Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KHIANAT SEORANG ISTRI


Seminggu sesudah perang dengan tentara Pajang di Prambanan. Rindunya terhadap istrinya membuat dia begitu selesai memberi laporan kepada Ki Juru Mertani, cepat-cepat kembali ke tempat kediamannya. Rana Wulung membedal kuda coklatnya pulang ke rumah. Demikian cepat lari kudanya hingga hanya bayangan baju hitamnya saja yang terlihat. Dalam waktu yang singkat orang ini telah mencapai depan gerbang regol rumahnya. Dua prajurit yang berjaga di pintu menunduk hormat lalu buru-buru membuka regol. Rana Wulung turun dari punggung kudanya.

"Prajurit tolong bawa kuda ku ke kandang. Jangan lupa beri makan yang banyak dan jamu. Tenaganya telah habis terpakai kemarin waktu perang dengan orang-orang Pajang!"

"Baik, gusti..akan hamba laksanakan."

Prajurit itu lantas menuntun kuda coklat milik Rana Wulung ke arah kandang.

"Nimas Sri Tanjung, aku datang!"

Suara seruannya yang keras menggetarkan seantero tempat hanya disahuti oleh gema seruan itu sendiri.

"Heran, kenapa sepi-sepi saja." membatin orang ini.

Rana Wulung lantas menuju ke kamar pribadinya. Dia hendak mengetuk pintu tatkala telinganya mendengar dengus nafas memburu dan menggebu-gebu dari dalam kamar. Suara seorang lelaki. Ditimpali suara tertawa dan merintih seorang perempuan.

"Sri Tanjung...."

Rana Wulung wajahnya merah padam, giginya gemeretakan menahan amarah. Tanpa menunggu lama lagi di tendangnya pintu kamarnya itu.

Brakkkk!!

Pintu kamar terbuka dengan paksa. Di sebuah ranjang terlihat Sri Tanjung tengah telanjang. Di atasnya seorang pemuda yang mungkin umurnya lebih muda dari dirinya tengah berpacu dalam kemesraan. Pemuda ini bukan lain adalah salah seorang pengawal di rumah menantunya, jadi masih merupakan anak buahnya sendiri. Gelaplah pemandangan Rana Wulung. Keris Kelabang Sewu segera dihunusnya.

Sri Tanjung Cumiik sewaktu mendengar suara hancurnya pintu kamar dan seorang laki-laki berpakaian hitam tengah berdiri tegak menghunus keris! Selagi ada kesempatan perempuan ini cepat-cepat menarik seperai tempat tidur dan menutupi tubuhnya.
Si pemuda tadi tidak kalah terkejut. Birahinya yang berkobar sirna sudah. Berganti dengan ketakutan. Segera menjatuhkan dirinya ke samping. Lalu menutup tubuhnya yang telanjang dengan selimut. Majahnya pucat. Rana Wulung menggembor marah. Seta merta di melompat ke arah pemuda yang tampak ketakutan meringkuk di ranjang. Keris Kelabang Sewu siap ditikamkan.

Sri Tanjung berteriak mencoba menghalangi. Rana Wulung menghentikan serangannya. Di cekal pergelangan tangan istrinya lalu di bantingkannya ke bawah. Tubuh Sri Tanjung terbanting ke lantai.

"Istri sundal !"

Cuih..

Rana Wulung meludahi tubuh istrinya yang masih terkapar di lantai.

"Wuuttt...!"

Sebilah keris sudah menyerang dengan hebat di leher pemuda yang masih meringkuk di ranjang!
Terdengar pekik si pemuda. Tubuhnya terhempas membentur tembok. Lehernya sobek menganga lebar. Darah muncrat membasahi ranjang. Suara pemuda itu terdengar seperti sapi yang di gorok oleh jagal. Matanya membeliak mengerikan. Tak lama kemudian kepalanya terkulai. Mati seketika.

Rana Wulung tampaknya masih kurang puas. Tubuh pemuda yang sudah tidak bernyawa itu di tikam dengan keris Kelabang Sewu. Menyusul tikaman yang kedua, ketiga... keempat dan seterusnya hingga sekujur tubuh pemuda itu laksana daging cincang, lumat. Ranjang putih itu telah berganti warna menjadi merah! Untuk kesakian kalinya terdengar jeritan ngeri Sri Tanjung. Perempuan ini menagis tersedu-sedu di lantai.
Rana Wulung masih akan terus menusuki tubuh pemuda yang sudah tak bernyawa itu jika seandainya saat itu lima orang prajurit dan empat orang senopati Mataram tidak masuk menyerbu ke dalam kamar dan memeganginya!

"Lepaskan aku! Lepaskan!" teriak Rana Wulung menggeledak.

"pramuria itu juga harus mampus! Harus mampus!"

Tapi seorang Senopati berhasil merampas keris Kelabang Sewu hingga kejap itu lenyaplah kekuatan yang ada di diri Rana Wulung. Seorang senopati Mataram lain segera menahan tubuhnya sementara Sri Tanjung sendiri sudah melarikan diri dari kamar itu sambil membawa Sri Gading anaknya yang berusia tiga tahun! Apa yang telah terjadi itu menghebohkan seluruh Mataram.
Sesudah mengalami peristiwa tempo hari itu. Rana Wulung menderita luka batin yang amat mendalam terutama dikarenakan pada istrinya sejak kejadian itu tidak diketahui kemana perginya.

***

Dan kepergiannya itu membawa serta anak perempuan yang amat dikasihi. Demikian hebatnya penderitaan batin yang menimpa senopati Mataram itu hingga sepanjang hari dia mengurung diri di dalam kamar dan menangis tiada henti. Kedua matanya telah bengkak dan sembab. Pipinya telah cekung. Karena dia tak mau makan dan tak mau minum selama beberapa hari maka keadaan tubuhnya pun makin lama makin kurus!

Rana Wulung terlihat duduk di pojok ruangan. Rambutnya yang panjang awut-awutan. Pakaian yang dikenakan pun dekil dan menghamburkan aroma apak. Melihatnya sekarang seperti melihat gembel di jalanan. Makanan yang minuman di meja masih utuh sama sekali belum tersentuh. Beberapa buah malah sudah terlihat layu diambang busuk. Mata senopati Mataram ini terpejam. Tiba-tiba terdengar suara..

"Rana...Rana Wulung buka matamu Ngger"

Perlahan Rana Wulung membuka matanya. Alangkah terkejutnya tatkala di depannya telah berdiri seorang kakek tua. Laki-laki tua ini mengenakan kain serba putih. Hanya berdiri berjarak sekitar dua langkah di depannya. Janggutnya yang putih panjang hampir menyentuh dada. Orang tua ini memandang sayu seperti ada rasa kasihan yang teramat sangat di mata orang tua ini.

"Eyang Empu Wanabaya...."

Rana Wulung seperti tercekat

"Iya, aku Wanabaya Rana. Aku sengaja ingin menjengukmu. Di alam sana aku melihatmu menderita. Hatiku tidak tega. Terlepas dengan perbuatan nista yang telah kau lakukan kepadaku. Kau adalah anakku, anak yang telah ku besarkan sedari kecil di lereng Gunung Merapi"

"Eyang...." bibir Rana Wulung tergetar

Lalu lelaki ini menjatuhkan diri, bersujud di bawah kaki Empu Wanabaya. Menangis meraung-raung seperti layaknya anak kecil.

"Saya memang tidak tahu balas budi Eyang. Saya telah melakukan perbuatan nista dan berlumur dosa. Saya tahu semua yang menimpa saya selama ini adalah akibat dari perbuatan saya di masa lampau. Mijit wohing ranti, semua yang dilakukan baik ataupun buruk suatu saat pasti akan menerima balasannya “

Rana Wulung masih menangis sesenggukan.

"Aku menyesal Rana..aku menyesal"

Mata Empu Wanabaya berkaca-kaca.

"Sebagai orang tua aku telah gagal mendidikmu. Dan pada akhirnya aku menerima balasannya karena telah gagal mendidik mu. Telah gagal mengajarimu menahan hawa nafsu"

"Eyang Empu tidak gagal mendidik saya. Hanya saja saya yang memang bebal dan tidak mau berpikir panjang. Menuruti nafsu dan bisikan iblis yang senantiasa terngiang-ngiang di kedua telinga saya"

"Aku tidak bisa berlama-lama Rana. Semua telah terjadi dan kau musti menerima akibat dari perbuatanmu. Sumpah telah terucap. Sang Kuasa telah mencatat dalam buku nasib dan kita hanya bisa pasrah menjalani. Aku harus pergi dulu anak ku...”

Perlahan-lahan sosok Empu Wanabaya mengabur, mengabur dan lama-lama bayangannya lenyap. Rana Wulung terhenyak dari tempat duduknya. Matanya terbuka membelalak menyapu di sudut-sudut ruangan. Akan tetapi, yang dicarinya sama sekali tidak di ketemukan.

"Eyang Empu..Eyang Empu..."

Rana Wulung berkali-kali memanggil Empu Wanabaya. Tetapi, tidak ada sahutan sepatah pun. Lelaki ini lalu kembali menyandarkan punggungnya di tembok.

"Ternyata Empu Wanabaya menemui ku di dalam mimpi. Jelas sudah ini semua akibat dari perbuatan ku di malam itu. Sumpah dan serapah serta kutukan itu telah menghukumku"

"Aku tidak ingin berakhir seperti ini. Aku harus mengakhirinya. Secepatnya aku akan ke lereng Merapi. Mengurus jasad yang telah bertahun-tahun aku terlantarkan. Aku memang orang durjana dan penuh dosa"

Rana Wulung kembali menangis. Air matanya keluar tercurah bagai anak sungai membasahi pipinya yang cekung bagai tengkorak hidup.

***

Wiro Sentana berdiri termangu di depan pintu kamar Rana Wulung yang tertutup. Ragu-ragu orang tua ini ingin mengetuk pintu di depannya, beberapa waktu lamanya hanya berdiam terpaku. Orang tua ini masih teringat tempo hari saat dia memaksa untuk berbicara dengan Rana Wulung. Menantunya itu tiba -tiba mencabut keris Kelabang Sewu dan memburunya karena di mata Rana Wulung ini mertuanya tadi kelihatannya adalah pemuda yang telah tidur bersama istrinya dan yang telah dibunuhnya itu!

Tangan mertua Rana Wulung itu sudah akan terayun untuk mengetuk pintu. Tatkala terdengar suara langkah kaki dari dalam. Dan..... pintu terbuka. Sosok kurus kering dengan rambut awut-awutan itu berdiri di balik pintu. Tercekat hati Wiro Sentana melihat pemandangan ini. Dahulu Rana Wulung seorang lelaki yang tegap dan tampan. Sekarang wujudnya lebih menyerupai mayat hidup.

"Romo....."

Rana Wulung berkata lirih lebih tepatnya berbisik.

"Iya, Rana...."

Wiro Sentana menjawab sedikit gagu.Hatinya masih diliputi kecemasan pada anak menantunya itu

"Besok pagi saya akan pergi ke lereng Merapi. Ada urusan yang msuti saya selesaikan. Selepas itu jika masih ada umur panjang saya akan mencari istri dan anak saya"

"Apakah kau sudah sehat benar Rana? Tunggulah sampai keadaan tubuh mu kuat seperti sedia kala. Soal Sri Tanjung Romo sudah memerintahkan beberapa prajurit untuk mencarinya"

"Tidak Romo, soal istri dan anak saya itu menjadi tanggung jawab saya sepenuhnya. Besok saya akan mencari mereka. Akan saya aduk-aduk Pulau Jawa ini untuk menemukan keluarga saya"

Wiro Sentana hanya mengangguk pasrah dengan semua yang dikatakan oleh menantunya itu.

"Baiklah kalau begitu, aku tidak bisa menahan apalagi menghalangi keinginan mu. Aku sebagi orang tua hanya bisa mendoakan yang terbaik bagi anak-anakku"

"Terimakasih Romo. Saya akan kembali beristirahat. Besok pagi-pagi benar saya sudah harus meninggalkan Mataram"

Tanpa menunggu persetujuan Wiro Sentana, Rana Wulung kembali masuk ke dalam kamar lalu menutup pintunya rapat-rapat. Tubuh kurus itu telah rebah di atas ranjang. Tidak lama kemudian matanya telah terpejam lelap.

BERSAMBUNG
close