SUSUK MAYAT SARMINAH (Part 1)
Mungkin kalau ada orang yang kebetulan melintas di jalan Tanjung Sari, mereka tidak akan memperhatikan sebuah rumah yang terletak di pinggir jalan tersebut, karena memang tidak ada yang menarik dari rumah itu.
Cat rumahnya sudah memudar, ada dua tiang sebagai penyangga di bagian depan, juga dua jendela kayu yang dibiarkan terbuka walau hari sudah semakin gelap. Di halamannya, berdiri dengan subur dan rindang sebuah pohon rambutan yang buahnya tidak pernah dipetik. Dibiarkan matang dan busuk begitu saja sepanjang tahun.
Di teras rumah ada dua kursi kayu dan sebuah meja yang jarang sekali diduduki. Rumah itu terletak di pinggir jalan sehingga setiap orang yang melintas akan berpikir kalau rumah itu terkesan selalu sepi walau sebenarnya ada dua orang penghuni di dalam. Penghuni rumah itu adalah Sarminah, wanita tua yang terbaring sakit selama bertahun-tahun, dan Atiah si pembantu yang setia merawatnya.
Tapi hari ini tidak seperti hari-hari biasanya, ada sebuah mobil sedan mewah yang terparkir di halaman rumah itu. Tidak biasanya Farah berkunjung secepat ini, rutinnya ia datang sebulan sekali untuk menengok buyutnya dan juga untuk menggaji Atiah. Farah adalah satu-satunya keluarga Sarminah yang masih peduli padanya.
Setelah anak Sarminah meninggal tidak ada lagi yang mau mengurusnya selain Farah. Mereka sudah bosan mengurus Sarminah yang terbaring sekarat selama bertahun-tahun. Sarminah memang sudah sangat tua, tapi entah kenapa ajal tak kunjung menjemputnya.
Sehari-hari, ia hanya terbaring di atas tempat tidur. Soal makan, minum, bahkan buang air ia lakukan di atas tempat tidurnya. Pembantu yang merawat Sarminah pun sudah berganti-ganti orang dan hanya Atiah lah yang paling betah merawat nenek tua itu.
Ia bekerja sendirian merawat Sarminah di rumah itu selama lima tahun. Namun, hari ini dia mau mengundurkan diri. Itulah yang membuat Farah bingung lantaran jarang sekali ada orang seperti Atiah yang mau bekerja seperti ini.
Di kamar Sarminah, Farah mencoba untuk membujuknya agar tidak mengundurkan diri. Ia bahkan menawarkan kenaikan gaji dua kali lipat, tapi keputusan Atiah sudah bulat. Ia tetap mau berhenti kerja. Berkali-kali Atiah meminta maap karena tidak bisa menerima tawaran gaji dari Farah. Sementara Farah sendiri tidak mungkin bisa mengurus buyutnya itu karena ia sangat sibuk dengan pekerjaanya. Setelah menawarkan kenaikan gaji sampai tiga kali lipat, ia akhirnya menyerah.
Anehnya, saat Farah menanyakan alasan kenapa Atiah mau berhenti kerja, wanita itu tidak mau menjelaskannya. Wajahnya terlihat cemas dan ingin segera pergi dari rumah itu. Farah mengeluarkan amplop yang berisi uang gaji Atiah selama sebulan dan pesangonnya. Tanpa banyak basa-basi lagi, setelah menerima uang itu, Atiah langsung pamit. Farah mengantarnya sampai beranda rumah. Setelah Atiah pergi, Farah menutup pintu lalu mengembuskan napas berat. Ia bingung ke mana harus mencari pengganti Atiah.
Farah melangkah ke kamar buyutnya. Di atas tempat tidur, Sarminah terbaring dengan tenang. Matanya terpejam, dadanya turun naik menandakan kalau dia masih hidup. Farah memperhatikan rambut buyutnya, rambut itu sempurna berwarna putih dan terlihat lebih panjang dari semenjak terakhir kali Farah menengoknya. Wajah Sarminah sangat keriput, kedua bibirnya tenggelam ke dalam mulut, kulit lehernya melambai, dan kedua kakinya kurus kering.
Biasanya kalau Sarminah merasa lapar, ingin buang air atau haus, matanya pasti terbuka kemudian melenguh macam suara kerbau yang sedang disembelih, memberi pertanda kalau Sarminah ingin dilayani. Untuk urusan makan, selama bertahun-tahun Sarminah hanya makan gerusan biskuit yang dicambur air kemudian pembantu yang merawatnya akan menuangkan makanan itu ke mulut Sarminah. Itu pun si pembantu harus membukakan mulut Sarminah terlebih dahulu.
Saat Farah sedang memandangi kondisi Sarminah, tiba-tiba nenek itu melenguh, matanya terbuka. Farah paham itu, segera dia memeriksa bokong buyutnya, tapi masih kering. Pampersnya belum bocor karena tadi pagi Atiah memakaikannya sebanyak tiga lapis.
“Mbok mau apa?” Tanya Farah sambil senyum ke wajah Sarminah.
“Haus, ya?” Farah meraih segelas air dari atas meja kecil di samping tempat tidur Sarminah. Ia sendok air tersebut.
Namun, Saat Farah menuangkannya ke mulut Sarminah, air itu malah dimuntahkan.
“Mbok lapar?” Tetap saja ketika Farah menuangkan makanan ke mulut Sarminah, nenek itu perlahan memuntahkannya lagi.
Farah menyeka rambutnya yang panjang, ia bingung sebenarnya apa yang diinginkan buyutnya itu. Ia terus melenguh tidak karuan. Suaranya bahkan terpantul ke dinding kamarnya. Dalam kebingungan, ia merogoh telepon genggam, bermaksud untuk menghubungi kerabat yang lain. Tapi, semua kerabatnya itu tidak ada yang peduli, mereka malah menyuruh Farah untuk menyuntik mati Sarminah lantaran sudah bosan mengurusnya lagi.
Sudah beberapa kali Sarminah dibawa ke rumah sakit, tapi penyakitnya tidak kunjung sembuh sedangkan biaya rumah sakit semakin membengkak. Akhirnya mereka membawa pulang Sarminah dan menyuruh orang lain merawatnya.
Saat Sarminah masih melenguh, tiba-tiba terdengar suara gong ditabuh. Suara itu terdengar hanya sekali pukulan saja. Memang di samping kamar Sarminah ada sebuah ruangan khusus untuk menyimpan barang-barang lama milik Sarminah. Farah bergegas mengecek ada apa di kamar sebelah, ia heran siapa tadi yang menabuh gong padahal di kamar itu sepi. Seketika Farah teringat tentang alasan Atiah berhenti, ada apa sebenarnya? Kenapa Atiah terlihat sangat ketakutan?
***
Panggung Ronggeng
Satu hari sebelumnya, seperti biasa setiap malam Atiah menggerus biskuit untuk Sarminah. Malam itu hujan sedang deras, kilat berkelebatan, semburat cahayanya mematul pada dinding tua. Sebuah radio dibiarkan menyala, menyiarkan lagu dangdut jadul kesukaan Atiah.
Kepala Atiah mengangguk-angguk sambil ikut bernyanyi dengan suara pelan. Ia menuangkan air sedikit demi sedikit pada mangkuk kecil berisi gerusan biskuit lalu diaduk hingga halus. Setelah dirasa selesai, ia kemudian beranjak ke kamar Sarmninah. Dan... betapa terkejutnya saat ia melihat Sarminah tiba-tiba berdiri menghadap jendela.
“Mbok udah sembuh?”
Sarminah tidak menjawab. Atiah tersenyum ragu-ragu, hatinya campur aduk, ada senang, heran, dan sekaligus takut. Sudah lama sekali Sarminah terbaring, dan baru sekarang Atiah melihatnya bisa berdiri. Rambut Sarminah tergerai panjang sepinggang. Rambut itu putih semua, kebetulan Sarminah sedang mengenakan daster yang juga berwarna putih. Bayangan Sarminah hilang timbul tersorot cahaya kilat.
“Susuk mayat,” lirih Sarminah. Baru kali itu juga Atiah mendengar suara Sarminah.
Ia bingung apa maksud Sarminah berkata seperti itu.
“Susuk mayat? Maksud Mbok apa, ya?” Atiah mendekat perlahan. Kilat terus berkelebatan.
“Bunuh aku...,” Sarminah kembali berucap aneh. Malah minta dibunuh.
“Mbok?” Atiah tersenyum, perlahan ia angkat lengannya untuk menyentuh pundak Sarminah.
Tangannya berhasil menyentuh pundak itu, terasa sekali lengkungan tulangnya. Maklum saja, tubuh Sarminah hanya tinggal tulang dan kulit. Sangat kurus dan sangat kering. Walau pundaknya sudah disentuh, Sarminah tidak memalingkan badan. Ia tetap berdiri menghadap jendela yang tirainya terbuka.
“Mbok, makan dulu yuk. Aku udah siapin makanan buat Mbok.”
“Mbok?” lanjut Atiah.
Tubuhnya seperti patung, tidak dapat digerakkan. Saat Atiah sedang berusaha untuk berkomunikasi dengan Sarminah, terdengar suara gamelan di kamar sebelah. Suaranya berbaur dengan iringan angklung, gambang, dan gong.
Semua alat tersebut adalah milik Sarminah, sudah lama sekali terbengkalai di kamar sebelah. Atiah tidak pernah membersihkannya, banyak sarang laba-laba yang membungkus peralatan tersebut.
Bayangkan saja, siapa malam-malam begini yang memainkan alat-alat tua itu? Atiah semakin ketakutan. Selama dia bekerja, belum pernah sekali pun mengalami hal-hal aneh seperti ini. Ragu-ragu Atiah keluar dari kamar, menuju sumber suara tersebut.
Pintu kamar didorong perlahan, dada Atiah turun naik, dahinya sudah berkeringat. Derit engsel pintu yang sudah lama tak diminyaki terdengar nyaring. Betapa terkejutnya Atiah ketika melihat banyak lelaki yang sedang asik memainkan gamelan di kamar tersebut.
Semua lelaki terlihat asing. Dari mana datangnya mereka? Kenapa mereka bisa ada di kamar ini? Atiah mengerutkan dahinya, dan saat hendak balik badan, berdirilah seorang lelaki muda berparas rupawan mendekati Atiah. Ia mengenakan blangkon bercorak batik warna kuning, celana panjang hitamnya cingkrang semata kaki. Ada sebuah selendang warna ungu yang melingkar di leher lelaki tersebut.
Ia tersenyum mendekati Atiah. Kemudian selendang itu dikalungkan pada lehernya, perlahan Atiah digiring masuk ke dalam kamar. Suara gamelan semakin bertalu-talu, Atiah terperdaya. Ia tidak sadarkan diri, tatap matanya kosong dan tubuhnya menari-nari bersama lelaki tampan itu.
Atiah seperti masuk ke dalam kumparan cahaya, seketika ia terkejut saat melihat dirinya berada di sebuah panggung pertunjukkan ronggeng. Orang-orang ramai menontonnya dari bawah sambil bersorak-sorak memanggil nama Atiah.
Ia meraba pakaiannya sambil terheran-heran, Atiah mendapati dirinya sudah berpakaian seperti seorang ronggeng, kebaya, sarung batik, rambutnya dikonde, ada bunga melati di rambut belakangnya. Selendang terselempang di lehernya. Di mana ini? Atiah kebingungan.
***
Kesaktian Atiah
Atiah juga meraba wajahnya. Pipinya tebal sekali oleh bedak. Sementara di depan panggung berjejer beberapa obor yang menyala. Apinya berayun-ayun tertiup angin. Puluhan orang berkerumun di depan panggung. Mereka menari mengikuti alunan musik.
Di atas panggung tersebut bukan hanya Atiah saja yang menjadi ronggeng. Ada tiga orang lainnya yang sedang menari dengan sangat anggun.
Di hadapan mereka ada beberapa lelaki yang ngibing, menari sambil nyawer. Perhatian Atiah tiba-tiba tertuju ke sebuah keributan di tengah penonton. Di sana terlihat seorang wanita buruk rupa diseret paksa oleh tiga orang wanita cantik.
Mereka semua berpakaian ronggeng. Hanya saja pakaian si wanita buruk rupa sudah acak-acakan seperti habis dianiaya.
Dua orang memegangi tangannya, sedangkan satu orangnya lagi menjambak rambutnya. Saat itu juga alunan musik berhenti. Semua orang tertuju kepada wanita buruk rupa yang sedang menangis meminta ampun.
“Si Sarminah maling pakaian ronggengku. Dasar wanita buruk rupa! Terkutuk!” salah satu dari wanita itu memaki-maki Sarminah.
“Kau yakin dia malingnya?” tanya salah seorang penonton.
“Kau lihat saja, baju siapa yang ia pakai ini? Ini pakaianku!”
“Aku tidak maling. Aku memungutnya. Baju ini mereka buang di belakang panggung.”
“Heh... sudah maling, berbohong lagi!” Sekar membentak.
“Kita telanjangi saja dia!” salah seorang dari wanita itu memberi usulan sadis sambil menunjuk wajah Sarminah yang sedang menangis.
“Jangan! Kumohon jangan!” Sarminah merapatkan telapak tangannya, memohon agar tidak ditelanjangi.
Sayangnya, tidak ada yang mendamaikan perseteruan itu. Baju Sarminah dilucuti satu persatu dengan cara yang sangat kasar. Ia sempat mengamuk, tapi tiga wanita itu cukup kuat untuk menahannya.
Para lelaki yang menonton kejadian tersebut seperti membiarkan saja. Mereka malah merasa diuntungkan karena ada tontonan tubuh wanita gratis di hadapan mereka.
Tiga perempuan tertawa puas setelah berhasil mempermalukan Sarminah. Buru-buru Sarminah pergi dari kerumunan lelaki sambil membawa serta beberapa helai pakaian untuk menutupi tubuhnya. Ia berlari sambil menangis kencang dan berteriak.
"Terkutuklah kalian!" semakin jauh tubuhnya, semakin tidak terlihat. Barangkali ia masuk ke dalam hutan.
Entahlah. Yang jelas kejadian tersebut membuat Atiah yang sedang berdiri di panggung tercengang. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan. Kakinya melangkah mundur.
Tiga orang yang baru saja mempermalukan Sarminah kini malah menatap Atiah dengan tajam. Mereka melangkah mendekati Atiah. Bukan hanya tiga wanita itu saja, tapi semua orang yang ada di sana secara tiba-tiba menatap Atiah dengan tatapan dingin.
“Kenapa? Aku salah apa?” Atiah ketakutan.
Dada Atiah seperti ditendang dengan sangat keras. Dalam satu hentakan saja ia tersadar. Ia mendapati dirinya sedang ada di dalam kamar. Napasnya terengah-engah. Ia menoleh sekeliling. Tidak ada seorang pun yang memainkan alat musik di kamar itu.
Dengan tergesa ia menutup pintu kamar. Atiah lalu melangkah menuju kamar Sarminah.
Setibanya di dalam kamar, dilihatnya tubuh Sarminah menjulang tinggi hingga menyentuh langit-langit kamar. Ia menatap Atiah sambil tersenyum mengerikan. Kedua kakinya tidak menyentuh lantai. Dengan gontai, Sarminah mendekati pembantunya.
“Mayatku....”
“Kau mayatku....”
Atiah menjerit ketakutan. Ia lari terbirit-birit hendak keluar rumah. Tapi, pintunya terkunci rapat dan tak dapat dibuka. Sarminah semakin mendekat. Tubuh Atiah sekarang berada di antara selangkangan Sarminah.
“Mayatku....” desis Sarminah.
Atiah pingsan seketika.
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya