Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

WAKTUMU HAMPIR HABIS (Part 4 END) - Arah Pulang

Segala halang rintang dan banyak keganjilan menyambut perjalanan Aryo dan teman-temannya dalam menempuh jalan pulang.


Bagian Akhir - Arah Pulang

Perjalanan Aryo dengan ketiga temannya semakin menjumpai banyak halang rintang, namun, berkat semangat dan keberanian mereka, mereka mampu bertahan sampai di titik ini

“Gimana nih, Mat? Masa tiba-tiba pamit pergi gitu aja? Apa gimana?”

“Sebenarnya ini tempat apa, sih?” ucap Rahmat masih bingung.

Di tengah bingungnya mereka berdua, seorang perempuan paruh baya datang menghampiri mereka. Dia mengenakan kemben hitam dengan jarik di bawahnya.

Aryo dan Rahmat kaget karena kedatangannya yang tiba-tiba.

“Ndang lungo seko kene, le” (Cepat pergi dari sini, nak)

“Neng kene dudu tempatmu” (di sini bukan tempatmu) cetus perempuan itu dengan suaranya sedikit menyentak.

Tapi…

Ada hal yang membuat Aryo tidak asing kepadanya. Aryo seperti tidak asing terhadap wajah perempuan baya itu. Ia berusaha mengingatnya.

“Njenengan…. Njenengan sing kala wingi niku mbok? Sing manggihi kula wonten basecamp? Sing merhatiken kula wonten pinggir dalan? Leres mboten?” (Kamu… Kamu yang kemarin kan, mbok? Yang menemuiku di basecamp? Yang memperhatikanku di pinggir jalan? Benar tidak?) tanya Aryo.

(Mbok = panggilan perempuan paruh baya/tua di jawa)

“Kamu kenal?” Tanya Rahmat pada Aryo.

“Enggak… Aku gak tau siapa namanya, tapi aku pernah melihatnya” jawab Aryo.

“Njenengan sinten, mbok? Kok wonten ing mriki?” (Kamu siapa, mbok? Kenapa ada di sini?)

Perempuan paruh baya yang Aryo sebut “mbok” itu hanya tersenyum mendengar pertanyaan Aryo.

“Kowe gak perlu ngerti sopo aku, le. Kowe kan wis tak menehi ngerti nek ojo budhal. Eleng ora kowe? Nanging kowe tetep ngeyel tetep budhal”

(Kamu tidak perlu tau siapa aku, nak. Kamu kan sudah saya beri tau kalau jangan berangkat. Ingat gak kamu? Tapi, kamu tetep ngeyel dan berangkat) ujar perempuan paruh baya itu.

“Njenengan sinten? Kula mawon mboten kenal njenengan. Kados pundi kula saget pitados njenengan” (Kamu siapa? Saya saja tidak enal. Bagaimana bisa saya percaya padamu) ucap Aryo.

Lagi-lagi perempuan itu hanya tersenyum sambil tertawa mendengar perkataan Aryo.

Aryo semakin curiga kepadanya.

Ada sedikit rasa takut dalam benaknya, tapi, rasa takut tidak akan membawanya ke luar dari tempat ini.

“Le, aku ora nduwe niat elek karo kowe. Malah aku nduwe niat apik karo kowe” (Nak, aku tidak punya niat jelek kepadamu. Justru, aku punya niat baik kepadamu)

“Kowe karo konco-koncomu ndang lungo seko kene. Tempat iki dudu panggonanmu, ora sepantese kowe tekan kene. Kae, lanangan kae, ojo mbok turuti kekarepane. Kowe ndang rono, terus lungono seko kene”

(kamu dan teman-temanmu lekaslah pergi dari sini. Tempat ini bukan tempatmu, tidak sepantasnya kamu di sini. Itu, laki-laki itu, jangan kamu turuti keinginannya. Kamu kembalilah ke sana, dan pergilah dari sini)

“Dia ngomong apa, Yo?” Rahmat kebingungan dengan yang dibicarakannya.

“Kita disuruh cepat pergi dari sini” jawab Aryo.

Aryo diam sebentar,
Ucapan perempuan itu dianggapnya tak lebih seperti omong kosong yang sering ia temui dari banyak orang.

“Age lungo, sedurunge kasep. Opo kowe gelem ing kene saklaswase” (segera pergi, sebelum terlambat. Ap kamu mau di sini selamanya?)

“Di sini selamanya?” Ucapan perempuan itu kali ini membuat Aryo khawatir.

“Sebenarnya siapa orang ini?” pikir Aryo dala hati.

“Yo! Pergi aja dari sini. Tempat ini gak aman buat kita” ujar Rahmat.

“Benar… benar kata Rahmat. Benar atau tidak ucapan perempuan itu, aku dengan yang lain memang harus cepat ke luar dari sini”

“Nek meh metu seko kene, lewato dalan kae, tekan kowe ketemu  watu gedhe tapel watese kampung iki. Ojo lewat dalan sing mbok lewati mau”

(Kalau mau ke luar dari sini, lewat sana, sampai kamu ketemu dua buah batu besar tapal batasnya kampung ni. Jangan lewat jalan yang kamu lewati tadi saat datang ke sini) ujar perempuan itu sambil tangannya menunjuk arah jalan yang dimaksudnya.

“Nggeh sampun, mbok. Kula pamit riyen. Maturnuwun” (Iya sudah, mbok. Saya pamit dulu) ujar Aryo.

Perempuan itu tersenyum melihat Aryo dan Rahmat yang berjalan kembali ke arah pendopo.

Di pendopo, Aryo mendapati Fajar dan Yudi tengah menggenggam salah satu makanan yang tersaji di meja.

“Plakkk….” Aryo menepuk bahu kedua temannya itu.

“Kita pulang” ucap Aryo pelan dan singkat.

Tapi ucapannya itu ternyata di dengar oleh mbah ****

“Mulih? Kowe meh mulih ngendi to le? Ning kene wae” (Pulang? Kamu mau pulang kemana to nak? Di sini saja)

“Mboten mbah…. Kula kalihan rencang-rencang wangsul mawon” (Tidak mbah,,,, Saya dan teman-teman pulang saja)

Mbah **** kemudian berjalan menghampiri Aryo. Ia merangkul pundak Aryo. Aryo sedikit gemetar. Tangan mbah **** dingin dirasakannya.

“Mbo… mboten, mbah. Maturnuwun. Kula wangsul mawon” (Tii…. Tidak, mbah. Maturnuwun. Saya pulang saja)

Aryo berpamitan pada mbah ****, walau terlihat sinis, Aryo tidak mempedulikannya.

“Yuk, buruan” ajak Aryo pada ketiga temannya untuk segera pergi dari tempat itu.

Tanpa berpikir panjang Aryo menenteng cariernya lagi. Dia dan ketiga temannya berjalan keluar pendopo.

“Mat! Jalan kemana kita?” Tanya Aryo pada Rahmat.

“Tadi, kata si mbok tadi bagaimana?” ujar Rahmat.

Aryo berpikir sebenar, mengingat-ingat perkataan si mbok tadi padanya.

Perkataan yang awalnya hanya dianggapnya omong kosong belaka, sekarang ia coba peruntungannya.

“Ke sana” ucap Rahmat sambil melangkahkan kakinya ke arah yang dimaksud mbok-mbok misterius tadi.

Aryo langsung mengambil langkah terdepan sambil berkata.

“Ikuti aku, jangan melangkah kemana-mana selain mengikutiku”

Hawa dingin masih terus menyertai mereka. Tatapan mata tajam dari warga kampung terus menyorot ke arah mereka. Aryo dan yang lainnya hanya bisa menunduk sambil sedikit tersenyum tatkala berpapasan dengan warga kampung.

Sampai tak terasa langkah mereka tiba tepat di sebuah batu besar yang berdiri kokoh saling berhadapan di ujung jalan kampung. Langkah Aryo terhenti, ia bertanya pada Rahmat.

“Apa ini yang dimaksud si mbok tadi ya, mat?”

“Mana ku tau, kan elu yang ngobrol sama dia”

Bismillah…. Semoga benar…..

Ucap Aryo sambil melanjutkan kembali langkahnya.

Mulai sekarang, langkah mereka berempat kembali sampai di tengah hutan.

“Kok malam ini rasanya panjang banget, ya” ujar Fajar.

“Halahhh, udah, gak usah dipikir. Yang terpenting kita kudu cepat nemu jelan keluar” ucap Rahmat.

“Enggak jadi ke puncak?” Tanya Fajar.

“Kalau malam ini kita belum nemu jalan yang benar. Kita fokus buat cari jalan pulang” kata Rahmat pada Fajar.

“Iya, bener. Gak lucu kalau kita harus terperangkap di sini yang entah sampai kapan kita bisa keluar” ucap Aryo pada semuanya.

"Yang penting kita bisa pulang dan selamat" tambah Aryo.

Jalan setapak yang tak begitu lebar masih jelas saat baru keluar dari tapal batas. Hutan di sini sangat rimbun dan tertutup. Mungkin jika hari sudah terang, cahaya mataharipun susah untuk masuk ke dalamnya.

Belum lagi, kabut yang sudah menyertai perjalanan mereka. Meski tidak begitu tebal, tapi sudah cukup menyulitkan penglihatan Aryo yang bernavigasi paling depan.

Belum lama melangkah memasuki hutan, tiba-tiba sebuah suara kurang mengenakkan menghampiri mereka.

“Hrrrggggghhhh…… Hrrrgggghhhhhh”

Suara eraman muncul tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Aryo memalingkan telinganya dan terus berjalan memimpin teman-temannya.

“Hrrrggggghhhhhh……”

Suara itu muncul lagi semakin jelas.

“Yo! Suara apa itu?” Tanya Fajar yang berada di belakangnya.

“Kagak usah takut… Jalan terus aja jangan ada yang berhenti” seru Aryo dengan agak kencang agar semuanya teman-temannya mendengarnya.

Aryo terus melangkahkan kakinya, menebas setiap ranting dan rumput liar yang menghalangi langkahnya dengan pisau sangkur yang dibawanya, sambil dibantu headlampnya yang mulai memudar cahayanya.

“Untung saja aku bawa pisau ini” ucap Aryo dalam hati sambil menggenggam pisau seukuran sangkur ditangannya.

Tiba-tiba Aryo berhenti, semak belukar tinggi menghalangi langkahnya. Ia membabat setiap rumput dihadapannya, tapi, alangkah terkejutnya Aryo, diantara kabut yang masih berada di sekitarnya, ada sebuah bayangan besar menyambutnya di balik semak-semak itu.

Bayangan yang memiliki ketinggian lebih dari dua kali lipat tinggi badannya, lengkap dengan dua tangan dan dua kaki di tubuhnya.  Matanya yang merah menyala sangat jelas sedang memperhatikan keberadaan Aryo dan teman-temannya.

“Bayangan apa itu? Manusia apa hewan yang sebesar itu?”

Tapi, matanya yang hanya mengandlkan headlamp di kepalanya tidak terlalu jelas menangkapnya.

Seketika Aryo memalingkan kepalanya dan memundurkan langkahnya. Fajar yang menyadarinya pun bertanya.

“Kenapa elu, Yo?”

Tiba-tiba Rahmat melangkahkan kakinya ke depan, menemani Aryo yang sedang membuka jalan.

“Apapun yang terjadi, kita gak usah takut!”

“Sudahlah, kita kudu terus berkhtiar dari pada harus mati di hutan ini. Mau kalian mati di sini?” ucap Aryo, suaranya kencang memenuhi setiap sudut hutan.

Fajar dan Yudi bingung melihat tingkah kedua temannya.

Hal mistik memang bukan hal yang baru bagi Aryo, tapi berbeda jika ia melihatnya di hutan. Karena di sini lah tempat mereka. Jauh dari hingar binger kota dan manusia. Jika dia salah sedikit saja di sini, bisa-bisa ia akan ikut dibawa mereka ke alamnya.

Aryo menampar pipinya berulang kali, sambil membisikkan suara di telinga dan hatinya sendiri.

“Aku kudu wani, aku ora sepele!” (Aku harus berani, aku tidak sepele!) ucapnya untuk menguatkan batinnya sendiri.

Sosok bayangan raksasa itu masih memperhatikan dan mengintai gerak-gerik Aryo dan teman-temannya. Aryo tidak bisa menangkap jelas dengan kedua matanya, makhluk apa sebenarnya yang memperhatikannya itu karena terhalang kabut.

Keberanian Aryo bertambah lagi berkat Rahmat. Ia kembali melangkah dengan sekuat tenaga yang ia punya. Menaiki dan menuruni jalanan terjal yang tidak ada habisnya.

Di tengah jalanan masih terjal dengan kemiringan lebih dari 30 derajat, dengan banyak semak-semak dan pepohonan di sekitarnya. Tiba-tiba rintikan hujan tiba-tiba datang, menghujani tanah yang mereka pijak.

Sangat tidak memungkinkan jika mereka harus mendirikan tenda di sekitar situ.

Situasi sudah sulit, bertambah sulit dengan adanya hujan ini. Di kejauhan Aryo melihat semak-semak yang membentuk terowongan kecil dengan pohon tinggi melindungi di atasnya. Ia mengajak ketiga temannya untuk bergegas kesana dan berlindung di bawahnya.

“Kesana, kita berteduh disana dulu aja sambil pakai flysheet”

“Siapkan flysheet di tasmu, Di!” Aryo meminta Yudi mengambil flysheet di dalam cariernya.

Hujan agak deras mengguyur hutan malam itu. Aryo, dan ketiga temannya termenung di situ. Merenungi bagaimana nasib mereka setelah ini.

Waktu berjalan sangat lama kala itu. Entah karena ketakutan yang membuat waktu berjalan lama, atau ada hal lain yang menyebabkannya.

Ya Tuhan….

Lindungilah kami berempat dengan segala kekuasaan dan keagungan-Mu….

Semua yang ada di alam semesta ini adalah ciptaan-Mu…

Dan semua yang terjadi di dunia ini adalah atas kehendak-Mu

Hutan ini…

Gunung ini…

Dan segala makhluk yang ada disini…

Semuanya milik-Mu dan Engkau yang ciptakan Ya Tuhan…

Maafkan kami, sudah menjadi hambamu yang lalai dalam beribadah kepada-Mu…

Maafkan kami Ya Tuhan…

Maafkan kami jika kami kurang bersyukur dengan segala nikmat yang telah engkau berikan…

Aku berjanji akan menjadi manusia yang lebih baik lagi mulai detik ini…

Aku berjanji akan menjadi hamba yang akan lebih taat lagi dalam beribadah kepada-Mu..

Tuntun kami agar bisa keluar dari hutan ini…

Ya Tuhan….

Berilah kami kesempatan….

Diantara gelap dan rimbunnya hutan, diantara hujan yang masih menghantam seluruh tanah di permukaan, Aryo terus bermunajat kepada Sang Penciptanya. Sampai tanpa ia sadari, air mata keluar dari matanya, menyesali semua dosa yang pernah ia lakukan.

Bukankah sebuah kesombongan, jika ada manusia yang berharap selamat dari keadaan susah seperti ini tanpa memanjatkan doa kepada Tuhan?

“Kita berdoa dulu sama-sama. Terserah mau bagaimana doamu, sisipkan keselamatan agar kita bisa keluar dari sini dan bisa pulang dengan selamat” ucap Aryo kepada ketiga temannya.

Tak lama, hujan reda. Seakan ini sebuah tanda, jika Tuhan telah mendengarkan doa Aryo dan ketiga temannya.

“Ini kita jalan ke mana lagi?” Tanya Aryo karena dia yang ada di depan.

Tidak ada jawaban dari ketiga temannya, ia lihat wajah ketiga temannya pun bingung dengan pertanyaan yang ia lontarkan.

Sejak tadi, jalan yang mereka lalui naik turun punggungan dan lembahan yang tidak jelas kemana arahnya.

“Gimana kalau kita naik aja? Gunung kan bentuknya kerucut. Jika kita semakin ke atas, maka akan lebih sempit areanya. Dan kita bisa lebih mudah melihat arah jika berada di atas” usul Rahmat.

“Ke atas? Brarti kita lebih jauh dari arah pulang dong?” ucap Yudi.

“Tapi… ya bener juga sih yang elu bilang” tambahnya.

“Fisik, gimana? Aman semua?” Tanya Aryo.

“Masih! mau gimana lagi juga, Yo! Dari pada kita diem aja di sini” jawab Yudi.

Tanpa banyak bicara lagi, Aryo kembali mengambil langkah terdepan. Mencari jalan yang kiranya bisa dilalui empat orang manusia.

Lagi-lagi…

Bayangan hitam yang besar itu menyambutnya di depan. Kali ini Aryo dapat melihatnya dengan jelas.

Matanya yang merah terus memperhatikannya, taring tajamnya yang tumbuh dari dalam mulutnyapun bisa dilihat Aryo dengan jelas.

Tubuhnya yang dipenuhi bulu hitam pun semakin meyakinkan Aryo, jika sosok yang mengikutinya sedari tadi adalah Genderuwo.

Tapi, kali ini, Aryo tetap melanjutkan langkahnya, tak mempedulikan keberadaan genderuwo itu.

Aryo pikir, dengan tidak mempedulikannya, akan membuatnya pergi. Bukannya pergi, genderuwo itu malah berjalan mengikutinya dengan kakinya yang besar itu.

“Gak usah nengok ke belakang!” seru Aryo pada teman-temannya.

“Emang kenapa?”

“Nurut saja, dari pada elu semua dibawa setan di sini”

Aryo mempercepat langkah, diikuti teman-temannya yang bersusah payah mengimbanginya. Suara nafas yang tersengal-sengal selalu mengiringi langkah mereka. Sampai, di suatu tanjakan Aryo kembali menghentikan langkahnya.

Di depan, banyak sekali dedemit yang menunggunya. Kali ini, tidak hanya Aryo atau Rahmat yang menyadari keberadaannya. Untuk pertama kalinya, Fajar dan Yudi melihat dedemit di hutan itu.

Dedemit itu muncul dari segala penjuru hutan. Dari atas pohon, balik bebatuan, bahkan ada yang tiba-tiba muncul dari dalam tanah.

Berbagai wujud pun bisa dilihat Aryo dan teman-temannya dengan mudah. Yang paling seram adalah, sesosok makhluk yang berbadan dan berkepala manusia, tapi setengah badannya ke bawah berwujud kuda.

Mungkin, bagi banyak orang, ini adalah hal yang tak masuk diakal. Tapi, semua ini benar-benar terjadi dan dialami oleh Aryo dan teman-temannya.

“Astagfirullah…. Apa itu” teriak Yudi.

Fajar pun demikian. Ia terlihat berlindung di balik tubuh Aryo.

“Kenapa elu, Jar?” Tanya Aryo basa-basi.

“Itu, banyak sekali setannya”

“Udah dari tadi, Jar! Elu aja yang baru sadar!”

“Udah, di sini dulu saja, sekalian istirahat” ajak Aryo.

Setelah cukup, Aryo kembali mengajak teman-temannya melanjutkan perjalanan.

“Lanjut?” tanyanya.

“Itu… mereka masih di sana” ucap Yudi.

“Berani nggak? Dari pada terus di sini kita bisa mati kedinginan dan kelaparan” ujar Aryo pada Yudi dan Fajar yang ragu.

“Cari jalan lain? Lihat saja di sana, hanya jalan ini yang paling mudah buat kita lewati. Gak ada jalan lain lagi” tambahnya, seraya memperlihatkan jalan lain yang lebih sulit untuk mereka lewati.

Di titik ini, tidak ada lagi rasa takut dalam benak Aryo. Tekadnya untuk bisa keluar dari hutan ini mengalahkan segala rasa takut yang ada pada dirinya. Segala jenis setan tidak akan membuatnya mundur.

“Mundur = menyerah, atau akan abadi di hutan ini selamanya”

“Sudahlah, kalian tidak usah takut. Mereka juga sama ciptaan Tuhan. Derajat kita lebih tinggi dari pada mereka. Tudak seharusnya kita takut pada bangsa mereka” lanjut Aryo pada teman-temannya.

“Aku selalu padamu, Yo! Aku yang jaga di belakang” ucap Rahmat mendukung perkataan Aryo.

Malam yang dingin tak mampu memadamkan api keberanian dalam benak Aryo.

“Ayo jalan! Atau kalian aku tinggal di sini sendirian!” ancam Aryo pada Yudi dan Fajar.

“Tapi… Yo….!” Ucap Yudi.

Aryo tidak menggubris ucapannya. Aryo terlihat semakin mantap melangkahkan kakinya. Tidak ada pilihan bagi Yudi dan Fajar. Mereka pun mengejar Aryo yang sudah berjalan duluan.

“Tunggu, Yo!”

Tidak lama, langkah Aryo sampai di tengah-tengah dedemit itu. Mereka dapat melihat semua demit itu dengan mudah. Tpi, tatapan Aryo tajam ke depan, memperhatikan jalanan yang akan ia lewati. Aryo tak peduli, jika ia sedang diperhatikan semua demit yang menghuni hutan itu.

“Kowe kabeh seko bongso opo? Wani-wanine mlebu tekan wilayahku?” (Kalian dari bangsa apa? Berani-beraninya masuk di wilayahku?)

Tiba-tiba mereka mendengar suara. Tapi hanya Aryo yang paham dengan artinya.

“Dengar, tidak?” Tanya Rahmat berbisik pada teman-temannya yang ada di depan.

“Iya, tapi siapa?”

“Demit-demit itu yang ngomong?” Tanya Yudi yang juga berbisik.

“Ojo sakkarepmu dewe kowe neng kene!” (Jangan seenaknya sendiri kamu disini!)

Lagi-lagi suara tak bertuan itu muncul lagi dengan nada yang agak membentak.

“Heh! Denger lagi gak? Lebih keras dari yang awal tadi” Tanya Yudi.

“Yo! Suara apa ini” Yudi menanyakannya pada Aryo.

Tak peduli pertanyaan Yudi, Aryo terus melangkahkan kakinya. Ia tak mau berurusan dengan mereka-mereka yang ada di hutan itu.

Di setiap langkahnya, Aryo selalu mengiringinya dengan doa.

“Kowe ora bakal iso metu seko kene. Kowe bakal urip neng kene karo bongsoku” (Kamu tidak akan bisa keluar dari sini. Kamu akan hidup di sini dengan bangsaku)

Suara misterius itu datang lagi.

Aryo menghentikan langkahnya. Dan berbisik pada teman-temannya.

“Diam dulu”

Malam itu, sudah tak terhitung lagi mencekamnya kala itu.

Aryo merapalkan doa, meminta perlindungan kepada-Nya.

Aku tidak akan mati di sini, aku dan teman-temanku akan keluar dari sini. Berikan aku kekuatan Ya Tuhan….

Aryo berusaha menahan setiap ketakutan yang datang pada dirinya. Ia berusaha berani.

Aryo memejamkan matanya agak lama. Ia terus merapalkan sebuah doa.

Tapi…

Tiba-tiba sesosok makhluk datang mendatangi Aryo di dalam gelapnya pejaman matanya.

Aryo tidak asing kepadanya, ia seperti mengenalnya.

“Le…. (nak)” sosok itu bicara kepadanya.

“Njenengan…. Njenengan…. Mbok….” (Kamu…. Kamu…. Mbok…..) Aryo mengingatnya, dia adalah si mbok yang mengarahkannya keluar dari kampung misterius tadi. Kali ini Aryo bertemu dengannya lagi, di alam bawah sadarnya.

“Ora usah wedi le. Kowe bocah apek, mlaku terus wae mendhuwur. Ing kono ono dalan sing bakal gowo kowe metu” (Tidak usah takut nak. Kamu anak baik jalan terus saja ke atas. Di sana akan ada jalan yang akan membawamu keluar)

“Ora usah nggubris demit-demit iki. Aku dewe sing ngatasi” (Tidak perlu mempedulikan demit-demit ini. Aku sendiri yang akan mengatasi)

Aryo kaget mendengarnya. Sosok yang menghantuinya sejak awal keberangkatan malah akan membantunya keluar dari ketersesatannya.

Kali ini Aryo mempercayainya. Entah apa yang membuat Aryo yakin dan percaya kepadanya.

Si mbok seperti makhluk yang dikirim-Nya untuk datang dan mengarahkan Aryo sejak awal perjalanan.

“Wes, teruske perjalananmu le. Ati-ati” (Sudah, lanjutkan perjalananmu, nak. Hati-hati) ucap si mbok mengakhiri perkataannya.

Sebuah tamparan keras menghantam pundak Aryo, dan seketika membuatnya sadar.

“Mbok… mbok….” Ucap Aryo sesaat setelah ia membuka matanya.

“Elu kenapa, Yo?” Tanya Fajar padanya.

“Gak…. Gak apa-apa” Aryo bingung dengan dirinya sendiri. Bagaimana bisa, si mbok itu datang menyambanginya di sini, dengan situasi seperti ini.

“Siapa sebenarnya dia?”

Sebuah pertanyaan yang kembali tidak Aryo temukan jawabannya.

“Yok, jalan lagi” Aryo mengajak semuanya berjalan lagi. Ia memperhatikan sekelilingnya, semua demit-demit itu semakin menjauh dari keberadaannya.

Cukup lama mereka berjalan menyusuri setiap sisi hutan. Berbagai medan pun sudah mereka jajal hingga sampai di sebuah tempat. Tempat yang sangat terang. Cahaya rembulan datang menyinari dari balik ranting dan dedaunan.

“Akhirnya…. Ada tempat buat kita istirahat” ucap Aryo.

Mereka merebahkan tubuhnya. Menghela nafas panjang setelah melewati berbagai kejadian-kejadian yang mencekam.

“Aku udah gak kuat lagi”

Sebuah kalimat yang keluar dari semua mulut mereka berempat.

Singkat cerita, mereka mendirikan tenda di area itu, dan tidur di dalamnya, setelah melewati malam yang panjang.

Tidak memerlukan waktu yang lama, gelapnya malam langsung melumat kesadaran mereka.

Waktu berjalan cepat saat mereka tidur. Hingga, tiba-tiba ada suara muncul dari luar tenda.

“Mas….. mas……”

Seseorang memanggil dari luar tenda

Langit sudah sedikit terang saat Aryo membangunkan teman-temannya

“Buka saja” jawab Rahmat sesaat setelah membuka matanya.

Aryo kemudian membuka resleting tenda, melihat siapa pemilik suara yang memanggilnya dari luar.

“Mas….. ngapain ngecamp di sini? Bahaya” ucap seorang bapak-bapak mengenakan jaket gunung dan kupluk di kepalanya.

“Bahaya? Enggak pak, kita di tempat aman kok” jawab Aryo.

“Aman gimana to, mas? Lihat aja di luar. Belakang tendamu sudah jurang”

Aryo terperanjat. Kantuknya seketika hilang.

Ia keluar dari tenda dan melihat keluar tenda.

Ia terkejut melihat keadaan di sekitar tendanya. Jantungnya seperti berhenti tiba-tiba.

Pasalnya, tempat yang menurutnya aman dan sangat nyaman tadi malam, ternyata adalah sebuah area kecil yang langsung menghadap ke jurang yang sangat dalam.

“Woii bangun!! Cepetan bangun!!”

“Apa sihh, Yo! Elu gak tau badan gue sakit semua” ucap Fajar.

Aryo menarik kaki teman-temannya satu-persatu hingga mereka bangun.

“Elu mesti keluar, lihat keluar! Kita di bibir jurang” ucap Aryo membuat Rahmat, Yudi dan Fajar terkejut dan seketika bangun.

Keluarlah mereka satu-persatu, memastikan perkataan Aryo.

Bagaimana bisa….

Mereka tidak menyangka, jika mereka bisa sampai di sini.

“Semalem kita gak disini, pak” terang Aryo pada bapak-bapak yang membangunkannya.

“Bapak bagaimana bisa tau tenda kami?”

“Saya tadi kencing gak jauh dari sini. Kemudian lihat tenda mas-masnya”

“Udah, kita pindahkan dulu tenda kita. Ngobrolnya nanti” ajak Aryo.

“Pak, nama bapak siapa?” Tanya Aryo disela-sela saat memindahkan tenda dan bawaannya.

“Saya? Saya Rasiman, mas” ucapnya, sambil membantu Aryo.

“Saya Aryo, pak. Kami dari Jakarta”

Pak Rasiman menuntun mereka ke tempatnya mendirikan tenda. Awalnya mereka melewati sebuah sungai, lalu sedikit berjalan ke atas.

“Pak Rasiman ngecamp di pos berapa?” Tanya Aryo yang masih belum mengetahui dimana sebenarnya posisinya dan teman-temannya.

“Pos lima, mas”

“Itu di atas pos nya” tambah pak Rasiman.

Mendengar jawaban Pak Rasiman, Aryo melihat raut wajah teman-temannya. Raut wajah mereka seperti orang kebingungan yang tak tau arah.

Di sana, Aryo melihat beberapa tenda yang berdiri, lengkap dengan para pemiliknya yang akan menuju puncak gunung slamet.

Pemandangan ini, pemandangan yang ia nanti-nantikan dari semalam. Beberapa pendaki terlihat berada di pelataran tendanya dengan secangkir kopi di tangannya.

Alhamdulillah….

Terima kasih, Ya Tuhan…..

Terima kasih atas segala pertolonganmu…

Aryo membendung air matanya yang sudah hampir keluar dari matanya.

Aryo bahagia….

Mereka bahagia….

Bahagia karena sudah bertemua lagi dengan manusia.

“Dari mana, mas?” salah satu diantara mereka bertanya pada Aryo.

“Dari bawah, mas” jawab Aryo sambil sedikit tersenyum melihat mereka.

“Ini mas tenda saya. Saya berdua di sini sama teman saya, namanya Pak Agung” terang Pak Rasiman saat sampai di tendanya.

“Tenda kalian dibangun di sini saja, masih kosong” tambahnya, sambil menunjukkan area kosong di samping tendanya.

Aryo pun tidak menolak. Begitupun dengan teman-temannya.

Didirikannya lagi tendanya di samping tenda Pak Rasiman.

“Yo! Ini jam berapa? Kok masih agak terang gini” Tanya Rahmat sedikit bingung.

“Eh iya…” reflek Aryo melihat jam tangannya yang sedari tadi mati.

“Kok…. Kok jamku hidup”

“Ha? Lalu ini jam berapa?” saut Yudi.

“Enam…. Ini jam enam”

“Enam apa?” Rahmat yang ragu pun menghampiri Aryo. Melihat sendiri jam di tangan Aryo.

Rahmat diam mematung.

Aryo menyuruh semua teman-temannya duduk dan diam sejenak. Menetralkan segala kalut di pikirannya.

“Maaf, pak. Kalau boleh tau, ini jam berapa, ya? Jam tangan saya eror” Tanya Aryo pada Pak Rasiman.

“Jam 6 sore, mas”

“Kalau hari, pak?”

“Jumat, mas. Memangnya ada apa kok mas Aryo Tanya begitu?” pak Rasiman berbalik Tanya kepadanya. Pasalnya, pertanyaan itu terdengar aneh baginya

“Gak apa-apa, pak. Tanya saja heee heee” jawab Aryo sedikit menyeringai.

“Gak…. Ini bener-bener gak beres” ucap Rahmat pelan.

Fajar dan Yudi pun demikian. Mereka semua bingung. Setelah semalaman penuh berputar-putar di dalam hutan, nyatanya, mereka hanya berjalan tak lebih dua jam dari pos tiga.

“Gak ada gunanya kita begini. Mending kita makan, lalu istirahat” ucap Aryo.

Malam itu, mereka berunding, mengenai apa yang akan mereka lakukan besok, apakah akan mendaki hingga puncak, atau turun saja.

“Turun saja” ucap Rahmat tiba-tiba.

“gue rasa fisik kita udah terkuras semalaman tadi”

“Semalaman atau hanya dua jam, pokoknya setelah semua yang menimpa kita. Gue rasa sangat beresiko kalau kita ke puncak besok. Puncak memang tujuan, tapi bisa pulang dengan selamat adalah tujuan utama kita saat bepergian” ucap Rahmat.

“Elu gimana Jar, Di” Tanya Aryo.

“Gue juga udah capek, Yo” jawab Yudi.

“Kita bisa ke sini lain waktu” tambah Fajar.

Aryo pun demikian, walaupun ia sangat ingin berdiri di puncak gunung slamet. Tapi, keselamatannya dan keselamatan teman-temannya adalah yang utama.

Saat itu, Aryo dan ketiga temannya sepakat untuk turun gunung besok pagi, saat tenaganya sudah sedikit kembali.

“Besok turunnya kita nunggu ada pendaki turun saja, biar ada temannya” usul Fajar.

“Nahhh….” Saut Aryo senang dengan usulan Fajar.

Malam itu, mereka semua beristirahat. Merebahkan segala lelah yang menghantui tubuhnya.

Aryo menolak ajakan Pak Rasiman untuk mendaki ke puncak dini harinya. Ia mengatakan, jika akan turun saja.

Sempat ia ditanya kenapa tidak ke puncak. Tapi, Aryo menutup rapat-rapat alasannya, dengan berdalih kalau badannya agak tidak sehat.

Paginya, cahaya sang surya mengahangatkan tenda berukuran empat orang milik Aryo. Teriknya membangunkan Aryo dan semua teman-temannya dengan sengaja.

Pagi itu, perut mereka terasa sangat lapar walau semalam sudah makan.

Setelah sarapan yang kesiangan dan mengemasi barang-barang, mereka menunggu pendaki yang akan turun ke basecamp.

Benar saja, tak lama, segerombolan pendaki tampak baru sampai di pos 5 setelah dari puncak. Ternyata diantara mereka ada Pak Rasiman dan Pak Agung.

“Lho mas, belum turun?” Tanya Pak Rasiman.

“Iya pak, lagi nunggu ada barengan” jawab Aryo sedikit tertawa.

“Ya sudah, kita bareng aja. Saya juga langsung packing, tadi sudah makan di atas” ucapnya.

Aryo dan teman-temannya pun menerima dengan senang ajakan pak Rasiman.

Pagi yang sudah beranjak siang kala itu, Aryo, serta teman-temannya turun gunung bersama dengan pak Rasiman dan pak Agung. Tampak juga beberapa pendaki yang turun gunung tak jauh berjarak dengan mereka.

Tidak sampai sore mereka semua sampai di pos pendakian dan melaporkan pada petugas basecamp. Setelahnya, ia beristirahat di basecamp tempat mereka menginap saat baru sampai kemarin.

Disitu, Pak Rasiman dan Pak Agung langsung berpamitan pulang. Tak lupa, Aryo mengucapkan banyak terima kasih pada mereka berdua. Karena berkat mereka temukan, Aryo dan teman-temannya bisa kembali ke alam yang sebenarnya, alam manusia.

Malam itu, mereka gunakan untuk bersih-bersih dan beristirahat.

Bahagia… benar-benar bahagia… Karena mereka bisa sampai di basecamp lagi dengan selamat.

Pagi datang, kali ini Yudi bangun duluan.

“Bangun woiii… Ayo kita pulang” teriak Yudi membangunkan yang lainnya.

Sebelum pulang, mereka sempatkan mandi dan mengisi perut yang masih saja terasa perih.

Setelahnya, Yudi menghubungi Pak Sukron, memintanya mengantar lagi ke stasiun Purwokerto.

“Gimana mas, perjalanannya?” Tanya Pak Sukron sesaat setelah mereka naik di mobilnya.

“Aman pak. Tapi kami gak sampai puncak”

“Lho, kenapa?”

“Agak kurang sehat, pak”

“Oalahhh… Ya sudah, gak apa-apa, kapan-kapan ke sini lagi. Nanti bapak antar lagi” ucap Pak Sukron.

Saat perjalanan pulang, tak sedikitpun dari mereka membahas soal kejadian-kejadian pendakian kemarin sebelum sampai di rumah masing-masing.

Setelah semuanya, Aryo, Rahmat, Yudi dan Fajar kembali ke kehidupannya masing-masing. Sejak itu pula Rahmat dan Fajar menjadi teman dekat Aryo dan Yudi, dan menjadi teman perjalanan jika mereka akan melakukan pendakian lagi

Bagi Aryo, pengalaman ini menjadi pengalaman tersendiri baginya.

-TAMAT-

Terima kasih, untuk pembaca dan menyimak hingga di sini. Banyak pelajaran luar biasa yang bisa dipetik dari kisah pendakian Aryo bersama dengan ketiga temannya.

Ambil baiknya, dan buang buruknya.
close