Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KINASIH (Part 6) - Dendam Arwah Perempuan Pekerja Komersil


Malam itu, mataku masih nyalang menatap Kinasih yang tubuhnya sudah terbaring dengan tangannya di ikat. Entah sejak kapan Kinasih tertidur, yang pasti sebelum aku pingsan, suasana sudah memanas. Aku yang tersadar dalam posisi terduduk di kursi, melihat Pak Warno dan Bu Fitri sedang duduk di tepian ranjang Kinasih.

Tapi tunggu. Di ambang pintu juga ada Gama dan Riri, mereka tampak sedang mengobrol, namun Murni entah ke mana, aku belum tahu.

Aku sejenak terdiam, sembari mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Apa mungkin karena itu, Kinasih di ikat? Tapi kenapa harus seperti itu? Aku jadi teringat pertama kali melihat Kinasih waktu di dalam ruangan tempo hari.

Dia di ikat seperti itu tapi bedanya sekarang, dia ada di ruangan yang lebih layak.

Hingga tiba-tiba saja, semua orang yang ada di kamar itu terkejut termasuk aku. Bagaimana Kinasih menjerit histeris dan meronta-ronta mencoba lepas dari ikatan.

Tapi sayang, ikatan itu lebih kuat, membuat Kinasih hanya bisa menggeram.

Kali ini dia mengulang kembali seperti kejadian beberapa jam yang lalu. Jari-jarinya seakan-akan menghitung nama-nama asing, entah untuk yang ke berapa kalinya.

Dan lagi, tubuh Kinasih memberontak sambil memaki semua orang yang ada di dalam kamar. Bahkan Gama dan Riri pun sampai ikut mendekat ke tempat Pak Warno dan Bu Fitri. Sedangkan aku, tubuhku lemas, ingin bangkit rasanya ngilu.

“Mas Gama, Mbak Riri tolong!”

Suara lantang Bu Fitri yang tampak kepayahan menenangkan Kinasih, berujar meminta bantuan kepada Gama dan Riri. Dan tanpa disuruh pun, mereka berdua sudah sigap.

Sebenarnya aku ingin membantu, tapi di tengah jalan, aku terjebak kepanikan.

Ingin bangkit tapi ngilu, tapi di sisi lain Kinasih semakin menggila dan sepertinya mereka memerlukan bantuan.

“Arrggghh! Arrgghhh! Ingat sumpahku! Ingat sumpahku! Bakal mati semuanya!”

Aku hanya terbengong seperti orang bodoh ketika Pak Warno, Bu Fitri, Riri dan Gama ikut membantu menahan tubuh Kinasih, ketika perempuan aneh itu mulai membentur-benturkan kepalanya sendiri ke tombok.

Semuanya bahkan semakin berantakan ketika semakin keras mereka berusaha menahannya, justru Kinasih semakin brutal meronta dan membenturkan kepalanya ke tembok.

“Dak! Dak! Dak!”

Hingga bercak darah berwarna merah mulai menempel di tembok. Semuanya seperti sia-sia. Bahkan Gama dan Pak Warno yang berkali-kali melantunkan ayat-ayat al-quran pun tidak memiliki pengaruh apa pun.

Sampai... aku yang spontan berujar tanpa terkendali, membuat Kinasih seketika diam.
“Kinasih Berhenti! Akan aku bantu mengabulkan sumpahmu jika kamu berhenti sekarang!”

Aku sendiri sampai bingung, bagaimana bisa kalimat itu meluncur dan lantang keluar dari bibirku. Bahkan aku sendiri juga tak tahu bagaimana kata-kata itu tersusun di kepalaku yang tengah dalam kepanikan. Atau mungkin, benar ucapan Pak Warno?

Kalau aku ada hubungan saudara dengan Kinasih? Yang seakan-akan aku tahu jika jiwa Kinasih begitu dipenuhi dendam dan tanpa aku sadari, hanya akulah yang memahami Kinasih.

Yang jelas dan benar terjadi, di saat itu juga Kinasih berhenti meronta. Dia menoleh ke arahku, memandangiku tajam, dan melemparkan senyum mengerikan yang baru pertama kali ini aku lihat dan tak akan pernah aku lupakan seumur hidup.

“Hihihi... Mbak Lastri? Jangan berbohong!” desis Kinasih yang dengan jelas aku bisa mendengarnya. Dan di saat itu pula aku sadar bahwa aku baru saja terikat sebuah janji.

Bahkan Pak Warno pun juga menyadari dengan ucapan lantangku barusan. Beliau memandangiku sama tajam, dahinya berkerut, sebelum satu ucapan terlontar.

“Nduk!” Pak Warno menggeleng.

Tapi aku tak menjawab ucapan Pak Warno. Pandanganku masih tertuju dan fokus ke arah mata Kinasih yang kini berubah sayu.

“Iya, tapi sekarang berhenti!”

Kinasih terkekeh kali ini, nadanya bahagia dan kembali tenang. Bahkan ia meminta satu permintaan sebelum dirinya tertidur. “Mbak Lastri? Ayok mandiin aku.”

“Deg!”

Kaget dan terkejut. Bahkan aku sampai melirik ke arah Bu Fitri yang kini juga memandangiku sembari mengangguk. Menyetujui permintaan Kinasih.

Terpaksa aku mengangguk. Memaksa tubuhku untuk bangkit walau terasa ngilu dan sakit. Kini aku memapah Kinasih masuk ke dalam kamar mandi kamar. Sesampainya di sana, setelah semua pakaian Kinasih terlepas, perlahan aku guyur tubuh kurusnya dengan air dingin.

Ia tampaknya menikmati guyuran itu, hingga tak lama, ia melantunkan sebuah tembang Jawa. Yg bisa aku pastikan, makna dari tembang itu adlh sebuah tembang kematian. Walaupun aku paham, tp aku tak menanggapi. Satu hal yg aku inginkan, segera menyelesaikan tugas ini dan pergi tidur.

Setelah selesai memandikan Kinasih, aku berniat untuk segera tidur malam itu juga. Namun tertahan oleh Murni yang tiba-tiba saja memanggil ketika aku hendak berjalan keluar kamar. Entah sejak kapan Murni ada di luar kamar, namun yang jelas dia ingin berbicara serius denganku.

“Las...” panggil Murni. “Bisa ke sini sebentar?”

“Oh iya.” aku menjawab ragu. “Apalagi sih!” batinku jengkel.

Awal perbincangan itu aku rasa tidak ada yang menarik buatku, tapi ketika Murni mulai menanggapi dan mencoba memberi saran,-

seketika membuatku seolah tak mendukung saran itu sepenuhnya. Namun sayang, Murni justru tetap kekeh. Dan alasannya terdengar sangat naif dan membuatku jengkel setengah mati. Katanya, Murni tidak ingin ikut campur dalam masalah ini.

Lagi pula, pernyataan itu justru berbanding terbalik dgn sambutan antusias ketika pertama kali aku dan Murni satu mobil dengan Riri.
Dan setelah berdebat panjang dengan Murni, aku memutuskan untuk melakukan perlawanan. Dengan satu helaan nafas, aku mencoba untuk tenang sejenak.

“Mur, kalau kamu tidak mau membantu, biarkan aku sendiri yang mengurusnya. Kamu tunggu saja di sini....”

“Heh Bodoh! Aku tu mau menyelamatkanmu! Dan aku juga denger apa yang kamu ucapkan tadi pas di kamar Asih.

Kamu itu sudah melakukan kesalahan fatal, Las! Dan itu sama saja kamu sudah mengikat janji dengan dia!”
Aku terkejut. Benar-benar tegas dan keras kali ini ucapan Murni.

“Dan perempuan itu harus segera pergi dari rumah ini, kalau kalian semua masih sayang nyawa kalian!” kali ini ucapan Murni bernada mengancam.
“Aku gak bisa Mur kalau harus menuruti saranmu. Aku sudah berjanji sama Kinasih.”

“Kamu tau sendiri kan! Kalau Pak Warno pernah bilang, Aku sama Kinasih itu ada hubungan saudara. Jadi ya wajar saja kalau aku mau bantuin! Terus sekarang kenapa kamu malah jadi gini? Aneh kamu!”

Jengkel! Mungkin kata itu yang tepat untuk menggambarkan perasaanku. Apalagi Murni kali ini tidak menjawab. Sepertinya dia tak punya jawaban untuk membalas ucapanku tadi.

“Las, Jangan gila! Kamu lihat sendiri kan? Bagaimana Asih mengamuk tadi? Itu bukan Asih lagi, Las!” sepertinya Murni belum menyerah. Dia tak menurunkan nada suaranya, dan bahkan sekarang dia berjalan mendekat ke arahku, kemudian duduk di sampingku.

“Cukup! Kamu itu tidak tahu sebenarnya apa yang terjadi, Mur! Apa kamu bisa lihat bagaimana dia di sekap dan di perlakukan kayak binatang!? Dan ... dan apa kamu juga bisa ngrasain bagaimana capeknya aku dan Gama bersusah payah nyelametin Asih?

Enggak kan? Kamu cuman nunggu di rumah Mas Eko, kan?”
“Sori, Mur. Keputusanku sudah bulat. Aku akan tetap melanjutkan yang sudah aku mulai. Dan kalau kamu merasa tidak nyaman atau tidak setuju, kamu boleh cari tempat lain!” Dingin dan tegas aku mengancam Murni

Hingga tak lama setelah aku melontarkan kalimat mengancam untuk Murni, sebuah jeritan histeris milik Riri menggema seantero ruangan. Tanpa pikir panjang, aku berlari ke arah jeritan itu meninggalkan Murni, entah dia juga mengekor atau tidak, aku tak peduli lagi.

Sesampainya aku di kamar. “Astaga! Riri, kamu kenapa?” aku terkejut ketika melihat Riri sudah tersungkur dan bersimbah darah.

Tak lama Pak Warno dan Bu Fitri pun juga berhambur masuk ke dalam kamar, mereka juga sama terkejutnya.

Hingga aku, Riri dan Gama keluar dari kamar setelah Pak Warno dan Bu Fitri mencoba untuk menenangkan Kinasih yang entah kenapa mendadak menggila dan menari-nari setelah menggigit telinga Riri sampai putus.

Aku kemudian mengambil peralatan P3K yang ada di dalam mobil Riri, kemudian segera membalut telinga Riri yang kini cacat. Hingga tak berapa lama, Bu Fitri datang menghampiri kami yang sedang dalam kepanikan.

“Lastri ambilkan peralatan P3K di almari!” teriak Bu Fitri panik.
Aku mengangguk dan segera mengambil perban. Setelahnya, Bu Ftri layaknya seorang perawat. Sikap beliau yang kali ini membuatku terkejut bukan main. Ternyata Bu Fitri juga ahli dalam menangani orang sakit,-

jari-jarinya sangat lihai dalam menjahit telinga Riri. Sampai tak berapa lama, kini luka Riri sudah sepenuhnya di tutup oleh perban. Riri pun tertidur.
Setelah di rasa suasana sudah membaik, aku berniat untuk menanyakan kejadian yang menimpa Riri tadi.

Awalnya ragu dan tidak enak, tapi aku penasaran.

“Mas kok bisa telinganya di gigit kenapa?” ucapku bertanya pada Gama sesaat setelah Riri tertidur.

Gama menatap tajam ke kamar, menarik nafas dan kemudian menghembuskan.

“Jadi gini, Las....” sahut Gama mulai menceritakan.

Gama dan Riri, ketika mereka sedang mengobrol di salah satu ruangan yang tak jauh dari kamar Kinasih.

“Ri? Gimanaa kabar orang tuamu?” Gama yang pertama kali bertanya, menanyakan kabar orang tua Riri. Seketika membuat wajah Riri pun merah padam. Sedikit salah tingkah.

“Oh.. emm...emmm baik kok. Kenapa? Kalau kabar istrimu gimanaa?” jawab Riri terbata, namun juga ragu ketika ia ingin menanyakan kabar istrinya.

“Alhamdulilah baik.”

Di samping atau di balik tembok, sudah berdiri Murni yang tersenyum lebar menyambutnya.

Membuat Gama dan Riri saat itu sedikit terkejut.

“Nguping ya, Mur.” Ucap Riri sewot.
Kenapa si Murni harus tiba-tiba muncul di waktu yang tidak tepat seperti ini. Riri bergumam lirih. Kehadiran Murni jadi membuatnya tidak punya alasan untuk menolak untuk bergabung.

Apalagi kalau sampai ada kabar yang tidak enak, sudahlah, mau di taruh mana mukaku. Batin Riri lagi.

“Enggak nguping, cuman denger aja kok. Hehe...” kedua alis Murni naik turun sambil tersenyum puas, sebelum melirik ke arah Gama.

“Asih gimana Ri, Gam?” tanya Murni sambil menatap Riri dan Gama bergantian.

“Sudah aman kok.” Sahut Riri.
Murni masih sedikit ragu. “Kalau tiba-tiba bangun, gimana?”

“Enggak!” Riri menarik tangan Murni. Memaksanya mengikuti Riri. “Tuh liat!” ucap Riri sembari menunjuk ke arah Kinasih sedang tertidur.

Hingga tak lama, setelah Riri dan Murni yang baru saja mengintip memastikan, tiba-tiba ada suara orang memanggil dari arah kamar Kinasih.

“Mbak Riri... Mbak Riri?”

Tak ada pilihan lain, Riri, Murni dan Gama yang memang masih di dekat kamar Kinasih dan mendengar suara itu, kemudian berjalan menghampiri dan masuk ke dalam kamar. Tujuan mereka hanya satu, memastikan kembali kondisi Kinasih yang memanggil nama Riri.

Gama berjalan paling depan, di ikuti Riri di belakangnya dengan tangannya yang di genggam erat oleh Murni di sebelahnya.

Sesampainya mereka di depan pintu, entah kenapa mereka bertiga merasakan ada keanehan.

Mendadak suasana dalam kamar itu terasa dingin dan membuat bulu kuduk Riri berdiri. Bukan karena takut, melainkan ada sensasi lain yang membuat hatinya berdesir oleh rasa takut dan cemas. Seakan memberitahu bahwa akan ada kejadian yang bakal menimpanya.

“Kok mendadak hening sih, Ri? Balik saja yuk?” Murni memandang Riri ketika mereka sudah berada di dalam kamar. Begitu pun dengan Riri yang melihat ekpresi wajah Murni seakan ia juga merasakan hal yang sama dengan yang dia rasakan. Murni mulai di gelayuti ketakutan.

“Cetak” Gama menekan saklar lampu.

Saat itu juga mereka bertiga di kejutkan dengan sosok Kinasih yg sudah berdiri menunduk. Gama, Riri dan Murni sempat mundur beberapa langkah untuk menjaga jarak, kalau-kalau terjadi sesuatu, setidaknya mereka bisa ancang-ancang untuk melawan.

Beberapa saat hening dan sunyi. Hingga Riri memberanikan diri untuk mendekat ke arah Kinasih sedang berdiri, ingin memastikan kalau Kinasih baik-baik saja.

“Jangan, Ri!” Seakan Riri tak mendengar ucapan larangan dari Gama. Dia terus berjalan mendekat ke arah Kinasih.

Hingga Murni pun juga sama, menarik lengan Riri tapi sama saja, Riri mengibaskan tangannya, melepas tarikan Murni.

Jarak mereka kali ini sudah dekat. Mata Riri tajam menatap wajah Kinasih yang sekarang menengadah ke atas. Mereka saling pandang.

Dengan cara yang mengerikan, Kinasih tersenyum lebar, benar-benar seperti senyuman yang mengerikan.

“Ada apa Mbak Riri?” Kinasih berbisik tajam ke arahnya sembari memiringkan kepalanya, masih menatap tajam ke arah Riri. Membuat Riri tersentak mundur selangkah.

Kemudian, entah bagaimana ceritanya, ketika tangan Riri menyentuh pundak Kinasih, berniat untuk mendudukkan ke ranjang. Secara bersamaan, tangan Kinasih menarik lengan Riri, yang membuat tubuhnya terhentak maju,

kemudian mulut Kinasih membuka lebar dan mengarahkan kepalanya ke telinga Riri. Dan “Klaaak” Riri berteriak kencang, ketika Kinasih mengatupkan mulutnya. Membuat telinga Riri tergigit oleh gigitan gigi hitam milik Kinasih yang tajam.

Dengan sangat cepat, Kinasih mengibaskan kepalanya ke kanan, seakan seperti binatang yang kelaparan.

Darah seketika keluar tercecer dari mulut Kinasih. Namun sia-sia, Gama yang saat itu responnya kurang cepat, segera mencekik leher Kinasih yang membuat mulutnya langsung membuka, membebaskan telinga Riri dari belenggu gigitannya.

Riri teriak, menggerang. Hingga tubuhnya terjatuh ke lantai sambil memegangi telinganya yang kini terputus.

Murni yang menyaksikan semua itu. Membuat kepalanya pusing dan pandangannya meredup. Murni sadar akan pingsan, tapi sebelum dia benar-benar hilang kesadaran, dia masih bisa melihat kepanikan Pak Warno dan Bu Fitri yang sedang berlari ke arahnya.

Dan Kinasih yang sudah berhasil membuat daun telinga Riri terputus dan mengunyah sebelum menelannya, tertawa girang dan menari-nari.

***

Aku mengernyitkan kening, heran dan sedikit kaget. “Bentar-bentar, apa kamu tadi bilang? Murni sama kalian?”

“Loh iya, tadi Murni sama kita, Las. kenapa memangnya?” tanya Gama.

“Aku tadi juga sama Murni, Mas! Aku sama dia lagi ngobrol di ruangan tamu. Tapi aku ngerasa aneh. Sikapnya mendadak jadi berubah. Dia nyaranin kita untuk segera pergi ninggalin Asih, katanya dia berbahaya sekarang. Bukan Asih lagi katanya.”

“Gak mungkin, Las. jelas-jelas tadi Murni sama aku dan Riri di kamar Asih. Apa jangan-jangan...” ucap Gama, yang tiba-tiba saja panik.

Aku dan Gama langsung berlari menuju kamar Riri. Di sana, untungnya Bu Fitri masih menemani Riri. Namun yang paling mengejutkan lagi,-

kini Bu Fitri dalam kondisi merangkak sembari mengapai-gapai tangannya. Seperti orang meminta tolong. Aku dan Gama dengan cepat membantu tubuh Bu Fitri untuk berdiri dan mendudukkan di kursi. Namun naas, kini mulut Bu Fitri sudah bersimbah darah.

Dan yang paling mengerikan, bibir Bu Fitri bagian atas dan bawah sudah tak ada alias robek.

“Mas Gama! Gimanaa dong ini, Mas?” aku panik, benar-benar panik. Masalah satu belum selesai, kini bertambah satu masalah lagi.

“Tenang, Las! aku panggilkan Pak Warno bentar!” sahut Gama yang langsung keluar ruangan.

Hingga tak seberapa lama, ketika Gama sudah keluar ruangan, aku di kejutkan oleh Bu Fitri yang tiba-tiba saja berdiri dengan mata sepenuhnya sudah memutih dan menari.

Dengan lihainya beliau menari seperti penari Jawa pada umumnya. Sampai pada di titik ini, dengan secepat kilat, Bu Fitri mencekik leherku sampai aku susah untuk bernafas.

“NDUK! KAN UWIS TAK WELING! MINGGAT SEKO KENE! OPO WIS ORA SAYANG KARO NYAWAMU!”

(Nduk! Kan sudah saya ingatkan! Pergi dari sini! Apa sudah tidak sayang sama nyawamu!) tegas dan berat ucapan dari Bu Fitri, namun aku bisa mendengar jelas kalau suara itu bukan milik Bu Fitri, melainkan suara lelaki tua.

Hingga nafasku sudah benar-benar habis, mungkin lima tarikan nafas lagi aku bakalan pingsan atau mati. Mendadak tubuh Bu Fitri terpental setelah suara Pak Warno dari belakangku menyebut asma Allah dan entah dengan apa, ada sebuah kilatan cahaya putih menghantam keras tubuh Bu Fitri yang membuatnya terpental.

"Uhukk...Uhuukk...." aku terbatuk setelah terjatuh dari cengkramannya.

Gama langsung mendekat, menyeretku menjauh dari Bu Fitri yang kini sudah bangkit.
Tapi....
Tunggu.....

Bu Fitri bukan berdiri melainkan melayang, kakinya yang mengambang mungkin 5 centimeter dari lantai. Dia melayang, mendekat ke arah Pak Warno. Sembari mengancam.

“Tua bangka! Ilmumu itu tidak ada apa-apanya, No! Sekarang rasakan pembalasanku!”

“Braaak...” tubuh Pak Warno terpental menabrak dinding kayu di belakangnya. Hingga darah merah segar keluar dari bibirnya. Aku rasa serangan itu membuat Pak Warno kewalahan. Aku dan Gama hanya mampu melihat tanpa bisa melakukan apa pun.

Bagaimana pun juga, ilmunya tak sebanding denganku dan Gama.

Suasana mendadak hening dan sunyi. Hanya suara erangan yang terdengar dari sosok yang kini merasuki tubuh Bu Fitri. Kemudian aku melirik ke arah Pak Warno yang kesusahan untuk berdiri.

Mas Gama, gimanaa ini? Desisku kepada Gama yang sekarang sama halnya denganku, terduduk sembari menyeret tubuh masing-masing untuk menjauh dari sosok Bu Fitri.

Kali ini adalah yang kedua kalinya aku di cekik, hingga tubuhku naik beberapa centi ke atas.

Gama pun sama. Dengan kedua tangannya, Bu Fitri mencekik leherku dan Gama. Sampai aku melihat bagaimana Gama meronta, meminta tolong. Yang ada hanya suara tertahan di tenggorokan. Kemudian aku melirik ke arah Riri, dia masih tak sadarkan diri.

Sampai aku benar-benar tidak ingat apa pun lagi. Semuanya menjadi gelap, gelap dan sangat gelap.

***

Hening dan sunyi. Aku terbangun saat aku mendengar suara telefon berdering. Dengan segera aku mencari asal suara telefon berbunyi itu. Hingga aku sampai di sebuah ruangan yang tak begitu luas. Di sana, di dalam ruangan itu, ada beberapa orang sedang duduk di sofa.

Laki-laki itu mengangkat telefon dan berbicara dengan orang yang ada di seberang telefon. Sampai ia menutup telefon dengan wajah yang kurang mengenakkan. Kemudian lelaki itu berdehem sembari menatap dua orang lain yang sedang duduk di depannya.

Mataku menelisik, tak ada yang menarik di ruangan ini, hanya saja aku penasaran dengan tiga orang yang ada di sana.

Wajah kedua orang itu terlihat panik setelah si lelaki yang baru saja menutup telefon itu bangkit dari duduknya.

Sepertinya akan ada kabar buruk yang harus mereka dengar. Aku mencoba mendekat, penasaran. Sampai aku tak menyadari bahwa guci yang ada di sebelahku tersenggol dan jatuh.

“Praakkk....”

Seketika semua mata tertuju pada guci yang terjatuh itu. Bahkan aku sampai menutup mataku. Tapi aneh! Mereka tidak menyadari kalau aku masih berdiri di sini. Apakah aku benar bermimpi? Atau sebenarnya aku lagi dimana? Apakah aku sudah mati?

Tidak! Kalau aku mati, bukan di sini tempatnya, ini bukan neraka atau surga yang pernah orang bicarakan. Ah sudahlah gak penting! Sekarang yang penting adalah rasa penasaranku dengan mereka.
Si lelaki itu kemudian mendekat ke arah dua orang lainnya.

“Baru saja kita di kabari. Kalau perempuan itu hilang. Kalian tahu kan siapa dia! Kalau sampai dia tidak ketemu bakal repot urusannya!”

“Waduh celaka, Mas!” satu orang angkat bicara.

“Terus gimanaa Mas? Ini pasti akan berpengaruh sama jabatan kita.” Satunya lagi ikut meluapkan amarah dengan nada yang sedikit tinggi. Membuat lelaki yang berdiri itu sedikit emosi.

“Jangan banyak bicara bodoh! Lakukan sesuatu! Atau cari orang yang bisa menemukan perempuan itu! kasih bonus berapa pun asal bisa ketemu!” dua orang itu kemudian menunduk, tak berani lagi memandang ke arah lelaki yang sedang berdiri sembari melototkan matanya.

Si lelaki yang tampak seperti bos itu kemudian memalingkan pandangannya, ada jeda beberapa detik, sebelum ia melanjutkan kalimatnya. “Sudah tidak ada waktu lagi! Segera cari orang yang mampu. SEKARANG!”

“Tenang, Mas. Saya punya kenalan orang dalam.” Ucap salah satu orang dengan penuh percaya diri. Ia mengangkat kepalanya dengan sebuah senyum penuh keyakinan.

Si lelaki berpikir sejenak, kemudian manggut-manggut. “Pastikan orangmu bisa menemukan perempuan itu!”

Orang itu pun dengan yakinnya tersenyum sembari mencari nama di ponselnya sebelum menekan tombol hijau pada layar. “Halo Mbak Murni....”

***

Aku sedikit tergagap ketika aku mendapati sentuhan dan suara menggema di kepalaku. Las bangun, Las. Las bangun, Las. kata-kata itu menggema di kepalaku. Hingga membuat suasana menjadi sunyi seketika.

Las bangun, Las. lagi, kata-kata itu seolah memerintah otakku untuk segera bangun. Dan .... ketika mataku terbuka, di sana, tepatnya di hadapanku sudah ada Gama dan Pak Warno.

Aku kemudian duduk. Mataku menelisik ke sekeliling. Murni ke mana? Gama, Murni ke mana? Pak Warno, Murni ke mana? Hanya pertanyaan itu yang keluar dari mulutku. Murni ke mana!!!! Dan mereka pun tak punya jawaban atas pertanyaanku.

“Hey Las! tenang dulu!” bentak Gama yang seketika membuatku terdiam.

“Gawat, Mas! Gawat! Murni...Murni tahu semuanya!”

“Ceritanya nanti saja! Sekarang bangunlah terus mandi, biar segar badanmu. Setelah itu Bapak tunggu di ruang tamu sama Gama.”

Sebentar aku terdiam. Kemudian mengangguk tanda mengerti dengan ucapan Pak Warno. Aku segera bangkit dari ranjang.

Aku kembali mengingat kejadian beberapa jam atau entah lah. Yang jelas aku terbangun sudah pagi menjelang.

Di mana aku mendapatkan sebuah petunjuk dalam kengerian yang akan aku hadapi selanjutnya. Membayangkan semuanya, aku seketika merinding kalau aku harus menghadapi Murni, yang jelas-jelas dia sudah menolongku untuk bebas dari angkara Bu Ratih.

Guyuran demi guyuran, langsung membasahi tubuh. Dingin namun sangat terasa segar. Membuatku mampu melonggarkan sejenak tanpa memikirkan beban. Akan tetapi, ketika aku selesai mandi, tetiba saja aku membaui aroma yang sangat menyengat.

Aku penasaran, kemudian mencari asal bau itu. Aku cari di setiap sudut kamar mandi, namun aku tak menemukan apa pun. Hingga tak sampai lima tarikan nafas, aku beringsut mundur.

Jiwaku rasanya terguncang kala menyaksikan dengan jelas sosok Bu Fitri sedang berdiri di sudut kamar mandi paling gelap. Tak hanya itu saja, netraku juga melihat dari kedua tangan itu, menenteng dua kepala di masing-masing tangannya,

dengan darah yang keluar berwarna merah kehitaman dengan aroma anyir menyengat. Dari kedua kepala itu aku tahu siapa pemiliknya. Pak Warno dan Riri.

Belum juga hilang rasa takut dan kagetku, tiba-tiba saja tubuhku yang masih terbalut handuk, tersapu angin teramat dingin.

Aku tersulut mundur dan keluar dari bilik kamar mandi. Namun baru saja satu langkah, aku kembali dikejutkan sebuah rintihan dari suara perempuan, dari dalam bilik. Jiwaku benar-benar tercekat. Aku berusaha sekuat tenaga ingin membalikkan badan,

tapi seperti tertahan satu kekuatan besar, hingga hanya berkeringat dingin yang deras mengucur.
“Plakkk...!”
“Nduk! Cepat masuk!”
Sampai tak beberapa lama, akhirnya tubuh ku mampu bergerak, saat sebuah tepukan keras mengenai pundakku.

Segera aku melangkah cepat mengikuti Pak Warno, sosok yang menyadarkanku.
Setelah selesai memakai pakaian, aku keluar. Aku sedikit kaget ketika melihat Pak Warno dan Gama sudah menunggu di ruang tamu. Namun sedetik kemudian, aku duduk setelah Pak Warno berucap.

“Nduk apa yang kamu lihat di mimpimu kemarin?” ucap Pak Warno dengan wajah menggurat tanda sebuah keseriusan.
“Kemarin Pak? Apa aku pingsan selama itu?” aku balik bertanya.

“Iya kamu pingsan selama itu. Selama itu pula kamu mengigau menyebut nama Murni berkali-kali.” Sahut Pak Warno.
“Aku bermimpi kalau aku melihat ada tiga orang dengan setelan pakaian pejabat, Pak. Mereka sedang panik karena mereka menyebut perempuan itu hilang dan -

menyebut nama Murni untuk mencari perempuan itu.” aku menyahuti penuh kemantapan.

“Berarti apa yang kamu ceritakan itu benar, Mas Gama. Ternyata Murni ada di balik ini semua. Pantas saja kemarin Kinasih menyebut nama Murni untuk di habisi!”

sahut Pak Warno yang di barengi anggukan Gama.

Terjadi jeda beberapa detik, sebelum aku meneruskan kalimatku. “Bu Fitri ke mana, Pak? Kok gak kelihatan?” sambil aku menatap Pak Warno dan Gama bergantian.
Tak ada jawaban dari mereka, bahkan mereka hampir bersamaan menunduk.

Tapi tak berselang lama, Pak Warno yang baru saja menghembuskan nafas beratnya, melontarkan sebuah pernyataan yang membuatku tak percaya.

“Fitri sudah tiada, Nduk. Dia tewas karena menggorok lehernya sendiri setelah kesurupan malam itu.”

jawab Pak Warno sembari bangkit dan berlalu meninggalkanku dan Gama sekaligus menutup obrolan.
Tak ada obrolan, tak ada tangisan. Suasana sunyi tercipta setelah berlalunya Pak Warno sekaligus menghantarkan pagi itu menuju malam yang penuh misteri.

***

Malam itu, suasana haru dan ngeri sangat kentara aku rasakan. Mulai dari kecelakaan Riri, meninggalnya Bu Fitri dan sosok yang menyerupai Bu Fitri sedang menenteng dua kepala orang yang aku kenal. Semua ini semakin lama mengerucut ke satu orang yang menjadi biangnya.

Siapa lagi kalau bukan Kinasih. Kalau saja aku tidak memperdulikan dari awal, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Namun semua sudah terjadi. Aku tidak bisa mengulangnya dari awal.

Aku yang sedang terduduk di kursi, menatap ke arah ranjang, di mana di atasnya ada sosok Kinasih dengan perutnya yang sudah membuncit, tertidur dengan lelap.

Membayangkan bagaimana orang-orang yang mempunyai pikiran busuk bahkan mempunyai niat untuk menumbalkan nyawa manusia demi harta dan tahta yang tak akan ada habisnya.
Aku tak bisa membiarkan siapa pun untuk menyakiti Kinasih untuk yang kedua kalinya. Tekatku sudah bulat.

Aku bangkit dan pindah duduk di tepian ranjang. Aku usap rambutnya dengan lembut. Pelan sekali, agar dia tak sampai terbangun dari tidurnya.
“Aku sudah janji Mbak, akan aku genapi sumpahmu sebelum bayimu lahir.” Aku berbisik lirih,

sambil memandangi wajah Asih yang entah mengapa dia kemudian tersenyum seakan mendengar ucapanku.
Aku menghela nafas panjang, sebagai tanda bahwa kesedihan ini tak boleh semakin berlarut dan harus segera di akhiri. Aku tak mau buang-buang waktu lagi.

Karena aku harus memikirkan rencana yang harus aku lakukan.
Aku terpikirkan oleh perkataan Riri waktu itu. Pak Bimo. Adik dari Pak Warno. Tapi sampai sekarang beliau tak kunjung pulang. Aku harus menanyakan hal ini kepada Pak Warno. Semoga akan ada titik terang dari semua ini.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Semakin malam gelap semakin datang menguasai. Sembari tanganku terus membelai rambut Asih yang masih tertidur, pikiranku bekerja keras. Aku sedang mempertimbangkan beberapa hal.

Mungkin aku harus pergi dan menemui Pak Bimo sendiri. Tapi masalahnya, beliau di mana? Sedangkan Pak Warno saja tidak tahu. Atau aku harus memaksa Pak Warno untuk memberitahu? Akan aku coba.
Aku kemudian bangkit dan keluar dari kamar Asih menuju kamar Pak Warno.

Sesampainya disana, untung saja Pak Warno belum tertidur. Aku kemudian menjelaskan maksud kedatanganku kali ini.
“Kalau kamu mau menyusul Bimo, besok susullah dia di sana.” Pak Warno berucap menyebut sebuah nama tempat di suatu daerah.

“Untuk ke sana, pakailah pakaian yang sopan. Dan bilang Pak Warno butuh bantuan.”

Aku mengangguk mengerti. “Tapi Pak, bisa saya....”

“Tenang, biar Bapak yang menjaga Asih.” Potong Pak Warno seakan tahu akan kegelisahanku.

Aku mengangguk untuk kedua kalinya.

Aku kemudian keluar dari kamar Pak Warno. Ternyata sudah di sambut oleh Gama, yang tentunya dia juga mengetahui rencanaku kali ini.

“Aku anter, Las?” ucap Gama tiba-tiba.

“Gak usah, Mas. Kamu jagain Mbak Riri aja. Aku sendiri bisa kok.” Jawabku sambil berlalu.

Aku kembali masuk ke dalam kamar Kinasih. Sekarang entah kenapa rasa batinku dengan dia seolah menyatu jadi satu. Rasa sakit, jiwa yang terguncang,-

sampai dendamnya yang begitu besar, menyeruak masuk ke dalam batinku. Sampai aku sendiri saja bisa merasakan, seakan tanganku gemetar hebat ingin sekali menghantam, memelintir, merobek, mencakar dan mencabik orang-orang yang sudah membuat Kinasih seperti ini.

Apakah ini adalah dendam yang sesungguhnya? Aku pikir akan menjadi hal yang menarik bagiku. Aku tersenyum menyungging.

Sampai sapuan angin menerpa wajahku, rasa lelah membuat tubuh serta mataku tak mampu bertahan. aku pun tertidur di tepian ranjang tepat di samping Kinasih.

***

Sejak pagi, hatiku rasanya tidak tenang dan selalu gelisah tanpa sebab yang jelas. Jantungku berdegup lebih kencang daripada biasanya. Bahkan sampai siang hari, ketika aku bersiap untuk pergi, aku sempat beberapa kali kehilangan fokus.

Mataku jadi sering melirik ke arah kamar Kinasih, yang entah kenapa akan ada sesuatu yang menyambanginya.

Ada pertanda apa lagi ini? Aku membatin sambil menghela nafas panjang. Aku mencoba untuk berdoa sebisaku, namun percuma saja, kegelisahan yang tak jelas itu tak kunjung berhenti mendera.

Hingga akhirnya, aku niatkan hati untuk segera berangkat menemui seseorang setelah berpamitan dengan Pak Warno. Namun sebelum aku menarik tuas gas, dari arah depan, Gama tetiba saja menghentikanku.

Akhirnya karena tak mau memperpanjang masalah, aku beserta Gama segera berangkat menuju lokasi.
Sampai tak lebih dari dua jam perjalanan, akhirnya kita sampai di sebuah tempat yang di tuju.

Terpampang sebuah plakat nama desa yang tak bisa aku sebutkan. Di sana banyak anak-anak yang sedang melakukan aktivitasnya. Sampai salah satu seorang lelaki menghampiri ketika melihatku dan Gama yang memang sedang berdiri di depan pagar seperti orang kebingungan.

“Cari siapa, Mas?” tanya lelaki tersebut.
“Pak Bimo ada, Mas?” sahut Gama kemudian.
“Oh Pak Bimo? Ada. Tunggu sebentar ya, Mas. Saya panggilkan sebentar.”
Tak lama lelaki itu kembali dengan bersama sosok lelaki lebih tua.

Aku pikir beliau adalah Pak Bimo. Kalau dilihat dari wajahnya ada kemiripan dengan Pak Warno. Walaupun sedikit muda tapi aku yakin beliau bukanlah orang sembarangan.

Lelaki tua itu kemudian menyuruhku dan Gama untuk masuk. Berjalan lurus melewati jalan yang mengarah ke bagian belakang. Di sana, terdapat sebuah pendopo yang bisa di sebut limasan kecil. Lelaki itu kemudian mengambil duduk di emperan pendopo sebelum menyuruhku untuk duduk.

Tangan kanannya merogoh saku, mengambil sebungkus rokok kemudian membakar ujungnya.
Lelaki itu menghisap dalam-dalam sambil kedua matanya setengah mengatup, Kemudian menghembuskan asapnya ke udara. Nikmat mana lagi yang kau dustakan. Mungkin itu kata-kata yang tepat untuk penggambarannya.

“Mas Gama dan Mbak Lastri, ya?” sapa Pak Bimo yang tetiba saja tahu namaku.
“Eh...iya Pak. Saya Gama. Dan ini Lastri. Kok Bapak bisa tahu nama kami?” sahut Gama duluan.

“Saya sudah tahu semuanya kok Mas tanpa di kasih tahu.” Terjadi jeda sejenak, sebelum lelaki itu menyelesaikan kalimatnya. “Jadi kapan bisa saya kesana? Sekarang?”
Aku mengangguk. Tak tahu harus berkata apa lagi.

Langit sore perlahan berubah, berganti dengan malam yang merangkak menguasai hari. Tanya bertanya lebih dalam, Pak Bimo sudah mengerti sepenuhnya apa yang aku maksud.

“Tunggu sebentar ya, Mas, Mbak. Bapak siap-siap dulu.” Pak Bimo menepuk pundakku, kemudian berlalu masuk ke dalam pendopo kecil.
Tak seberapa lama, Pak Bimo keluar dengan seseorang lelaki muda yang sempat menemuiku sebelumnya.

“Mas Agung, sampean yang nyetir mobil ya.”
“Motornya almarhumah Bu Fitri biarkan di sini saja ya, Mas. Kita mobilan ke sana, ini sudah mau gelap.” Ujar Pak Bimo. Lagi-lagi dia tahu semuanya apa yang sudah terjadi.

Dan setelahnya, aku, Gama, Pak Bimo dan Mas Agung melaju membelah malam. Meninggalkan pondokan kecil dan menyusuri jalanan menuju rumah Bu Fitri yang berjarak dua jam perjalanan.
Tak ada obrolan apa pun selama dalam perjalanan, suasana seperti kaku.

Mungkin ini adalah kali pertama aku berjumpa dengan beliau. Ada kesan seakan sosok Pak Bimo ini mempunyai kharisma yang luar biasa.
Mobil terus melaju setelah masuk jalur yang di kanan dan kirinya deretan pohon menjulang tinggi dan mulai menanjak.

“Mas, lurus saja lewatin gapura. Setelah itu rumahnya ada di kanan jalan.”
Tepat setelah mobil masuk ke halaman, aku melihat seperti ada seseorang yang berdiri di depan sana. Untuk memastikan, aku menyuruh mas Agung untuk berhenti dan aku turun dari mobil.

Dan benar saja, seorang lelaki paruh baya yang pernah membantu Gama membopong Kinasih sedang berdiri menghalangi mobil.
“Loh ada apa, Pak? Kok panik begitu?”
“Itu Mbak, Pak Warno...Pak Warno!”
“Pak Warno kenapa, Pak!” jawabku tak kalah panik.

Tak punya pilihan lain, yang pertama aku tuju bukan kamar pak Warno, melainkan aku berlari menuju kamar Kinasih. Dan sesampainya aku di kamar, untung saja, Kinasih masih ada di kamarnya.

Tak sampai di situ saja, kepanikan selanjutnya ketika Gama berteriak lantang memanggilku dari arah dalam ruangan lain.
“Las ... Lastriiii!” Gama berteriak memanggil namaku.

Sampai aku masuk ke dalam kamar Pak Warno yang ternyata beliau sudah dalam kondisi mengenaskan. Benar-benar mengenaskan. Tubuhnya tergantung, lehernya hampir putus, nyaris seperti kondisi Bu Fitri sebelumnya, bahkan lidahnya pun menjulur keluar dengan mengeluarkan bau menyengat.

Aku tak kuasa melihat terlalu lama, kemudian aku keluar, menuju kamar Riri. Dan di sini aku masih bersyukur, Riri masih dalam keadaan baik-baik saja. Namun sampai saat ini Riri belum sadar.
Dan secara bersamaan, Pak Bimo dan Mas Agung pun juga berhamburan masuk ke dalam rumah.

Aku bisa melihat bagaimana expresi Pak Bimo ketika melihat kakaknya, Pak Warno meninggal dalam kondisi yang mengenaskan.
“Innalilahi...”
“Gung, tolong bantu saya untuk mengambil jasad Mas Warno dan malam ini juga kita kebumikan!” ucap Pak Bimo sambil menahan amarah.

“Sementara sampean bantu saya dulu untuk mengurus jenazahnya Mas Warno ya, Mas.” Pak Bimo seraya membopong jenazah Pak Warno, berucap meminta tolong pada Gama sebelum berlalu ke belakang.

Tak seberapa lama, prosesi pemandian jenazah dan lain sebagainya pun sudah selesai. Begitu juga dengan liang lahat yang sudah Mas Agung bereskan juga sudah siap. Tak lama, jenazah Pak Warno di kebumikan.

Lantunan doa-doa pun tak luput Pak Bimo panjatkan untuk mendiang almarhum kakaknya.
Malam itu suasana benar-benar kacau. Sepeninggalanku dan Gama, ternyata membuat duka yang mendalam bagi Pak Bimo. Aku dan Gama sempat berdebat,

untung saja Pak Bimo bisa melerai dan suasana menjadi tenang kembali.
“Tidak perlu di sesali, Mas, Mbak. Semua ini bukan salah kalian. Yang sudah ya sudah. Sekarang kita istirahat dulu. Karena besok akan ada sesuatu yang menunggu kita” Ucap Pak Bimo masih dengan nada tenang.

***

Tidak pernah ada yang tahu, apa yang sebenarnya akan terjadi di esok hari. Apakah Kinasih masih ada di sini atau justru Murni sudah berhasil membawa Kinasih pergi? Semua jawaban ada di Part 7 Terakhir.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close