Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PENGASINGAN TUMENGGUNG MAYANG


Penembahan Senopati terlihat marah. Wajahnya merah padam, giginya terdengar bergemeretakan. Tangan kanannya terkepal kuat. Nafasnya terdengar berat memburu. Dihadapannya seorang wanita berkebaya ungu rambut panjang disanggul dengan hiasan untaian bunga melati menangis sembari menundukkan wajahnya dalam-dalam. Ki Juru Mertani yang juga berada ditempat itu hanya diam sembari sesekali mengelus hulu tongkat kayu cendana yang ada digenggaman tangannya.

"Aku tidak yakin Ramanda Sultan memutuskan untuk menghakimi Ananda Pabelan dengan hati yang bersih. Ramanda pasti telah terpengaruh oleh para adipati dan para tumenggung yang membenci Mataram. Karena dinda adalah adikku maka dia lampiaskan kekesalannya pada anak dan suami dinda"

Wanita yang tertunduk menangis itu ternyata adik kandung Panembahan Senopati. Istri Tumenggung Mayang sekaligus ibu kandung dari Raden Pabelan yang telah dihukum mati di Pajang. Sambil menahan isak tangisnya. Adik kandung Panembahan Senopati itu bercerita.

"Bukan cuma itu kangmas semula dinda mengira bahwa ratusan prajurit yang menjaga katemanggungan Mayang hanya untuk sekedar, menjaga takut kakang Mayang melakukan hal-hal yang tidak-tidak"

Adik perempuan Panembahan Senopati itu menghentikan perkataannya. Disekanya air mata yang mengalir dengan punggung tangan.

"Akan tetapi, ternyata Kanjeng Sultan ingin lebih mempermalukan kakang Mayang. Dari katemanggungan kakang di kerangkeng dan di arak menuju alun-alun"

"Kurang ajar"

Panembahan Senopati menggebrak meja yang ada di hadapannya. Meja itu tidak hancur. Tetapi tatkala diperhatikan keempat kaki meja itu melesek amblas sekitar dua centi ke dalam ubin lantai.

"Di alun-alun itu Kanjeng Sultan Hadiwijaya mengumumkan gelar untuk kakang tumenggung dicopot. Dan kereta kerangkengnya diarak menuju Semarang"

Tangisan perempuan ini masih saja terdengar tatkala menceritakan kejadian yang menimpa tumenggung Mayang.
Sepasang mata Panembahan Senopati tampak berkilat-kilat. Orang nomor satu Mataram itu sudah semakin terbakar oleh amarah yang meluap. Ki Juru Mertani yang sedari tadi diam akhirnya mencoba meredam dan menengahi Panembahan Senopati.

"Ini sudah sangat keterlaluan"

"Aku bersumpah akan merebut adinda mayang dari mereka. Kalau perlu perang pun akan aku lakukan"


"Sabar Ngger, memutusakan sesuatu itu jangan waktu pikiran mu sedang dipengaruhi oleh amarah. Sebab tidak pernah hawa nafsu mampu menghasilkan keputusan yang baik"

Panembahan Senopati terdiam mendengar hal itu. Ditarik nafas dalam-dalam. Kemudian lelaki ini beranjak dari kursi. Berjalan ke arah pagar pembatas serambi dan bersandar disana.

"Ini soal harga diri Paman Juru. Selama ini kita menahan diri saat Pajang menginjak-injak harga diri kita. Dan ini menurut saya yang paling keterlaluan. Saya tidak bisa menahan diri lagi"

Ki Juru Mertani menarik nafas panjang. Tongkat yang menyangga tubuhnya diletakkan dipangkuan. Suaranya terdengar lirih tapi berwibawa.

"Kanjeng Sultan pasti akan murka jika pasukan Mataram menculik tawanan mereka. Dan yang paling paman takutkan adalah Kanjeng Sultan kemudian akan menggebuk perang Mataram dengan bala tentara Pajang"

Suasana di serambi kediaman Panembahan Senopati mendadak hening sejenak. Hanya semilir angin dan suara burung berkicau di pepohonan yang terdengar santer.

"Saya akan menyuruh Sekartaji, Pranajaya, Tubagus Mantri dan Rana Wulung mencegat rombongan itu di Semarang. Sengaja saya tidak membawa pasukan banyak. Keempat senopati itu harus bergerak secara diam-diam dan berpakain layaknya rakyat biasa"

Ki Juru Mertani hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Lalu tangan keriputnya membelai jenggot putih yang menjela mendekati dada.

"Dan kau Dinda..."

Panembahan Senopati memandang ke arah adik perempuannya itu

"Kau tidak perlu cemas. Suamimu, Adi Mayang pasti akan aku bawa ke Mataram dengan selamat"

Istri Tumenggung Mayang hanya mengangguk dan tersenyum. Hatinya sedikit lega. Karena kakaknya itu akan membantu menyelamatkan suaminya dari cengkeraman prajurit Pajang.

Ki Juru Mertani mencoba menegaskan lagi kepada Senopati seandainya pecah perang.

"Sebentar Ngger Senopati? Apakah nantinya jika terjadi pecah perang tidak ada anggapan bahwa Mataram telah berlaku kurang ajar. Air susu dibalas dengan air tuba ?"

"Tidak paman. Selama ini kita selalu beranggapan bahwa alas Mentaok ini merupakan susu. Padahal tidak. Sama sekali tidak. Alas Mentaok adalah imbalan, upah karena kita orang-orang Selo telah berkerja keras membantu dengan tenaga bahkan nyawa untuk membantu Pajang melawan Jipang Panolan yang di pimpin oleh Arya Penangsang yang terkenal sakti mandraguna"

"Alas Mentaok tidak diberikan oleh Ramanda Sultan secara cuma-cuma. Ini adalah hak kita!"

"Dan tatkala kita membangun tanah ini menjadi sebuah wilayah yang makmur. Juga bukan merupakan tuba. Membangun tanah yang telah menjadi milik kita adalalah hak. Bukan tuba"

Ki Juru Mertani kembali bertanya kepada keponakannya itu.

"Angger sadar apa akibatnya?"

Panembahan Senopati menjawab dengan mantap. Tidak ada sedikitpun terlihat keraguan di wajahnya.

"Lebih dari sekedar sadar Paman"

"Bahwa rakyat yang akan jadi korban?! Karena setiap kericuhan rakyat kecil lah yang akan jadi korban dan menderita"

"Untuk meningkatkan martabat semua harus rela dan mau berkorban. Jer Basuki Mawa Bea"

"Apakah angger juga sudah siap dengan segala akibatnya. Jika seandainya kita kalah?!"

Mendengar pertanyaan seperti ini Panembahan Senopati terdiam sejenak. Setelah menghela nafas dia berkata.

"Saya sangat percaya akan ramalan kanjeng Sunan Giri yang linuwih bahwa akan muncul kekuatan baru di bumi Mataram yang akan menguasai tanah Jawa"

Ki Juru Mertani melihat sepasang mata Panembahan Senopati yang berkilat-kilat. Pandangan yang sangat yakin jika Pajang menggebuk perang dengan Mataram. Maka, Mataram dengan mudah aka menghadapi perang itu dan keluar sebagai pemenang.

"Kalau angger Senopati sudah mantap. Paman akan membantu dan mendukung dengan doa"

Penembahan Senopati tersenyum. Di benaknya kini hanya ada satu keinginan menjadikan Mataram sebagai negeri yang berdaulat dan menjadi kekuatan nomor satu di pulau Jawa.

Menjelang tengah hari empat orang memacu tunggangan mereka, menghambur meninggalkan kotaraja Mataram. Keempat penunggang itu seperti berpacu dengan waktu. Kuda-kuda itu berlari sangat cepat seperti panah lepas dari busurnya. Tidak butuh waktu terlalu lama. Kotaraja Mataram telah berada jauh di belakang mereka.

***

Sang Surya belum sampai hampir menapak kaki langit sebelah barat. Namun menjelang tengah hari tadi, sebuah kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda putih, dikawal oleh hampir ratusan prajurit menunggang kuda meninggalkan kotaraja Pajang. Dua orang tumenggung berada di barisan paling depan. Tumenggung Suraketi dan Tumenggung Dadap Merang. Kereta itu terbuka di bagian belakang terdapat seperti sangkar besar berbentuk kotak. Di dalam sangkar atau lebih tepatnya kerangkeng terdapat sesosok tubuh duduk berdiam diri. Sorot matanya tajam memandang lurus ke depan. Di sepanjang jalan tampak para penduduk melihat iring-iringan itu. Beberapa orang berbisik-bisik lirih seperti khawatir terdengar oleh iring-iringan itu.

"Itu tumenggung Mayang, kasihan beliau. Menderita akibat perbuatan anaknya Raden Pabelan"

Kata seorang perempuan yang berdiri di tepi jalan sambil mengipas debu yang beterbangan menggunakan caping bambu yang dipegangnya.

"Ya biarlah jadi pelajaran, Pabelan sepertinya juga sudah terlalu kurang ajar. Berani masuk di keputren yang khusus untuk para keluarga raja. Akibatnya, tumenggung Mayang dicopot pangkat katemanggungannya dan di buang ke Semarang"

Perempuan pendek gemuk yang hanya memakai kain kemben warna coklat berusaha memberikan alasan. Tiba-tiba seorang nenek tua yang tadi sibuk dengan sirih yang telah memerah di mulutnya ikut nimbrung.

"Sudah, tidak ada gunanya kalian membahas masalah itu. Ada baiknya kita lanjutkan lagi pekerjaan kita di sawah"

Iring-iringan itu semakin jauh meninggalkan Pajang tatkala langit sebelah barat telah memerah. Cahayanya yang kekuningan menyapu seluruh permukaan jagad raya.

Tumenggung Surakerti mengangkat tangannya sebagai isyarat agar iring-iringan menghentikan perjalanannya. Suaranya terdengar lantang dan keras sehingga suaranya terdengar sampai ke barisan paling belakang.

"Sehabis Isya kita harus sudah sampai di lembah Tidar, kita akan beristirahat disana. Sesudah subuh besok pagi kita lanjutkan perjalanan ke Semarang"

Setelah berkata seperti itu Tumenggung Surokerti melanjutkan perjalannya diikuti oleh ratusan prajurit yang berkuda di belakangnya. Beberapa saat terguncang-guncang di atas punggung kuda akhirnya iring-iringan itu menghentikan langkahnya di sebuah lembah pedataran hijau.
Tumenggung Surokerti segera memerintahkan prajurit-prajurit Pajang untuk mendirikan tenda-tenda di sekita pedataran itu.

Tenda-tenda berjajar dengan rapi. Tenda yang paling besar ada di sebelah barat. Tenda itu lah yang akan dpergunakan oleh Tumenggung Surokerti dan Tumenggung Dadap Merang. Sebuah api unggun menyala di tengah pedataran itu. Cahaya yang berasal dari kayu yang terbakar menerangi sampai sudut-sudut rerimbunan pohon dan semak belukar yang ada di sekitar pedataran itu.

Tumenggung Dadap Merang tampak sedang bercakap-cakap dengan Surokerti di depan serambi tendanya.

"Saya tidak mengerti dengan Kanjeng Sultan Hadiwijaya kakang?"

"Soal apa adi Dadap?"

"Soal pengawalan Tumenggung Mayang. Mengapa Kanjeng Sultan sampai mengawal dengan ratusan prajurit. Bukankah sepuluh atau paling banyak dua puluh orang sudah cukup?

Soal itu mungkin untuk berjaga-jaga kalau-kalau di tengah jalan di cegat oleh orang-orang Mataram. Tumenggung Mayang masih adik ipar Gusti Senopati"

Tumenggung Dadap Merang hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian diraih gelas yang ada di depan duduknya.

***

Malam tambah gelap dan dinginnya udara semakin mencucuk. Kabut tipis mulai muncul menyelimuti pucuk-pucuk pohon. Api unggun yang tadi terang benderang. Sekarang hanya tinggal bara menyala yang sepertinya juga akan padam tidak lama lagi. Beberapa prajurit tampak terkantuk-kantuk di depan tendanya masing-masing. Lima orang prajurit bersenjata lengkap mengawal ketat kerangkeng tempat Tumenggung Mayang disekap. Lelaki paruh baya adik ipar dari Panembahan Senopati di Mataram itu masih belum bisa terpejam. Sepertinya rasa kantuk tidak berani mengusik dirinya. Di benaknya masih terbayang kematian Pabelan anaknya di depan mata.

Tiba-tiba terdengar lenguhan pendek dua prajurit Pajang di depan kerangkeng dimana Tumenggng Mayang disekap. Tubuh prajurit itu menggelosoh di tanah. Tidak berkutik lagi. Tidak berapa lama terdengar jeritan tertahan. Tiga orang prajurit Pajang mengalami hal yang sama. Sesosok tubuh berjalan ringan menghampiri kerangkeng setelah melumpuhkan lima prajurit Pajang dengan cekatan.

"Gusti Mayang, cepat keluar kita tinggalkan tempat ini?"

Seorang lelaki berpakaian hitam dengan penutup muka sehingga hanya menyisakan dua mata yang seperti menyala di dalam kegelapan.

"Kamu siapa?"

Tumenggung Mayang bertanya tanpa memperdulikan orang yang berada di dalam kerangkeng berusaha membuka gembok kokoh yang mengunci pintu.

Saya orang Mataram, suruhan Gusti Senopati. Kami ditugaskan untuk membawa Gusti ke Mataram"

Mendengar Senopati, mendengar Mataram dari mulut orang misterius yang mengendap-endap di kegelapan tadi. Sontak tumenggung Mayang memalingkan wajahnya.

"Apakah kau sudah menyusun pelarian ini masak-masak?!"

"Jangan khawatir Gusti, semua beres. Sudah ada yang menyiapkan seekor kuda untuk Gusti?"

Tumenggung Mayang hanya tersenyum.

Orang misterius yang tadi melumpuhkan prajurit Pajang itu ternyata Sekartaji. Seorang prajurit pilihan yang di tugaskan oleh Panembahan Senopati untuk membawa Tumenggung Mayang ke Mataram. Tatkala gembok sudah terbuka. Sekartaji segera meminta Tumenggung Mayang untuk keluar dari kerangkeng itu.

"Gusti...." kalimat Sekartaji tidak diteruskan.

Di dalam kerangkeng telah kosong.

Belum selesai rasa terkejutnya tiba –tiba seseorang menepuk bahunya.

"Ayo segera tinggalkan tempat ini"

Terheran-heran Sekartaji saat dilihatnya Tumenggung Mayang telah berada di belakangnya.
Tumenggung Mayang merupakan tumenggung sakti. Tumenggung ini di Pajang di tempatkan di divisi telik sandi atau mata-mata. Ilmu yang paling ampuh yang dimiliki adalah aji Halimunan. Sebuah ilmu yang konon bisa membuat pemiliknya mampu meloloskan diri dari suatu ruangan terkunci dan tertutup.

Beberapa prajurit yang mendengar suara ribut-ribut dari arah kerangkeng segera berhamburan. Tumenggung Surokerti yang hampir bisa memejamkan matanya. Sontak bangun lalu keluar dari tenda. Sebuah keris tergenggam di tangannya. Disaat yang genting seperti itu. Terdengar derap kaki kuda yang jumlahnya banyak sekali. Kuda-kuda tunggangan prajurit Pajang tidak tahu bagaimana caranya mendadak lepas berlari-larian di tengah malam buta. Tanpa disadari diantara kuda kuda yang berlarian itu tampak lima sosok tubuh duduk di atas punggung kuda. Kelima orang itu segera lenyap di kegelapan.

"Kalian semua baik..tidak becus menjaga satu orang tawanan. Kalian tentu akan di hukum berat sesampainya di Pajang nanti!"

"Prajurit siapkan kudaku ! Akan ku kejar Mayang yang mungkin belum jauh"

Seorang prajurit yang berdiri di depan tumenggung Surokerti menunduk takut. Dengan terbata-bata prajurit itu berkata

"Ma..maaf gusti tumenggung. Kuda..kuda Gusti juga ikut lari"

"Ahhhh...memang baik..Benar-benar baik"

Tumenggung itu lantas mendorong tubuh prajurit tadi dengan keras. Tubuh itu terjajar ke belakang. Jika tidak dipegangi oleh kawannya tentulah akan jatuh tersungkur ke tanah!

***

Udara pagi masih menyisakan rasa dinginnya. Meski sudah tidak sedingin pagi tadi. Sultan Hadiwijaya setengah rebahan berada di kursi panjangnya. Sultan Pajang itu dari raut wajahnya menyiratkan rasa kecewa yang teramat sangat. Sementara di depannya tumenggung Surokerti dan Dadap Merang duduk bersila. Kepala mereka berdua tertuduk menatap lantai. Sama sekali tidak berani menatap wajah junjungannya.

"Baik... lalai apa gunanya aku menyuruh dua tumenggung beserta ratusan prajurit untuk mengawal ?!"

Hadiwijaya marah kepada dua tumenggung yang duduk bersimpuh di hadapannya. Karena akibat keteledoran Tumenggung Mayang dapat meloloskan diri dan tidak diketahui dimana rimbanya.

Lalu Sultan Hadiwijaya duduk di kursi panjang berlapis kain beludru merah itu.

"Kamu tahu arti dari pelarian si Mayang itu?"

Tumenggung Surokerti menghaturkan sembah. Kemudian menjawab pertanyaan Hadiwijaya.

"Ampun, gusti Sultan hamba tidak tahu"

"Itu letak kebodohanmu"

Di damprat sedemikian rupa tumenggung Surokerti semakin kecut. Kepalanya makin tertunduk dalam-dalam. Sementara Dadap Merang masih belum berani mengangkat kepalanya.

"Kamu pikir Mayang tidak bisa melarikan diri"

"Sejak ditangkap dan dikerangkeng di kotaraja Pajang dengan mudah bisa saja melarikan diri. Kalau dia mau. Dia memiliki aji Halimun tapi tidak digunakan karena dia takut kalau ternyata tidak didukung oleh Mataram"

Kali ini Dadap Merang mencoba gantian menjawab. Meskipun jawabannya sama dengan jawaban tumenggung Surokerti.

"Ampun gusti sultan. Hamba benar benar tidak tahu"

Sultan Hadiwijaya beranjak dari duduknya. Kemudian Sultan Pajang itu berdiri dan berjalan ke arah tepi pendopo agung. Padangan matanya diarahkan ke sebuah pancuran kecil yang berada di tengah halaman.

"Mayang itu ipar Senopati tapi dia tidak mau ikut ke Mataram. Pasti menyebabkan Senopati kurang suka dengan adik iparnya itu. Sehingga tumenggung Mayang tidak memilih untk melarikan diri ke Mataram. Takut kalu ditolak oleh Senopati. Artinya, yang membebaskan Mayang di tengah jalan menuju Semarang yaitu orang-orang Senopati"

Tumenggung Surokerti mengangkat kepalanya.

"Memang prajurit hamba tidak ada yang tahu dari mana orang-orang yang membebaskan kakang Mayang itu sama sekali tidak menunjukkan tanda apa-apa"

"Siapkan seluruh tumenggung dan senopati di paseban agung besok pagi. Buntut dari larinya mayang akan sangat berbahaya"

Hadiwijaya akan mengadakan pasewakan agung besok pagi. Sudah dapat diduga untuk apa pasewakan itu. Tidak lain untuk membahas perang dengan Mataram yang sudah di ambang pintu.

BERSAMBUNG
close