Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

WARISAN ILMU DARI MBAH BUYUT (Part 22) - Mbah Kakung Wafat


JEJAKMISTERI - Aku menatap ke enam orang yang tampangnya mirip preman itu. Wah... kalau sampai kalah, bisa babak belur nih... Cari bantuan ke siapa ya? Para pedagang mana mungkin mau bantu.. mereka kan takut diganggu saat dagang. Tapi, aku ini Bisma... seorang sakti mandraguna, tapi dalam kisah pewayangan... kalau aku sih ga ada sakti-saktinya sama sekali.

"Tenang mas... ayo kita hadapi bersama...!" suara seorang gadis yang menepuk pundakku.

Aku menoleh.. Rindu. Lumayan, dapat bala bantuan juga akhirnya. Bisa lah agak imbang dengan mereka berenam... eh, bertujuh dengan pemuda yang bertengkar dengan Kandhi. Aku belum tahu siapa namanya, lha kenalan aja belum...!!

"Kandhi, kamu masuk toko saja. Si cowo itu ga bakal gangguin kamu di sana." ujarku.

"Iya mas...! Mas hati-hati ya?" katanya.

Aku hanya mengangguk... Kandhi segera berlari ke dalam toko tempatnya bekerja.

Keenam orang itu mulai mengepungku dan Rindu. Aku segera menyiapkan kuda-kuda. Walaupun lama ga latihan silat, tapi kalau cuma kuda-kuda mah masih ingat lah...!

Sementara Rindu mengadu punggung denganku. Pintar juga anak ini. Dengan beradu punggung, kami bisa menghadapi musuh dari depan, dan tak ada kemungkinan diserang dari belakang

Saat situasi semakin memanas, dan kepungan mereka mulai menyempit, seseorang dengan santainya memasuki kepungan itu. Aku ga kenal sama dia, trus ngapain dia masuk ke dalam kepungan? Aku meningkatkan kewaspadaan.

"Tenang mas... aku bantu." katanya sambil lewat di depanku. Semerbak wangi bunga kanthil menguar dari tubuh cowo. itu. Hmmm... bunga kanthil. Tapi siapa dia? Dan apa maksudnya membantuku? Tapi terserahlah... yang penting sekarang kami bertiga, melawan 6 orang musuh.

"Seraanngggg....!" seru salah seorang musuh kami. Serentak mereka menyerang kami. Aku menangkis serangan orang yang di depanku, tapi temannya yang disampingnya, menyusuli dengan sebuah tendangan. Busyet... beraninya main keroyokan. Aku bergeser ke samping menghindari tendangan itu. Orang yang kutangkis tadi sudah menyerang lagi. Wah... bikin repot aja nih dua orang. Sambil menangkis dan menghindar, aku mencari kesempatan untuk melakukan serangan balasan. Masa iya, berkelahi kok diserang mulu... mesti balas nyerang dong..!

Saat salah seorang menendangku, aku merunduk cepat, dan kaki kananku mengait kakinya yang digunakan sebagai tumpuan.

DESH....BRUGH...

Satu orang jatuh... saat aku akan menyusuli dengan sebuah tendangan, orang satunya menyerangku. Terpaksa aku menghindari pukulannya, tapi ketiaknya terbuka. Dengan sebuah pukulan, aku hajar ketiak orang itu. Dia mengaduh kesakitan. Temannya yang jatuh, segera menyerangku. Tapi kutangkis pukulannya, dan sebuah tendangan kusarangkan di selangkangannya. Orang itu membungkuk kesakitan sambil memegang barangnya. Semoga telur yang sedang dierami itu tidak pecah... Orang yang kuhajar ketiaknya, menyerangku lagi, tapi dari belakangku, sebuah tendangan telak menghajar muka orang itu. Aku menoleh, dan melihat cowo yang tak kukenal itu tersenyum padaku.

"Kelamaan mas... masa kalah sama cewe...!" katanya sambil mengerling ke arah Rindu.

Aku melihat sekitar, ternyata lawan cowo itu dan lawan Rindu sudah keok semua. Aku garuk-garuk. kepala... hebat-hebat banget sih mereka? Aku kalah telak...

Aku menghampiri cowo yang bertengkar dengan Kandhi tadi. Dia nampak mundur-mundur melihatku menghampirinya.

"Mau kemana kamu? Semua temanmu sudah keok." ujarku.

"Ma...ma..maafin aku mas...!" katanya gagap.

"Maaf.. maaf... urus teman-temanmu. Dan kalau kamu masih cari masalah sama Kandhi lagi, aku habisin kamu...!" ancamku sok yes ..! Terlalu sering nonton pelem gangster nih..

"I...iya.. mas. A..aku. ga akan ganggu Kandhi lagi... maaf...!"

Huh... cowo kok nyalinya kecil. Kayak gitu sok-sokan mau menghajarku... beraninya keroyokan. Tapi melihat tampangnya yang sudah pias, keinginan untuk menghajarnya hilang begitu saja. Ga tega...!

DHUAGH...BLUK...

Mendadak cowo itu jatuh terkapar, disusul seseorang mengejarnya hendak menghajar cowo itu.

"Bejo... sudah cukup..!" seruku sambil menahan Bejo yang tadi menghajar cowo itu. Ga tahu kapan dia datang, tahu-tahu cowo itu sudah dihajarnya.

"Biarin Bis... biar aku kasih pelajaran baj**gan ini...!" ujar Bejo sambil meronta mencoba melepaskan diri dari cekalanku.

"Udah Jo.. udah... Kamu mau jadi kriminal po? Lihat, dia udah ga berdaya gitu lho...!" ujarku menenangkan Bejo.

"Hei... awas saja kalau kamu masih berani gangguin adikku. Berapa banyak orang kamu bawa, bakal aku ladenin...!" teriak Bejo.

Cowo itu cuma mengangguk-angguk.. lalu perlahan bangkit dan berlalu dari situ diikuti 6 temannya yang kesakitan.

Suasana menjadi sepi... orang-orang yang menonton pergi satu persatu.

"Wah... hebat kamu, bisa ngalahin mereka. Padahal aku bawa bala bantuan, malah nganggur...!" kata Bejo sambil menunjuk 2 motor berisi 4 orang. Aku juga mengenal mereka sebagai teman kerja Bejo.

"Aku dibantu sama tuh cewe, namanya Rindu!" ujarku sambil menunjuk Rindu.

Bejo menghampiri Rindu untuk mengucapkan terima kasih. Aku celingukan mencari cowo berbau bunga kanthil tadi, tapi sosoknya sudah lenyap entah kemana. Bahkan aku belum berterima kasih atas bantuannya.

"Kalian berdua mampu mengalahkan mereka berenam?" tanya Bejo.

"Masih ada satu orang lagi, tapi ga tahu kemana? Aku belum berterima kasih sama dia..!" ujarku.

"Dia tadi pergi ke sana..!" kata Rindu.

"Dia nitip pesan sama aku, katanya dia disuruh Nastiti gitu! Eh.. mas, Nastiti itu siapa sih? Selingkuhanmu ya?" tanya Rindu.

"Hahaha.. jomblo kok punya selingkuhan... !" kata Bejo ngakak.

Daripada bingung mau ngomong apa, aku menghampiri teman-teman Bejo, dan mengajak mereka masuk angkringan. Semua sudah aku kenal baik... anak buah bos besi tua tempat Bejo bekerja, rata-rata sudah kukenal. Jadi, ga ada salahnya aku traktir mereka di angkringan. Rindu ga mau kalah, ikut gabung dengan kami. Sementara Bejo menemui bossnya Kandhi, dan meminta maaf atas keributan yang terjadi. Untunglah bossnya Kandhi tidak mempermasalahkan, karena dia sudah dengar ceritanya dari Kandhi.

Setelah urusan dengan Boss toko selesai, Bejo menyusulku ke angkringan. Kami ngobrol dengan ramai di situ, bahkan Rindu bisa berbaur dengan mudah dan ga nampak kikuk ngumpul dengan barisan kuli.

Setelah puas ngobrol, teman-teman Bejo pamit pulang. Tinggallah kami bertiga di angkringan.

"Kamu ga pulang Ndu?" tanyaku.

"Bentar ah... masih enak nih makan di angkringan..!" katanya cuek.

"Kalian pacaran ya?" tanya Bejo menyelidik.

Aku sampai tersedak dan minumanku muncrat

"Bukan mas... kami kenal ga sengaja kok...!" kata Rindu.

Huft... syukurlah...!! Tumben, omongannya lempeng nih bocah...

"Oh... kenal di mana?"

Rindu yang dasarnya emang ceriwis, menceritakan pada Bejo awal mula pertemuan kami.

Aku malah tidak memperhatikan percakapan mereka. Pikiranku melayang memikirkan sosok cowo yang membantuku tadi. Disuruh oleh Nastiti? Apakah dia teman Nastiti? Baunya pun, sama dengan Nastiti... bau khas bunga kanthil. Ah... bodohnya aku...! Kenapa tadi aku tak memeriksa auranya... Siapa sih dia? Apakah dia manusia, atau makhluk ghaib? Argh.... pusing aku memikirkannya.

"Bis... hei... Bisma...!" seru Bejo memanggilku.

"Eh... iya, ada apa?" tanyaku gelagapan.

"Kamu mikirin apa sih? Ditanya berkali-kali kok ga jawab...?" tanya Bejo.

"Hihi... paling dia mikirin cewe yang namanya Nastiti...!" kata Rindu.

"Ha...iya.. Siapa sih Nastiti itu...?" tanya Bejo penasaran.

Huh... bingung aku mau jawab apa...!
"Dia.. emm...dia temenku Jo...!"

"Anak mana sih? Daerah sekitar sini?"

Nah lo.... mau jawab apa coba?

"Kapan-kapan aku ceritain deh. Panjang ceritanya....!" ujarku.

"Yah... mbok sekarang aja mas... Aku penasaran ini lho...!" kata Rindu.

"Udah ah.. kamu pulang aja Ndu. Udah malam ini. Nanti dicariin ibumu...!" kataku

"Iya...iya... bawel...!" katanya sambil beranjak dari duduknya.

"Mas... yang bayar dia ya?" katanya pada penjual angkringan.

"Siap mbak...!" jawab penjualnya.

Setelah Rindu pergi...

"Kamu nungguin Kandhi pulang kerja kan Jo?"

"Iya lah... sebentar lagi juga tutup tokonya." jawab Bejo.

"Kalau gitu, aku tinggal dulu ya? Pegel nih, habis gelud...!" kataku..

"Siipp... hati-hati di jalan...! Dan jangan lupa dibayar tuh angktingannya!" kata Bejo sambil nyengir.

Asem... aku pikir bakal patungan buat bayar angkringan...

***

Mbah Kakung sakit....
Budhe dan aku kelabakan meneruskan usaha rongsokan mbah kakung Aku yang notabene nol besar dalam hal bisnis, dipaksa untuk mau tidak mau dilibatkan dalam usaha itu. Beruntung, jauh-jauh hari sebelumnya, mbah Kakung sering menyuruhku ke tempat big boss, untuk mengurus ini itu. Jadi big boss udah kenal denganku. Tapi pemegang kendali usaha, tetap budhe... yang sudah lama ikut mbah Kakung di bisnis ini.

Hingga akhirnya, mbah kakung sedo (wafat), dalam usia tua.

Setelah mbah kakung tiada, aku memutuskan untuk hengkang dari bisnis barang bekas itu. Tentu saja aku pamit baik-baik pada Budhe. Aku bilang ingin cari pengalaman lain.

Aku masih tetap bertahan di kota itu. Pikirku akan lebih mudah mencari kerja disini, daripada pulang ke kampung halamanku. Pernah Bejo mengajakku untuk kerja ikut bossnya, yaitu big boss besi tua. Aku menolak lah... ga enak sama big boss. Lagian pekerjaan disana jauh lebih berat, walaupun hasilnya memang lumayan.

Setelah lontang-lantung selama hampir sebulan, dan menguras tabunganku, aku diajak seorang kenalan untuk ikut proyek bangunan. Yah, daripada ga kerja... mending ikut saja lah. Buat nambah pengalaman dan nambah penghasilan tentunya... Tahu sendiri lah, gimana tasanya kantong kosong...

Sejak itulah era baru dalam hidupku... jadi kulbang (kuli bangunan). Memang, sebuah pekerjaan yang berat, pada awal pembangunan... Tapi saat finishing, pekerjaan cukup santai buat asisten tukang kayak aku. Dan jeleknya bujangan, karena tak ada yang mengatur keuangan, gaji seminggu ludes sebelum gajian lagi...

Setelah lewat 100 hari meninggalnya mbah Kakung, aku didatangi oleh mbah Buyut dalam mimpi. Malam itu tidurku agak gelisah, mungkin karena mendung yang menggayut di langit, membuat udara jadi gerah. Dalam tidurku, mbah Buyut hadir dengan diiringi oleh seekor macan dan monyet. Duh, si macan sombong dan monyet usil itu... pikirku.

"Bisma, kedua makhluk ini tak bertuan sekarang. Dan mereka ingin ikut denganmu. Apakah kamu mau diikuti mereka?" tanya mbah Buyut.

"Ga mau mbah... Aku ga mau diikutin mereka. Aku ga bisa kayak mbah kakung yang bisa merawat mereka...!" jawabku spontan.

Ogah ribet.. itu saja alasanku.

"Mereka sudah lepas dari keris yang mengurung mereka. Sekarang mereka makhluk bebas. Dan mereka tidak butuh dirawat, karena mereka bisa mengurus diri mereka sendiri." kata mbah Buyut.

"Aku malas mbah, diikuti oleh banyak makhluk ghaib...!" ujarku.

"Bisma, ketahuilah... banyak orang sakti dan makhluk ghaib sakti yang mengincar sesuatu dalam dirimu yang istimewa itu. Jadi kau butuh banyak dukungan agar ada yang menjagamu dari mereka."

"Hhh... apa Nastiti tidak cukup mbah, untuk menghadapi mereka?" tanyaku.

"Semakin banyak yang menjagamu, tentunya akan lebih baik bukan?"

"Terserahlah mbah... kalau mereka mau ikut aku, ya silahkan saja, asal tidak menggangguku. Terutama monyet usil itu...!" kataku sambil menuding si monyet. Monyet itu malah nyengir, memperlihatkan gigi-giginya...

"Baiklah, sejak saat ini, mereka akan mengikutimu. Macan ini bernama Ki Jogorekso. Sedang monyet ini bernama Cakil. Baiklah, simbah pamit dulu...!" kata mbah Buyut yang lalu hilang dari pandanganku.

Aku tersentak bangun dari tidurku. Masih jam 3 pagi. Sudah terlanjur bangun, sekali-kali sholat malam ah... Selesai sholat malam, aku berdzikir dan membaca-baca doa pendek yang aku hapal, sambil menunggu subuh. Aku memejamkan mata dan mulai berdzikir. Saat kurasakan ada suara geraman dan cuitan monyet di dekatku.

Aku membuka mata, dan seekor harimau segedhe kerbau sedang berbaring di sampingku. Sementara, si monyet asyik berloncatan kesana kemari. Kadang nangkring di atas punggung Ki Jogorekso.

"Ki Jogorekso, Cakil... selamat datang. Kalian akan jadi temanku, seperti si Nastiti. Nas.. kenalin nih Ki Jogorekso dan Cakil." kataku.

Ki Jogorekso menggeram sambil menundukkan kepalanya. Cakil cecowetan ga karuan, bikin telingaku sakit. Nastiti hanya diam dan menatap keduanya. Mungkin mereka sedang berkomunikasi dengan batin. Bahkan si Cakil nampak tenang dan tidak usil...

Aku meneruskan dzikirku, sampai terdengar adzan subuh.

Esok paginya, aku bekerja seperti biasa. Hanya kali ini, ada 3 makhluk ghaib yang menjagaku. Untung mereka ghaib, jadi ga ada yang melihatnya. Coba kalau teman sekerjaku melihat ada macan segedhe kerbau di dekatku... ga kebayang gimana reaksinya... Atau kalau mereka melihat Nastiti yang cantik, pasti mulut mereka bakal usil ga ada habisnya... maklum, kuli. Tiap lihat barang bening, langsung saja mulutnya bersuit.. Lama-lama aku ketularan juga jadinya... Tiap ada cewe lewat, bakal disuitin rame-rame dah.. Dan rasanya senang saja di hati... ahaha. Dasar mulut kuli... dimana-mana sama saja. Yang pernah jadi kulbang pasti tahu deh, mulut rusuh kami para kulbang.

Dan selama bekerja jadi kulbang, aku sudah sangat jarang nongky di pusat pertokoan seperti sebelumnya. Juga jarang ke rumah Bejo. Bukan apa-apa, selesai kerja saja udah capek banget. Males mau kemana-mana. Paling aku dan Bejo ngobrol lewat chat. Karena jarang ke rumah Bejo, jadi jarang juga ketemu dengan dua bocil cantik anak Bejo... eh... anak mbak Yem ding. Bejo kan ga bisa beranak ya?

Kadang kangen juga sih, sama mereka. Juga sama ibunya... hehehe. Yeah... jujur saja, aku mulai memiliki rasa tertarik pada mbak Yem. Gila kamu Bisma..! Entahlah... setan mana yang mendorongku untuk menyukai mbak Yem, istri temanku sendiri. Makanya, aku sengaja ga ke rumah Bejo karena menghindari tumbuhnya perasaan itu semakin subur. Aku ga mau mengkhianati temanku walaupun baik Bejo maupun mbak Yem, ga tahu perasaanku.

Bukankah Kandhi juga manis? Kenapa aku ga naksir dia aja? Memang sih... dia lebih muda, lebih manis, lebih cantik dari mbak Yem kakaknya. Tapi yang namanya rasa, mana bisa dipaksa-paksa?

Atau Rindu? Dia cantik, jagoan, ceplas-ceplos ..! Ahaha... mana mau dia dengan kulbang kayak aku?

Aku sadar perasaanku ini salah... salah besar malah. Makanya aku selalu mencoba menghindari pertemuan dengan mbak Yem. Bahkan ketika selesai sholat, aku selalu meminta agar rasa ini dihilangkan dari hatiku. Dan semoga saja diijabah.

Aku mencoba menyibukkan diri untuk melupakan perasaanku. Dan seiring berjalannya waktu, dan jarangnya kami bertemu dan berkomunikasi, rasa itu akan hilang dengan sendirinya.

Aku sendiri heran dengan perasaanku ini... Bagaimana mungkin aku menaruh rasa pada wanita yang sudah menjadi istri orang lain. Istri temanku pula? Apakah ini normal?

Sungguh menjadi dilema yang sangat berat buatku. Apakah aku ga suka dengan gadis-gadis muda? Suka...! Sangat suka... namun belum nemu seseorang yang bisa menggetarkan hati. Emang ga pernah pacaran? Sering... dulu aku sering pacaran, tapi gampang bosan.

Kadang aku malu dengan nama yang kumiliki. Bisma, tokoh yang teguh pada pendirian, selalu memegang janji bahkan sampai mati. Tapi aku? Berapa banyak cewe yang kulukai selama ini? Pacaran, selingkuh... putus. Pacaran, mantan minta balik, putus.

Hingga aku akhirnya memutuskan untuk menyudahi petualanganku. Tapi aku masih bersyukur, bahwa aku belum pernah merusak seorang cewepun... Maksudku, merusak hal paling berharga bagi seorang cewe. Aku masih tahu batas... dan tak ingin merusak anak orang.

Hingga akhirnya, menjadi jomblo adalah pilihanku. Dan saat aku sudah merasa nyaman dengan kejombloanku ini, kenapa rasa ini muncul pada orang yang salah?

Aku sebenarnya ingin meninggalkan kota ini, agar tak bertemu lagi dengan mbak Yem. Tapi aku merasa nyaman disini, walaupun hanya dengan status kuli. Kota ini begitu menarik hatiku... entah apa sebabnya. Jauh sebelum aku mengenal mbak Yem, aku sudah jatuh hati pada kota ini. Jadi, berat rasanya hendak meninggalkan kota ini. Lalu, apa yang mesti kulakukan?

Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan hanya, membatasi pertemuan dan komunikasi dengan mbak Yem. Tapi mungkinkah aku mengabaikan pesan Bejo agar sesekali bertandang ke rumahnya? Berapa banyak lagi alasan yang harus aku buat untuk menolaknya? Akhirnya toh, aku tak akan mampu menolaknya suatu saat nanti. Entahlah... biarkan waktu yang menjawabnya.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close