Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

WIDARPA DAYU SAMBARA (Part 5 END) - Jagad Segoro Demit

“Kulo Nuwun... Permisi” Terdengar suara seorang pria mengetuk kediaman Nyai Suratmi.
Nyai Suratmi mengintip lewat jendela dan segera membukakan pintu untuk seseorang yang sangat ia kenal itu.

“Yang Mulia... silahkan masuk, mohon maaf saya tidak mempersiapkan kedatangan Yang Mulia” Ucap Nyai Suratmi yang kaget melihat kedatangan Prabu Arya yang hanya datang sendirian dengan pakaian layaknya rakyat biasa.

“Sudah-sudah.. panggil Prabu Arya sudah cukup” Ucap Prabu Arya yang segera memasuki rumah Nyai Suratmi.

“Baik Prabu.. silahkan duduk, tapi Patih Widarpa saat ini sedang tidak ada di rumah...” Jelas Nyai Suratmi.

“Saya sudah tau... dia pasti sedang kembali ke kerajaan lagi kan?” Tanya Prabu Arya pada Nyai Suratmi yang memang sudah berusaha menyembunyikan apa yang Patih Widarpa lakukan.

“Mohon maaf Prabu.. rupanya prabu sudah tau, Dayu yang bilang ke saya untuk merahasiakan ini, takut Prabu Arya khawatir...” Nyai Suratmi mencoba menjelaskan.


JEJAKMISTERI - Walaupun sudah menikah dengan Nyai Suratmi dan memiliki seorang anak laki-laki Patih Widarpa masih memilih untuk memperjuangkan kerajaan Darmawijaya yang saat ini direbutkan oleh kedua Patih.

“Mohon maaf bila saya lancang... lantas ada keperluan apa sampai Prabu Arya repot-repot ke tempat kami..” Tanya Nyai Suratmi.

Prabu Arya menaikkan kotak kayu dengan ukiran kuno yang sedari tadi ia bawa ke atas meja.

“Saya belum sempat memberikan hadiah atas pernikahan dan kelahiran putra pertama kalian... sampaikan pada Widarpa, tolong terima hadiah saya ini...” Ucap Prabu Arya kepada Nyai Suratmi.

Nyai Suratmi membuka kotak yang diberikan oleh Prabu Arya, terlihat dengan jelas benda yang diberikan itu merupakan barang yang sangat berharga.. Persis seperti yang dibawa prajurit kerajaan bernama Sadewo saat menyelamatkan raja.

“Yang Mulia..  maksud saya.. Prabu Arya... ini terlalu berharga, saya yakin Dayupun tidak berani menerima ini” Ucap Nyai Suratmi yang mencoba mengembalikan Keris Ragasukma yang tersusun rapi sebuah kotak.

“Saya tau... Widarpa tidak mungkin menerima ini, makanya saya datang kepada Nyai Suratmi. Saya ingin keris Ragasukma ini hanya dimiliki turun-temurun oleh keturunan Sambara” Jelas Prabu Arya.

Nyai Suratmi mulai mengerti maksud Prabu Arya. Tidak mungkin lagi Nyai Suratmi untuk menolak perintah sesakral ini dari seorang raja yang sangat dikagumi oleh suaminya.
Prabu Aryapun lega ketika Nyai Suratmi bersedia menerima pemberianya itu.

“Jika tidak keberatan.. apa saya boleh melihat anak kalian?” Lanjut Prabu Arya.

“Tentu... tentu saja boleh, saya sangat merasa terhormat” Ucap Nyai Suratmi yang segera masuk ke dalam kamar dan segera kembali dengan membawa sesosok bayi mungil di gendonganya.

Wajah Prabu Arya terlihat tersenyum bahagia melihat seorang bayi yang tertidur pulas dipelukan ibunya. Tekadnya semakin bulat untuk menyelamatkan rakyatnya terutama keluarga dari pengikutnya yang setia Patih Widarpa.

“Siapa nama anak ini?” Tanya Prabu Arya.

“Katanya Dayu tidak mau dipusingkan memikirkan nama ana ini, Ia menyuruh saya yang menamakan.. jadi saya menamainya Putra Sambara...” Jawab Nyai Suratmi yang jelas menunjukan kebangganya terhadap suaminya dalam nama anaknya.

“Hahaha... Nama yang bagus! Memang dasar Widarpa... kalau gitu, jika saya diijinkan apa saya boleh memberikan nama pada anak ini?” Ucap Prabu Arya masih dengan tawanya.

Nyai Suratmi terlihat senang, ia mengangkat anaknya lebih tinggi agar lebih jelas dilihat oleh Prabu Arya.

“Dengan senang hati prabu... suatu kehormatan untuk kami” Balas Nyai Suratmi.

“Ayahnya adalah orang yang hebat... tidak haus kekuasaan dan berbudi baik.. Aku memberi restu pada nama anak ini.. Daryana Putra Sambara..”

Seperti tidak mampu menahan rasa bahagianya, Nyai Suratmi menitikan air mata haru bahkan hingga Prabu Arya menyelesaikan urusanya di rumah itu dan kembali untuk melanjutkan tujuanya.

***

“Dinda... masak apa kamu hari ini?” Ucap Widarpa yang baru saja kembari dari urusanya di kerajaan.

“Halah sok manggil Dinda... pasti ada maunya...” Jawab Nyai Suratmi yang malu-malu mendengar godaan suaminya itu.

“Haha... sudah jelas yang kakanda inginkan masakan yang dimasak oleh bidadari yang turun ke pasar” Goda Widarpa yang selalu bisa membuat Nyai Suratmi tersenyum.

Widarpa segera menghabiskan masakan yang dihidangkan untuknya dengan lahap dan tak henti-hentinya menggendong anak semata wayangnya yang selalu tertawa melihat tingkah laku ayahnya itu.

“Daryana Putra Sambara..” Ucap Nyai Suratmi tiba-tiba.

Mendengar nama itu Widarpa meraskan restu yang sangat besar untuk anak yang digendongnya itu.

“I itu... nama yang bagus” Ucap Widarpa.

“Iya... Prabu Arya yang memberikan nama itu dan merestuinya” Jelas Nyai Suratmi.

Malam itu, Nyai Suratmi menceritakan tentang kedatangan Prabu Arya dan mengenai Keris Ragasukma yang dipercayakan kepadanya.

Awalnya ia menolak, Namun penjelasan Nyai Suratmi mengenai kepercayaan Rajanya kepada keluarganya membuat Widarpa mengalah dan menerima pemberian berharga itu. Namun dari situ Patih Widarpa tau bahwa Prabu Arya merencanakan sesuatu.

***

Terdengar ketukan di pintu jendela kamar istana yang menjadi tempat istirahat Prabu Arya. Seolah sudah mengerti, Prabu Arya segera berjalan ke balkon dan menemui Widarpa yang sudah jongkok di pinggir pembatas balkon.

“Prabu... Apa yang prabu rencanakan, Menantang kedua Patih untuk perebutan Tahta?! Itu tindakan konyol” Ucap Patih Widarpa yang langsung menunjukan maksudnya.

Informasi itu ia dapat dari telik sandi yang ia tempatkan di Kerajaan Darmawijaya bahwa Prabu Arya akan menantang kedua Patih untuk pertarungan perebutan tahta.

Prabu Arya menghela nafas, iapun sudah menduga bahwa Widarpa pasti akan menyadari maksudnya.

“Widarpa... Andaka dan Gardapati sudah mendengar kabar mengenai diriku yang masih hidup.. hanya ini satu-satunya cara agar mereka tidak menyerang wilayah ini” cerita Prabu Arya.

Mendengar itu, wajah cemas mulai terlihat di Wajah Patih Widarpa.

“Harus ada yang menghentikan mereka sebelum kerajaan ini menjadi korban kebrutalan mereka juga” Lanjut Prabu Arya.

Jika saat ini Widarpa memiliki kesaktianya, sudah pasti ialah yang akan mencoba menghetikan kedua Patih itu. Namun Ia sadar dengan kemampuanya.

“Tidak Prabu... saya akan mencari cara untuk menghentikan mereka!” ucap Widarpa yang segera bersiap untuk pergi namun dengan cepat ditahan oleh Prabu Arya.

“Tugasmu adalah menjaga rakyat di tempat ini, dan tugasku menghentikan mereka.. aku sudah menghadap mahaguru dan inilah yang terbaik...” Jelas Prabu Arya.

“Satu lagi... ada juga titipan salam dari Kera Alas Wetan Giridaru untukmu... katanya jangan kebanyakan makan, nanti kamu ga bisa lari kalau dikejar Buto..” Lanjut Prabu Arya yang menceritakan pertemuanya dengan salah satu kenalan Widarpa saat kecil.

Mendengar itu, wajah Patih Widarpa terlihat senang seperti anak kecil. Mereka menghabiskan malam dengan bercerita tentang perjalanan Prabu Arya dan masa kecil Widarpa seolah melupakan keresahan yang baru saja dibicarakan tadi.

Saat itu sebenarnya mereka juga sudah saling mengerti... bahwa masing-masing dari mereka menyimpan rencana.

***

Suara alunan musik gamelan mengalun dengan meriah di pelataran Benteng istana Tempat itu sebuah bangunan megah dengan jendela-jendela besar yang selalu memastikan tempat ini mendapatkan cukup cahaya.

Ratusan pengikut setia kedua Patih sudah bersiap menyaksikan pertarungan yang akan menjadi pertunjukan utama di tempat ini.

“Tak kusangka aku bisa tertipu mentah-mentah oleh siasat Patih edan itu...” Terdengar suara Gardapati yang muncul menghampiri Prabu Arya di tengah pelataran.

“Haha... Tapi rupanya ada yang cukup bodoh menyia-nyiakan nyawanya untuk kembali ke sini, Setidaknya itu mempermudahku untuk merebut tahta ini!”

Kali ini Patih Andaka yang datang dengan membawa tombak hitam kebanggaanya.
Prabu Arya tidak menghiraukan ucapan kedua Patih itu dan hanya tetap duduk diam dengan posisi meditasinya untuk sepenuhnya mempersiapkan kekuatanya.

Cahaya matahari mulai berada di atas dan menyinari lubang di atas benteng, sebuah bayangan berbentuk pedang yang beradu terbentuk dengan sempurna dari ornamen jendela benteng yang menAndakan dimulainya pertarungan.

Andaka mulai menghunuskan tombaknya ke arah Prabu Arya, namun ia menghindar tanpa memindahkan posisinya sedikitpun. Berkali-kali ia mencoba namun tidak ada satu seranganpun dari Andaka mampu melukai Prabu Arya.

“Ternyata hanya segini kemampuan Patih yang dulu kubanggakan?” Ucap Prabu Arya mencoba memprovokasi mereka.

Gardapati segera melompat menerjang, namun kali ini Prabu Arya mundur dan membuat kuda-kuda pertarungan tanpa satupun senjata di tangan maupun di tubuhnya.

“Jangan remehkan kami! Keluarkan sekarang juga pusaka kebanggaanmu!” Ucap Gardapati.

“Aku akan melawan kalian dengan tangan kosong, seperti saat aku melatih kalian dulu...” Balas Prabu Arya yang semakin memperkuat kuda-kudanya.

“Kau pikir kami bodoh?! Kau pasti sudah mempersiapkan siasat licikmu lagi?” Kali ini Andaka lebih berhati-hati.

Walaupun tidak tahu jelas mengenai pusaka raja, mereka tahu benar sebesar apa kekuatan pusaka yang dimiliki seorang penguasa kerajaan.

“Satu-satunya pusakaku sudah kuserahkan kepada orang yang pantas...” Jawab Prabu Arya.

“Pasti Patih Edan itu! Setelah membunuhmu, akan kurebut pusaka itu darinya..!”

Andaka yang merasa geram segera menyerang Prabu Arya kembali, tapi kali ini serangan itu diperkuat dengan ilmu penguat raga yang menyebabkan hentakan besar di setiap seranganya.

Tak mau ketinggalan Gardapati segera membacakan mantra di pedangnya hingga cahaya hitam menyelimuti bilah tajam pedang itu.

Walaupun dapat menghindar, Prabu Arya tetap terkena dampak dari ilmu ghaib yang menyelimuti pusaka mereka.

Namun tujuan dari Prabu Arya memang bukan untuk menghabisi kedua Patih dengan tangan kosong.

***

Jauh diluar benteng terlihat satu pasukan masuk menerobos kerajaan darmawijaya atas pimpinan Patih Widarpa.

“Selamatkan sebanyak mungkin warga selama kedua Patih bertarung!” Perintah Patih Widarpa pada prajuritnya.

Bukanya tanpa perlawanan, ratusan prajurit anak buah Andaka dan Gardapati mengepung mereka dari kedua sisi. Seandainya Patih Widarpa masih memiliki kesaktianya, seharusnya ini perkara mudah.

Pertempuran antar kedua kubu mulai terjadi, namun terlihat keanehan saat pasukan Widarpa hanya bertahan tanpa menyerang balik.
Di satu sisi Patih Widarpa menerobos pasukan menuju pimpinan pasukan musuh dengan menarik sebuah gerobak besar.

“Dengarkan saya panglima pasukan Andaka dan Gardapati!” Terdengar suara menggelegar yang memancing perhatian kedua pimpinan pasukan yang menyerang mereka.
Sebuah gerobak besar digulingkan, Terlihat banyaknya bahan makanan, sayuran, daging berjatuhan dari gerobak itu.

“Sudahi pertempuran konyol ini! Kalian tidak perlu kelaparan lagi seperti ini!” Teriak Patih Widarpa yang menahan kesedihanya ketika melihat kondisi prajurit-prajurit Andaka dan Gardapati yang terlihat mengenaskan.

Sebelum melakukan penyerangan, telik sandi kiriman Widarpa sudah memberi tahu kondisi kerajaan yang kekurangan pangan karena tidak cukup lagi sumber daya manusia yang mengolah pertanian dan peternakan.

“Jangan Bodoh! Kau ingin membeli kesetiaan kami dengan ini?!” Ucap salah satu panglima yang masih keras kepala.

“Kesetiaan pada siapa? Jika pada kerajaan seharusnya kalian tidak di sini, seharusnya kalian melindungi rakyat kalian bersama yang lain!” sekali lagi Patih Widarpa mencoba meyakinkan mereka.

“Jatuhkan senjata kalian, dampingi warga kalian ke wilayah aman di setra geni dan hiduplah tenang di sana!”
Kedua panglima mulai ragu, kesetiaanya pada kedua Patih yang membawanya hingga posisinya saat ini ternyata tidak mudah tergoyahkan.

“Aarrrh... Masa bodoh! Aku sudah muak dengan perintah Gardapati yang tergila-gila pada pelacur penari itu”
Mendadak salah satu prajurit Gardapati melemparkan senjatanya dan mulai menyusul para warga yang diselamatkan oleh pasukan Widarpa.

“Benar! Aku tidak mau lagi dapat perintah untuk menyakiti atau memotong bagian tubuh mereka yang seharusnya kulindungi!” Prajurit lain menyusul dan diikuti dengan ratusan prajurit lainya.

Widarpa merasa lega melihat kejadian ini. Ia mengawasi hingga semua prajurit berhasil meninggalkan Kerajaan menuju wilayah setra geni. Namun kedua panglima kepercayaan kedua Patih itu masih berada ditempatnya.

“Biarkan kami tetap disini... mereka sudah cukup untuk menjaga rakyat kerajaan Darmawijaya. Ijinkan kami menjaga kesetiaan kami sampai akhir..” Ucap panglima perang yang masih memilih setia pada Patih Andaka.

“Prabu Arya sedang bertarung di pelataran benteng istana.. saya yakin itu tujuanmu?” Panglima perang pasukan Gardapatipun memilih jalan yang sama.

Patih Widarpa sangat mengerti dengan perasaan mereka, arti sebuah kesetiaan yang telah dibangun semenjak kedua Patih masih berjuang untuk kerajaan tidak akan mudah hilang walaupun pemimpin mereka sudah berpaling arah.

Tanpa menunggu lama, Patih Widarpa segera pergi menuju ke tempat yang ditujukan panglima itu.

***

(Pelataran Benteng Istana)

Suara tabuhan kendang terdengar meriah setiap serangan-serangan dilancarkan oleh ketiga petarung yang saling bertukar jurus.

Terlihat Prabu Arya melompat setinggi tingginya dan memukulkan kepalan tanganya yang telah diselimuti kekuatan ke arah Patih Andaka yang segera menghindar.

Pecahan-pecahan batu terlihat berhamburan menunjukan betapa kuatnya serangan itu.

Kedua Patih yang melihatnya memutuskan untuk menggunakan senjata pamungkasnya.

Andaka memutarkan berkali kali tombak hitam yang ia bawa hingga muncul bayangan petir hitam yang segera ia gunakan untuk menyerang Prabu Arya.

Seranganya begitu cepat hingga Prabu Arya memutuskan menggunakan ajian Amblas bumi untuk menghindarinya.

Gardapati yang sudah mengenali jurus itu segera membacakan mantra pada pedangnya dan menusukanya ke tanah hingga pelataran benteng yang terbuat dari batu hancur porak poranda.

Prabu Arya yang mendapat serangan itu segera keluar dari tanah dengan menahan darah yang akan keluar dari mulutnya.

Melihat pelataran yang hancur lebur, Prabu Arya tidak menyia-nyiakan kesempatan ia melanjutkan siasatnya

Ajian peremuk bumi.. sebuah ilmu yang menarik kekuatan dari dalam bumi dan mengembalikanya lagi yang konon mampu menghancurkan sebuah bukit.

Ajian ini dirapalkan untuk menghancurkan pondasi terakhir benteng istana yang sudah rapuh dengan serangan Gardapati..

“Selesai...” Ucap Prabu Arya.
Runtuhan batu-batu mulai menjatuhi tempat pertarungan, ratusan pengikut kedua Patih mati tertimpa reruntuhan benteng yang menimpa mereka.

“Sialan! Ternyata ini siasat busukmu!” Gardapati yang merasa tertipu mencoba melarikan diri, tapi tidak ada satupun jalan yang dapat dilewati.

“Bodoh! Dengan begini kau juga akan mati!” Teriak Andaka.

“hahahaha... Sudah ada yang menjaga rakyatku... tidak ada lagi yang kusesali!” Jawab Prabu Arya.

“Siapa?? Maksudmu Patih gila itu!” Balas andaka yang menunjuk ke salah satu sudut jendela yang mulai hancur.

Prabu Arya menoleh, Terlihat Patih Widarpa berhasil menyelinap masuk ke tempat itu dan segera berlari ke arahnya.

“Bodoh! Pertarungan ini sudah selesai! Kau menyia nyiakan nyawamu!”

Perasaan campur aduk dirasakan oleh Prabu Arya. Tidak mungkin Widarpa bisa menyelamatkan diri dari tempat ini.

“Musuh utama kita belum kalah.. bahkan ketika kedua Patih busuk ini mati” Ucap Widarpa sambil menoleh kepada sekelompok pemain gamelan yang mati tertimpa reruntuhan.

Namun bukanya mati, roh mereka malah bangkit dalam wujud yang mengerikan.

Para pemain gamelan merupakan kumpulan makhluk hitam dengan lidah yang menjulur hingga ke pusarnya. Sinden dan penari yang menjadi biang permasalahan masih terus menyanyi dan menari dengan matanya yang menghitam.

“Andaka, Gardapati! Lihat itu! Setan itu yang kalian perebutkan...?” Teriak Patih Widarpa yang mencoba menyadarkan kedua Patih.

“Itu Urusanku Widarpa! Aku akan mendapatkan kekuatan besar setelah memenuhi keinginanya” Ucap Gardapati yang telah terhasut oleh setan-setan itu.

Rupanya ada kedua Patih ini telah menjual jiwa mereka pada kelompok penari alas kamulan yang ternyata merupakan setan laknat.

Prabu Arya menghela nafas seolah mendapat suatu penglihatan.

“Widarpa kau urus Demit-demit itu... biar aku yang mengurus kedua Patih ini, saat ada lonjakan kekuatan.. kau tau apa yang harus dilakukan” Ucapnya.

Widarpa menoleh, namun sebelum bertanya lebih jauh Prabu Arya sudah berlari menerjang kedua Patih.

“Andaka, Gardapati akan kuselesaikan dengan satu serangan ini!” Teriak Prabu Arya.

Andaka dan Gardapati yang terpancing mengumpulkan sisa -sisa kekuatanya dan mengeluarkan seluruh kekuatan yang mereka miliki.

Ajian peremuk bumi milik Prabu Arya, Ajian Guntur hitam milik Andaka, dan Ajian pembelah gunung milik Gardapati beradu hingga menyebabkan ledakan besar.

Kekuatanya terlalu besar hingga terasa sampai wilayah Setra Geni.

Pertemuan ketiga kekuatan itu menorehkan sebuah lubang menunjukan alam yang berbeda.

“Prabu.. I itu... lubang itu menuju Jagad Segoro Demit!” teriak Patih Widarpa.

Tanpa melewatkan kesempatan, Patih Widarpa merapalkan Ajian sapu angin dan menerjangkan kelompok gamelan alas gamelan ke lubang itu. Namun ternyata tidak mudah...

Sang penari berhasil menghindar dan menyerang balik Patih Widarpa dengan selendang yang saat ini lebih mirip dengan kain berlumuran darah..

berkali kali serangan Patih Widarpa tidak dapat menyentuhnya namun benteng istana sudah hampir hancur sepenuhnya.

Tak mau menyia-nyiakan pengorbanan Prabu Arya, Widarpa mencengkram Penari yang sudah berwujud demit sepenuhnya dan membawanya memasuki ke sebuah lubang yang menghubungkan dengan alam manusia dengan jagad segoro demit.

***

Tubuh Widarpa terjatuh ke sebuah tempat yang dipenuhi rumput berwarna hitam. Aliran kekuatan bersar berangsur-angsur memasuki tubuh Widarpa.

Suara pertempuran terdengar hampir dari penjuru tempat ini.

Tidak sedikit sinar mata yang berwarna merah menatapnya dari kejauhan seolah bersiap untuk menyerang.

Aliran energi yang mengalir memasuki dirinya membuatnya hampir kehilangan kesadaran.

Namun ini persis seperti saat ia menggunakan jurus andalanya Ajian Segoro Demit sehingga ia sudah biasa mengendalikanya.

“Prabu!!!” Teriak Widarpa mencari keberadaan Prabu Arya yang mungkin juga terhisap ke tempat ini namun sama sekali tidak ada jawaban selain suara mengeram dari seluruh tempat ini.

Gelombang kekuatan hitam terasa dari sisi utara yang menyerupai kekuatan milik Andaka dan Gardapati. Patih Widarpa segera berlari ke sana hingga menemukan pemandangan yang tidak mungkin ia temukan di alam manusia.

Andaka dan Gardapati yang menerima kekuatan dari Jagad segoro demit telah kehilangan kesadaran dan berubah menjadi makhluk hitam dengan taring dan cakar di lenganya.

Tidak hanya itu, saat ini mereka saling bertarung dengan makhluk lain.

Makhluk bertopeng hitam dengan baju penari, Seorang pemuda berpakaian aneh yang menaiki Siluman kera raksasa, dan seorang pemuda yang terlihat babak belur dengan memegang keris yang sepertinya tidak asing.

Terlihat mereka sedang saling bertempur seolah memperebutkan sesuatu. Hingga pemuda yang menaiki siluman kera raksasa membawa tubuh temanya untuk melarikan diri.

Patih Widarpa yang penasaran dengan keris yang di pegang pemuda itu segera berlari mengikutinya.

Mereka terhenti tak jauh dari tempat Patih Widarpa tadi terjatuh. Pemuda yang menaiki kera raksasa segera menurunkan pemuda itu dan terlihat mencoba membacakan mantra untuk memulihkan temanya yang terbaring di rumput.

Widarpa yang mendengar suara demit-demit yang mendekat merasa khawatir dan segera menghampiri mereka.

“Siapa kalian?!” Ucap Patih Widarpa yang berniat mencari tahu.

Bukanya mendapat sambutan, salah satu pemuda itu malah mengambil sarungnya dan bersiap menerima serangan.

“Arrrghhh... Demit opo meneh kowe! Reneo aku lawanmu !” (Aarhh... setan apa lagi kamu! Kesini aku lawanmu!) Ucap pemuda itu.

“Demit ndasmu... Koncomu ki ngopo?” (Setan kepalamu! Temanmu ini kenapa?) Ucap Patih Widarpa yang bertingkah setenang mungkin untuk mengurangi kecurigaan mereka, setidaknya saat ini Ia tahu kedua pemuda ini adalah manusia.

“Dia terkena serangan mendadak dari dua makhluk berwujud prajurit kerajaan...” jelas pemuda bersarung itu.

Patih Widarpa memeriksa keadaan pemuda itu. Ia memastikan, bahwa keris yang dipengang oleh pemuda itu adalah keris ragasukma pemberian Prabu Arya. Tapi bagaimana bisa keris itu berada di tangan pemuda itu?

“Wis tenang... tolong jaga tempat ini dulu” Ucap Patih Widarpa yang mengambil keris dari pinggangnya.

“ehh... eh... Kowe arep opo?!” (eh.. eh... kamu mau apa?) Ucap pemuda bersarung yang khawatir kalau Widarpa akan melukai temanya itu.

Segera saja Widarpa mengeluarkan pukulan yang membuat Pemuda itu terpental cukup jauh.

“Itu balasan karna sudah ngatain aku Demit” Ucap Widarpa yang segera menggoreskan keris pada jarinya hingga darah merahnya membasahi bilah tajam keris Sukma geni.

Api yang menetes dari keris itu menyentuh tubuh pemuda yang terluka itu dan mengembalikan kesadaranya.

Belum sempat berbicara lebih panjang, Gardapati dan Andaka yang sudah sepenuhnya menjadi demit menerjang dan segera ditahan oleh Siluman kera raksasa itu.

“Kedua demit Patih ini biar jadi lawanku... kita pisahkan mereka!” Perintah Patih Widarpa.

Bocah bersarung itu kembali menaiki Siluman kera, dan seorang pemuda lagi berdiri membelakangi Patih Widarpa menggenggam kerisnya dan siap bertarung.

Sebuat tebasan pedang yang dimiliki Gardapati mencoba untuk menyerang Patih Widarpa, namun sebuah keris yang digenggam oleh pemuda tadi berhasil menahanya.

Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, Patih Widarpa menggunakan tenaga dalamnya untuk menyerang Gardapati.

Tidak ada sedikitpun perkataan dalam pertarungan itu. Entah mengapa pemuda ini mampu mengimbangi cara bertarung Patih Widarpa yang tidak beraturan.

Melawan kedua orang ini Gardapati yang sudah dirasuki kekuatan dari jagad segoro demitpun tidak mampu berbuat apa-apa hingga sebelum serangan terakhir terdengar suara alunan gamelan dari salah satu penjuru hutan.

Kedua Patih yang mendengar suara itu segera melompat menjauh seolah mencari arah suara itu dan berlari mengikutinya.

“Mereka berdua biar urusanku... sepertinya urusan kalian lebih besar dari ini” Ucap Patih Widarpa.

“Eyang.. maksud saya... Ki sanak... Terima kasih, tapi apa boleh saya minta satu hal lagi?” Tanya bocah yang memegang keris itu.

“Apa? Cepat katakan... urusanku masih banyak” Jawab Patih Widarpa.

“Tolong coba bilang Bocah Asu!...” Ucap pemuda itu yang sama sekali tidak dimengerti oleh Patih Widarpa.

“Ealah Bocah Asu! Wis hampir mati wae iseh guyon!!” (Ealahh Bocah Anjing.. Hampir mati aja masih bisa bercanda)

Tak mau menyia-nyiakan waktu Patih Widarpa segera pergi meninggalkan mereka. Terlihat saat ini tidak ada kecemasan lagi di wajah mereka.

Tepat di sisi hutan lain terdapat sebuah genangan air besar yang memantulkan cahaya bulan.

Rupanya sedari tadi Prabu Arya sedang bertarung dengan penari dan kelompok gamelan yang kembali ke wujud demitnya.

Namun yang mengkhawatirkan sepertinya Prabu Arya hampir kehilangan kesadaran oleh kekuatan jagad segoro demit yang merasuki dirinya.

“Prabu! Pergi!” Ucap Patih Widarpa memperingatkan kedatangan kedua Patih lainya.

Prabu Arya yang melihat Widarpa segera menjauh dari pertarungan.

“Sepertinya penari itu berasal dari tempat ini... dia dewi penguasa sendang di alam ini” Jelas Prabu Arya, seharusnya seranganku tadi sudah melukainya cukup parah.

Patih Widarpa mengerti, Rupanya penari itu memanggil kedua Patih untuk membantunya yang telah terluka dengan serangan Prabu Arya.

“Prabu... tadi aku menemukan seorang pemuda yang membawa keris Ragasukma, apa mungkin pusaka itu ada lebih dari satu?” Tanya Patih Widarpa.

Mendengar ucapan itu Prabu Arya tersenyum seolah memahami sesuatu.

“Yang pasti.. pemuda yang membawa keris itu bukan orang jahat kan?” Tanya Prabu Arya.

Patih Widarpa menggeleng.

“Kata mahaguru Jagad Segoro demit ini tidak terbatas oleh ruang dan waktu, makhluk dari semua tempat dan semua zaman bisa berada di sini... sekarang lebih baik kita fokus menghadapi mereka” Jelas Prabu Arya.

Energi yang besar mulai memasuki tubuh Patih Widarpa, beberapa mantra dibacakan untuk memanggil kekuatan yang lebih besar sekaligus untuk mengendalikanya.

Terlihat jelas ajian Segoro demit telah kembali ke tubuh Patih Widarpa.

Layaknya hewan buas, Patih gila itu melompat mencabik cabik Andaka dan Gardapati yang dalam wujud demit yang sudah melemah dengan pertarungan sebelumnya.

Serangan-serangan dari pengikut setan penaripun tidak mampu melukai Patih Widarpa yang mengamuk.

Melihat itu rasa Khawatir Prabu Arya menghilang.

Ketika demit-demit itu semakin melemah, Andaka dan Gardapatipun ikut tumbang.. Prabu Arya segera membacakan mantra yang diberikan oleh mahaguru.

“Cukup Widarpa... kita kembali! Biarkan demit-demit itu tetap di tempat asalnya”

Mantra itu menarik semua manusia yang ada di dekatnya ke dalam cahaya yang membawa mereka kembali ke alam manusia.

***

Tumbuhan dan tanaman hutan terlihat di sekitar Patih Widarpa yang tersadar dari mantra Prabu Arya. Terlihat di hadapanya Prabu Arya sedang duduk menanti kesadaran Patihnya itu.

“Tugasku sudah selesai Widarpa...” Ucap Prabu Arya.

Patih Widarpa mencoba untuk duduk dan menghampiri Rajanya itu.

“Benar... Sekarang kita Bisa kembali ke Setra Geni” Balas Widarpa dengan wajah yang lebih tenang.

Namun Prabu Arya menggelengkan kepalanya.

“Jaga Rakyatku... hiduplah dengan bahagia, lindungi keturunanmu dan orang-orang yang kamu sayangi... Sampaikan salamku pada Nyai Suratmi dan Daryana” Ucapan Prabu Arya membuat Patih Widarpa bingung, namun kebingunganya terjawab ketika wujud Prabu Arya mulai menghilang.

“Prabu... apa ini prabu?” Tanya Patih Widarpa.

“Aku, Gardapati, dan Andaka sudah mati bersama dengan hancurnya benteng istana... roh kami bertiga tertarik masuk ke jagad segoro demit sehingga kita bisa bertemu di sana.. begitu juga saat kembali... hanya roh kami bertiga yang kembali ke alam ini” Jelas Prabu Arya.

“Aku tidak menyesali semua ini... teruslah tertawa seperti orang gila.. walau aneh, aku selalu merasa tenang saat mendengar suara itu. Selamat tinggal Widarpa Sang Patih Gila,”
Ucap Prabu Arya yang perlahan menghilang dari hadapan Widarpa.

***

Setelah kekalahan kedua Patih dan kepergian Prabu Arya wilayah Setra Geni berkembang semakin pesat.

Prajurit dari kerajaan darmawijaya banyak membantu mengembangkan wilayah itu dengan membangun jalur perdagangan dengan kerajaan-kerajaan yang telah menjadi aliansi kerajaan Darmawijaya.

Patih Widarpa kini tidak lagi mau menempati posisinya sebagai Patih, ia menanggalkan kalung pusaka kerajaan yang menjadi penanda Patih dan lebih memilih untuk melatih anaknya Daryana yang tumbuh besar.

Sayangnya... ketenangan itu tidak berlangsung lama. Kekuatan dari Jagad segoro demit yang berada ditubuhnya tumbuh semakin besar dan seringkali membuat Widarpa kehilangan kesadaran dan bahkan hampir melukai orang terdekatnya.

Kejadian itu membuatnya memutuskan untuk pergi meninggalkan keluarganya untuk mengasingkan diri di hutan sambil mencari keberadaan jasad Prabu Arya yang tertimbun.

Sebuah surat dan keris sukmageni ditinggalkan oleh Patih Widarpa untuk Nyai Suratmi dan Daryana. Keputusan yang sangat berat, namun mereka berdua tau bahwa keputusan ini yang terbaik.

Sesekali Widarpa kembali menengok putranya yang sudah tumbuh menjadi seorang pendekar tangguh.

Walaupun jarang menampakan wujudnya, Nyai Suratmi selalu mengetahui kedatangan Widarpa dari setiap melihat makanan yang ia masak di dapur habis tak bersisa, dengan piring-piring yang berantakan.

Saat Daryana sudah dewasa dan berkeluarga, Widarpa tidak pernah lagi kembali ke rumah tersebut hingga Nyai Suratmi memutuskan untuk mengembara membawa keris sukmageni yang diberikan kekasihnya untuk mencari keberadaan Widarpa.

(WIDARPA DAYU SAMBARA - SELESAI)



EPILOG:
“Bimo !! ke sini sebentar” Teriak Seorang wanita tua yang duduk di kursi kayu tuanya.

“Iya Eyang! Tunggu sebentar” ucap seorang anak laki-laki yang berlari menghampiri wanita itu selepas membantu ayahnya memanen pisang di kebunya.

“Kesini... Ada yang mau eyang berikan” Sebuah keris dengan ukiran berbentuk api diserahkan oleh wanita itu kepada bocah kecil bernama bimo.

Dengan polosnya bocah kecil itu menerimanya dan mendadak melihat sosok lain di sebelah eyangnya.

“I..itu siapa eyang?” Tanya Bimo dengan polosnya.

“Itu Nenek Buyutmu... Namanya Nyai Suratmi.. Cantik ya..” Cerita Eyang pada bimo.

“Iya Eyang... Cantik” Jawab Bimo dengan polos.

Wujud roh wanita itu hanya tersenyum mendengar ucapan cucu buyutnya itu.

“Kamu kan udah sering bantuin penunggu maupun roh sekitar desa ini, kalau bantuin Nenek buyutmu ini mau ga?” Tanya Eyang pada Bimo.

“Mau donk eyang... nolongin apa? Bimo siap!” Jawabnya polos.

Kali ini bukan eyang yang berbicara, melainkan roh nenek buyutnya yang menghampirinya.

“Terima kasih ya Bimo... Bantu eyang nemuin jasad kakek buyutmu ya, dia pasti senang kalau bisa ketemu kamu” Ucap Nyai Suratmi yang sudah berwujud roh.

“Siapp donk Eyang.. kakek Buyut Bimo pasti orang hebat kan?” Tanya Bimo.

Terlihat roh Nyai Suratmi tersenyum dan mengangguk.

---===TAMAT===---

*****
Sebelumnya
close