CURUG AWI LARANGAN (Part 4)
JEJAKMISTERI - Langkah kaki keluarga dan para pelayat telah meninggalkan makam Riri yang masih basah. Kematian yang sebenarnya masih menyimpan segudang misteri yang belum terpecahkan.
Hari pertama keluarga Riri masih teramat kehilangan. Bersyukur keluarga Sanum selalu ada untuk menenangkan dan menyemangati kedua orang tua Riri hingga mereka benar-benar telah ikhlas melepas kepergian anak semata wayangnya itu.
Mereka semua lantas berpamitan kepada keluarga duka untuk kembali pulang ke rumah masing-masing.
Adam masih terus terisak dengan tangis, hingga tubuhnya di paksa berdiri oleh Evan dari bumbungan tanah itu untuk bangkit dan berhenti meratap.
"Sudahlah Dam, ikhlaskan Riri."
Adam hanya mengangguk-angguk dengan tangisan, tapi bagi Zoya dari semua perilaku Adam selalu membuatnya curiga.
Zoya selalu berpikir bahwa Adam ada kaitannya dibalik kematian Riri.
"Ga, apa hanya Mbak saja yang merasa aneh melihat tingkah Adam,? Tutur Zoya seraya menyikut lengan Rega yang juga sedang menatap Adam dengan tanda tanya besar.
Rega lantas menjawab dengan berbisik bahwa dia menaruh curiga juga seperti Zoya, hanya saja belum ada bukti kuat.
"Kita harus mengulas ulang cerita dari Evan Mbak."
Keduanya langsung saling menatap dan mengangguk.
Kesemua pelayat dan warga kini telah pulang ke rumah masing-masing hanya doa yang selalu terpanjat untuk mengiringi kepergian Riri.
***
Esok harinya.
Rega datang ke rumah Sanum pagi-pagi buta, dia menekan bel dan beruntunglah Sanum yang membukakan pintu. Sanum merengut tanpa menyuruh Rega masuk, dia malah berlalu dan membiarkan Rega di ambang pintu, membuat Zoya yang datang dari arah berlawanan berlari dan menyuruh Rega masuk.
"Maafin Sanum ya Ga, bicara sama dia bener-bener harus pelan."
"Gak apa-apa Mbak, nanti juga dia sadar sendiri," ucap Rega yang di iringi tertawa kecil dari keduanya.
Tak lama bel rumah kembali terdengar, Zoya melirik arah pintu.
"Palingan Evan dan yang lainnya Mbak."
"Yasudah kamu duduk dulu ya, Mbak mau bukain pintu."
Zoya kini berjalan menuju pintu rumah, sementara Rega duduk dia terkejut Sanum menyuguhkan teh hangat di meja ruang tamu.
"Di minum," ucapnya dingin. Sanum lekas berbalik badan dan hendak pergi meninggalkan Rega.
"Sanum... " teriak Rega membuat Sanum menghentikan langkahnya, Rega berjalan mendekat.
"Maafkan aku Num, aku tahu aku salah tak mendengarkan kamu tapi-, "
"Tapi semua sudah kehendak yang maha kuasa Ga, aku tahu itu."
"Aku sudah maafin kamu kok, aku hanya masih syok dengan kepergian Riri."
Rega yang sempat menunduk akhirnya memberanikan diri mengukir senyum dan menatap wajah kekasihnya itu, dia sangat senang Sanum sudah memaafkannya, terlihat ukiran senyum juga Sanum perlihatkan membuat Rega semakin bahagia.
"Aku mandi dulu ya, kamu datang pagi-pagi sekali aku belum sempat mandi," tutur Sanum tersenyum kemudian berlalu, membuat Rega semakin senang dengan sikapnya.
"Eh kalian! Ayo masuk silahkan," ucap Zoya ketika melihat ke dua sahabat adiknya ikut datang setelah Rega.
Cika dan Lala kemudian masuk, membawa tumpukan buku yang rencananya akan mereka kerjakan bersama saat ini.
Mereka saling sikut ketika melihat Rega senyum-senyum sendiri di kejauhan.
"Biasa, orang kasmaran baru baikan ya begitu," bisik Zoya kepada mereka berdua, sehingga mereka tertawa terbahak-bahak.
Rega mematung ketika mendengar Lala dan Cika menertawakannya di ambang pintu.
"Oh iya Adam sama Evan kemana, kok gak barengan?"
"Oh itu Mbak, katanya Evan mau menemani Adam dulu, gak tahu sih katanya Adam ngajakin dulu ke rumahnya buat ngambil sesuatu," tutur Cika.
"Oh yasudah lah kalau begitu kalian duduk dulu, Mbak mau buatkan minum."
***
Sementara yang lain tengah berkumpul di rumah Sanum. Evan justru sedang menemani Adam di rumahnya untuk mengambil beberapa tugas kampus yang memang sebelumnya di kerjakan di rumah Adam.
Evan memutar mengamati rumah megahnya Adam, dia masih tak percaya jika Adam menempati rumahnya itu sendirian. Memang Adam pernah bercerita pada Evan dan yang lainnya bahwa dia seorang yatim piatu, kehidupan pelik keluarganya tak pernah dia ceritakan, hanya saja Adam pernah bilang bahwa kedua orang tuanya tak menginginkan kehadiran dia.
Entahlah, semua rancu, tapi mereka semua percaya dengan penuturan Adam.
"Van minum dulu," ucap Adam menyuguhkan minuman yang mengepul ke hadapannya.
"Gak usahlah Dam, ayok buruan mereka sudah kumpul di rumah Sanum."
"Oh seriusan? Yasudah tunggu sebentar aku mau ambil buku dulu."
Adam lantas berlalu menaiki tangga menuju kamarnya di lantai atas, Adam berjalan pelan mengamati Evan yang mulai merasakan dingin, terlihat berulang kali Evan hendak meminum minuman yang ia suguhkan tapi Evan mengurungkan niatnya.
"Van minum dulu tuh minumannya," teriak Adam dari balik tangga.
Evan terus melihat ke arah gelas yang mengepul itu, sepertinya minuman itu berbau jahe, pagi yang dingin memang sangat cocok minuman hangat itu menjadi teman bersama roti tawar yang juga Adam letakan di samping gelasnya.
"Van tunggu ya, aku mau ke toilet dulu kebelet nih." Teriakknya lagi dibalik pintu kamar di lantai 2, membuat Evam menengadah dan mengangguk.
"Buruan ya jangan lama-lama."
15 menit berlalu, Adam masih tak kunjung usai, membuat Evan semakin jenuh, dia mundar-mandir seraya mengusap lengannya yang semakin lama semakin merasakan dingin.
Akhirnya dia meminum air di gelas yang Adam suguhkan, benar saja itu wedang jahe, membuat perut kosongnya mulai sedikit hangat.
"Enak juga nih." Evan kembali menyeruput wedang jahe yang terus mengepul itu padahal sudah 15 menit lamanya uap itu masih saja mengepul dan wedang itu masih sangat hangat.
"Ah si Adam lama banget," pekiknya pelan.
Tak terasa minuman wedang jahe itu telah ia teguk sampai habis, Evan duduk kembali seraya menunggu Adam yang tak kunjung keluar dari kamarnya.
Selang berapa menit kemudian Adam datang, dia memekik kegirangan ketika Evan sudah berbaring tak sadarkan diri di sofa empuknya.
"Ah mudahnya hidup ini."
Adam kini menggusur badan Evan dengan kesusahan menuju suatu tempat, dia membuka pintu kamar di paling pojok dekat gudang rumahnya, dia melakban mulut Evan dan mengikat kedua tangan dan kakinya dibalik kursi.
Drrdd... Drrdd... Drrdd
Getar ponsel terdengar dari balik saku jaket milik Evan, Adam meraihnya dilihat panggilan itu berasal dari Rega, Adam membiarkannya. Setelah berhenti ia lantas mematikan ponsel milik Evan dan kembali menaruhnya di saku jaket Evan.
Drrdd.. Drrdd... Drrdd...
Kini giliran getar ponselnya yang berbunyi, panggilan yang sama dari orang yang sama, Adam lantas mengangkatnyanya.
[Hallo Ga.]
[Dam buruan lama banget sih, kalian, kita dah nungguin.]
[Kalian? Maksudmu apa Ga?]
[Ya kalian, kamu sama Evan lama banget.] Ucap Rega membentak dibalik sambungan telefon.
[Loh aku gak sama Evan, aku sedang di jalan menuju rumah Sanum ini.] balasnya berpura-pura padahal Adam masih bergelut mengikat tangan dan Kaki Evan dengan kuat.
Rega terdiam sejenak.
[Cika dan Lala bilang Evan akan ke rumahmu Dam.]
[Tidak Ga, mungkin Evan sedang di jalan menuju rumah Sanum, coba kamu telefon Evan.]
[Yasudah aku matikan ya.]
Tut.
"Ah sialan, jika tak butuh nyawa kalian, aku tak sudi berteman dengan mulut-mulut bawel kalian itu," ucap Adam memasukan kembali ponselnya ke dalam saku dengan kasar.
Selesai sudah tugas Adam, Evan sudah terikat dengan kuat di dalam ruangan itu, ia menggeliat kepayahan ketika menggusur badan Evan yang ternyata cukuo berat.
Sebelum pergi ke rumah Sanum, kepala Evan ia tutupi dengan kain hitam.
"Tunggu aku Van, eksekusi kita nanti malam saja," Adam berbisik ke telinga Evan kemudian beranjak pergi.
***
Berulang kali Rega menekan nama Evan dilayar ponselnya, namun sambungan tidak terhubung, ponsel Evan mati.
"Perasaanku gak enak sih ya?"
"Apa mungkin dia balik lagi ke rumahnya Ga, jadi belum sempat ke rumah Adam," tutur Lala.
Tapi Rega merasa ada hal lain perasaan dia mendadak gundah, kembali rasa curiganya terhadap Adam semakin kuat.
Bip... Bip... Suara klakson mobil itu milik Adam, Rega lantas berlari menghampiri Adam yang masih di halaman, Cika dan Lala ikut mengekor dari belakang.
"Surprise! "
Adam membawakan lima kotak Pizza yang ia tenteng, untuk jamuan selama mereka mengerjakan tugas bersama, Cika dan Lala menyambut baik kotak makanan itu dengan sumeringah.
Namun raut wajah Rega sangat menampakkan lain dari biasanya.
"Kamu serius gak bertemu Evan,?" tanyanya langsung tanpa berbasa basi.
Adam menggeleng.
"Sungguh Ga, aku sejak jam 6 tadi sudah meninggalkan rumah, aku ke toko Pizza dulu untuk mengambil pesanan ini." Tunjukknya pada kotak-kotak Pizza itu.
Hendak menanyai Adam dengan ragam pertanyaan, Sanum datang dan mempersilahkan Adam masuk, sehingga Adam langsung menuruti ajakan tuan rumah tanpa menoleh ke arah Rega.
Membuat Rega semakin dilanda kecurigaan yang mendalam atas sikapnya.
"Bagaimana mungkin? Kemarin dia menagis terisak saat di pemakaman, namun sekarang dia bahkan bisa senyum dengan cepat?" Batin Rega.
Lala langsung menarik tangan Rega yang masih mematung melamunkan sikap Adam, Rega di tarik paksa oleh Lala agar masuk rumah dengan cepat.
Mereka lantas masuk, disana Pak Wisnu dan Bu Yolan ikut menyambut kedatangan Adam, Pak Wisnu berkata bahwa Adam sangat dewasa karena dia bisa cepat melupakan kejadian duka kemarin.
"Terus begitu ya Nak Adam, tak usah berlarut sedih namanya Maut akan selalu datang pada kita," ucap Pak Wisnu, Adam mengangguk sopan.
***
Dilain waktu Evan mulai tersadar namun dia sangat kaget karena pandangannya gelap, tangan dan Kakinya terikat kuat.
Evan gemetar, dia tak bisa melihat apapun, mulutnya tertutup dengan lakban sehingga dia tak bisa berteriak meminta bantuan.
"Ya Tuhan, dimana aku? Kenapa aku di ikat begini?" Evan terus bertanya dalam hati, dia tak ingat apapun kejadian sebelum dia terikat di sana.
Evan terus menggelengkan kepala, mencoba melepaskan kain yang menutup kepalanya itu.
*****
Mereka kini bercengkrama sebentar sembari menyantap Pizza yang Adam bawakan. Kesemua bersahabat itu terfokus pada Pizza dan juga obrolan yang ngalor ngidul tanpa di sadari Evan tak bergabung bersama mereka.
Satu jam sudah mereka bercengkrama satu jam pula Evan telah berusaha susah payah agar terlepas dari ikatan yang mengikat kaki juga tangannya.
Evan terus jungkir balik agar ikatan yang di ikatkan kepada kursi bisa terlepas, namun sial kuatnya ikatan membuat tangan Evan terjerat luka sehingga dia sedikit meringis.
"Tuhan bantu Aku, dimana aku mengapa aku tak ingat semua ini,?" desisnya dalam hati.
***
Pizza telah habis, barulah mereka menyadari ketiadaan Evan di tengah-tengah mereka. Rega kembali menekan nomor Evan, tapi lagi-lagi tak terhubung.
Dia lantas berlalu ke belakang rumah untuk mencari Zoya. Untunglah Zoya sedang merapikan barang di dapur sehingga Rega bisa menceritakan kegelisahan hatinya pada calon kakak iparnya itu.
"Mbak, sejak tadi aku memikirkan Evan, kenapa dia tak kunjung datang?"
"Oh ya? Mbak juga malah baru teringat sekarang."
Rega kemudian bercerita bahwa menurut Cika dan Lala saat hendak mengajaknya, Evan bilang akan ke rumah Adam dulu, sehingga ajakan Cika dan Lala ditolak Evan dan dia menyuruh kedua teman wanitanya itu untuk pergi duluan ke rumah Sanum.
"Lalu Adam bilang apa?"
"Dia tak mengaku Mbak, dia bilang sejak pagi dia sudah keluar rumah," balas Rega.
Zoya mematung, dia menerawang kenapa sikap Adam semakin hari semakin menunjukkan keanehan, "Ada apa sebenarnya,?" Gumamnya dalam hati.
"Gini saja Ga, jika dia terburu-buru pulang berarti-"
"Berarti apa Mbak,?" tanya Adam yang tiba-tiba datang diantara obrolan mereka, sehingga Zoya sedikit terkejut dan gelagapan.
"Eh Adam, kamu butuh sesuatu Dam?"
"Ah enggak Mbak, Aku cuman mau numpang ke toilet."
"Oh yasudah di sebelah sana ya," tunjuk Zoya ke sebelah kanan dapur, Adam berlalu dengan anggukan dan juga senyuman. Senyum yang menyimpan misteri dan selalu membuat Rega penasaran dibuatnya.
"Kira-kira dia dengar pembicaraan kita gak Mbak,?" bisik Rega. Zoya membalas dengan mengangkat kedua bahunya.
***
Evan sudah mulai bisa membuka ikatan di tangannya, dengan menggesek-gesek tali itu ke ujung tembok yang runcing. Perlahan ikatan mengendur sehingga Evan dengan mudah bisa melepas tanpa harus memungkas habis tali itu.
Dia kini membuka kain hitam yang menutupi wajahnya. Evan sungguh terkejut, dia berada di sebuah ruangan kamar dengan berhiaskan kepala-kepala rusa yang memajang di dinding. Membuat Evan seketika merinding.
"Ya Tuhan, aku dimana kenapa aku bisa di sini? Tempat apa ini?"
Evan langsung membuka lakban yang menutupi mulutnya, dia langsung melepas juga ikatan tali pada kakinya. Dengan cepat Evan bangkit dan mencari celah agar bisa keluar dari ruang kedap suara itu. Di sana tak ada jendela sama sekali sehingga udara terasa pengap dan panas.
Hendak berlari menggapai ujung pintu, suara deru langkah terdengar dari luar, Evan langsung bersembunyi dibalik pintu.
GLEK! Pintu terbuka.
Jantung Evan berdegup kencang ketika punggung yang ia kenali berdiri tegap membelakanginya.
"Adam? Apa mungkin itu Adam,?" pekiknya dalam hati.
Evan semakin terancam ketika suara lelaki itu berteriak memanggil namanya dengan kencang seraya berkacak pinggang.
"Sialan, dia berhasil kabur."
Evan perlahan mengendap agar berhasil keluar. Sial, lelaki itu memergokinya, sehingga dia berteriak menyuruh Adam berhenti, Evan melirik ke belakangnya dengan berlari cepat, benar saja lelaki yang sedang mengejarnya itu adalah Adam.
Evan berhenti sejenak, sehingga Adam ikut menghentikan langkahnya.
"Ada apa denganmu Dam, kenapa begini padaku,?"
"Tak usah banyak bicara, ikuti saja apa mauku," ucapnya. Adam kembali mengejar Evan yang berlari perlahan menuruni tangga rumahnya.
Evan membanting vas bunga ke hadapan Adam membuatnya seketika menghindar.
Merasa terancam, Evan berlari lagi dengan cepat, tangannya meraih lampu hias yang berada di meja dekat ruang tamu Adam.
Dia lantas melemparnya kembali dengan tepat sasaran. Adam tersungkur saat lampu itu mengenai kepalanya.
"Kurang ajar," ucapnya. Dia kembali bangkit dan menghentakkan kaki. Seketika pintu rumah yang terbuka menjadi tertutup dengan sendirinya, membuat Evan memundurkan badan tatkala pintu di hadapannya tertutup dengan kencang.
***
"Kamu gak akan bisa keluar dari rumahku Van."
Adam mendekati Evan yang terengah-engah dengan cucuran keringat. Dia memegangi kepalanya yang terasa sakit akibat lemparan lampu tadi.
"Ah. Sialan, kedua kalinya kamu melukai aku Van," ucapnya lagi sehingga membuat Evan menaikkan alis tak mengerti.
"Ma-maksudmu apa Dam?"
"Ke-kenapa kamu begini?"
"Kamu tak ingat waktu itu kamu memukulku dengan batu besar di jalanan sepi?"
"Apa?"
"Ka-kamu lelaki yang-" Evan tak bisa bekata apapun lagi. Rupanya kecurigaannya selama ini benar, Adam adalah dalang semua ini, mungkin juga dalang dibalik kematian Riri.
Evan tak mengerti maksud dan juga tujuan Adam, namun dia benar-bernar kecewa pada teman yang sudah setahun ini ia kenali.
Adam mencekik leher Evan, dia berkata bahwa Evan terlalu berani sehingga membuatnya kesal.
"Kenapa ka-kamu melakukan ini Dam,?" tanya Evan dengan tersenggal, nafasnya sungguh tercekat ketika cekikan itu semakin kencang menekan lehernya.
"Aku-"
Bip... Bip... Bip... Suara klakson mobil terdengar.
Adam mengintip sejenak dibalik jendela, itu mobil Rega.
"Ah berengsek, mau apa Rega datang ke rumahku."
Mendengar kata 'Rega' Evan lantas menurunkan tangan Adam dari lehernya dan mulai berteriak "Rega tolong ak-" mulutnya langsung Adam bekap dengan tangan, perkelahian dari keduanya kembali terjadi, Evan terus berusaha melepas cengkraman tangan Adam yang kuat.
Adam kembali menghajar wajah Evan dengan sadis, pelipisnya ia tinju berkali-kali hingga memar dan terluka, bibir Evan pun berdarah karena pukulan Adam begitu keras ditujukan padanya.
"Loh aku seperti mendengar teriakan dari dalam ya,?" ucap Rega. Dia sepertinya mendengar teriakan dari dalam rumah maka dia langsung keluar dari mobilnya dan mendekat ke arah pintu rumah Adam.
Rega semakin mendengar suara berbagai benda yang seperti berjatuhan. Penasaran, Rega langsung menekan bel rumah Adam, tak ada jawaban dari dalam.
Rega memutar pandangan, mobil Adam masih terparkir di halaman, berarti Adam ada di dalam.
Bel kembali ia tekan, kali ini Rega sembari berteriak memanggil nama Adam.
"Diam kamu di sini," ucap Adam yang kini telah berhasil mengikat Evan kembali. Wajah Evan babak belur penuh luka, kedua matanya bengkak akibat pukulan-pukulan yang terus Adam arahkan padanya.
Evan terus meronta, dia mulai menitikkan air mata, sungguh dia tak menyangka Adam bisa berbuat sekejam dan senekat ini.
"Lepaskan Aku Dam, lepaskan! " teriaknya tanpa balasan.
Adam langsung kembali turun ke bawah, barang yang berhamburan ia segera bereskan dengan cepat karena berulang kali bel berbunyi dari luar.
Glek! Pintu terbuka.
"Dam," tanya Rega yang telah berdiri di hadapannya dengan tegap, Rega menyasar pandangannya ke dalam rumah Adam.
"Eh kamu ngapain kesini?"
Rega masuk rumah, netranya kembali menyasar rumah Adam yang amat luas itu, benar-benar bak istana.
Kamar berjejer di lantai atas, lampu gantung mewah bertengger di langit atap rumahnya. Vas bunga hias, aquarium dan semua nuansa emas tersuguhkan saat bertandang ke rumah megahnya Adam.
"Aku tadi sepertinya dengar orang berteriak dari sini Dam," ucapnya seraya memegang bahu Adam, dilihatnya ada sedikit keanehan dari baju yang Adam kenakan.
"Ini apa,?" tunjuk Rega pada seberkas noda merah yang berada di bawah kaosnya, dia langsung memasukan kaos itu ke dalam celana jeansnya.
"Oh, ini tadi aku sedang bikin jus di dapur, mungkin ini noda buahnya," balas Adam tergagap.
"Terus tadi siapa yang berteriak?"
"Gak ada Rega, siapa? Mungkin kamu salah dengar."
"Atau mungkin suara televisi," tunjuk Adam ke arah televisi berlayar besar yang sedang menayangkan aksi baku hantam itu.
Rega mengangguk ragu, semua alasan Adam terlalu memaksakan. Sehingga kecurigaan Rega semakin kuat namun dia kembali tak menemukan bukti yang akurat. Sehingga dia merasa harus bekerja keras lagi agar bisa menguak sisi Adam yang semakin misterius.
"Oh ya tadi kamu mau apa kesini Ga?"
"Ini, aku mau balikin dompet kamu yang tertinggal."
Tak menunggu lama, dompet itu Adam tarik kasar dari tangan Rega, dia langsung menaruhnya kembali ke dalam saku celananya.
"Elah segala langsung di umpetin, aku juga gak liat isinya kok," ucap Rega menegur bahu Adam dengan bahunya, Adam tersenyum kecut dia berkata pada Rega bukan masalah isinya, tapi banyak surat berharga di dalamnya, mereka tersenyum bersama, senyum yang saling pura-pura.
"Yasudah kalau begitu aku pamit ya Dam."
"Oke Ga, makasih ya sudah repot mengantarkan," Adam melambaikan tangan ke arah Rega yang mulai keluar dari rumahnya.
***
Adam kembali ke ruangan dimana Evan disekap. Dia membuka lakban yang menutup mulutnya. Adam menatap pekat sorot netra yang semakin lama semakin memerah menahan buliran air mata.
"Menangislah Van, tak akan ada yang mendengarmu di ruangan ini."
"Ayo menangis, berteriak pun boleh," ucapnya seraya tertawa.
Evan terisak, dia tak menyangka sifat Adam sesungguhnya, Evan tak tahu maksud dari semua perlakuan Adam kepadanya dan juga kepada Riri, dia hanya melihat Adam bagai orang hilang akal.
Kini Adam mencengkram kembali kedua pipi Evan dengan tangannya.
"Sepertinya aku harus lebih dulu membereskan Rega, temanmu yang satu itu membuatku sakit kepala dengan beribu pertanyaannya."
Evan menggeleng tak menyangka, pemuda yang di hadapannya saat ini bukanlah orang sembarangan, melihat gelagat dan sikapnya yang tega menghajar dirinya dan juga semua kejanggalan yang ada, Evan semakin yakin bahwa memang Adam orang yang sangat berbahaya.
"Apa tujuanmu sebenarnya Dam?"
"Aku?" tunjuknya pada wajah sendiri.
"Tak banyak, aku hanya membutuhkan nyawa kalian."
"Kamu tahu siapa keluargaku?"
Evan menggeleng, tatapan Adam sungguh sangat menakutkan.
"Aku ingin membalas dendamku pada mereka yang telah membuangku begitu saja."
"Siapa? Apa hubungannya dengan aku dan juga yang lain?"
Adam bangkit, dia bersedekap tangan. Mencoba menerawang masa lalu ketika kehadirannya dianggap sebuah kesialan oleh kedua orangtuanya.
"Tahukah kamu Van, mereka bilang aku bukan keturunan manusia melainkan keturunan iblis, untung saja ada dia yang membuatku hidup sampai sekarang."
Adam berbalik badan, dia lantas menunjuk dengan dagunya ketika seorang lelaki berjas datang dari luar, dia membuka pintu dan masuk ke ruang kedap suara itu.
Evan menyeripitkan mata, mencoba mengingat wajah lelaki yang Adam tunjuk itu. Dia merasa tak asing dengan bentuk tubuhnya juga garis wajahnya, hanya saja kacamata hitam membuat penampilannya sedikit berbeda.
Ketika lelaki berjas itu membuka kacamata hitamnya dia tersenyum menyeringai kepada Evan.
"Ki jalu," ucap Evan dengan mata membulat.
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya