Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LARANTUKA PENDEKAR CACAT PEMBASMI IBLIS (Part 5) - Iblis Pedang Merah Darah


Segores Darah  memutus Urat
Dua Gores Darah menebas Tulang
Purnama bergelimang darah

***

Syair itu terngiang ditelinga Jagadnata. Syair yang menggidikkan dan pernah menghantui dunia persilatan lima puluh tahun yang lalu. Berkenaan dengan seorang iblis jago pedang dari kalangan hitam. Iblis itu menyandang sebilah pedang serba merah seperti pemuda yang ada dihadapannya saat ini.

Saat itu telah banyak jatuh korban jiwa dari kalangan pendekar maupun pertapa yang mencoba berduel dengan iblis tersebut.

Mereka menjulukinya iblis Pedang Merah Darah karena ujung pedang merahnya selalu terselimuti Darah para perdekar yang tewas mengenaskan.

***

Huekkk...

Larantuka terhuyung mundur lima langkah, darah segar muncrat dari mulutnya membasahi tanah! Pukulan jarak jauh dari Jagadnata tadi disertai tenaga dalam yang dahsyat sehingga mengaduk semua isi dalam perutnya.

Candika terkejut, walaupun latar belakang pria masih misterius baginya, ia telah menolong gadis ayu berbaju biru itu dari jeratan kematian. Tanpa bantuan Larantuka mungkin ia sudah lumat gada Raksasa Buto Ijo. Kini tiba-tiba gurunya memukul jatuh si pemuda.

Candini memohon "Guru, mohon ampun. Bagaimanapun juga  Pemuda ini yang menyelamatkan jiwa kami dari serangan iblis Buto Ijo. Mengapa guru memukulnya dengan pukulan Memetik Angin?"

Jagadnata mendengus, "Hmm menerima satu pukulanku saja tidak sanggup. Mana mungkin dia bisa menaklukan raksasa buto ijo? Apa raksasa itu masih bayi sehingga gampang dikalahkan?"

"Betul sekali, bangsa siluman perlu bertapa ratusan bahkan ribuan tahun untuk tiwikrama menjadi raksasa. Bukan main-main kekuatannya, butuh ratusan orang untuk menaklukan. Aku curiga jangan-jangan dia adalah salah satu komplotan mereka." sambung Adipati Menggala, "Pengawal cepat ringkus pemuda ini! Ambil pedang merah yang ada dipinggangnya." 

Tiga orang berbadan kekar langsung keluar dari barisan dan mencengkram kedua tangan Larantuka di kiri dan kanan. Sementara seorang lagi melepas pedang yang melingkar di pinggang pemuda itu. 

Larantuka diam pasrah tidak melawan, matanya seperti terpejam. 

"Ampun Guru, mengapa sikap Guru berubah drastis seperti ini? apa salah pemuda ini?" tanya Candini seraya bersimpuh di depan gurunya. 

"Sebagai pendekar, kau jangan terlalu polos Candini, bangunlah atau ku hukum karena membela orang asing" tegur panglima sambil memberi isyarat pada prajurit. 

Prajurit tersebut langsung mengangsurkan pedang dengan hormat. 

Jagadnata menerima pedang tersebut dari tangan prajurit. Wajahnya mengernyit tajam memandangi selongsong pedang yang berwarna merah menyala itu. Ada aura dingin menjalar saat pedang itu dalam genggaman.

"Jika aku tidak salah lihat. Ini adalah pedang iblis yang dulu benar-benar mengguncang alam lelembut. Pedang terkutuk yang merenggut banyak nyawa pendekar putih"

Wajah kembar bersaudari itu menjadi pucat pasi. 

"Coba kau periksa"

Jagadnata melempar pedang itu ke adipati Menggala. Pemuda kurus berkulit putih itu dengan sigap menangkapnya. Ia memutar-mutar pedang itu lalu melempar kecil ke udara. 

"Pedang bagus, panjangnya dua hasta. Beratnya dua kati. Tapi jika tidak lihat dalamnya, bisa jadi pedang palsu. Cuma buat gagah-gagahan" seru Adipati Menggala. 

Ia lalu melolos sedikit pedang itu dari warangkanya. Terlihat mata pedang tajam berwarna merah darah. Kilauan logam sempat menyilaukan Menggala. 

Mendadak tubuhnya berguncang hebat. Ia merasa seluruh aliran darahnya berpacu tanpa henti menuju ke gagang pedang, begitu pula tenaga dalamnya seperti tersedot ke dalam sebuah pusaran.

Ia tak mampu melepas pedang iblis itu!

"Ce-celaka kakang!" ujar Menggala sambil menggigil. 

Mendadak kotak hitam dipunggung Menggala bergemeretak kencang. Adipati itu merasakan kekuatan lain menerjang dari belakang punggungnya. Benturan Kedua kekuatan dalam tubuh tadi membuat tolakan yang dahsyat sehingga ia jatuh terjengkang dari kuda dan memakan kepulan debu. 

Pedang itu terlempar kembali ke tangan Jagadnata. Namun kali ini Panglima perang itu tidak gegabah membuka pedang. 

"Bukan main, tak kusangka menemukan pedang mustika lain di hutan ini" gumannya heran sambil melinting kumisnya yang tebal. 

"Sebaiknya kau tidak menyepelekan pedang itu kakang. Auranya sangat dahsyat dan mungkin setanding dengan pedang Pusaka Matahari. Tenagaku seperti terkuras" sahut Menggala kepayahan sambil berusaha naik kembali kekuda. 

Jagadnata melirik tajam Larantuka. 

"Siapa namamu anak muda, darimana kau berasal? Apakah kau benih dari iblis merah darah?" selidik Jagadnata. 

Namun Larantuka hanya diam membisu tak mau menjawab.

"Jawab sialan!" seru Menggala. 

Ia masih marah karena dipecundangi pedang pemuda di depannya itu. Lalu adipati mengeluarkan cemeti berwarna perak dari balik bajunya dan mulai mencambuk Larantuka. 

Ctarr...

Lima sabetan menghujam dada Larantuka. Darah segar mulai merembes di baju dadanya. Tapi pemuda itu selalu membisu tidak mengerang sedikitpun, membuat semua orang keheranan.

Prajurit mulai berkasak kusuk mengatakan pemuda itu mungkin sudah gila atau tidak waras.

"Maaf Guru. Adipati Menggala, waktu kita tidak banyak untuk mengurus orang ini. Siang ini kita harus sampai ke desa" sahut Candini berusaha menyelamatkan pria itu.

Adipati Menggala mengirim isyarat ke Jendral jagadnata. Pria paruh baya itu mengangguk setuju. Akhirnya karena tak mau menunda waktu lebih lama lagi. Pasukan itu melanjutkan perjalanan menuju Desa Bakor. Candika masuk ke dalam tandu kereta bekal makanan yang ada di bagian belakang pasukan. 

Ia beristirahat untuk merawat luka sobek akibat serpihan kayu di kaki.

"Bagaimana keadaan kakimu Candika?" tanya adipati Menggala dalam kereta. 

"Sudah lebih baik tuan Adipati. Obat dari tabib kerajaan sungguh mujarab. Sebentar lagi mungkin aku sudah bisa berjalan"
"Bagus, sekarang coba ceritakan informasi apa saja yang sudah engkau dapatkan?"

Candika kemudian menjelaskan pertarungan mereka dengan iblis kemamang dan iblis raksasa buto ijo. Serta pertemuan mereka dengan Larantuka. 

Adipati Menggala berdecak keheranan, "bukan main, biasanya iblis kemamang hanya ada di daerah perairan atau sungai-sungai. Dan mereka akan menyesatkan jiwa orang yang naas. Apalagi buto ijo. Biasanya hanya ada di puncak gunung yang terdalam. Sangat susah untuk dijumpai. Apakah benar-benar yang kau temui adalah raksasa itu?" 

"Betul adipati, iblis itu berdiri setinggi pucuk pohon cemara. Setiap ayunan senjatanya seperti angin puyuh yang bisa menerbangkan seisi hutan. Ini membuktikan bahwa kekuatan Ratu Gondo Mayit bukanlah seperti iblis sembarangan, buktinya Ia mampu memerintahkan para makhluk itu untuk berbuat onar" terang Candika dengan napas memburu.
"Aku tahu kekuatan guru sangat dahsyat tapi setidaknya kita butuh satu orang lagi setingkat guru untuk mengalahkan ratu demit itu, apalagi kami hanya berhasil memeriksa lingkar luar hutan Tumpasan. Belum penghuni bagian dalamnya"

Adipati Menggala menggeleng pelan, "Kau tidak perlu khawatir. Istana menyertakan satu mustika bersama kami. Kekuatannya setara dua orang jenderal digabung sekaligus!" 

Candika berseru kegirangan. "Adipati maksud pedang Pusaka Matahari? Istana mau meminjamkannya? Dengan pinjaman pedang ini,  sekali tebas pasti pasukan iblis akan porak poranda" 

"Betul Candika, hanya saja aku berharap tidak ada lagi yang memiliki pedang mustika dari kalangan musuh" ujar Menggala, seraya menyibak sedikit tirai jendela kereta itu untuk membiarkan cahaya matahari menyorot masuk ke dalam kereta. 

Mata Menggala hinggap pada sosok yang sedang berjalan dengan tangan terikat pada tali yang ditarik oleh kuda. 

Larantuka dipaksa berjalan dibarisan paling belakang dengan pengawasan Candini dari atas kuda.

"Seharusnya kau dengan mudah bisa menghindari pukulan tadi dan kabur" bisik Candini diantara suara derap kuda.

Namun Larantuka masih diam bergeming.

"Apakah kau berniat buruk pada pasukan ini, aku tahu kau sebenarnya mempunyai kemampuan tinggi. Kau cuma pura-pura saja ditangkap. Awas,  Aku tidak akan memaafkanmu bila itu terjadi!" ancam wanita itu. 

Larantuka melirik Candini, "Aku tidak akan mencelakakan nyawa tak berdosa. Tujuanku hanya satu..."

"Apa itu?" tanya Candini penasaran. 
"Membunuh iblis sampai tak bersisa, menghancurkan semua warisan mereka supaya tak ada manusia yang tersesat" tegasnya dengan mata berkilat.

"Oh begitukah"

Dalam hati Candini merasa lega karena Larantuka menjawab beberapa pertanyaannya, itu artinya dia bukanlah orang tidak waras. Pemuda ini memiliki misi yang luhur seperti pendekar aliran putih lainnya. Namun mengapa ia terlihat memakai pedang aliran hitam seperti tuduhan gurunya?

Ah Candini tidak perduli, selama pria itu memperjuangkan kebenaran itu adalah prinsip utama. Diluar sana banyak juga yang mengaku pendekar, tetapi tingkah kelakuannya tidak lebih bejat daripada iblis. 

Pria ini jelas ribuan kali lebih baik daripada mereka. 

Tanpa disadari Candini pelan-pelan timbul rasa kagum wanita berbaju kuning itu dengan pemuda rupawan yang ada di sampingnya itu.
"Siapa namamu?"

"Larantuka"

"Dimana orang tuamu?"
"Aku tak punya orang tua, aku dibesarkan sebatang kara oleh guruku sedari kecil"

"Oh maafkan aku, Siapa nama gurumu?"

"Dia tidak bernama dan tidak punya julukan, kau tak kan kenal" elak Larantuka enggan membicarakannya. 

"Tidak mungkin! jurusmu sungguh mematikan dan sangat sakti, mungkin kau tak tahu kalau dia adalah seorang pertapa terkenal" seru Candini.

Larantuka menggeleng, "dia tidak lebih hebat dari iblis pedang Merah Darah"

Mata Candini membulat, "kau bisa membunuhnya? bagaimana caranya ceritakan padaku" 

Larantuka menggeleng pedih, ada kenyataan kelam yang mengorek ingatan masa lalunya.

"Entahlah, mungkin aku beruntung saat itu... sangat beruntung"

***

Murni mengendap dari kamarnya menuju kebun belakang. Ia sudah bosan seharian disekap terus oleh orang tuanya. Tidak boleh kemana-mana. Tekadnya sudah bulat ingin berkunjung ke rumah seseorang, bukan Tarsih teman dekatnya melainkan ke rumah Mbah Rejan, orang sepuh dan buta yang konon pernah melihat sendiri muka Kanjeng Ratu Nyi Gondo Mayit.

Dengan mengendap ia melewati penjagaan ayahnya di ruang depan. Di dapur ia membungkus bekal makanan. Melewati pintu belakang ada ibunya tengah memetik pucuk daun singkong. Untungnya pohon paria yang tumbuh menjalar di para-para menutupi segala gerak-gerik wanita belia itu dari pandangan Sarpini.

Didekat kebun jagung ia berpapasan dengan beberapa warga desa. 

"Mau kemana Murni?" tanya seorang ibu muda. 

"Mmm A-anu mau ke sungai bu" sahut Murni berbohong. 

"Ke sungai? buat apa Murni?" selidik wanita itu. 

Murni berkeringat dingin, "cuma mandi sebentar bu, menghilangkan daki yang sudah menggunung" 

Wanita itu terdiam sejenak membuat gadis itu semakin salah tingkah. 

"Hati-hati Murni, kau harus jaga diri karena... " wanita itu tak jadi meneruskan. Matanya memandang Murni dengan tatapan aneh. 

Murni sudah tahu kelanjutannya, ya dia adalah calon tumbal kembar. Pengganti jagal darah atas nyawa penduduk desa. Dirinya harus selamat sampai dia akan ditumbalkan nanti. 

"Pareng, bu" gadis itu segera menyingkir dari pandangan. 

Murni bergegas mempercepat langkah kaki menyusuri jalan kerikil yang berdebu. Ia merasa was-was bila ada pasang mata yang mengintai kepergiannya diantara pepohonan dan batang jagung yang berbaris. 

Kakinya yang mungil beberapa kali tersengat batu kerikil yang tajam namun ia tak perduli, Murni semakin jauh menuju ke arah pinggir desa. Setelah melewati kebun tanaman kol dan mentimun yang sudah tak terawat ia tiba di pekarangan yang ditumbuhi rerimbunan pohon kopi. Terlihat rumah hampir rubuh beratapkan daun rumbia.

Sudah lama ia tidak melihat Mbah Rejan, mungkin sudah bertahun-tahun. 

"Mbah... mbah Rejan?" teriak Murni.

Namun tak ada jawaban. Terpaksa anak muda itu melongok kedalam rumah beralas tanah itu. Pintu kayu yang sudah keropos dimakan rayap itu dengan mudah Murni buka. Di ruang tamu tak ada apapun selain tikar kumal dari pandan. Ia segera menuju ke arah dapur yang perkakas nya berantakan dan kotor. Tapi tak ada siapapun.

"Sopo kowe Cah Ayu?"

Murni terperanjat saat pundak ditepuk tangan kering kerontang. Ternyata Mbah Rejan dari balik bilik kamar sudah berdiri di belakangnya.

"A-aku Murni Mbah, anak Sarpini!" seru Murni, belum hilang rasa terkejutnya.

"Oalah anak Sarpini to, sudah lama tidak ada yang berkunjung ke rumah Mbah. Ayo duduk Cah Ayu" sahut Mbah Rejan.

Lelaki tua itu hanya bertelanjang dada, dengan berkain sarung yang robek sana sini. Matanya yang buta nampak penuh daki. Giginya yang ompong terkadang komat-kamit tidak jelas. Membuat Murni sedikit ngeri. Tertatih menggenggam tongkat kayu Santigi si Kakek kemudian mengambil dingklik (kursi kecil), sementara Murni duduk beralas tikar.

"Sekarang katakan keperluanmu Cah Ayu, maaf tidak ada hidangan apa-apa. Mbah belum mencabut ubi dibelakang rumah" sahutnya terbatuk-batuk.

"Ndak apa-apa Mbah, Justru Murni yang mengganggu istirahat Mbah. Murni membawakan jagung rebus buat Mbah" sahut Murni berbasa-basi sambil menjulurkan keranjang berisi beberapa potong jagung rebus yang ia bawa dari rumah.

Kakek tua itu terkekeh kegirangan mencium wangi jagung rebus, dengan susah payah ia menguliti jagung itu dan memakannya seperti berhari-hari tidak makan. Membuat Murni menjadi kasihan.

"Mbah, maaf nuwun sewu. Kedatangan Murni kemari, cuma mau bertanya sedikit" sahut Murni hati-hati.

"Cepat tanya nduk, Mbah pasti akan jawab" sahut Mbah Rejan dengan mulut penuh gerontol jagung.


"Ini Mbah, Murni ingin tahu tentang Nyi... Nyi Gondo Mayit. Seperti apa orangnya?"

Sontak raut muka orang tua itu berubah menjadi masam. Jagung yang belum habis ia letakkan kembali dikeranjang.

Napas si Mbah menjadi tak beraturan. 

"Keluar kamu! kurang ajar mau mempermainkan orang tua hah?" hardik Mbah Rejan tiba-tiba.

Paras Murni berubah pucat, dengan keringat bercucuran. 

"Tidak Mbah, Murni benar-benar ingin tahu, tidak ada maksud lain"

"Bocah gendeng, Nyi Gondo Mayit bukan buat mainan anak ingusan macam kamu! bisa-bisa nyawa orang akan banyak melayang. Cepat pergi!" usir Mbah Rejan penuh amarah. Tangannya yang renta mengarah pintu keluar. 

"Se-sedikit saja Mbah Murni mohon" sahut gadis itu terisak. 

"Keluar!"

Murni semakin ketakutan melihat wajah kakek itu yang berubah menyeramkan, ia segera menghambur ke pintu.

Sebelum keluar ia berkata kepada kakek itu dari balik pintu, "Maaf Mbah, Murni cuma mau selamat dari nasib Murni sebagai Tumbal Kembar. Murni mau hidup" 

Lelaki tua itu tertegun mendengar penuturan Murni. 

Tumbal kembar? Gadis itu? Kata-kata Murni  mengorek ingatan yang sudah lama ia pendam. 

Rupanya ada malapetaka lain yang ingin disampaikan bocah perempuan itu.

Kakek tua itu segera bangkit dari duduknya, ia memanggil-manggil Murni seperti kesetanan. 

Gadis itu pun segera kembali ke dalam gubuk mendengar teriakan Mbah Rejan. 

"Oalah, rupanya kamu jadi tumbal kembar nduk. Kemarilah" sahut Mbah Rejan dengan nada melunak.

Murni pelan-pelan kembali ke posisi semula. Wajah Kakek renta itu tidak semerah tadi. Rupanya ia sudah memahami asal mula kekhawatiran Murni. 

Mbah Rejan terpekur sejenak mencoba mengingat sesuatu. 

"Kalau tidak salah anak Sarpini sudah pernah menjadi tumbal sekali. Lalu kenapa kamu jadi tumbal juga nduk?"

Dengan kepala menunduk Murni menceritakan kenapa ia menjadi tumbal pengganti. Serta rencana Sasrobahu untuk menyudahi ritual berdarah itu.

Kakek tua itu manggut manggut, sesekali meremas jemari mendengar penuturan Murni. Lalu ia menepuk keras-keras pahanya sehingga mengagetkan Murni.

"Sembarangan, Ngawur arek enom iku! berani beraninya melawan kehendak Kanjeng Ratu seperti itu." keluh Kakek itu.

"Menurut Mbah apakah rencana Sasrobahu itu akan berhasil?"

Kakek itu memandang tepat ke wajah Murni. Matanya yang buta seperti bisa melihat menembus kulit. Membuat Murni begidik.

"Kesaktian Kanjeng Ratu tidak terbayang. Dia Abadi Cah ayu" sahut Mbah Rejan sambil berbisik, seperti takut akan kedengaran orang.

"Ba-bagaimana Mbah Rejan bisa bertatap muka?"

Kakek tua itu menghela napas panjang.

"Waktu itu bulan purnama sempurna Nduk. Kami bergegas pulang setelah meninggalkan tumbal di meja persembahan. Mbah waktu itu sangat berat hati karena kedua tumbal itu adalah anak tetangga Mbah yang sering ku gendong. Tak ikhlas rasanya bila mereka yang tidak beruntung harus dikorbankan. Tak berapa lama masuk ke dalam hutan, kami mendengar jeritan anak-anak yang menyayat hati. Nuraniku tidak sanggup lagi mendengarnya karena itulah Mbah hentikan langkah kaki. Meninggalkan kawanan penduduk lainya. Aku nekat berbalik arah kembali ke tempat ritual untuk mengintip melihat apa yang terjadi."

"Apa yang terjadi selanjutnya Mbah?" tanya Murni penasaran. 

Mbah Rejan semakin mengecilkan suaranya. "Kengerian Cah Ayu. Seluruh lapangan seperti bermandikan darah. Rumput getah getih seperti menyala merah darah. Bergerak-gerak seperti mempunyai jiwa. Dan ditengah-tengah ada..." 
"Kanjeng Ratu?"

Mbah Rejan menggeleng. 

"Aku tidak tahu siapa dia, sesosok wanita muda berpakaian serba merah. Ia Menatap tajam kearahku. Sepersekian detik aku merasa nyawaku bisa melayang kapan saja karena aku sudah lancang melihat ritualnya. Oleh karena itu, secara reflek jemari tanganku mengorek mataku sendiri. 

Napas Murni tertahan. Terasa kesakitan yang amat sangat dari kakek itu di masa lalu. 

"Kemudian aku hanya mendengar suara senandung dari gadis kecil itu. Tawanya terdengar begitu kencang mengerikan lalu menghilang begitu saja."

Gadis itu bertanya dengan harap cemas. "Lantas apakah Mbah Rejan tahu kelemahan dari Kanjeng Ratu?" 

Lelaki tua itu menjawab, "Sepanjang usiaku, aku tidak pernah mengetahui bila Kanjeng Ratu memiliki kelemahan" 

Murni menunduk lemas. 

"Jika aku tidak tahu,  mungkin dia lebih tahu, kau bisa bertanya kepadanya"

"Siapa Mbah? Bukannya Mbah sendiri yang paling tua didesa ini?"

Mah Rejan menyeringai mendengar pertanyaan Murni.

BERSAMBUNG
close