Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KINASIH (Part 5) - Dendam Arwah Perempuan Pekerja Komersil

Lastri dan Gama, masih berlanjut...


Sebuah perjalanan menebas jarak ratusan kilometer menuju barat. Menyusuri jalanan panjang yang seakan tak berujung dengan rasa lelah dan luka yang menggelayuti tubuh. Seharusnya hanya butuh waktu delapan jam saja untuk sampai ke lokasi yang menjadi tujuan kami.

Sebuah tempat yang menurut Riri adalah tempat yang paling aman untuk Kinasih saat itu, atau setidaknya karena memang kami tidak punya opsi lain selain tempat itu.

Kalau menurutku, harusnya kami sudah sampai sore ini juga. Tapi tidak mungkin juga Riri dan Gama akan kuat mengemudi tanpa istirahat. Dan ini adalah tempat kesepuluh kami berhenti. Sambil memastikan mesin mobil masih dalam keadaan normal dan yang terpenting membeli makanan.

“Gama, Lastri, tunggu bentar, ya. Aku mau ke toilet.” Ujar Riri ketika mobil sudah berhenti di tempat pengisian bahan bakar. Tampak sekali menahan pada perutnya.

Aku yang duduk di belakang mengangguk, kemudian Gama juga ikut keluar mobil, meninggalkan aku, Murni dan Kinasih di dalam mobil.

Ada rasa takut dan juga was-was, kalau tiba-tiba saja Kinasih terbangun dan berontak. Namun setelah aku menunggu sampai Gama dan Riri kembali ke mobil, Kinasih masih dalam posisi yang sama. Hanya dadanya yang bergerak naik turun sembari mengeluarkan bau tak sedap.

Aku dan Murni hanya mampu menutup hidung, mencoba untuk membiasakan dengan aroma tak sedap itu.

“Gam, gantian kamu yang nyetir, ya?”

“Iya, Ri. Nanti jangan mendadak ya ngasih tahu jalannya. Takut malah kesasar.” Jawab Gama setelah ia sudah duduk di kursi kemudi.

Setelah tak lebih dari setengah jam beristirahat, akhirnya mobil yang kami tumpangi melaju kembali.

“Kayaknya kita bakal sampai sana pas malam, deh...” ucap Riri sambil memandang ke arah Gama, aku dan Murni bergantian.

Ya, sepertinya begitu. Aku setuju. Kota tempat tujuan kami masih cukup jauh dari tempat kami beristirahat saat ini. Sebuah kota yang terletak di tengah-tengah provinsi. Kota ini bisa dibilang kecil kalau dibanding dengan dua kota tetangga yang mengapit di sebelah utara dan selatan.

Tapi justru itulah yang menarik bagiku, tidak terlalu padat dan menawarkan nuansa sejuk dan tenang karena letaknya yang berada di dataran tinggi.

Setelah menempuh berjam-jam, akhirnya mobil yang aku tumpangi sampai di sebuah desa yang menurutku tidak seperti yang aku bayangkan sebelumnya. Bahkan ketika mobil kami memasuki gapura, aku sempat bertanya kepada Riri sekali lagi.

Meyakinkan bahwa kami tidak salah lokasi atau bahkan nyasar. Akan jadi makin runyam kalau sampai demikian, karena sekarang sudah nyaris tengah malam dan aku berada di antah berantah yang sepi dan berkabut. Tapi Riri sebagai juru arah memberi anggukan penuh percaya diri.

Ya sudahlah kalau Riri sudah yakin. Pikirku.

Tak lama, mobil yang di kendarai Gama berhenti. Riri dan Gama pun turun, sepertinya mereka mau bertanya kepada salah seorang warga yang masih terjaga di depan rumah depan sana. Hingga mereka berdua kembali masuk ke dalam mobil

“Gimanaa Mbak?” aku bertanya ketika Riri sudah masuk ke dalam mobil.

“Iya benar kok, ini kita tinggal masuk aja nurut jalan.” Jawab Riri, meyakinkanku.

Mobil pun melaju kembali, menyusuri jalanan tanah bergelombang yang hanya bisa di lewati satu mobil saja.

Untuk berpapasan sepertinya salah satu harus mengalah. Hingga tak lama, setelah Gama membelokkan setirnya ke kanan dan masuk ke dalam halaman sebuah rumah, mobil pun berhenti.

Kali ini aku yang turun. Ya.. bisa kalian tebaklah, untuk menghirup udara segar karena sudah terlalu lama berkutat dengan bau Kinasih yang benar-benar bikin aku mual. Begitu aku keluar dari mobil, pandanganku langsung tertuju pada bangunan yang sekarang berdiri di depanku.

Bangunan bergaya 70-an. Jendela-jendela di setiap ruangan masih terbuat dari kayu dengan taman bunga yang cukup terawat.

Walaupun ada sedikit khawatir dgn bangunan yg terlihat tua dan terkesan gelap, aku masih berusaha untuk berpikir positif. Pikirku, tak apalah untuk sementara kami bermalam di sini sampai situasi membaik dan kami bisa memindahkan Kinasih ke tempat yang lebih mudah dijangkau.

Satu dua kali ketukan dan salam, masih belum ada sahutan dari dalam rumah. Pikirku mungkin karena sudah larut malam, si pemilik rumah sudah tidur. Tapi ketika aku mengetuk untuk yang ketiga kalinya, suara gemrasak langkah kaki tetiba saja terdengar dari dalam rumah bersamaan dgn suara wanita. Kemudian pintu di buka.

“Cari siapa ya, Mbak?” ujar wanita yg aku sendiri belum tahu namanya, sembari menengok ke arah belakangku, tepatnya ke arah kendaraan kami yg masih menyala.

“Saya Riri dan ini teman saya, Lastri. Buk. Kami kesini atas perintah Pak Warno. Katanya di suruh menemui Lek Bimo.” Sahut Riri menjelaskan maksud dan tujuannya.

Kemudian Riri mengangkat tangannya ke arah Gama, memberi isyarat untuk mematikan mesin mobilnya.

Terlebih lagi, ketika beliau yang memperkenalkan diri dengan nama Bu Fitri begitu ramah dan antusias. Bahkan beberapa detik, aku dibuat terpana oleh penampilannya. Ada satu keanggunan yang terpancar secara natural, walau mungkin beliau sudah tidak muda lagi.

Mungkin umurnya sudah berkepala enam, terkaku. Tapi gestur dan penampilannya begitu berbeda dan menarik hati. Seperti ada aura karismatik khas perempuan Jawa.

Bu Fitri menyambut kami dengan senyum hangat. Aku yang sesama perempuan saja bisa terpesona, apalagi kalau pria yang melihatnya. Dia cantik.

Sejenak Bu Fitri yang menyambut kami pun terdiam, kali ini pandangannya lebih menelisik lagi sembari berbisik.

“Apa kalian yang dari Desa Krajan? Terus teman kalian yang aneh itu di mana sekarang?”

“Oh iya Buk benar. Masih di dalam mobil, Buk. Masih belum sadar.” Sahut Riri kembali.

“Ya sudah ayo bawa masuk. Sekalian teman kalian yang di dalam mobil suruh masuk semua. Keburu ada warga yang liat. Cepat!” ucapnya sedikit panik. Dan tanpa menunggu perintah kedua kalinya, aku dan Riri segera memberitahu Gama untuk segera menggendong Kinasih masuk ke dalam rumah.

Dengan bantuan satu pria yang lebih tua dari Bu Fitri, Gama membopong Kinasih mengikuti langkah kami. Beruntung, walau sudah sadarkan diri, Kinasih tidak berontak sama sekali. Bahkan yang lebih mengejutkan, dia bisa tersenyum ketika Bu Fitri mendekat dan membelai rambutnya yang awut-awutan itu. Sepertinya mereka berdua akan cocok satu sama lain.

Dan setelah beberapa kali aku melangkah, memasuki rumah Bu Fitri, sampailah aku di sebuah kamar yang di siapkan.

Letaknya berada di bagian paling belakang dan berdempetan dengan pagar tembok belakang setinggi dua meter, yang kemungkinan berbatasan dengan hutan, karena walaupun gelap, aku bisa melihat dengan jelas pohon yang tinggi menjulang di belakang sana.

“Mbak, Mas.. mohon maaf ya, ini Ibu siapkan kamar di sini kalau-kalau nanti Mbaknya teriak, suaranya tidak sampai luar.” Bu Fitri berujar sambil mempersilahkan kami membawa masuk Kinasih ke dalam.

Ternyata setelah aku masuk ke dalam kamar, ruangan ini lumayan besar dan bersih. Temboknya berwarna putih walaupun ada sedikit bercak rembesan air hujan, dan lampunya juga menyala terang.

Pandanganku mengedar ke sekeliling dalam ruangan, selain sebuah ranjang besi berukuran cukup luas, ada juga almari kayu dan meja kursi. Semuanya tertata rapi.

Kemudian, Gama dan lelaki tua itu dengan sangat hati-hati mendudukkan Kinasih di tepian ranjang.

“Mbak Asih, sementara di sini dulu, ya?” Gama dengan nafas terengah karena kelelahan, mencoba berbicara kepada Kinasih.

Lagi-lagi respon yang aku dapatkan ketika Gama menyelesaikan kalimatnya untuk Kinasih, hanya sebuah senyuman lebar yang tak nyaman di pandang dan gigi-giginya yang sebagian tampak menghitam. Apalagi ketika aku melihat reaksi Riri dan yang lain, yang baru pertama kalinya melihat kengerian dari senyuman Kinasih, bergidik ngeri.

“Kok saya tidak di kasih tahu, kalau Kinasih hamil!” dari belakang, Bu Fitri menyeruak masuk melewatiku sambil bergumam. Dia kemudian maju dan duduk di samping Kinasih dan membelai rambutnya.

Aku. Oh tidak. Semuanya yang ada di dalam kamar itu terdiam. Kami terdiam bukan berarti kami menyembunyikan kehamilan Kinasih, melainkan sepenuhnya tidak mengetahui jika Kinasih dalam kondisi hamil. Aku kemudian melirik ke semua orang yang ada di dalam ruangan itu.

Gama tampak menunduk. Riri entah kenapa sedari tadi terus menerus menoleh ke arah luar kamar. Sedangkan lelaki tua yang membantu Gama membopong Kinasih tadi, bersender di pintu kamar dengan wajah pucat dan seakan selalu membuang pandangan ke arah Kinasih.

“Maaf, Bu Fitri...” aku memilih untuk bicara, menjawab sekaligus memecah keheningan yang sempat tercipta. ”Masalah Kinasih hamil atau tidak, kami semua memang benar-benar tidak mengetahui. Dan kalau boleh saya tahu, dari mana Bu Fitri tahu kalau Kinasih hamil?”

Bu Fitri yang aku ajak bicara tak langsung menjawab. Malah dia terus menerus memandang Kinasih sambil tak henti membelai rambutnya dan mengelus perutnya dengan penuh kelembutan.

“Saya tahu dari baunya. Mohon maaf, saya peka terhadap hal di luar nalar. Dan jabang bayi yang sedang di kandungnya itu, bukanlah manusia, melainkan iblis!” desis Bu Fitri terdengar geram dan marah. Membuat kami semua mati gaya setelah mendengar penuturan Bu Fitri.

Bu Fitri kemudian bangkit dan mendekat ke arahku, menoleh ke semua orang yang ada di dalam ruangan secara bergantian. “Biarkan Kinasih di sini dulu. Kebetulan besok Pakde Warno mau ke sini bersama Mas Bimo.”

Kalimat itu terdengar meyakinkan. Membuatku percaya bahwa Bu Fitri bisa menjaga kepercayaan yang diberikan untuk kami semua.

“Dan untuk sementara, kalian boleh menginap di sini dulu kalau mau. Lagian ini sudah malam, kalau mau balik, kalian mau balik ke mana? Gimana Mas, Mbak?” sambung Bu Fitri sambil memandangku, Riri dan Gama secara bergantian.

Bu Fitri menawarkan sesuatu yang sepertinya sulit aku tolak. Apalagi mengingat kondisi tubuh yang sudah selelah ini. Rasanya rindu dengan kasur empuk.

Sampai aku baru tersadar, ada salah satu rombonganku tidak ikut masuk ke dalam rumah.

Ah sial! Terlalu fokus dengan suasana, aku sampai mengabaikan Murni.

Aku langsung menyambar, menyeret lengan Gama untuk keluar kamar, yang kebetulan ada di sampingku.

“Loh Mas! Murni di mana? Kok gak kelihatan?”

Seketika Gama langsung terdiam, kemudian kami berdua secara bersamaan menoleh ke arah mobil yang terparkir di luar.

“Dari tadi Murni aneh, Las.” Gama berhenti sejenak. menoleh ke kiri dan kanan, memastikan bahwa tidak ada orang lain yang menguping obrolan mereka.

“Tadi dia diem aja pas tak ajak keluar mobil. Malah sempet narik tanganku untuk gak keluar mobil, Las. Dia maksa tadi, katanya takut.”

Aku kemudian teringat kejadian pas di dalam mobil, ketika kami berhenti beristirahat di tempat pengisian bahan bakar. Murni gemetar.

Seperti menahan takut setelah Kinasih mengucapkan sebuah kalimat lirih yang aku sendiri saja tidak tahu maksudnya. Mungkin Murni juga sempat mendengarnya.

“Mur, masih ingat ya...” tadi Kinasih bilang seperti itu, iya aku ingat betul.

“Gak beres, nih.” Gumamku. “Ya sudah aku ajak Murni keluar mobil dulu, Mas. Kamu balik aja ke dalam nungguin Mbak Riri.” Aku kemudian berlalu keluar menuju mobil.

“Murni? Bangun. Kamu ngapain masih di dalam mobil? Ayo turun.” Ucapku setelah membuka pintu mobil dan mendapati Murni tertidur dan seketika terkejut.

“Eh, Lastri. Ngagetin ajaa sih!” sahut Murni jengkel.

“Ayok ah turun, kita tidur di rumah ini dulu, Bu Fitri sudah nyiapin kamar buat kita semua.” Aku langsung menarik lengan Murni, memaksa agar segera turun dari mobil. Karena malam juga semakin larut dan dingin.

Akhirnya Murni mau menurut, kita berdua langsung masuk ke dalam kamar di mana masih ada Bu Fitri, Riri dan Gama sedang mengobrol. Tak lama setelah di rasa semuanya sudah berkumpul, Bu Fitri kemudian mengajak kami berempat untuk masuk ke dalam ruangan lain.

Di sana Bu Fitri menjelaskan ruangan mana saja yang akan kami gunakan untuk beristirahat. Tentunya setelah kami semua sudah dalam keadaan bersih alias mandi. Walaupun baju ganti juga di pinjami oleh Bu Fitri. Benar-benar baik orangnya.

Setelah Riri, Gama dan Murni sudah pada terlelap. Dan tersisa hanya aku yang masih terjaga, aku buru-buru keluar karena mendengar panggilan dari Bu Fitri.

“Mbak Lastri? Bisa ke sini sebentar...” Bu Fitri melambaikan tangan dari depan pintu kamar Kinasih. Dengan perasaan yang was-was, aku mendekat dengan setengah berlari. Menunggu perintah yang aku harap semoga tidak memberatkan.

“Ibu mau ngambil sesuatu dulu di kamar.”

“Aduh!” ternyata apa yang aku takutkan menjadi kenyataan.

“Tolong Mbak Lastri tungguin dia sebentar. Pintunya di tutup ya biar gak kabur. Siapa tahu kan?”

Dengan penuh keraguan, aku sebentar mengarahkan pandanganku lurus melewati bahu Bu Fitri. Di dalam sana, di mana Kinasih tampak tertidur di atas ranjang. Masih dgn pakaian kumal, rambut acak-acakan dan bau tak sedap yg seakan melambai ke arahku untuk mencium baunya lagi.

“Oh tidak!”

“Kok malah pucat kenapa, Las?” ujar Bu Fitri mengejutkan.

“Eh? Eng...enggak kok Bu. Ya sudah Bu, Lastri tungguin dulu...” apa yang keluar dari mulutku tentu saja berlawanan dengan suara hatiku. Apalagi beliau sudah mau memberi tumpangan, aku tidak bisa menolak.

Kini Bu Fitri benar-benar meninggalkanku sendiri, sebelum kemudian aku masuk ke kamar dengan keterpaksaan dan kepasrahan. Aku sengaja tidak menutup pintu sepenuhnya, kalau-kalau nanti ada apa-apa aku bisa langsung lari keluar dengan cepat.

Apalagi ketika aku sudah berada di dalam kamar, rasa takut dan mencekam tetiba saja mendera.

Karena malam ini, belum pernah aku merasa sebegitu takutnya. Terjebak dalam satu ruangan bersama perempuan yang kini tidur dengan mata terbuka.

Tubuhnya terlentang, tapi kepalanya miring ke samping. Tatapan dari sepasang mata yang terbuka itu begitu menusuk tepat ke arahku. Entah gimana ceritanya, tubuhku mendadak gemetar.

“Krieeeet...” suara pintu terbuka yang membuatku langsung terjingkat kaget. Bu Fitri masuk dengan membawa sebuah pakaian. Sepertinya ia menyiapkan untuk Kinasih.

“Loh buat apa, Bu?” tanyaku ketika Bu Fitri masuk ke dalam dan langsung duduk di sampingku.

“Buat baju ganti Kinasih besok.” Sahut Bu Fitri kemudian.
Setelah itu, aku merasakan lega yang sangat. Di samping karena aku sudah di suruh Bu Fitri untuk kembali ke kamar dan juga akan rindu kasur empuk yang ada di kamar.

Tanpa ada gangguan apa pun, malam itu aku bisa tidur dengan sangat nyenyak. Melupakan sejenak masalah rumit yang sedang aku hadapi, hingga rasa lelah menuntun mataku untuk terpejam dan tertidur.

***

Matahari perlahan terbit. Sinarnya jatuh ke setiap sudut, menyelinap masuk di antara pohon-pohon yang menjulang, menghantarkan kehangatan yang merasuk hingga ke sanubari yang paling dalam.

Aku dan Riri sedang duduk di halaman depan rumah, menikmati kesejukan udara pagi dan suasana pedesaan yang masih asri.
Di jalanan desa, tampak beberapa warga mulai berlalu lalang. Bersiap menjalankan aktifitas seperti biasa.

Beberapa ibu-ibu paruh baya berjalan saling beriringan sambil langkahnya serempak menyusuri rumput berembun, sambil saling khusyuk berbincang satu sama lain.
Aku rasa di sini adalah tempat paling tepat untuk healing. Melarikan diri sejenak dari penatnya pekerjaan.

Apalagi dengan rindangnya pohon yang berdiri berjajar di pinggir jalan, menambah suasana menjadi rileks dan bahagia.

Hingga tanpa aku sadari, dari arah samping, suara lelaki tua mengejutkanku dan Riri.

“Ngalamunin apa kalian, Nduk?” sapa lelaki tua yang tak lain Pak Warno.

“Loh Pak Warno? Sejak kapan sampai, Pak? Katanya sama Lek Bimo? Lha mana beliau?” sahut Riri yang langsung nerocos membombardir pertanyaan kepada Mbah Warno.

“Bapak baru saja sampai, Nduk. Tadi Bimo gak bisa ikut ke sini, dia lagi ada urusan penting.”

“Keadaan Kinasih gimanaa, Nduk?” sambung Pak Warno menjelaskan sekaligus balik bertanya.

Aku dan Riri saling pandang, sebelum menjawab pertanyaan Pak Warno, Bu Fitri lebih dulu menjawab.

“Lagi di kamar belakang, Mas. Barusan aku mandikan.” Sahut Bu Fitri dari arah belakang mengejutkan.

Bersamaan dengan itu, sambutan Bu Fitri yang tampak begitu cantik, dengan rambut pendek sebahu yang dibiarkan tergerai di umurnya yang sudah lebih dari setengah abad.

Pak Warno membalas dengan menganggukkan kepala.

“Sepurane ya Mas Warno kalau saya merepotkan. Karena ini sudah tidak bisa lagi di hentikan. Jadi saya meminta sampean ke sini untuk membantu kami semua.” Sambung Bu Fitri lagi, menjelaskan.
"Ndak papa?"

Bu Fitri mengangguk dan kemudian mengajak Pak Warno untuk ke belakang, sedangkan aku dan Riri mengekor di belakang Pak Warno.

Sesampainya di depan kamar. “Monggo masuk, Mas...” Bu Fitri mendorong pintu ke dalam, membuatnya kini terbuka lebar.

Walau samar-samar bau tak sedap masih tercium, namun itu tak mengganggu indra penciuman Pak Warno.

Tapi Pak Warno tak bereaksi. Perhatiannya tertuju ke arah Kinasih, yang kini duduk dengan tenang di tepi ranjang.

Rambutnya yang panjang itu tampak basah, sedang tubuhnya yang kurus, dibalut daster. Semuanya tampak baik-baik saja, kecuali senyuman Kinasih yang membuat Pak Warno seketika terkejut.

Sebentar aku terdiam sembari menatap tajam ke arah Kinasih, sebelum Pak Warno menggeser kursi dan kemudian duduk tepat di depannya. Hingga pandanganku berhenti di satu titik. Di mana, perut Kinasih yang tetiba saja sudah membesar.

Yang membuatku seketika menatap heran penuh tanda tanya. “Kok bisa? Dan sejak kapan?” batinku. Entah Riri juga melihatnya atau tidak, yang pasti perut Kinasih sekarang sudah membesar.

“Astaga! Dia hamil?” desis Pak Warno yang ternyata beliau juga memperhatikan.
Seketika semua orang di tempat itu termasuk Riri, terkejut.

“Las? Sejak kapan itu?” Riri tiba-tiba saja bertanya. Aku menggeleng, menyahuti pertanyaan Riri.

Terdengar helaan nafas Pak Warno sebelum ia melanjutkan kembali ucapannya. “Sudah gak beres! Ini bukan anak manusia!”

Baru sekali ini, benar-benar baru sekali ini, aku di buat terkejut dengan penampilan perut manusia yang baru beberapa jam yang lalu tidak menandakan hamil,-

tapi saat ini aku jelas banget kalau perut Kinasih sudah membesar. Mungkin menjelang delapan bulan. Hingga entah kenapa, aku merasakan tidak nyaman berlama-lama berada di kamar ini. Ada semacam perasaan resah, was-was dan takut berlebihan menggelayuti jiwaku.

Seakan kamar ini adalah dunia lain. Dunia yang gelap dan kelam.

Tapi aku tak punya pilihan, aku dan yang lain sudah sampai di sini dan berharap kedatangan Pak Warno dan bertemunya Bu Fitri, mampu membantu masalah rumit ini.

Sejenak Pak Warno memejamkan matanya. Aku pun mengikuti, mencoba menerawang, apakah aku bisa melihat apa yang sedang Pak Warno lakukan. Tapi nihil, aku tidak bisa menembusnya, tampaknya Pak Warno bukan orang sembarangan.

Begitu pun dengan Riri, ia tiba-tiba saja menyenggol lenganku. “Gak sopan!” ketus sekali nadanya.

Pak Warno semakin mendekatkan duduknya di hadapan Kinasih. “Bapak sudah lama menangani masalah seperti ini. Tapi tampaknya dendamnya lebih kuat daripada ilmuku.” Tegas dan berat ucapan yang keluar dari bibir keriput Pak Warno menjelaskan.

Kalau di lihat dari cara dia memandang dan tersenyum, itu membuat jantungku berdesir. Apalagi sepasang matanya, tatapannya itu tidaklah kosong, tapi begitu mendalam. Bibirnya yg membentuk seulas senyum itu seakan ingin menunjukkan bahwa ia tidak takut pada siapa pun dan apapun.

Sampai dengan gestur yang ia tunjukkan, di mana Kinasih lebih memilih mengelus-elus perutnya sembari tertawa cekikian.

Tak lama setelah itu, Pak Warno, Bu Fitri dan Riri meninggalkan kamar Kinasih setelah Pak Warno berhasil membuat Kinasih tertidur.

Sekarang tinggal aku saja yang masih di dalam. Aku hanya penasaran saja ingin melihat wajah Kinasih dari dekat. Namun ketika aku duduk di tepian ranjang sembari memandanginya, tetiba saja ia bangkit dan duduk.

Sontak membuatku terkejut, tapi kali ini Kinasih memberikan gestur dengan jari telunjuknya utk diam. Layaknya perintah, aku seketika terdiam. Mulutku bergetar menahan rasa takut. Ingin teriak tp mata Kinasih seolah tajam menatapku, memberi peringatan agar tidak mengeluarkan suara

Sampai ia kemudian bangkit, berjalan memutariku dgn cara terseok-seok. Mataku yg seolah terhipnotis, mengikuti ke mana saja Kinasih berjalan. Sampai ia berhenti. menatapku sangat tajam. Membuatku semakin kalut dalam ketakutan. Takut kalau dia akan menyakitiku atau semacamnya.

Aku berharap siapa pun bisa menolongku. Tapi setelah sepuluh menit berlangsung, suasana masih sama. Hening dan sunyi. Benar-benar terjebak dalam ketakutan yang luar biasa. Aku ingin berteriak, namun suaraku tertahan di tenggorokan.

Entah kenapa, Kinasih yang ada di depanku ini seolah menunjukkan rasa benci dan amarahnya yang meluap.

Beberapa kali juga ia berbicara, kalimat yang di ucapkan terkesan seperti melantur, tak terarah dan tak memiliki makna khusus.

Kinasih menyebut nama-nama tertentu dengan intonasi seperti seseorang yang sedang mengingat atau menghitung dengan jari-jari tangannya.

Kemudian Kinasih mendekat, berjalan sangat pelan. Hingga jarak tak sampai satu jengkal, kini wajahku dan wajahnya saling bertatapan.

Dengusan nafasnya jelas terdengar, bau yang keluar dari hidungnya pun juga aku bisa menciumnya, dan sekarang ia membisik ditelingaku dengan sangat lirih.

“Aku pastikan sumpahku! Drajat, Ratih, Murni, dan semua orang yang ada di rumah itu! Semua bakal mati!”

Setelah itu, jeritan melengking menggema seantero ruangan, dan secara bersamaan, Pak Warno dengan nafas terengah-engah sudah berdiri di sampingku, menahan tubuhku sebelum aku terjatuh. Begitu pun dengan suara orang panik tetiba saja terdengar.

“Las...”

“Mbak Lastri...”
Hingga aku merasakan tubuhku diguncang sebelum semuanya begitu gelap, benar-benar gelap.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close