Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

BERTARUH NYAWA DI ALAS DEMIT (Part 5) - Pertarungan

Bagai hewan buas lapar yang baru melihat santapannya, dia berlari lalu mencengkeram dengan kedua tangannya. Sekarang, pilihannya hanya bertarung atau mati tanpa perlawanan.


Part 5 - Pertarungan

Bau semerbak wangi menyambut kedatangan mereka bertiga saat kembali lagi ke dalam hutan. Aura-aura seram sangat ketara mereka rasakan. Kelana melangkah tangkas, berjalan paling depan.

Wussshhhhhh…… wwusssshhhh……

Suara angin berhembus dan menghantam pepohonan hingga membuat banyak dedaunan gugur ke atas tanah. Kelana sedikit was-was, baru saja mulai melangkah, tapi sambutannya seperti kurang ramah.

“Kita harus mencari pohon kembar yang di dekatnya ada batu besarnya. Itu petunjuk pertama dari Bu Utari” ucap Zafar

“Oke” jawab Kelana

Walau sudah jauh dari desa Murni, Kelana masih saja memikirkannya. Wanita yang mampu meluluh lantahkan hatinya meski baru bertemu di hutan ini

“Far, ini jalan udah benar? Dari tadi aku hanya jalan lurus aja”

“Iya, dari catatanku benar. Tanda-tanda yang dijelaskan Bu Utari masih bisa ku lihat sejak tadi. Nanti, beberapa meter sebelum lembahan, kita ke barat”

Walaupun berada di hutan itu adalah pertama kali bagi mereka bertiga, Kelana sudah mampu membaca arah mata angin dari tanda-tanda alam di sekitarnya, yaitu dari lumut yang menempel di setiap batang pohon-pohon besar.

Lumut akan berwarna hijau di sisi sebelah timur, dan akan menguning gelap jika berada di sebelah barat. Ternyata, dengan petunjuk-petunjuk yang diberikan Bu Utari, berjalan di hutan yang hampir tidak ada kehidupan manusia ini terasa lebih mudah dan terarah.

Sekarang, mereka bertiga ibarat sedang melakukan sebuah wahana yang mengharuskan mereka sampai pada misi-misi yang perlu dilewati dan dituntaskan agar keluar dari ketersesatan mereka.

“Na, di sini ada pohon berjejer tiga, tepat di sini, kita ke arah barat, nggak jauh setelahnya, kita akan ketemu dengan pohon kembar” ucap Zafar.

“Yakin benar?” tanya Sanjaya.

“Ya. Lihatlah kalau nggak percaya” balas Zafar.

Kelana menghentikan langkahnya, memeriksa tanda-tanda alam di sekelilingnya. Setelah menemukan arah, ia melanjutkan jalan lagi. Hutan semakin rapat saat semakin jauh masuk ke dalam hutan.

Meski waktu masih siang, karena saking rapatnya hutan, sinar matahari pun enggan masuk sampai ke dasar hutan. Jadi, meski masih siang, sudah seperti surup jika di sini.

(Surup : waktu sore menjelang maghrib)

“Gila sekali hutan ini. Gelap sekali” tandas Zafar.

“Diamlah, jaga mulutmu, Far” ucap tegur Sanjaya.

“Pohon kembar, ada berapa kembarnya, Far?” tanya Kelana.

Zafar melihat catatannya. “Bu Utari tak menyebutkan jumlahnya” katanya.

Beberapa puluh meter dari situ, di salah satu sudut hutan yang sedikit terbuka, Kelana dan Zafar melihat dua pohon tinggi menjulang bersebalahan. Pohon biasa memang, namun berukuran besar dan memiliki tinggi paling tinggi dari pada pohon-pohon di sekitarnya.

Tapi, Kelana tak mampu melihat ujung pohon kembar itu, karena diselimuti kabut. Jika dilihat dari jauh, mirip seperti pintu raksasa yang berada di tengah hutan.

“Apa itu?” celetuk Zafar.

“Mungkin. Ayo, jalan terus” ajak Kelana.

Semua terasa biasa saja, tanpa ada kejanggalan apa-apa. Namun, semuanya berubah, manakala semakin dekat dengan pohon kembar. Kelana mulai merasakan energi negatif di dekatnya. Dan…. Ternyata benar. Ada banyak penjaga tersebar di sekitaran pohon kembar.

“Apa kalian ingat, bagaimana pertama kali kita ketemu demit di awal perjalanan kemarin?” pertanyaan aneh dilontarkan Kelana tiba-tiba.

“Ha? Maksudmu?” Zafar menggeleng tak paham.

“Lihatlah, di depan sana. Mereka udah menunggu kedatangan kita” ucap Kelana.

Gerombolan pocong hitam mirip seperti yang sempat mengejar mereka kemarin, kini kembali terlihat lagi. Pocong-pocong dengan wujud dan mukanya yang gosong legam menatap mereka bertiga dengan wajah yang menyeramkan.

Padahal, hari masih siang, demit-demit sudah mulai muncul menghadang perjalanan mereka bertiga.

“Berarti benar, itu adalah pohon kembar. Mungkin, di sana adalah tempat mereka bersemayam. Aku yakin masih banyak yang lainnya, yang belum memperlihatkan wujudnya” tukas Kelana.

Menyadari itu, ketiganya berhenti. Saling tanya satu sama lain, langkah apa yang harus mereka lakukan setelah ini.

“Na, Buto yang kemarin jauh lebih menyeramkan, dan kamu bisa melawannya, sementara itu yang di depan kita hanya pocong-pocong kecil, tak ada apa-apanya jika dibanding Buto Ireng yang kau lawan kemarin. Majulah, aku percaya padamu. Kami berdua mengikuti di belakangmu”

“E-e-e…. Ya…. Iya, Kelana… Sanjaya benar. Bagaimanapun kita harus mencapai pohon kembar itu” seru Zafar.

Kelana tersenyum kecut, “Kenapa kalian mengumpankanku?”

“Diantara kita, kamu yang paling berani, Na, dan udah teruji” tandas Sanjaya sambil tersenyum dengan wajah takut.

“Teruji mulutmu teruji!” umpat Kelana.

“Ayolah, Na… Nggak ada jalan lain” imbuh Zafar.

“Sialan kalian” umpat Kelana.

Mau tidak mau, Kelana harus menuruti dua temannya, ia memaksakan dirinya sendiri. Karena jika terus diam terus di sini atau mencari jalan lain, ia rasa itu hanya akan mengantarkannya ke dalam ketersesatan lainnya. Kelana mulai berjalan.

Meskipun pohon kembar sudah terlihat, tapi, letaknya berada di punggungan seberang. Mereka bertiga perlu menuruni punggungan dan kembali menaiki punggungan selanjutnya.

Satu tangan Kelana bergerak ke carier di belakang pundaknya. Tangannya merogoh pusaka yang diberikan Murni. Kini, dia sudah berjaga-jaga. Jika tiba-tiba mereka menyergap, Kelana sudah siap menikamnya kapan saja.

“Jika mereka tiba-tiba menyerang, akan ku keluarkan pusaka ini. Lihat saja kalian, pocong-pocong hitam sialan.” Umpat Kelana.

“Kalian tak lebih seperti isi hati para wakil rakyat di negeri ini yang sudah gelap karena tertutup oleh kepentingan-kepentingan yang tak berpihak ke orang banyak. Cuuihhh!” ucap Kelana dengan nada marah dan jantung yang berdebar.

Bau anyir menyengat menyeruak manakala semakin dekat dengan pocong-pocong itu.

“Pocong anjing! Udah hitam, bau! Pantas saja kau masih berkeliaran di sini, sepertinya ragamu tak diterima di bumi karena wujudmu yang sangat menyedihkan ini” Kelana tak henti-hentinya mengumpat untuk menepis segala rasa takut yang datang.

Semakin dekat dengan pohon kembar, semakin jelas Kelana lihat, ternyata, jumlah pocong di sini melebihi dari dugaannya. Sangat banyak. Belasan, bahkan puluhan, atau malah ratusan, mereka tersebar di setiap penjuru di hutan sekitar pohon kembar.

Kelana terus berjalan, berusaha tak menghiraukan pocong-pocong itu walau jantungnya sudah berdebar. Saat beberapa langkah lagi sampai di pohon kembar, pocong-pocong di dekat situ tampak mendekat, mencoba menghadang kehadiran Kelana.

Kelana yang menyadarinya, mulai menarik pusakanya, namun, belum sempat keluar seluruhnya, pocong-pocong itu menghilang dengan sendirinya. Itu terjadi berulang kali.

“Pusaka ini, benar-benar berarti dan kuat sekali, sampai-sampai bisa mengusir pocong-pocong sialan ini dengan mudah” ucap lega Kelana.

“Tujuh langkah setelah melewati pohon kembar, ke selatan, Na” ucap Zafar.

Kelana baru menyadari, jika jalan yang harus ia lalui berada di celah antara dua pohon kembar itu. Saat melewatinya, Kelana merasakan hawa yang berbeda dari sebelumnya, wilayah setelah pohon kembar seperti dimensi yang berbeda.

“Hati-hati. Aku merasa hawanya berbeda dari sebelumnya” ujar Kelana dengan keadaan tangannya yang masih berjaga-jaga.

Setelah berhasil melewati pohon kembar dan tidak ada lagi pocong-pocong yang terlihat, Kelana menghentikan kakinya, mengajak Zafar dan Sanjaya beristirahat melepas lelah sebentar, sambil memakan perbekalan yang dibawakan Bu Utari.

“Udah siang, kita istirahat dulu dan makan siang” ajak Kelana.

“Berapa lama lagi kita di hutan ini, Far?” tanya Sanjaya.

“Masih beberapa titik lagi, aku nggak tau seberapa jauhnya. Tapi, setelah pohon kembar, Bu Utari menyuruhku untuk menandainya dengan tanda seru (!). Apa artinya?”

“Kamu nggak tanya Bu Utari?”

“Beliau hanya bilang, nanti kita juga akan tau sendiri”

“Coba lihat” pinta Kelana.

Beberapa menit ia melihatnya sambil berpikir, apa maksud tanda ini.

Mengajak? Apa mungkin artinya mengajak? Ah, rasanya tak mungkin.

Atau…..

Hati-hati? Peringatan?

“Ya!!! Ini pasti tanda peringatan” ucap Kelana dengan nada keras.

“Peringatan? Dari apa?” tanya Zafar.

“Aku rasa, akan ada banyak kejutan setelah ini. Tapi, jangan kalian harap, kejutan ini seperti kejutan ulang tahun yang biasa kalian nikmati. Bersiaplah dengan segala kemungkinan buruk” ujar Kelana.

“Na, bagaimana jam tanganmu? Hidupkah?” tanya Zafar.

Kelana kemudian melihatnya, di situ, yang ia lihat hanyalah kacanya yang penuh air embun dan jarumnya tak lagi berputar.

“Mati. Entah rusak, atau memang hutan ini yang mematikannya”

Matahari perlahan turun, tandanya waktu sudah sudah masuk sore. Mereka bertiga mulai bergerak lagi.

“Huhhh….” Kelana mengambil napas dalam lalu membuangnya. Ia gendong lagi carier dengan muatannya yang lumayan.

“Ayo, lanjut” ajak Kelana.

Melakukan perjalanan ini tak hanya cukup dengan fisik saja, tapi juga perlu diiringi dengan mental dan tekad setebal baja, serta doa yang terus terucap sepanjang waktu. Jika itu semua tak ada, hanya akan mengantarkan nyawa pada pelukan semesta.

“Di peta yang ku gambar, setelah ini kita akan masuk wilayah hutan yang lebat, dan ada sungai kecil di sana” ucap Zafar.

“Tapi, tapi, ku rasa nanti akan sulit”

“Maksudmu?” balas Kelana.

“Akan banyak demit menyambut kita di sana”

“Apa sebenarnya dari tadi kita baru akan masuk ke Alas Demit?” tanya Kelana.

Zafar dan Sanjaya diam seribu bahasa sambil menatap mata Kelana. Mereka bertiga sama-sama tidak tahu kebenarannya. Tanpa banyak pertimbangan, Kelana terus berjalan dengan yakin.

Hutan yang rapat kembali mereka masuki, namun, ini sangat rapat sekali. Rasa-rasanya, Kelana tidak asing dengan hutan ini, dia seperti sudah pernah melewatinya.

Suasana seketika berubah, udara yang dari tadi terasa sejuk da nagak dingin, berubah menjadi gerah. Angin tak lagi berhembus, sinar matahari pun semakin minim masuk hingga di atas tanah. Kelana mulai berjaga-jaga dan waspada.

“Ada apa, Na?”

“Hutan ini, nggak asing bagiku, suasana di sini terasa aneh. Berdoalah kalian”

Beberapa detik kemudian, kabut tiba-tiba datang, mengisi segala ruang yang ada di dalam hutan, membuat Kelana bingung menemukan arah selanjutnya.

“Kabut begini, aku susah mencari arah, bagaimana…" Ucap Kelana belum sampai selesai, tiba-tiba.

Beberapa titik orange kemerahan tiba-tiba terlihat melayang-layang dari kejauhan. Kelana menatapnya, “Apa itu? Apakah ada orang di sana?”

“Siapa?” teriaknya.

Kelana berusaha menghampiri dan memeriksanya, semakin ia melangkah ke depan, titik-titik cahaya itu semakin pula mendekat.

“Krraaakkkk….”

“Deeerrrr”

Suara-suara aneh muncul, seperti batang-batang yang patah disertai suara letupan.

“KELANA!!”

“Itu banaspati! Lihatlah!” teriak Sanjaya di belakangnya.

Baru sepersekian detik setelah Sanjaya mengucapkan itu, titik-titik cahaya yang awalnya Kelana kira adalah manusia, ternyata adalah bola-bola api yang melayang bebas dan mengantam banyak pepohonan di dekatnya

Kelana meringkuk mundur. Zafar dan Sanjaya pun demikian. Jiwanya bergetar hebat, jantungnya pun kembali berdebar disertai rasa panik yang perlahan naik.

“Kelana… Pusakanya….” Bisik Zafar.

“Entah sudah berapa demit yang ku lihar di hutan ini, tapi, kali ini aku tak takut lagi, aku lebih siap menghadapi ini” ucap Kelana dalam hati.

Dirogohnya pusaka pemberian Murni, ia keluarkan tanpa ragu. Di sini, rasa-rasanya Kelana seperti seorang pemberani yang mengangkat pusaka di tangan kanannya.

Entah kapan berubahnya, pusaka itu kini sudah berwujud keris seperti kemarin, seolah sudah mengerti ada bahaya yang sedang mendekati.

“Kalian hanya setitik kecil dari Pencipta Alam Semesta ini. Derajatmu tak lebih tinggi dariku di mata-Nya. Tak semestinya aku gentar mengadapi kalian semua”

Kelana merapalkan doa untuk menambah keberaniannya. Selepas itu, ujug keris yang ia pegang diselimuti cahaya dan kilatan-kilatan listrik. Kelana mengarahkannya ke setiap banaspati yang beterbangan mengelilinginya.

Namun, Kelana sedikit lengah, banaspati itu menyergap Sanjaya di belakangnya. Sanjaya terpental lumayan jauh. Zafar berusaha menolongnya, dan Kelana dengan cepat mmenuntaskan sergapan banaspati-banaspati itu.

“Apa kamu baik-baik aja, Sanjaya?” tanya Kelana menghampirinya.

“Ya, hanya sedikit luka, tapi ini nggak jadi masalah.”

“Ayo, sebaiknya kita jalan lagi. Kita harus cepat keluar dari wilayah ini. Segera!”

Kabut sedikit tersingkap, ini pertanda baik. Kelana langsung kembali lagi mengambil langkah paling depan, menerabas setiap jengkal hutan yang ia yakini adalah Alas Demit.

“Apa selanjutnya, Far?”

“Ini agak jauh, terus jalan aja”

Kelana kian mempercepat langkahnya, hampir tidak ada santai-santainya.

“Tolong…. Tolong bersahabatlah…. Kami memang pendatang, kami tidak mengganggu, apa lagi punya niat buruk” pinta Kelana dengan napasnya yang terengah-engah, meski ia tahu harapannya akan sia-sia.

“Brruuuugggg….. brruugggg”

Suara benda jatuh gedebukan terdengar, ternyata…… Itu merupakan suara Sanjaya yang jatuh tersungkur, menggelinding ke tanah yang lebih rendah.

“Sanjaya!” teriak Kelana dan Zafar, seraya mengejar tubuh Sanjaya yang masih menggelinding ke bawah sebelum akhirnya terhenti karena terbentur satu batang pohon di bawah.

Sanjaya pingsan, hal itu membuat Kelana dan Zafar panik tak karuan. Mereka berdua lebih dulu mengangkatnya, lalu membawanya ke tempat yang lebih aman.

Saat keadaan mulai membaik, Sanjaya tersadar dengan kepala yang terasa sakit dan lengan kanannya yang terasa pegal. “Ini di mana?” tanya Sanjaya sambil berusaha melihat sekelilingnya. Sanjaya memegang kepalanya yang terasa sakit dan pusing itu.

“Kenapa badanku sakit semua” ucap Sanjaya dengan kesadarannya yang belum kembali penuh.

Kelana teringat sesuatu hal. Sebuah barang yang dibawakan oleh Bu Utari. Ya, gula kelapa. Kelana mengeluarkannya satu, lalu meminta Sanjaya agar memakannya, karena menurut Bu Utari, ini bisa membuat energi dan tenaga menjadi kuat lagi.

Matahari kian turun, berganti dengan hari yang semakin gelap. “Kita istirahat dulu di sini” ucap Kelana.

“Nggak akan lebih baik jika kita memaksa jalan saat hari sudah gelap. Terlebih lagi, dengan keadaan Sanjaya yang begini”

Saat itu, dibantu Zafar, Kelana mendirikan tendanya yang berukuran empat orang itu. Lambat laun, malam datang, lolongan anjing dan hewan malam mulai membahana memenuhi hutan.

Hawa dingin pun menusuk mereka bertiga rasakan. Kelana mengumpulkan batang dan ranting pohon di sekitarnya, kemudian ia membakarnya guna menghangatkan suhu udara malam itu.

“Kenapa kamu tadi bisa jatuh begitu?” tanya Kelana pada Sanjaya, saat ketiganya sudah berada di dalam tenda.

Sanjaya berusaha mengingatnya sambil masih memegang kepalanya. Sebuah suara langkah kaki tiba-tiba saja muncul dari kejauhan.

“Awalnya aku mendengar begini. Persis seperti ini. Kayaknya dia datang” tukas Sanjaya.

“Ini langkah kaki apa?” tanya Zafar. Pasalnya, suara langkah kaki ini terasa teramat besar namun dengan tempo yang sangat pelan.

“Manusia….. Tapi…. Dia punya kepala seperti serigala” ucap Sanjaya.

“Haa?” Kelana terkejut.

Sanjaya mengangguk.

“Aku kaget melihatnya, sampai-sampai membuat kakiku goyah lalu jatuh” imbuh Sanjaya.

Di satu sisi, langkah kaki di luar tenda terasa semakin dekat. Dan, benar saja, sebuah bayangan terlihat dari dalam tenda. Bayangan itu mengelilingi tenda. Kelana, Sanjaya dan Zafar diam mematung tak berani bergerak.

Kelana bersholawat dalam diamnya, memohon agar ia dan kedua temannya tetap diberikan hidup.

“Heeerrrgggghhhh……. Heeerrrrgggghhhhhhh” tidak hanya bayangan, tapi kini suara menggeram kedengaran dari dalam tenda.

“Takdir sing wes gowo awakmu kabeh teko neng pekaranganku (Takdir yang telah membawamu datang ke pekaranganku)”

“Aku ngerti sopo sejatine awakmu kabeh bocah menungso, aku ngerti awakmu neng njero. Senajan aku ngeleh, lan wes suwi aku ora ngerasakno getihe menungso, Tapi aku iseh nduwe welas asih karo awakmu kabeh."

(Aku tahu siapa sejatinya kalian semua anak manusia, aku tahu kamu di dalam. Walau pun aku lapar, dan aku sudah lama tidak merasakan darah manusia, tapi aku masih punya belas kasih kepada kalian semua)

Bagai disambat petir tiba-tiba, kaget, sekaligus takut tiba-tiba saja menyeruak ke masing-masing diantara mereka. Sebuah suara berat nan menyeramkan itu sangat jelas mereka dengar.

“Ya Allah…. Lindungi hamba, Ya Allah…..” suara Zafar kedengaran di telinga Kelana. Ia berdoa, meminta, lalu berdzikir tanpa henti.

Rasa takut bukan lagi menjadi sesuatu hal yang bisa menghalangi hasratnya. Kelana mengintip melalui celah lubang pintu tenda. Sesosok makhluk berperawakan kekar dan tinggi berdiri di pohon dekat tenda.

“Apa itu yang dimaksud Sanjaya manusia berkepala Serigala?” pikir Kelana. Namun, ia belum melihat kepalanya karena cahaya perapian tak sampai menerangi ke sana. Tapi, tapi ada yang aneh berada di dekatnya, ada dua wujud lagi sedang menggantung di batang pohon dekatnya.

“Aku ngerti mripatmu ndeloki aku, mbok pikir aku goblok iso kok kelabui koyo ngono? Rene metu, nek kowe kepengen ngerti aku sopo (Aku tahu matamu melihatku, kamu pikir aku bodoh bisa kamu kelabui begitu? Kemarilah, kalau kamu ingin tahu aku siapa)” tutur makhluk itu.

“Matilah kita, Kelana” ucap Zafar.

“Aku ora karep mangan awakmu, kowe ora ngandel karo aku?” (Aku tidak ingin memakanmu, kamu tidak percaya padaku?) ucap makhluk itu lagi.

Kelana keluar, membawa sebilah pusakanya yang ia masukkan ke dalam celah pinggangnya.

“HAHAHAHAHA” makhluk itu tertawa. Ternyata benar, dia adalah makhluk yang dimaksud Sanjaya. Tubuhnya besar dan kekar, namun, berkepala serigala. Bagai hewan buas lapar yang baru melihat santapannya, dia berlari menghampiri Kelana lalu mencengkeram tubuhnya dengan kedua tangannya.

“Kau menipuku? Dasar licik!”

“Aku akan membunuhmu! Kau akan menyesalinya karena menangkapku” gertak Kelana meskipun ia tahu, ancamannya tak berarti apa-apa.

“HAHAHAHAHA, sombong kowe bocah menungaso! Nduwe opo kowe, wani-wanine mlebu pekaranganku, nantang arep mateni aku?” ucap makhluk itu dengan wajah beringasnya.

Matanya yang merah menyala, mulutnya yang penuh dengan air liur itu seakan haus akan darah dan segera ingin memangsa Kelana yang kini dalam cengkeramannya.

Makhluk mengerikan itu pun menyeringai pada Kelana, memperlihatkan gigi-gigi taring panjangnya yang siap mencabik-cabik tubuh Kelana kapanpun dia mau.

“Ambumu wangi bocah menungso… Wes suwe aku ora ngerasakno getih lan daging menungso koyo kowe. Kowe bakal dadi santapanku, lan iso gawe aku wareg welasan tahun"

(Baumu wangi anak manusia… Sudah lama aku tidak merasakan darah dan daging manusia sepertimu, dan bisa membuatku kenyang untuk belasan tahun)

Apakah ini adalah akhir dari hidu Kelana? Akankah dia akan mati dikoyak-koyak menjadi beberapa bagian oleh manusia serigala itu? Kelana berusaha berontak, tapi, usahanya tak berarti apa-apa.

Kini, ia berada diantara hidup dan mati. Semakin lama, cengkeramannya semakin kuat mencengkeram tubuh Kelana, sampai-sampai membuatnya susah hanya untuk sekadar bernapas.

“Ya Allah…. Kekejaman apa lagi yang akan menimpaku dan kedua temanku?” ucap batin Kelana. Tanpa ia sadari, tetesan air mata mengalir membasahi pipinya.

“Kowe kepengen ngerti aku sopo? Aku demit Alas Demit, kabeh Demit ing kene tunduk karo sing tak omongno. Ngerasakno getihe menungso, iso gawe aku nambah sakti mandroguno. Siap-siap, saiki kowe, bar kuwi konco-koncomu sing dadi santapanku, HAHAHAHA"

(kamu ingin tahu aku siapa? Aku demit Alas Demit, semua demit disini tunduk denganku. Merasakan darah manusia, bisa menambah kesaktianku. Siap-siap, sekarang kamu, setelah itu teman-temanmu yang akan menjadi santapanku, HAHAHAHA) ucap makhluk itu sambil terus tertawa.

“Bagaimana caraku agar tetap hidup dan selamat? Apakah aku akan gagal dan akan mati bersama dua sahabatku di dalam hutan belantara dengan ribuan demit ini?”

Dengan sekuat tenaga Kelana berusaha bergerak untuk dapat meraih pusaka di belakang tubuhnya. Ia terus bersholawat dan berdoa, namun, demit di depannya masih terasa kuat dan tidak memberikan celah sedikitpun.

Kelana dalam posisi dijebak, sekarang ia harus melawannya dengan cepat. Jika, tidak…..

Belum selesai Kelana berpikir, satu temannya tiba-tiba saja muncul dari belakang, lalu menendang manusia serigala oti hingga terpental sangat jauh. Beruntung, Kelana sudah sempat melompat saat cengkeremannya lepas.

“SANJAYA!!! Apa yang kau lakukan” teriak Kelana seraya menghampirinya. Namun, apa yang Kelana lihat benar-benar berbeda dengan Sanjaya yang biasa ia lihat. Kelopak matanya membelalak lebar, pupil matanya mengecil, lalu sikapnya sangat berbeda dari biasanya.

“Siapa kamu? Kenapa bersemayam di tubuh temanku?” gertak Kelana.

Cah bagus….. Opo kowe ora kenal aku? (Apa kamu tidak mengenalku?) tanya sosok yang berada di dalam tubuh Sanjaya.

Kelana merasa tak asing dengan suaranya, rasa-rasanya, ia belum lama mendengar suara ini. Kelana berusaha mengingatnya.

“Wes tak kiro-kiro, yen perjalananmu iki ora gampang, mulo aku nggatekne kowe seko adoh, cah bagus” (Sesuai perkiraanku, jika perjalananmu ini tidak akan mudah, makanya aku memantaumu dari jauh, cah bagus)

Kelana mengingatnya, tapi ia masih belum menyadarinya.

“Meremke mripatmu, yen awakmu pengen ndelok sejatine aku” (Pejamkan matamu, jika kamu ingin melihat siapa sebenarnya aku)

Meski bingung, Kelana segera menurut lalu memejamkan matanya. Dalam keadaan terpejam, Kelana bisa melihat sosok wanita paruh baya yang baru melepasnya tadi pagi.

“Bu Utari? Apa benar itu ibu?”

Sanjaya kini tersenyum menyeringai.

“Rogoh Sukmo, aku iso neng endi wae sing tak pengeni, termasuk marani awakmu neng kene, cah bagus” (Raga Sukma, aku bisa kemana saja yang ku inginkan, termasuk menghampirimu kemari, cah bagus)

“Jogo-jogo, cah bagus…. Keris kasembadan seko cah ayuku ojo lali kok gunake” (Jaga-jagalah, cah bagus…. Keris kasembadan dari anakku jangan lupa kamu gunakan.)

“Hhhrrrrrgggghhhh…… Hhrrrggghhhhh” makhluk itu menggeram dari kejauhan, wajahnya marah akibat sepakan kaki Sanjaya.

Di tangannya, ia memegang seekor babi hutan yang entah kapan ia dapatkan. Ia memutus tubuh babi itu menjadi beberapa bagian hanya dengan tangannya, lalu melahapnya dengan membabi buta. Darah-darah segarnya pun mengucur deras dari dalam mulutnya.

“Deloken celeng iki. Kowe bakal tak pangan koyok ngene nganti orak ono siso” (Lihatlah babi hutan ini. Kamu akan ku makan seperti ini sampai tak tersisa)

“Demit bangsat” umpat Kelana.

“Aku keliru, jebule awakmu udu bocah menungso sing ora iso opo-opo” (Aku keliru, ternyata kalian bukan anak manusia yang tidak bisa apa-apa) ucap demit itu.

“Aku kenal karo ambu sing ono neng njero bocah iku, tapi, ojo mbok kiro aku dadi wedi karo awakmu” (Aku kenal dengan bau yang ada di dalam anak itu, tapi, jangan kau kira aku jadi takut denganmu) ucap demit itu sambil menunjuk Sanjaya.

“Ora perlu cangkeman! Ojo macem-macem kowe karo anak-anakku iki” (Tidak usah banyak omong! Kamu jangan berbuat macam-macam kepada anak-anakku ini) sosok Bu Utari di tubuh Sanjaya menggertak, lalu melompat secepat kilat ke arah demit serigala itu.

Tubuh Sanjaya kini dalam kendali Bu Utari, kini, ia menghadapi makhluk bengis berkepala serigala itu secara membabi buta. Demit serigala itu tak bisa berbuat banyak di hadapannya. Demit serigala itu kini mengaung, suaranya keras mengisi ruang-ruang gelap di dalam hutan.

Tak lama setelahnya, suara riuh kedengaran, semakin lama semakin jelas dan mendekat. Muncul belasan, bahkan puluhan makhluk sepertinya, namun memiliki ukuran tubuh yang jauh lebih kecil.

“Iblis pengecut! Siasatmu kotor sekali! Kau tidak bisa melawan kami sendirian, dan sekarang, kau panggil keroco-kerocomu untuk membantumu.”

“Keehhhhkeehhhkehhh” demit serigala itu tertawa terkekeh meledek Kelana yang kurang berdaya.

“Pateni kabeh!” (Bunuh semuanya!) suruh demit serigala itu kepada pengikutnya dengan menunjuk Kelana dan Sanjaya.

“Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak akan menang melawan demit sebanyak ini. Aku bisa mati” tanya Kelana, ia tampak mulai putus asa.

Keringat dingin mengalir di seluruh tubuhnya, napasnya pun sudah tak lagi beraturan. Melawan segini banyak, rasanya tak akan mungkin.

“Aku hanyalah mahasiswa biasa, yang disekolahkan bapakku agar kuat menghadapi dunia yang terus berkembang, bukan kerasnya bertempur melawan setan-setan begini” ucap batin Kelana, ia sudah ingin berlari dari situ.

“Ora ono demit sing derajate luweh duwur seko derajate menungso. Ora usah wedi, cah bagus. Madep mantep, Gusti Allah bakal ngelindungi awakmu” (Tidak ada demit yang derajatnya lebih tinggi dari derajatnya manusia. Tidak usah takut,cah bagus. Yakinlah, Gusti Allah akan melindungimu)

“Rungokke aku, cah bagus….. Kowe kepengen mulih to? Yo iki dalanmu. Mari iki, kowe bakal dadi luweh kuat” (Dengarkan aku, cah bagus….. Kamu ingin pulang kan? Ya ini jalanmu. Setelah dari sini, kamu akan berubah menjadi lebih kuat)

Kelana mengerti dan mulai tersenyum. Melalu Sanjaya, Bu Utari menyentuh tengkuk Kelana sambil merapalkan mantra entah apa. Beberapa detik setelahnya, Kelana merasakan sebuah kekuatan besar mengalir di dalam tubuhnya.

“Sing mantep” (Yang yakin) tutur beliau.

Sanjaya mengentakkan kakinya ke atas tanah, lalu dengan secepat kilat berlari dan menghantam demit-demit di depannya hingga terkapar ke tanah.

Kelana tak mau kalah, meski kemampuannya tak seberapa, ia mulai bergerak dengan keris di tangannya.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya
BERTARUH NYAWA DI ALAS DEMIT (Part 6 END) - Kekuatan Berlipat

*****
Sebelumnya
close