Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

WAKTUMU HAMPIR HABIS (Part 3) - Kampung Gaib

Disini, waktu berhenti. Aryo dan ketiga temannya disambut dan diberi sebuah jamuan. Tapi, jangan sekali-kali menerimanya, atau kamu akan di sini selamanya.


Bagian 3 - Kampung Gaib

Aryo meratapi, meratapi kejadian-kejadian mencekam yang menimpanya.

Saat itu, tidak ada yang Aryo harapkan, selain bertemu tanah lapang yang cukup untuk mendirikan tenda.

Tapi, lama waktu yang mereka lalui belum juga menemukannya. Sejak tadi yang mereka temui hanya jalur yang penuh dengan rumput-rumput liar dan pohon dengan akar besarnya.

Tenaganya yang terkuras dan oksigen yang menipis akibat malam hari menyulitkan Aryo dan ketiga temannya.

Aneh….

Jalur terus menanjak. Tidak memberi kesempatan mereka untuk menghela nafas panjang.

“Mat! Mau sampai kapan kita jalan terus” tanya Yudi yang nampaknya mulai menyadari kejanggalan ini.

“Gue juga bingung. Gue jalan terus karena pengen cepet nemu tempat buat ngecamp”

Aryo melihat jam tangannya, ia terkejut, karena jam sudah menunjukkan hampir jam 9 malam.

“Woii…. Ini udah hampir jam 9. Kenapa kita masih di jalan yang gak ada ujungnya ini” ujar Aryo membuat ketegangan bagi teman-temannya.

Semuanya bingung, bingung apa yang harus mereka lakukan. Aryo takut jika memandang Rahmat, karena sosok yang ia sebut ‘hobbit’ tadi masih menempel di cariernya.

“Elu kenapa sih, Yo?” Rahmat menyadarinya. Ia curiga dengan tingkah Aryo.

Aryo menghampiri dan berbisik pada Rahmat
“Ada setan di cariermu” tukas Aryo yang membuat Rahmat tersentak dan langsung melepas carier di punggunya.
Dengan wajah tegang, Rahmat berlari sedikit menjauh.

“Kenapa… Kenapa?” Fajar dan Yudi bersautan bertanya melihat Rahmat dan Aryo yang nampak ketakutan diantara kegelapan.

“Gak... Gak... Gue kira ada ular tadi.” Rahmat dan Aryo masih mencoba menyembunyikannya. Mereka berdua berusaha tegar.

“Jalan lagi?” ajak Rahmat yang kembali menenteng cariernya. Aryo memberinya isyaratjika cariernya sudah aman. Tapi, sosok anak-anak itu masih di sekeliling mereka memperhatikan dari balik semak-semak dan pepohonan.

Mereka berempat kembali melangkah menyusuri malam.

“Aneh. Kemana sebenarnya arah langkah ini” gumam Aryo.

Rembulan malam sedikit menyinari perjalanan mereka. Langkah demi langkah terus menebas sejengkal demi sejengkal luasnya hutan.

“Huhh… Huhhh…. Huhhhh….” Suara nafas mereka berempat bergantian bersautan mengiringi perjalanan.

Masing-masing diantara mereka terlihat semakin kelelahan. Beberapa kali Rahmat menghentikan langkahnya untuk sekedar menghela nafas panjang. Rahmat melihat wajah teman-temannya. Tak sedikitpun senyum terlukis di wajah mereka.

“Sebenarnya kita lagi jalan kemana, sih?” Yudi bingung.

“Gue gak tau” jawab Rahmat.

Fajar mengambil plastik putih kosong di cariernya. Kemudian ia ikatkan di salah satu ranting yang ada di dekatnya. Yang lain diam memperhatikan.

“Sebagai tanda. Kalau kita nanti jalan lagi dan ketemu plastik putih ini, tandanya kita hanya diputar-putarkan saja dari tadi” ujar Fajar.

Setelah lelahnya sedikit hilang, mereka kembali berjalan. Rahmat memperhatikan plastik putih yang diikat Fajar.

Tapi…

Firasat Fajar benar, detelah 30 menit berjalan, mereka kembali menemukan plastil putih yang diikatkan Fajar tadi.

“Kita coba jalan lagi” ajak Rahmat.

Lagi-lagi, mereka menemukan plastik itu lagi. Rahmat kembali mengajak berjalan lagi. Dan kembali di tempat itu lagi.

“Jam berapa sekarang, Yo?” Tanya Fajar pada Aryo
Aryo melihat jam tangannya, karena diantara mereka berempat hanya Aryo yang mengenakan jam tangan. Tapi…

“Jam gue mati” cetus Aryo.

“Ha? Kok bisa?”

“Gue juga gak ngerti” Aryo bingung, jam tangannya mati tiba-tiba. Fajar berusaha merogoh HP di kantong celananya.

“Hp gue mati”

Hal itu sontak membuat Rahmat dan Yudi juga mencari keberadaan HP nya. Hal serupa juga menimpanya. Semua HP dan jam tangan milik Aryo mati tiba-tiba.

Mereka mulai putus asa. Tubuhnya lelah karena berjam-jam terus dipaksa untuk berjalan. Tak sepatah katapun keluar dari mulut mereka. Semuanya diam, meratapi kemalangan yang sedang menimpa mereka, kemalangan segerombol pemuda yang tersesat di hutan belantara gunung Slamet.

Di tengah kerisauan, Aryo melihat kerlip-kerlip cahaya di kejauhan. Ia memastikannya berkali-kali, takutnya, yang ia lihat hanya fatamorgananya belaka. Tapi, pandangannya tidak berubah, ia yakin, jika yang dilihatnya bukanlah fatamorgananya saja.

Lihat gak? Itu banyak lampu” ujar Aryo.

“Ehhh.. Iya..”

“Alhamdulillah… Kita selamat”

Semuanya melihat. Tandanya itu bukanlah fatamorgananya Aryo saja.

“Kayanya ada yang ngecamp di situ” tambah Aryo.

“Yuk, jalan” ajak Yudi.

Semangat kembali datang pada benak mereka berempat. Mereka bangkit dan berjalan ke arah kerlipan lampu yang mereka lihat dan percayai adalah cahaya dari segerombolan pendaki yang sedang bermalam.

Rahmat mempercepat langkahnya. Yudi, Fajar dan Aryo pun mengikutinya dari belakang. Mereka memaksa tubuhnya untuk bergerak lebih cepat, agar lekas bisa beristiahat.

Awalnya, tidak ada keraguan dan penuh semangat tatkala mereka menghampirinya. Tapi, saat hampir sampai, yang mereka lihat justru membuat rasa semangatnya sirna tiba-tiba. Rasa takut yang tadi hilang pun seketika datang lagi.

Semuanya saling melihat satu sama lain. Seakan tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Pasalnya, yang ada di depannya bukanlah tenda-tenda atau perapian milik pendaki. Melainkan sebuah perkampungan. Sebuah perkampungan lengkap dengan penduduknya.

Rahmat seketika menghentikan langkahnya, yang ia lihat bukan seperti yang ia bayangkan. Yang awalnya mereka kira adalah area camp, nyatanya adalah sebuah perkampungan dengan rumah-rumah, dan penduduk yang lalu lalang di dalamnya.

“Pukul gue” ucap Rahmat. Ia berharap, jika apa yang dilihatnya hanyalah halusinasinya saja.

“Balik lagi, yuk” bisik Aryo pelan.

Aryo membalikkan badannya, melangkah pelan-pelan menjauh. Diikuti Fajar, Yudi dan Rahmat. Aryo berjalan pelan menjauh dari perkampungan itu. Dengan harapan, semoga tidak ada penduduk di sana yang menyadari kedatangan mereka.

Agak jauh Aryo membawa teman-temannya. Saat dirasa aman, Aryo meletakkan tas cariernya.

“Gak bener ini. Apa salah kita sampai dibuat begini?”
Semuanya diam.. Bingung.. Takut…

Diantara heningnya malam itu. Seorang lelaki tua berjalan ke arah mereka. Ia datang dari arah perkampungan yang mereka hampiri tadi.

“Hah… Siapa itu….” Cetus Fajar yang menyadari kedatangannya dari kejauhan.

Mereka sedikit menjauhkan carier dan area duduk dari jalan yang mereka lewati, agar tidak terlihat dari pandangan lelaki tua itu.

Lelaki tua itu berjalan yakin meski tanpa membawa bantuan cahaya sekalipun. Langkahnya tepat, meski banyak semak belukar di depannya.

Siapakah dia? Apa dia penguasa hutan ini?

“Ya Allah… Aku takut…” ucap Yudi yang bisa di dengar semuanya.

Mereka semua takut dan tidak tau akan berbuat apa. Badan seperti dikunci, hingga tidak bisa bergerak walau hanya sejengkal.

Aryo bingung dan takut bercampur jadi satu. Keringat sejagung-jagung mengalir deras di balik kaosnya yang sudah lusuh dan berubah warna akibat seharian menyusur hutan.

Mereka berempat hanya bisa duduk sambil menundukkan kepalanya, berharap agar sosok lelaki tua itu cepat hilang dan tidak menyadari keberadaan mereka. Tapi, lelaki tua itu semakin lama semakin mendekat.

Semakin dekat…

Semakin dekat…

Suara langkahnya yang menyapu daun-daun kering tedengar semakin jelas tatkala langkahnya semakin mendekat.

Tiba-tiba… Sebuah suara muncul di telinga mereka.

“Kowe kabeh sopo, le? Seko ngendi asalmu? Arep golek opo lungo tekan kene?” (kalian siapa, nak? Kalian dari mana? Mau apa ke sini? Mau cari apa di sini?) pertanyaan lelaki tua itu dengan ke dua matanya yang menatap Aryo dan ketiga temannya.

Aryo melirik ketiga temannya, tak satupun berani menatapnya.

“Le…..” (nak) ucap lelaki tua itu lagi.

Yudi menatap Aryo…

“Yo! Dia ngomong apa? gue kagak ngerti! Elu yang bisa bahasa jawa di sini” ucap Aryo sambil berbisik pelan.

“Hmm….hmmm” Aryo terbata-bata. Aryo mengumpulkan sedikit keberaniannya. Keberanian untuk menatap wajah lelaki tua misterius itu.

“Ku… ku… kulo saking ngandap mbah, kulo ajeng mendaki kaleh rencange kulo” (Saya dari bawah mbah, saya mau mendaki dengan teman saya) jawab Aryo menunduk.

Matanya hanya menatap kaki lelaki tua itu. Kaki yang hanya mengenakan sandal yang terbuat dari kayu dan beberapa serat pohom yang mengikat di kakinya.

“Kok iso tekan kene?” (kok bisa sampai sini?) Tanya lelaki tua itu lagi.

“Mboten ngertos, kula kaleh rencang nggeh mboten ngertos saget dumugi mriki. Kula tersesat, mbah” (tidak tau, saya dan teman saya juga tidak tau bisa sampai di sini. Saya tersesat, mbah)

Lelaki tua itu tertawa mendengar jawaban Aryo. Suaranya besar, mengisi keheningan malam itu.

“Melu aku… sing mbok delok mau kuwi kampungku” (Ikut aku… yang kamu lihat tadi itu kampungku) tutur lelaki tua itu.

Bingung…
Itu yang dirasakan Aryo saat itu.

“Mboten, mbah.. Ku… kula ting ngriki mawon” (Tidak, mba. Sa… saya di sini saja) jawab Aryo terbata-bata.

“Orapopo, le. Wes, melu aku, mampir sek ning pekaranganku. Kowe kabeh ora bakal knopo-kenopo, rak usah kuwatir” (tidak apa-apa, nak. Sudah, ikut saya, mampir dulu di tempatku. Kalian tidak akan kenapa-kenapa, tidak perlu khawatir) ujar lelaki tua itu dengan suara lembut.

Aryo diam sebentar. Kemudian menghembuskan nafas panjang lalu menegakkan kepalanya, melihat wujud lelaki tua itu.

Lelaki tua itu tersenyum kepadanya. Senyum yang membuat Aryo sedikit tenang melihatnya.

Tidak… tidak ada rasa curiga di benak Aryo tatkala melihatnya. Pasalnya, yang ia lihat hanyalah lelaki tua pada umumnya. Lelaki dengan pakaian sederhana dengan ikat kepala. Seperti selayaknya seorang penduduk desa biasa.

“Kenopo, le?” (kenapa, nak?) Tanya lelaki tua itu saat mengetahui Aryo sedang memperhatikannya.

“Mboten, mbah… mboten nopo-nopo” (tidak, mbah… tidak apa-apa)

“Hehh…! Dia ngajak kita ke rumahnya” ujar Aryo pada ketiga temannya.

“Di mana?”

“Tadi… di sana…. Di kampung tadi”

“Elu yakin di sana rumahnya? Mana ada sih kampung di tengah hutan begini” Tanya Yudi.

“Kalian lihat dulu orangnya” Aryo meyakinkan teman-temannya jika yang ia lihat dan yang menghampiri mereka adalah lelaki tua biasa pada umumnya.

Minimal, itu yang dipikiran Aryo kala itu.

Rahmat, Fajar dan Yudi diam. Tidak ada alasan bagi mereka untuk menolak ajakan lelaki tua itu. Mau tidak mau mereka bertiga menerimanya.

“Panggil saja mbah” ucap Aryo pada teman-temannya saat hendak berjalan.

Aryo memimpin perjalanan mereka berempat. Dia berada paling depan, berada tepat di samping lelaki tua itu.

“Jenengku mbah ****, le. Aku wong kene” (namaku mbah ****, nak. Aku orang sini) ujar mbah **** tersebut.

(Saya tidak bisa menyebutkan atau menyamarkan nama lelaki tua tersebut)

Aryo dan ketiga temannya berjalan mengikuti mbah ****, melewati tapal batas kampung yang sempat mereka lihat tadi. Tapal batas yang terbuat dari bambu yang sudah mulai lapuk dan membentuk seperti sebuah gapura di kanan kiri jalan.

Aryo tertegun melihat keadaan kampung tersebut. Bagaimana tidak?

Perkampungan yang ia lihat adalah perkampungan tradisional masa lalu. Sebuah perkampungan yang biasa ia lihat dari layar kaca televisi. Rumah-rumah berjejer dengan atap berbentuk joglo saling berhadapan.

Beberapa bahkan seperti gubuk-gubuk dengan daun-daun rumbia di atapnya. Di tepi jalan dan di depan hampir semua rumahnya pun terdapat obor yang menyala untuk menerangi. Obor yang berjejer sepanjang jalan yang ada di kampung ini.

Warganya pun demikian, pakaian yang merekan kenakan adalah pakaian-pakain lawas ala-ala penduduk jawa di jaman dahulu.

Beberapa penduduk tersenyum saat berpapasan dengan mereka. Tak jarang juga, ada penduduk yang menatap mereka dengan tatapan aneh.

Seolah mereka berpikir, siapakah mereka ini, segerombol makhluk yang datang kemari dengan penampilan tak lazimnya seperti penduduk di sana.

Tapi, ada hal aneh yang membuat Aryo penasaran. Setiap penduduk yang melewatinya tidak hanya menyapanya dengan senyuman. Tapi juga menundukkan badannya sambil menoleh ke arah mbah ****

Sepertinya, mbah **** bukan orang biasa di kampung itu.

Rahmat, Fajar dan Yudi pun keheranan melihat apa yang ada di depan matanya.

“Yo! Ini di mana?” Tanya Rahmat.

Aryo memberi isyarat dengan tangannya dari belakang untuk menyuruh semuanya diam dan mengikutinya saja.

Dibawalah mereka ke sebuah tempat seperti pendopo, nampaknya, pendopo ini adalah tempat yang biasa dimanfaatkan penduduk di sana untuk acara-acara kampung.

“Monggo, podo lungguh sek” (Silakan, duduk dulu) tutur mbah ****

Ia mempersilahkan Aryo dan ketiga temannya duduk di sebuah kursi panjang yang terbuat dari bambu. Di situ, mbah **** mulai sedikit bercerita.

“Kae, ning kono, iseh ono hajatan. Acara penduduk kampung iki” (Itu, di sana, masih ada hajatan. Hajatan penduduk kampung sini) ujar mbah **** sambil menunjuk ke arah acara kampung yang tidak jauh dari pendopo tersebut.

Jika digambarkan, acara hajatan tersebut adalah seperti acara pesta rakyat desa. Yang mana ada sebuah panggung kecil, dimana diatasnya ada seperangkat gamelan dan beberapa penari yang sedang menari di atasnya.

Tapi…

Aryo tidak asing dengan alunan musik gamelan yang di dengarnya.

Suara ini…

Aryo berusaha mengingat

“Itu….”

“Itu suara gamelan yang menyambut kedatangannya di awal pendakian tadi! Sama persis!” Aryo tidak ragu lagi.

“Mat! Suara itu” Aryo berbisik pada Rahmat, karena dia juga mendengarnya di awal perjalanan tadi.

Rahmat tiba-tiba tersentak dari duduknya, ia pun seketika langsung menyadarinya.

Aryo yang semula tenang tiba-tiba jantungnya deg-deg’an. Ia merasa jika kampung ini bukanlah kampung biasa. Ia mulai berpikir bagaimana caranya ia dan teman-temannya bisa keluar dari sini.

Sementara, di sisi lain, mbah **** berjalan ke luar, menuju ke sebuah rumah yang tak jauh dari pendopo. Saat keluar dari sana, mbah **** terlihat membawa dua buah piring besar yang berisi makanan di tangannya.

“Iki, le, disambi. Kowe mesti keselen bar mlaku adoh tekan kene” (Ini, nak, kalian pasti capek setelah berjalan jauh sampai sini) ucap mbah **** sambil meletakkan dua buah piring di sebuah meja papan kecil di depan Aryo dan teman-temannya.

“Nek kurang, engko tak jupukke meneh” (kalau kurang, nanti saya ambilkan lagi) tambah mbah ****

Yudi terlihat kegirangan melihat makanan di depan matanya, Aryo yang duduk di sebelahnya pun membisikkan perkataan melalui telinganya.

“Jangan dimakan”

Yudi bingung dengan perkataan Aryo.

“Kenapa?” tanyanya.

“Udah pokoknya jangan, dari pada kita gak bisa pulang"

Ucapan Aryo seperti ancaman bagi Yudi. Yudi senyum sambil melihat mbah ****

“Lho, kenopo ora sido dijupuk, le?” (kenapa tidak jadi diambil, nak?) rupanya mbah**** menyadari, jika Yudi sedari tadi sudah ingin memakan jamuan yang dibawakannya.

“Maturnuwun sanget, mbah. Nanging kula kaleh rencang-rencang dereng luwe, mbah” (Terima kasih banyak, mbah. Tapi, saya dan teman-teman belum merasa lapar)

“Kula nggeh mbekto dhahar, mbah” (Saya juga bawa makan, mbah) ucap Aryo.

Mbah **** mengercitkan dahinya mendengar ucapan Aryo.

“Wes, ta. Orapopo, jajananmu iso dipangan engko gawe sangu bali, le” (Sudah gak apa-apa, makananmu bisa dimakan nanti buat perjalanan pulang, nak)

Belum sampai bisa Aryo menolaknya, seorang perempuan paruh baya datang membawa sepiring jajanan lagi dan beberapa cangkir
minuman.

“Monggo mas, iki dipangan wae, iki ngombene, Ora usah tek sungkan” (silakan mas, ini dimakan saja, ini minumnya, tidak perlu sungkan) ucap perempuan itu sambil meletakkan empat piring makanan dan empat cangkir berisikan air berwarna hitam.

Aryo semakin bingung, ia melirik Rahmat.

“Sekedhap nggeh, mbah” (Sebentar ya, mbah) ucap Aryo sambil berdiri dan mengajak Rahmat untuk keluar pendopo sebentar.

“Lho, elu mau kemana, Yo?” Tanya Yudi bingung melihat Aryo yang beranjak pergi dengan Rahmat.

“Apapun yang terjadi, jangan di makan” cetus Aryo pada Yudi sesaat sebelum meninggalkannya di situ dengan Fajar.

Mereka berdua kemudian berjalan agak jauh hingga tak terlihat dari pendopo. Di situ, mereka berdua berpikir, bagaimana caranya bisa keluar dari sana.

BERSAMBUNG

Cerita Aryo dan ketiga temannya semakin memasuki bagian akhir. Kali ini, Aryo semakin berani agar bisa keluar dari kejadian-kejadian mencekam yang menimpanya.

Tapi, para penghuni hutan tidak membiarkan Aryo keluar dengan mudah

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close