu?” tanya Rizal yang terkesan membela pendapat Ningsih.

“Bunuh aku..., susuk mayat....”

Kembali Sarminah berucap lirih.

“Kau dengar itu Farah. Mbok kita minta dibunuh,” Ningsih mendesak.

Farah menggelengkan kepala.

“Kalian sudah gila! Aku nyuruh kalian ke sini untuk mencarikan solusi, cari orang yang mau rawat Mbok kita.”

“You are wasting your money, Farah,” timpal Gion.

“Ya sudah, begini,” setelah dari tadi terlihat berpikir, Rizal akhirnya buka suara.

“Em.... Farah, kita semua sayang sama Mbok. Tapi keadaan Mbok kita sekarang sudah tidak wajar. Kau paham, kan? Kadang hal menyakitkan itu baik untuk seseorang. Kita akhiri saja penderitaan Mbok, ya.”

“Aku tidak bisa Mas,” mata Farah mulai berkaca-kaca.

“Aku yakin Mbok pasti senang dengan keputusan kita ini.”

Farah tertunduk lesu. Tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya lalu ia menangis pilu. Rizal mengembuskan napas berat, ia kemudian berdiri.

“Bagaimana cara terbaik untuk mati?” tanya Rizal.

“Cekik?” usul Ningsih.

“Tidak!” Farah membentak.

Ningsih menampakkan wajah kesal sambil menggelengkan kepala.

“Bekap saja napasnya?” usul Gion.

“Itu terlalu sadis!” kembali Farah menolak usulan kerabatnya.

“Sianida! Kita kasih obat tidur dulu lalu kita cekoki sianida.”

Semua mengangguk kecuali Farah, ia masih menangis. Ia tidak tega, tapi di sisi lain pendapat Rizal ada benarnya, kadang hal menyakitkan itu baik untuk seseorang.

***
Kematian Sarminah

Mereka setuju. Sarminah akan diracun menggunakan sianida. Rizal segera pergi untuk mencari obat tidur dan sianida. Setelah hampir satu jam, akhirnya ia kembali. Obat tidur bubuk dicampurkan ke dalam sesendok air kemudian diminumkan kepada Sarminah yang masih dalam posisi duduk.

Anehnya, ia masih tetap melotot sambil berkali-kali minta dibunuh. Mereka bingung kenapa obat tidur tidak mempan terhadap tubuh Sarminah. Rizal pun kembali meminumkan sianida. Setelah beberapa menit, tetap saja Sarminah tidak tewas. Dia masih tegak dalam posisi duduk.

“Kau lihat Farah!” Gion menunjuk mboknya, “Mbok, kita udah nggak wajar. Sianida aja nggak mempan.”

“Lalu bagaimana ini?” tanya Ningsih.

“Tidak ada cara lain, kita cekik saja,” jawab Rizal.

“Tidak!” Farah menolak.

Tapi sekarang tidak ada yang peduli dengan penolakan Farah. Mereka tetap akan membunuh Sarminah demi menghentikan penderitaannya.

“Siapa yang berani melakukannya?” tanya Rizal.

Semua terdiam.

“Ya sudah, kita gantung saja,” Rizal memutuskan.

“Kalian sudah gila!” teriak Farah, hal itu terlalu sadis baginya.

“Kau tunggu saja di luar, Farah,” suruh Rizal.

Gion hendak memaksa Farah keluar dari kamar. Tapi, Farah menepis lengannya lalu keluar kamar. Mereka tidak memedulikan kerabatnya itu. Terpenting, sekarang bagaimana caranya mengakhiri penderitaan Sarminah.

Rizal mengikatkan sebuah tali tampar pada plafon kamar. Ia membuat simpul melingkar. Gion menyiapkan tiga buah kursi untuk menaikkan tubuh Sarminah. Setelah semua siap, Rizal dan Gion menggotong tubuh Mbok mereka. Sementara itu, Ningsih menahan kursinya.

“Sialan!” delik Rizal.

“Kenapa?” Gion mengerutkan dahi.

“Pampersnya bocor.”

Perlahan tubuh Sarminah dinaikkan ke atas kursi. Sebuah tali dikalungkan di lehernya. Rizal masih menahan tubuh Sarminah dari bawah. Setelah semua sempurna, ia melepas pegangannya. Sarminah digantung, tangannya tidak meronta, kakinya tenang melayang di atas lantai, dan kedua matanya melotot.

Ia tidak lagi berucap apa-apa. Setelah satu jam digantung, Rizal dan Gion menurunkan tubuh Sarminah. Mereka memeriksa detak jantung dan denyut nadi, sudah tidak ada. Sarminah mati, itu membuat mereka tersenyum bahagia. Akhirnya upaya mereka untuk mengakhiri penderitaan Sarminah berhasil.

“Sekarang bagaimana?” tanya Gion.

“Kita makamkan lah.”

“Aku ingin ada pengajian dulu,” sergah Farah. Walau bagaimana pun, ia tetap sayang sama Mboknya.

“Ya sudah terserah mau kau.”

Farah beranjak ke kediaman Pak Sudarjo, ketua RT untuk mengumumkan kepada warga kalau Mbok Sarminah sudah meninggal. Pak Sudarjo sempat kaget mendengar berita tersebut. Sudah sekian lama Sarminah sekarat. Ia bergegas ke musala untuk mengumumkan kematian Sarminah.

Malam itu juga warga berkumpul di rumah Sarminah. Surat Yasin dibaca bersama-sama dilanjut tahlil. Pak Sudarjo kemudian membacakan doa untuk Sarminah.

Namun, ketika sedang dibacakan doa, lengan Sarminah yang sudah ditata untuk sedekaptiba-tiba jatuh ke lantai. Semua terkejut dan mengucap istighfar. Farah lalu membetulkan kembali.

“Tenang, Bapak-bapak. Ini hal biasa. Mungkin urat syarafnya masih bereaksi,” ujar Farah.

Pak Sudarjo kembali melanjutkan lantunan doa. Lagi-lagi lengan Sarminah jatuh. Farah membetulkannya lagi. Warga mulai ketakutan. Mereka tidak berani menatap jenazah Sarminah.

Tak lama berselang, terdengar suara gong dipukul dari kamar. Itu membuat semua orang yang hadir di sana berteriak kaget. Dan... saat itu juga, jenazah Sarminah melesat, terbang begitu saja sambil tertawa terbahak-bahak. Kain yang menutupi tubuhnya berhambur ke mana-mana.

Tubuhnya seperti menguap menembus langit-langit rumah. Ia menghilang. Itu membuat semua orang lari terbirit-birit ketakutan. Mereka pasti akan mengingat suara tawa Sarminah yang terbahak dan besar itu.

Jenazahnya tidak pernah ditemukan lagi. Rumah itu menjadi sangat angker. Setiap malam suara tawa Sarminah selalu terdengar di langit-langit rumah itu dan membuat warga ketakutan. Farah sudah memasang plang kalau rumah itu dijual. Namun sampai sekarang belum juga laku.

***
Hikayat Sarminah

Siapa sebenarnya Sarminah? Dulu sekali, di sebuah kampung bernama Ci Ijau, Sukanti seorang perempuan cantik yang merupakan penari ronggeng tersohor melahirkan bayi perempuan berwajah buruk. Ia tidak menyangka kalau bayinya akan lahir dalam keadaan jelek seperti itu, tidak punya batang hidung, bibirnya sungging, matanya rapat sebelah, pipinya seperti habis terkena luka bakar.

Dijamin semua orang yang melihat bayi Sukanti akan bergidik ngeri atau bisa jadi ngilu. Orang-orang kampung itu berkata, pasti bayi Sukanti kena kutukan karena bayi itu adalah hasil hubungan gelapnya dengan Burhan.

Tapi, anak tetaplah anak. Sukanti tidak mau menyesali kelahiran putrinya itu. Juga tidak pernah menangisi kepergian Burhan, lelaki bajingan yang menghamilinya. Dari penghasilan menari ronggeng itulah ia menghidupi putrinya.

Sarminah begitu nama yang diberikan pada gadis buruk rupa itu. Tidak ada yang mau berteman dengan Sarminah. Ia sering terlihat bermain sendirian di bawah pohon bambu hanya sebuah boneka yang terbuat dari batang kayu yang menjadi temannya sehari-hari.

Nasib malang belum sampai di situ, saat usianya menginjak lima belas tahu, ibunya meninggal karena sakit, ia tidak pernah tahu penyakit apa yang diderita ibunya. Semenjak saat itu kehidupannya semakin sulit, untung saja ada Mbok Ibah, dukun paraji yang pernah membantu ibunya saat melahirkan, dia bersedia memungut Sarminah sebagai anaknya.

Mbok Ibah ini sudah sangat tua, ia lahir saat Indonesia masih dijajah Belanda. Bahkan di zaman Jepang, ia sempat menjadi jagun ianfu, budak pemuas nafsu tentara Jepang. Dia adalah wanita yang beruntung karena masih bisa selamat dari cengkraman tentara Jepang. Teman-temannya banyak yang mati di tempat lokalisasi. Ada yang bunuh diri atau tewas diperkosa ramai-ramai oleh tentara Jepang.

Sekarang nenek tua itu harus mengurus Sarminah si gadis buruk rupa. Mbok Ibah yang sudah bungkuk membawa Sarminah ke rumahnya, selama bertahun-tahun ia menghidupi Sarminah dari hasil memijat warga kampung hingga Sarminah tumbuh dewasa.

Satu hal yang tidak bisa dihilangkan dalam dirinya, ia ingin seperti ibunya, menjadi penari ronggeng yang tersohor di Ci Ijau. Tapi, dengan keadaan wajahnya yang buruk rupa tersebut, bagaimana mungkin ia mengikuti jejak ibunya. Seorang penari ronggang harus punya paras yang cantik dan tubuh indah.

Kalau macam Sarminah rasanya sangat mustahil bisa seperti ibunya. Setiap malam, di kamarnya yang sempit berdinding bilik, ia sering latihan menjadi ronggeng. Memperagakan gerakan-gerakan ronggeng yang sering ia tonton saat ada pertunjukan di kampung.

“Belum tidur, Cu?” Ucu adalah panggilan sayang Mbok Ibah pada Sarminah. Ia membuka pintu kamar dan tersenyum pada Sarminah.

“Belum, Mbok.”

“Mau jadi penari ronggeng, tah Cu?” tanya Mbok Ibah dengan logat sunda yang kental.

“Seperti ibuku, aku mau jadi penari tersohor di Ci Ijau,” Sarminah berujar sambil terus memperagakan tarian walau terpatah-patah.

Mbok Ibah masuk ke kamar Sarminah dengan gontai, ia duduk di tepi tempat tidur yang hanya beralaskan tikar daun pandan.

“Tarianmu bagus, Cu. Jadi ingat ibumu.”

“Terima kasih Mbok. Lihat ini,” Sarminah semakin lincah saja menari di depan Mbok Ibah sampai-sampai membuat nenek tua itu terkagum.

“Hati-hati Cu,” Mbok Ibah terkekeh, ia takut anak angkatnya tergelincir.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close