Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KINASIH (Part 7 END) - Dendam Arwah Perempuan Pekerja Komersil


Suara adzan isya telah usai dikumandangkan. Senja sore kini mulai berganti dengan gelap malam yang merangkak. Nyaris satu minggu kami tinggal di rumah Bu Fitri. Semua kami jalani dengan saling membantu satu sama lain.

Selama ini juga Riri, Bu Fitri dan Pak Warno selalu baik denganku, bahkan mereka selalu bisa memberikan kehangatan dan keramahan. Tapi aku berani bersumpah, malam ini, semuanya berubah.
Candaan Riri,-

celoteh Murni yang selalu bikin aku jengkel atau Bu Fitri yang selama seminggu ini sudah aku anggap seperti ibuku sendiri, bahkan pesan-pesan Pak Warno yang bisa menentramkan hati. Semua itu kemudian hilang begitu saja. Tempat ini berubah menjadi begitu sepi, dingin dan gelap.

Tak ada lagi suara bising cerewet mereka semua.
Hanya ada aku dan Agung yang sedang duduk tepat di depan kamar Kinasih. Kamar yang sengaja aku jaga dan aku kunci rapat. Sedangkan Gama dan Pak Bimo, mereka sedang menjaga Riri di kamar.

Bahkan kedatangan Pak Bimo dan Agung pun, tak bisa menggantikan. Aku dan Agung tak saling bicara, kita sibuk dengan pikiran masing-masing. Sebelum kebisuan itu terpecahkan oleh suara Agung yang tiba-tiba saja mendekat dan berbisik lirih.

“Mbak, wanita yang ada di dalam itu siapa? Kok aneh?”
Aku menoleh, memandangnya lekat-lekat sambil menunjukkan tanda keberatan dengan pertanyaannya barusan. “Aneh? Aneh gimanaa, Mas? Kamu itu yang aneh, kok tiba-tiba nanya gitu!”

Dia menggeser duduknya lagi. “Walah mbak, sampean itu tidak tahu apa pura-pura tidak tahu?” masih berbisik.

Aku tahu ke mana arah pembicaraan ini, tapi Agung terlebih dulu cerewet sebelum aku memintanya untuk menutup mulutnya dan membahas hal yang lain.

“Sori lho mbak, tapi mbak nya yg di dalam itu kok kayak bukan manusia ya, Mbak? Kaya manusia jadi-jadian. Hiiiii....”
Sialan! Orang ini sudah mulai kurang ajar bicaranya. “Mas!” seruku menyahuti dengan nada sedikit ketus, tapi orang ini lebih dulu melontarkan kalimat berikutnya.

“Sepertinya, gara-gara mbak itu...” Agung kemudian menoleh ke belakang ke arah kamar Kinasih. “Mbah Warno dan Bu Fitri jadi meninggal!”
Entah kenapa aku juga ikut menoleh ke belakang. Walaupun perkataan Agung ada benarnya, gara-gara kedatangan kami,-

Bu Fitri dan Mbah Warno meninggal. Namun aku tetap tak setuju jika Kinasih yang membunuhnya.
Sial! Kenapa aku jadi merinding. Mendadak rasa takut yang entah dari mana datangnya, tetiba saja menyeruak dan menerkam perasaanku.

Aku menelan ludah dan mengalihkan pandanganku ke depan kembali.
“Duh Mbak, kok perasaanku jadi gak enak ya? Sampean ngrasa ndak?”

iiiigh! Agung bangsat! Lama-lama aku gampar juga ini! Sudah tahu suasana lagi seperti ini, di tambah harus mendengar orang ini terus-terusan mengoceh, membuatku kehabisan kesabaran. Aku kemudian mengepalkan tangan kananku, dan posisi sudah siap untuk aku ayunkan, tapi....

“Hihihihii....”
Tiba-tiba terdengar suara wanita tertawa cekikikan. Aku yakin itu suara Kinasih.
“Weh, Mbak! Suara apa itu?!” Agung dengan cepat mencengkeram lenganku, membuatku tak bisa bergerak dari kursi.

Ya, aku juga mendengarnya! Aku membatin sambil menarik nafas panjang. Aku kemudian berinisiatif mencairkan suasana dengan mengucapkan sebuah kalimat untuk menenangkan.
“Tenang, Mas! Paling suara Mbaknya lagi ketawa, soalnya kamu sindir dari tadi.”

“Hihihihi...” lagi, suara itu kembali terdengar. Membuat mulut Agung terbungkam. Keringatnya mulai muncul walau udara malam terasa begitu dingin.
“Mati aku Mbak!” kini Agung tak berani menoleh ke belakang lagi. Tapi cengkraman tangannya masih kuat.

“Cah Lanang kok jirih!” (laki-laki kok penakut) desisku berbisik ke arah Agung yang sekarang tubuhnya gemetar.
Hingga tiba-tiba saja pandanganku teralihkan oleh suara langkah kaki. Aku berdiri, pandanganku menelisik ke sekeliling.

Kosong! Aku tak menemukan pemilik suara langkah itu. Sampai lima tarikan nafas, ketika pandangku masih terfokus ke area halaman, muncul sosok seperti perempuan, tepatnya di halaman.

“Ssssst! Diem Mas!” aku mendesis lagi. Agung pun kini juga ikut berdiri. Aku ingin memastikan ke sana, tapi langkahku terhenti karena ada panggilan dari dalam kamar.
“Mbak Las...” suara itu milik Asih.
Ya, aku yakin kalau itu suara Asih.

Entah kenapa, panggilan itu seakan menghipnotisku, aku kemudian membalikkan tubuhku dan membuka pintu kamar. Tapi sebelum aku mendorong pintu, dari arah belakang, Agung sudah menarikku hingga aku mundur beberapa langkah.

“Jangan Mbak! Bahaya! Jangan mbak!” ujar Agung dengan bibir bergetar.
Aku mengibaskan lenganku, mencoba melepas cengkramannya. Berhasil! Dan kini tanganku sudah bebas dari cengkraman si penakut itu. Perlahan aku buka pintu kamar.

Di sana, tepat di atas ranjang besi, Kinasih sudah dalam posisi berdiri, sambil menatapku dengan senyuman khasnya yang mengerikan.
“Sebentar lagi Mbak. Sebentar lagi tepati janjiku, ya!” Kinasih mendesis, tapi kali ini lebih mengintimidasi sekali.

Dan aku benar-benar menuruti, aku mengangguk, mengiyakan. Kemudian di balas dengan senyumnya yang tak bisa aku lupakan seumur hidupku. Benar-benar senyuman yang mengerikan.
“Las... Lastriiiiii?” Gama berteriak panik.

Saat itu juga aku langsung keluar kamar dan di sambut oleh Gama dan Pak Bimo yang sudah berada di luar kamar. Wajah mereka tampak panik, seakan ada kabar buruk yang akan menimpa kami semua.
“Las, gawat! Riri demam. Harus segera di bawa ke rumah sakit!” ujar Gama.

“Iya Nduk, malam ini juga Mbak Riri harus segera di bawa ke rumah sakit. Karena bekas gigitan di telinganya itu menyebabkan infeksi. Mau tidak mau harus segera di rawat.” Sahut Pak Bimo menjelaskan.

Oke! Untuk saran ini aku setuju! Firasatku juga mengatakan demikian, secara aku tadi seperti melihat ada sosok seperti perempuan yang tiba-tiba muncul. Apakah itu yang di maksud Pak Bimo? Batinku.

“Iya Nduk, kamu benar.” Sahut spontan Pak Bimo, seakan tahu dengan apa yang mengganggu pikiranku.
Mesin mobil kemudian menyala, roda-roda bergerak, melaju kencang membawa kami menjauh dari rumah Bu Fitri.

Meninggalkan dua jasad yang sudah terkubur di halaman belakang rumah Bu Fitri, sekaligus aku ucapkan banyak terima kasih atas jasa mereka yang sudah mau menolong, terkhusus menjaga Kinasih.

Tanpa halangan yang berarti, mobil yang di kemudikan Agung berhasil menembus hutan dan akhirnya bertemu dengan jalan aspal yang lebih lebar dan halus. Meninggalkan rumah Bu Fitri jauh di belakang.
“Kita ke rumah sakit daerah paling dekat dari sini.” Ujar Pak Bimo.

Hingga tak lebih dari 3 jam perjalanan, mobil yang kami tumpangi pun akhirnya sampai di rumah sakit daerah yang tidak terlalu besar, namun masih cukup memadai untuk penanganan lebih lanjut. Malam itu benar-benar malam yang menegangkan.

Rasa lelah akhirnya menuntun kami semua terpejam sampai pagi menjelang. Tak ada gangguan yang berarti bagiku, semua berjalan seperti rencana.
Sedangkan sore itu, aku yang sedang duduk termangu di salah satu sudut ruang tunggu, pandanganku menerawang, melamun.

Suara berisik di luar sama sekali tak aku pedulikan. Kali ini aku benar-benar sedang tidak baik-baik saja. Kepalaku berat, menanggung sesal yang kian waktu kian membesar. Sebuah sesal yang berasal dari keputusanku yang tempo hari aku ambil sendiri. Menyanggupi sumpah Asih.

Ya, bisa aku akui, keputusan itu spontan aku lontarkan dalam keadaan emosi dan tanpa pertimbangan. Yang ada di kepalaku waktu itu hanyalah bagaimana cara membuat Asih diam. Bahkan semuanya sudah terlampau kacau. Riri harus kehilangan satu telinga,-

Bu Fitri dan Pak Warno harus meregang nyawa. Kalau di biarkan terus, bukan tidak mungkin akan lebih banyak lagi korban yang jatuh.
Sampai pada titik ini, hanya pada Gama, Pak Bimo dan Mas Agung saja yang bisa aku mintai pertolongan.

Kemudian prasangka-prasangka buruk mulai muncul dan membesar. Apa yang ada di pikiranku sampai meminta bantuan kepada seseorang yang bahkan aku sendiri saja tidak bisa menjamin mereka bakal selamat.

Tidak! Sambil mengusap air mata dengan lengan, aku tidak bisa membahayakan mereka bertiga. Bahkan mulai sekarang! Tidak ada satu pun dari mereka yang boleh ikut campur masalah ini. Biarkan aku selesaikan sendiri.

Aku kemudian bangkit dan berjalan dengan langkah cepat menuju tempat Asih duduk.
Sejenak aku berhenti di depan pintu kamar tempat Riri di rawat. Pandanganku nanar menyaksikan Riri yang kini masih terbaring tak sadarkan diri.

Bahkan ketika melihat Gama, Pak Bimo dan Mas Agung yang masih tertidur di lantai, mereka tampak kelelahan. Pemandangan itu membuat hatiku teriris perih sekali, seakan karena aku, mereka jadi berurusan dengan masalah rumit ini.

Tapi justru rasa sakit ini malah semakin membakar niat dan keberanianku.
“Mas Gama, Pak Bimo dan Mas Agung tolong jaga Riri sebentar. Aku mau membereskan ini semua.” Pesan yang aku tulis dalam lembaran kertas yang sudah aku letakkan di atas meja, aku pamit melalui pesan ini.

Setelah aku yakin semua, aku langsung menyambar kunci mobil di atas meja. Dan sebelum benar-benar meninggalkan mereka yang masih terlelap dalam tidurnya, aku lirik ke arah jam dinding yang menempel di atas pintu, pukul 5 sore.

Aku harus menyelesaikan masalah ini sendiri bersama Asih. Aku sudah mengambil keputusan yang tepat. Dan setiap jengkal langkah yang aku ambil, rencana-rencana itu mulai tumbuh di kepala.

Di perjalanan, aku mulai teringat beberapa tahun yang lalu, ketika aku masih bekerja di tempat Mami. Seluruh rumah geger akibat penggerebekan yang tiba-tiba tanpa pemberitahuan. Aku yang pertama kali tahu kejadian itu, kemudian segera berlari keluar melewati pintu belakang.

Mencoba bersembunyi tapi tidak sampai melarikan diri. Belum mempunyai pikiran sejauh itu.
Aku bersembunyi di balik gelapnya hutan di belakang rumah. Dan di akhir cerita, penggerebekan itu usai setelah Mami memberikan beberapa amplop coklat untuk uang aman.

Ingatan itu masih cukup kuat untuk aku ingat, bahkan jalan menuju ke sana pun aku masih ingat.
Memang, rumah bordir ini terletak di daerah dataran tinggi dengan wisata yang masih ramai pengunjung dan kepadatan penduduk, namun masih banyak hutan.

Hutan di belakang rumah bordir itu terlihat lebat dan rapat dari kejauhan, tp setelah masuk ke dalam, terbentang sebuah jalan tanah selebar satu meter. Jalan setapak itu bisa di masuki dari jalan aspal, tepat di belakang pemukiman warga yang jaraknya kurang lebih satu kilometer.

Jalur itu menurut warga jarang di lalui kecuali oleh sedikit warga yang masih mencari buruan di dalam hutan.
Pernah suatu ketika, aku sengaja masuk ke dalam hutan ketika waktu membeli makan. Hanya pada waktu itu yang bisa aku dapatkan untuk keluar.

Untuk pertama kalinya aku masuk terlalu dalam. Dari situlah aku akan memulai. Setelah mobil milik Pak Bimo masuk dan aku parkir di titik yang aku rasa tak lagi terlihat dari pinggir jalan, aku kemudian mempersiapkan semuanya.

Langkah pertama yang kemudian di susul langkah Asih di belakang. Sedangkan malam itu, cahaya rembulan menjadi satu-satunya penerangan. Tak butuh waktu lama, aku dan Asih kini sudah masuk ke dalam hutan setelah aku membelokkan langkah ke kiri dan mempercepat langkahku.

Untuk kedua kalinya aku merasakan pegal. Yang pertama ketika bersama Gama dan ini yang kedua tapi bersama Asih. Jalurnya agak menanjak tapi itu tak menyurutkan niat dan keberanianku.

Tapi sekarang yang mengganggu pikiranku adalah aku tidak tahu bagaimana kondisi rumah bordil sekarang. Ada berapa orang yang jaga di sana? Apakah masih sama seperti dulu atau malah sekarang lebih ketat setelah aku dan Murni melarikan diri?

Makin lama suara dengusan nafasku yang terdengar, seakan suasana di dalam hutan ini mendadak hening dan sunyi. Bahkan suara serangga malam pun tak terdengar sama sekali.
Hingga tak lebih dari sepuluh menit berlalu, aku sudah sampai di titik tengah dari perjalanan ini.

Di depan sana sudah terlihat tembok setinggi dua meter mengitari rumah bordir. Lelah? Iya. Aku kemudian langsung menjatuhkan punggungku di salah satu pohon besar. Mengatur nafas, jantung dan otak sambil bersiap untuk memulai rencana.

Sampai hampir lima belas menit aku masih di sini, belum beranjak sedikit pun. Menunggu waktu yang pas dan sabar sambil terus memandangi Asih yang sekarang juga duduk di sampingku.

Rembulan tampak malu mengintip dari balik awan yang terus bergerak pelan. Menerangi langkahku yang menyusuri jalanan gelap belantara hutan. Sebentar lagi selesai! Itulah ucapan yang menyemangatiku.
“Bantu aku balas dendam, Mbak.”

Kalimat itu kembali terngiang di telingaku, ketika Asih tiba2 berucap setelah beberapa kali membisu. Bagiku, itu ucapan yang setiap kali Asih lontarkan ketika suasana mendadak mencekam seperti ini. Apalagi aku yang mulai terganggu dengan kalimat itu, tak terlalu aku pedulikan.

“Bantu aku balas dendam, Mbak.”
Aku masih tak menanggapi dan meladeni percakapannya, karena sia-sia, pasti dia akan mengulang kalimat itu lagi. Aku memilih untuk diam dan mengalihkan konsentrasiku di jalan yg mulai menurun ini. Takut jika hilang konsentrasi, aku bakal terjatuh.

Apalagi semakin masuk ke dalam, cahaya rembulan semakin tertahan oleh deretan pohon yang jaraknya kian rapat. Memaksaku benar-benar untuk fokus.
“Bantu aku balas dendam!” Asih kembali bicara dengan kalimat yang sama. Aku masih tak bergeming dan berusaha menahan diri.

“Bantu aku balas dendam!”
“Bantu aku balas dendam!”
“Bantu aku balas dendam!”
“Cukup, Mbak!”

Aku tak sabar lagi. Aku kehabisan kesabaran. Aku menoleh ke belakang kemudian berjalan ke arahnya. Menarik lengan Asih dan mencengkeram lehernya.

“Bisa diam gak!” aku mendesis penuh amarah. Mataku menatap tajam ke arah Asih yang kini mulai menunduk, seakan dia takut dengan amarahku. Tapi sedetik kemudian, dia malah gantian menatapku sama tajam sebelum berujar lirih.
“Bantu aku balas dendam!”

Aku kemudian mendorong Asih mundur dan kemudian aku berbalik kembali mencengkeram lengannya dan kembali berjalan. Kali ini aku lebih mempercepat langkahku. Aku sudah tidak kuat lagi dengan ocehannya yang selalu mengulang kalimatnya.

Dan tak seberapa lama, jalanan menurun kali ini berubah sedikit menanjak. Aaargh! Aku mendesis lagi. Sudah jatuh tertimpa tangga. Mungkin itu peribahasa yang tepat buatku. Kenapa tidak sampai juga, bahkan sekarang aku kehilangan arah.

Awalnya sudah terlihat pagar tembok belakang rumah tapi kenapa semakin mendekat, justru malah tak kelihatan. Apa aku salah jalan? Gumamku.
Aku kembali mempercepat langkahku. Aku terus telusuri jalanan setapak yang membentang di depan dengan langkah cepat.

Tak peduli lagi walau mulai terdengar nafas terengah kepayahan, aku terus maju. Mengikuti jalur yang kini justru malah menjauh dari tempat tujuanku.
Aku berhenti sejenak, berdiri mematung. Ketika aku mendapati tepat di depanku, aku mendengar suara aliran air sungai. Kok bisa?

Di tengah rasa bingung, aku mencoba memahami apa yang sedang terjadi dan mengingat-ingat sesuatu apa yang aku lewatkan. tidak! Tidak ada yang terlewat. Tapi kenapa ada sungai di sini? padahal dulu aku tak melewati bahkan melihat sungai ini, tapi kenapa sekarang ada?

Aku tak pernah selelah ini seumur hidup. Otak, tenaga bahkan tubuhku seakan terserap hingga tak bersisa. Aku terduduk, bersender di batang pohon dengan kakiku kini yang sudah tak mampu lagi untuk menopang berat tubuhku.

Saat ini, untuk pertama kalinya dalam hidupku. Aku tak lagi memiliki tujuan dan harapan. Seolah sudah mati rasa, yang ada hanya pasrah. Aku sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa. Aku tak tahu haru berlari kemana lagi dan tak ada lagi yang tersisa kecuali kepasrahan.

“Mas Gama....”
“Pak Bimo....”
“Mas Agung...”
Aku sebut satu persatu nama mereka, berharap mereka bisa mendengar dan menyusulku di tempat ini. Kalian satu-satunya harapanku! Tapi mustahil juga mereka akan ke sini. haha.. aku sudah hampir gila dengan semua ini.

Hawa dingin mulai menusuk, memperparah keadaan yang sudah tak karuan. Sekarang yang bisa aku panjatkan hanyalah berdoa kepada sang pemilik hidup. Dengan menahan rasa sakit di sekujur tubuh, aku kemudian mencoba bergerak membenarkan posisi dudukku.

Aduh! Pandanganku mulai kabur, tapi aku tetap memaksa untuk menatap sosok Asih yang ada di depanku.

Bahkan aku sudah tidak takut lagi dengan senyuman dan tatapan Asih yang mengerikan itu. Sampai kalimatnya yang ia ulang berkali-kali pun aku tanggapi dengan tawa kecil.

“Bantu aku balas dendam.”
“Hihihi...” aku tertawa kecil. "Aku bener-bener sudah gila..."
“Bantu aku balas dendam, Mbak!”

Aku pusing, kepalaku mulai berputar-putar mendengar ucapan itu lagi.

“Iya aku turuti. Bagaimana caranya. Hihi...” Seakan memberi jawaban, jari Asih kemudian menunjuk perutnya sendiri.

Aku belum paham apa yang dia maksud. Tapi sekali lagi, Asih kembali menunjuk ke arah perutnya sambil berkata.

“Wes gak cukup wektune, Mbak! Pateni anak iki sakdurunge Murni teko! (Sudah gak cukup waktunya, Mbak! Bunuh anak ini sebelum Murni datang!)

Dengan perlahan, Asih membenarkan duduknya, kemudian mengambil ranting runcing yang ada berserakan di sampingnya. Dia menyerahkan ranting itu kepadaku.

Sekarang aku baru paham! Dia menyuruh membunuh bayinya dengan ranting ini tapi dengan tanganku.

“Jangan tanggung-tanggung, Mbak! Langsung tancapkan ke jabang bayi ini!” seperti memberi instruksi, membuatku seketika tersulut mundur tak percaya.

Bagaimana mungkin aku membunuh bayi. Sedangkan aku perempuan yang kelak akan mempunyai bayi juga! Bodoh! Kamu bodoh Lastri!

Tapi.... tapi bayi itu bukan bayi manusia, melainkan bayi iblis! Jadi apakah ini halal jika aku membunuhnya? Hihi....

Perlahan aku mendekat ke arah Asih terduduk. Aku buka dasternya dari bawah. Dan kini mulai terlihat perut buncitnya dengan beberapa urat yang lembut terlihat.

Sadis? Iya, ini pembunuhan paling sadis jika sampai aku melakukannya.
Tapi...
Tunggu....
Aku mendadak mencium aroma kebengisan malam ini, bahkan aku berfirasat kalau sebentar lagi akan ada seseorang yang datang.

Dan benar! Dari arah depan sana, tepatnya di balik gelapnya malam, suara langkah kaki mendekat. “Sreek...Sreek” begitu terus sampai suara ini kian lama semakin mendekat ke arahku.

“Srek...srek”

lagi dan lagi. Kini aku bisa memastikan kalau pemilik langkah itu sebentar lagi muncul dan menampakkan dirinya.

“Kenapa, Las? sudah lelah? Apa sudah pasrah?”

Ya, aku mendengarnya. Suara itu tak lain tak bukan suara Murni. Sepertinya aku sudah tidak bisa melakukan perlawanan.

Tapi tanganku masih menggenggam kayu ranting yang runcing, setidaknya aku bisa membela diri jika sampai ada serangan.

Bukan karena aku merasa takut, tapi untuk berjaga-jaga. Bagaimana pun tempat ini gelap dan deretan pohon begitu rapat.

Siapa tahu ada yang tiba-tiba melompat dari depan dan melakukan serangan tak terduga. Aku butuh antisipasi untuk hal di luar perhitunganku. Aku tak akan membiarkan siapa pun melukaiku dan Asih dengan mudah.

Tapi aku belum pernah sekalipun berhadapan dengan seseorang, apalagi melakukan serangan. Hingga sampai hitungan ke sepuluh, langkah kaki itu nyaris berlari ke arahku. Hampir sampai. Tiba-tiba, “Hey Las?” Murni sudah ada di depanku persis.

Dia berdiri sambil memandangku yang terduduk menantinya.

Sepertinya Murni tak terlalu menanggapiku, dia sekarang justru memandang ke arah Asih yang kini juga duduk di sebelahku.

“Mbak Asih? Jangan ngeyel ya, ayok kita pulang. Mami sudah menunggu jabang bayinya, loh.” Ujar Murni.

Dengan sisa-sisa tenagaku, ku ayunkan kakiku ke arah kaki Murni berdiri.

“Sreeet!”

Kena! Tepat sasaran! Kini Murni terjatuh.

Aku kemudian merangkak ke arah Murni terjatuh, kemudian tanganku dengan posisi sudah bersiap untuk mengayun ke arah mata Murni. Tapi sedikit meleset, kayu itu mengenai dada Murni sebelah kiri.

“Aaarrrggghh! Anjing kamu Las!” Murni berteriak kesakitan. Dan sekarang aku menyukai permainan ini.

Aku cabut kembali ranting itu, kemudian aku ayunkan kembali di dada sebelah kanan. Tapi Murni berhasil menghindarinya.

Suasana malam itu begitu menegangkan dan juga mulai membuatku bersemangat. Karena hanya dengan inilah penentuannya. Siapa yang akan menang.

Sekarang Murni berdiri. Dia mengambil benda yang ada di sekitarnya. Sepertinya batu. Sekarang impas, aku dan Murni masing-masing membawa senjata.

Pergulatan malam itu begitu sengit. Belum ada yang tumbang.

Hingga di akhir cerita, ketika Murni berlari ke arahku hendak menghantamkan batu ke arah kepalaku, aku menghindar sedikit dan mendorong Murni.

Naas, justru batu itu malah mengenai Asih tepat di perutnya, membuat perut buncitnya seketika kempes dengan mengeluarkan jabang bayi dari jalurnya.

Pecah! Benar-benar pecah suasana malam itu.

“Tidak! Tidak mungkin!” teriak Murni dengan panik, ketika melihat sesuatu yang keluar dari perut Asih.

Dan saat itu juga, tak sampai lima kali tarikan nafas, tiba-tiba tubuhku terasa lemas tak berdaya, pandanganku kabur dan mulai gelap.

Sampai akhirnya aku merasakan ada sebuah energi lain masuk ke dalam badanku. Rasanya lebih kuat dan hanya bertumpu di bagian dada sebelah kiri. Jika di gambarkan, separuh tubuhku bukan aku lagi dan aku sudah tidak berkuasa atas kendali tubuhku.

Seolah ada sesuatu yang menggerakkan.
Aku kemudian berjalan ke arah Murni yang sedang kepanikan. Sepertinya dia tak menyadari kalau aku mendekat ke arahnya. Tanpa tedeng aling-aling, satu tancapan melesat secepat kilat tepat mengenai ubun-ubun Murni dari belakang.

“JLEB!”
“JLEB!”

Ini yang terakhir! JLEB!”

Rasanya seperti ada sensasi yang berbeda. Benar-benar menyenangkan. Hihi....aku tertawa kecil sebelum Murni benar-benar tak mampu berucap. Hanya suara “Kekh...kekh” yang keluar dari bibirnya sembari mengeluarkan cairan kental.

Sedangkan Asih yang sudah terkapar tak berdaya, tersenyum menyeringai sebelum dia benar-benar meregang nyawa.

Tapi sebelum semua cerita ini berakhir dan semakin gelap, samar aku mendengar sebuah kalimat yang benar-benar menggema di telingaku.

Suara itu aku sangat mengenalnya, Kinasih.

“Dendamku belum usai, Mbak! Bantu aku musnahkan sisanya!”

***

Seorang perempuan tengah duduk sambil melamun, setelah menyelesaikan sebuah cerita panjang yang begitu kelam, sampai tak memperdulikan satu temannya dan suara kebisingan lalu lintas yang memang tak pernah surut dari hiruk pikuknya jalanan.

Perempuan itu tengah memikirkan sesuatu yang sedari lama mengganggu pikirannya. Sembari matanya menatap lurus ke arah jalanan yang sibuk, namun tiba-tiba panggilan seseorang mengejutkan dirinya.
“Hey Las, jangan melamun!” serunya dengan nada keras.
“Oh iya, sori Mbak Dwik.”

Teman kerja sekaligus atasan Lastri itu kembali menyeruput teh gelas, meski ia sempat menggeleng-gelengkan kepala.
Lastri Kinasih Putri, nama barunya. Perempuan muda yang baru-baru ini sedang meniti karir dalam bidang jurnalistik,

meninggalkan pekerjaan perlendiran setelah satu peristiwa kelam beberapa tahun yang lalu. Namun atas kejadian itu, Lastri sekarang mempunyai kepribadian ganda.
Lastri kemudian melanjutkan basa-basinya bersama perempuan yang bernama Dwik tersebut.

Perempuan yang masih satu desa dengan Kinasih dulu. Sampai telefonnya yang sedari tadi terabaikan, berbunyi.
“Las? Aku baru dapat kabar, kalau ditemukan mayat di sebuah rumah bordil. Nah ini aku lagi mau ke sana, kamu bisa nyusul gak?-

Buat mastiin sekaligus ngecek, siapa pemilik identitas itu?”
“Sekarang Mbak Ri?”
“Iya sekarang, Las. aku tunggu.”
Hening tercipta. Lastri berpikir, mayat? Entah apa yang baru saja Lastri rasakan, dia memiliki firasat yang buruk akan hal ini.

Sesuatu yang bisa ia prediksi kalau mayat itu adalah salah satu korban dari kebiadaban Ratih. Sebenarnya alasan Lastri mengikuti jejak Riri bukan tanpa alasan, ia masih dalam misinya. Pencarian Ratih, Drajat dan beberapa orang pengikut lainnya. Karena dendamnya belum usai.

“Halo...Las...Lastri?” teriak Riri di ujung telefon.
“Iya Mbak, aku ke sana sekarang.”
Tanpa menanyakan alamat, Lastri masih ingat betul dengan lokasi yang akan ia datangi.

***

Lastri kemudian melangkah turun dari mobil setelah menempuh tiga jam perjalanan. Ia menatap sekeliling, tempat ini sudah berubah semenjak ia keluar dari tempat ini. Lastri sejenak terdiam berpikir, apakah mayat itu benar-benar korban Ratih?

Berbekal kartu identitas, Lastri mendekati salah satu petugas kepolisian yang sedang berjaga di depan garis kuning. Tempat ini sudah ramai dipenuhi warga sekitar yang menonton karena penasaran.

Tapi sebelum Lastri masuk, ia memilih untuk pergi mewawancarai beberapa warga yang ada di sekitar lokasi. Beberapa di antara mereka mengaku, bahwa ada yang menduga kalau korban itu adalah tumbal pesugihan, ada pula yang bilang kalau terjadi perampokan dan pembunuhan.

Setelah di rasa cukup, Lastri kemudian maju ke depan ke arah petugas penjaga.
“Permisi Pak? Saya dari media mau meliput kejadian ini.” Ucap Lastri dengan tenang sambil menatap tajam ke arah petugas.

Kemudian petugas itu memandang ke arah Lastri, entah ada energi apa, yang jelas setelah petugas itu menatap mata Lastri, wajahnya langsung ketakutan. Petugas itu kemudian mempersilahkan Lastri untuk melewati garis kuning dan langsung masuk ke dalam rumah.

Sesampainya di dalam, Riri yang melihat Lastri masuk kemudian menghampiri.

“Las, ini sepertinya kasus besar!” bisik Riri.
“Sepertinya iya, Mbak. Coba deh lihat banyak sekali petugas yang jaga di dalam. Aneh!” sahut Lastri juga berbisik.

Tanpa membuang waktu, Lastri langsung melesat ke lantai dua, tempat di mana jasad perempuan terbujur tak bernyawa. Lastri melihat dengan kepalanya sendiri, bagaimana mayat perempuan itu tergeletak dengan tubuhnya penuh sayatan, sedangkan matanya melotot seakan sebelum meninggal,-

mayat itu melihat sesuatu yang mengerikan.
Seketika membuat Lastri terdiam, pikirannya melayang jauh ke belakang, di mana, tepat pada kejadian itu, mirip sekali dengan apa yang menimpa Kinasih. Aroma bangkai langsung tercium begitu menyengat,-

membuat Lastri langsung menutup hidung. Kemudian sembari menutup hidung, Lastri dan Riri mencoba mengamati semua barang yang ada di dalam kamar. Tak ada yang berubah, semua hampir sama dengan kamar Lastri dulu. Yang membedakan hanya satu, posisi jendela.

Di saat Lastri mengamati dan mencari-cari sesuatu yang mungkin bisa membantu menemukan identitas dari mayat, tiba-tiba ia merasakan sentuhan dingin di lehernya. Bulu kuduknya berdiri. Lastri menoleh menatap mayat, entah kenapa mayat itu seperti memandanginya.

Lastri melangkah perlahan mendekati mayat tersebut, tentu dengan menutup hidungnya. Sekilas mayat itu tersenyum menyeringai, membuat Lastri tersentak mundur. Ia yakin baru saja mayat itu tersenyum. Sepertinya ada sesuatu yang ingin di sampaikan.

Tapi tak sampai Lastri berpikir jauh, manakala pikirannya sudah penuh akan memori kelam yang masih tersimpan. Ia kemudian berbalik ingin keluar dari ruangan, namun tertahan oleh suara wanita tengah tertawa tepat di telinga.

Kemudian Lastri dan Riri langsung meninggalkan ruangan karena sudah tidak betah dengan aroma bangkai tersebut.
“Dia salah satu pekerja di sini.” Lastri membatin sembari melihat foto mayat yang berhasil ia abadikan di ponselnya secara diam-diam.

“Mbak kenapa semua petugas di sini tidak ada yang memberi tahu identitasnya?” kata Lastri kepada Riri sesaat setelah mereka keluar.

“Mungkin karena kasus ini kasus besar, Las. Atau memang ada yang menutupi? Kita cari jawabannya saja nanti. Aku ada kenalan kok.” Jawab Riri sambil berlalu pergi meninggalkan Lastri.

Tak lama setelah Riri pergi, salah satu petugas yang bisa dikatakan sebagai pimpinan dalam kasus ini, masuk melewati garis kuning. Lastri hanya diam, ia bersandar di samping mobilnya sambil merekam suasana sekitar TKP. Tentunya secara diam-diam.

Sampai di rasa sudah cukup, ketika Lastri ingin masuk ke dalam mobil, dan bersiap untuk pergi. Namun tiba-tiba muncul firasat tidak enak. Dirinya baru tersadar ketika ia memandang ke depan, tak jauh dari tempat mobilnya terparkir, ada seorang sedang memperhatikan dirinya.

Wanita itu sekitar umur 70an, dengan mengenakan pakaian layaknya orang kaya. Ia memandangi Lastri dari dalam mobilnya, terjadi kontak mata antara Lastri dan si wanita. Kemudian ketika mobil yang di tumpangi wanita itu pergi, Lastri baru menyadari, bahwa Lastri mengenalinya.

“Ratih!” geram penuh amarah ucapan Lastri. Tapi kali ini kepribadian satunya yang muncul.
Semenit kemudian, Lastri masuk ke dalam mobil dan menyalakan mobilnya. Dengan penuh keyakinan, roda kendaraan mulai menapaki jalanan aspal hitam.

Dan di saat kendaraannya mulai menjauh dari rumah laknat itu, Lastri menyadari bahwa kisahnya dengan rumah ini sudah selesai. Sudah cukup semua kenangan buruk yang didapatkan di tempat ini.

Tapi untuk urusan dendam kesumatnya, Lastri baru akan memulainya. Dan petualangan baru itu akan dia mulai dengan sebuah nama Angkara Murka.

-SELESAI-
close