Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

CURUG AWI LARANGAN (Part 3)


JEJAKMISTERI - Ayah dan Ibu Riri berteriak memanggil Ki Jalu yang berlari tunggang langgang meninggalkan rumah mereka, semua yang ada di sana menjadi heran dan bingung dengan situasi yang terjadi. 

"Sudah tidak usah hiraukan dia Pak, dia dukun lebih baik kita fokus kepada Riri saja sekarang," ucap Pak Wisnu menenangkan kedua orang tua Riri yang nampak mulai gelisah. 

"Pak mohon maaf kita harus segera menguburkan jenazah, karena tak baik menunda terlalu lama," ucap petugas pemulasaraan jenazah yang mengabarkan bahwa Jenazah Riri harus segera di kebumikan.  

Dengan berat hati keluarga Riri menyetujui semua yang petugas itu katakan, namun saat hendak di angkat dari keranda. 

Zoya tiba-tiba bangkit dan berkata bahwa dirinya ingin melihat lebih jelas jenazah Riri, entah kenapa Zoya merasa ada sesuatu yang memang harus dia pastikan, wajahnya sangat  terlihat khawatir. 

Syukurlah petugas Jenazah itu memberikan izin pada Zoya, sehingga mereka membuka kembali ikatan di kain kafan Riri. 

Zoya kembali memegang bagian leher Riri, Zoya sungguh terkejut ada denyutan terasa di sana, sangat pelan, hampir tidak terasa, namun Zoya yakin Riri belum meninggal. 

"Pak bongkar semua kain kafannya, saya merasa ada denyutan dari tubuh Riri," ucap Zoya mengagetkan semua yang ada disana. 

Petugas lantas dengan cepat membuka kain kafan yang sudah rapi itu, mereka juga ikut memastikan dan benar, denyutan terasa di sana, walaupun badan Riri masih dingin, tapi dari denyutan tangan dan lehernya kini mulai terasa lagi. 

"Astaghfirullahal'adziim, benar Nak Riri masih ada, " ucap petugas itu. 

Zoya langsung membisikkan kalimah suci ke telinga Riri, Sanum dan semua kawannya membantu Zoya mendo'akan agar Riri kembali dengan baik-baik saja. 

"Api... Lebih baik kita mengadakan pengajian."

Pak Wisnu terkejut mendengar Zoya yang tiba-tiba meminta di adakan pengajian, wajah dia sangat khawatir, sepertinya Zoya menyadari sesuatu. Akhirnya Pak Wisnu menyetujui usul Zoya, begitupun keluarga Riri dan semua yang ada di sana setuju dengan usul yang Zoya sampaikan untuk mengadakan pengajian bersama-sama. 

Namun sebelum mengajikan Riri, Zoya meminta air zam-zam untuk membantu ikhtiar itu. 

"Semoga saja dengan izin Allah Riri bisa kembali, karena saya yakin Riri saat ini berada di suatu tempat yang tidak seharusnya."

"Benar yang putri saya katakan Bu, saya juga merasa Riri masih terkurung di suatu tempat." Ucap Pak Wisnu menambahkan penjelasan Zoya.

"Tempat apa mbak?" tanya Sanum penuh selidik. 

"Nanti mbak jelaskan, yang terpenting sekarang kita harus secepatnya mengadakan pengajian ini." ucap Zoya. 

"Tapi sebelum itu saya butuh air zam-zam untuk ikhtiar kita."

"Yasudah biar saya dan Adam yang belikan mbak," Rega menawarkan diri untuk membeli air zam-zam yang Zoya pinta. 

"Aku ikut," Evan menghampiri keduanya, mungkin dia kikuk bila Rega dan Adam pergi maka dia sendirian tanpa kawan lelaki yang lain, untuk itu Evan memutuskan ikut mereka. 

"Usahakan cepat pulang ya Ga." 

"Baik mbak! "

Kini mereka bertiga pamit dan bergegas membeli air zam-zam ke toko yang berada di kota, sementara  menunggu ketiganya kembali Zoya membuka semua kain kafan Riri dan menggantinya dengan pakaian biasa. 

***

Di perjalanan menuju toko air zam-zam, Rega merasa bersyukur, kasus Riri mulai menemukan titik terang berkat calon kakak iparnya itu, Rega sangat senang Zoya bisa membantu masalah ini. 

Begitu juga Adam dan Evan dia sangat senang, terlebih Adam sangat bahagia karena gadis yang ia cintai akan segera bangun. 

"Semoga saja Riri kembali bersama kita ya?" ucap Rega yang kemudian di Aminkan bersama. 

"Oh ya Ga, nanti kamu pulang duluan saja ke rumah Riri, aku mau ke rumah dulu."

"Loh kenapa Dam?"

"Lah itu." tunjuk Adam ke kursi belakang, Rega menoleh rupanya ayam cemanik dalam tas ayam masih tersimpan rapi di dalam mobil Adam. 

Ayam yang tadinya akan menjadi metode atas saran dukun Ki Jalu itu akan Adam kembalikan dulu ke rumah.

Rega mengangguk menyetujui maksud Adam. 

"Biar nanti aku naik taksi saja ke rumah Riri, kamu dan Evan bawa mobilku saja." 

"Oke." Balas Rega langsung menancap gas. 

Sesampainya di toko, kini air zam-zam sudah di tangan, mereka langsung bergegas pulang kembali ke rumah Riri. 

*** 

Di tengah jalan, Adam meminta untuk turun, karena jika Rega mengantarkannya dulu ke rumah akan memakan waktu lama. 

"Kasihan Riri menunggu air zam-zam itu, biarlah aku turun di sini saja."

"Tapi Dam, jarak ke rumahmu masih jauh."

"Gak apa-apa Ga, aku bisa naik taksi, kalian berdua cepat pulang ke rumah Riri."

Melihat jam yang menunjukan pukul 3 sore, Rega akhirnya menuruti saran Adam untuk lekas pulang mengantar air zam-zam itu. 

Adam telah turun dari mobil menteng tas ayam cemanik di tangannya. 

Namun saat Rega akan menancap gas lagi, Evan meminta turun juga dia bilang ingin menemani Adam. 

"Kasihan sih aku sama si Adam, pasti dia terpukul banget lebih baik aku ikuti saja dia ke rumah ya Ga?" 

Rega mengangguk, dia juga sempat berfikir seperti Evan, karena Adam baru saja menyatakan cinta saat Riri terbaring tadi, pasti hatinya tengah gelisah saat ini. 

"Kamu benar Van, yasudah sana ikutin mumpung belum jauh dia." 

"Oke, Ga kamu sendiri gak apa-apa ya?" Evan masih mendongak dibalik jendela. 

"Gak apa-apa sudah cepat susul Adam sebelum jauh cari taksi."

Evan mengangguk dia mulai berlari mengejar Adam yang sudah jauh berjalan. Kini Rega sedikit lega karena Adam tak sendirian, dia di temani Evan, dengan senyum kecil Rega mulai melajukan mobil dengan kecepatan penuh agar ia cepat sampai di rumah Riri. 

***

"Dam... " teriak Evan melambai memanggil Adam yang berjalan dengan cepat, namun punggung Adam tak menoleh sedikitpun. 

Evan kembali berlari agar langkahnya menyusul langkah kaki Adam yang semakin cepat. 

Tapi Evan sangat bingung, jika arah pulang ke rumah Adam maka harusnya Adam mencegat taksi dekat lampu merah saja, tetapi Adam malah terus berjalan melewati gang-gang kecil. 

"Katanya mau pulang, kenapa dia malah jalan kaki lewat sini ya?" Batin Evan menyimpan tanda tanya besar, tapi dia masih terus berjalan membuntuti Adam, Evan merasa aneh saat di panggil Adam tak menoleh ke arahnya padahal jaraknya berjalan tidak terlalu jauh. 

"Dam..." teriak Evan kembali namun lagi-lagi Adam tak menoleh. 

"Budeg apa ya si Adam."

"Adam.... "

Evan masih mengikuti Adam yang tak menggubris teriakannya, sebenarnya Evan merasa aneh tapi dia terus mengikuti Adam. 

Langkah kaki Evan semakin menuntun dia kesebuah tempat yang sangat sepi, Evan merasa ada yang aneh, tapi dia melihat Adam dikejauhan masih berjalan cepat menyusuri jalanan yang semakin sepi itu. 

Tring.

Sebuah pesan masuk ke ponsel Evan, membuat dia berhenti sejenak untuk melihat siapa pengirim pesan itu. 

Rega. 

[Jangan lama-lama Van, acara mengaji Riri akan di mulai setelah maghrib.] 

Rupanya itu pesan dari Rega yang mengabarkan bahwa pengajian Riri akan dimulai nanti maghrib. 

Saat memasukan ponselnya ke dalam saku, Evan terkejut Adam sudah menghilang dari pandangannya. 

"Loh si Adam kemana? Cepet banget ngilangnya." 

Evan kembali berjalan ke tempat Adam berdiri tadi, dia terus berteriak memanggil nama Adam seraya memut terus pandangannya ke sekeliling. 

Kini jauh sudah Evan melangkah mencari  keberadaan Adam yang tiba-tiba saja menghilang dengan cepat, Evan melihat sebuah rumah kecil di kejauhan, Evan memutar pandangan lagi, jalanan itu sungguh sepi sekali, dan hanya ada satu rumah kumuh di sana. 

"Masa iya Adam kesana? Rumah siapa itu kok serem ya?"  Evan bergidik, dia baru meyadari jalanan itu memang semakin sepi, pohon kelapa dengan pohon pepaya tumbuh tinggi di jalan itu. 

Evan semakin merinding di tambah dengan penampakan rumah yang hanya satu dan sangat kumuh membuat dia mulai merasa takut, tapi jika kembali dia juga takut malah nyasar entah kemana. 

"Atau si Adam kebelet pipis kali ya, dia kan emang suka pipis sembarangan haha," ucapnya masih bisa tertawa di situasi tegang seperti  itu. Evan memang terkenal dengan karakternya yang sangat polos dan humoris. 

Tak berpikir macam-macam,  dia lantas menghampiri rumah kumuh dengan jendela bolong-bolong itu. 

"Apa aku harus masuk? Atau pulang saja?" Evan terus bergelut dengan batinnya yang mulai merasa takut saat sampai di ambang pintu rumah itu. 

***

Evan memberanikan diri, dia memutuskan untuk membuka pintu rumah kosong itu, dia terus memanggil nama Adam dibalik pintu yang penuh dengan jaring laba-laba dan debu, Evan masuk menyingkap kotoran dan jaring laba-laba yang menghalangi pandangannya. 

Tak ada jawaban, sangat hening... 

Evan terus menyasar isi rumah gelap itu yang tenryata sangat luas, dia terus memanggil nama Adam barangkali saja Adam memang masuk rumah itu untuk numpang pipis seperti dugaannya. 

Tapi... 

***

"Maafkan aku, rasa sukaku sepertinya harus berujung maut kali ini, aku tak suka wanita itu terlalu ikut campur."

"Tapi untung saja aku sudah sempat menikmati tubuh indahmu."

"Ah! Andai saja kamu lihat aku sekali saja, kenapa selalu nama dia yang kamu sebut?"

"Ah sudahlah! Aku beryukur karena berkatmu juga aku bisa kembali mencari mangsa baru, untuk menyempurnakan semua ilmuku."

"Hahaha... "

Ucap seorang lelaki dengan tawa menakutkan, dia menghadap tembok dengan foto yang terpajang disebuah dinding, entah foto siapa? Sepertinya bukan hanya satu lembar, tapi berjumlah banyak. Evan melihatnya dengan samar, ia terus menyeripitkan mata menembus gelapnya ruangan rumah kumuh itu. 

Evan merasa mulai takut, siapa lelaki itu? Dia menghadap ke belakang, sehingga Evan yang mengintip dibalik tembok tak bisa melihat dengan jelas. 

"Gak mungkin itu Adam, lagipula mau ngapain si Adam kesini." 

"Ah tolol emang ni pikiranku," pekik Evan dengan terus memukul kepalanya sendiri, dia tak perduli. Evan tak mau menebak-nebak siapa yang baru saja dilihatnya, dia lantas berbalik badan bermaksud hendak keluar dari rumah itu. 

Namun tiba-tiba suara pekikan ayam sangat terdengar jelas, membuat Evan terkejut, Evan kembali berbalik badan ia mengintip lagi dibalik tembok, dilihatnya lelaki itu memutar kepala ayam hingga kepala ayam itu berbalik 180 derajat, perlahan juga mulai terlihat ayam itu meneteskan darah. 

Evan gemetar dengan mulut terbuka, dia berjalan mundur saat menyaksikan yang ada di depannya. 

BRAGH! 

Evan terjatuh menabrak sesuatu, sehingga membuat lelaki itu berbalik badan melihatnya. 

Evan ketakutan, dia langsung berlari dengan cepat meninggalkan rumah kosong yang kumuh itu. 

*****

Zoya membuka fakta pada keluarga Riri dan semua yang ada di sana bahwa gunung Rawala adalah gunung yang tidak pernah di daki oleh pendaki manapun karena terkenal sangat angker. Selain itu di start awal akan ada sebuah tulisan yang menyatakan bahwa tempat itu adalah *Zona terlarang*. 

Zoya tak mengerti kenapa mereka bisa sampai di Rawala dengan mudah? Bahkan sudah berada di ketinggian menengah. 

"Apa kalian tidak melihat plang kayu di start awal yang bertuliskan Zona terlarang?" Tanya Zoya pada Sanun dan kawan-kawannya. 

Sanum menggeleng, mereka tak menemukan apapun ketika Adam mengajak mereka ke sana. 

Zoya hanya takut kejadian yang menimpa Riri berkaitan dengan kejadian di masa lalu, karena di gunung Rawala ada sebuah tempat yang sangat sakral sehingga tidak boleh siapapun menginjakkan kaki di sana. 

Tempat itu bernama Curug Awi Rarangan, yang berarti Air terjun bambu larangan. Air terjun itu sebenarnya tidak bisa di singgahi manusia kecuali manusia itu punya ilmu hitam pembuka tabir, karena itu bukan tempat bagi manusia. 

Di air terjun itu ada sebuah pohon bambu kecil yang diapit oleh beberapa pohon bambu besar. Bambu kecil itulah yang menjadi sakral karena bisa membuka pintu menuju alam lain. 

"Tapi bagaimana Mbak bisa tahu semua itu?" Tanya Sanum masih terheran. 

"Karena Mbakmu yang menutup pintu lain itu waktu kecil dulu Sanum," ucap Pak Wisnu menggebu. 

Mereka masih tak mengerti maksud dari penjelasan Zoya. Barulah di sana Pak Wisnu yang mulai mengambil alih cerita, bahwa bambu larangan yang terletak di air terjun itu adalah pintu menuju alam ghaib yang sudah tertutup sejak 23 tahun lamanya, bambu itu awalnya terletak di sebuah Desa bernama Kulon Sari, sebuah Desa yang di dalamnya di huni oleh para pelaku pemujaan. 

Setelah berpuluh tahun lamanya Desa Kulon Sari itu berhasil di musnahkan dan kini berubah menjadi sebuah gunung yang bernama gunung Rawala. 

"Apa?" tanya Sanum terkejut. 

"Maksud Mbak, bambu itu adalah bambu yang dulu Mbak tancapkan keris mugo roso?" 

Zoya mengangguk, sepertinya Sanum mulai mengerti atas penjelasan Zoya, karena ketika Sanum kecil, Zoya sempat bercerita masa lalu kelam yang ia alami pada adiknya itu. 

Dan Zoya sangat takut tragedi  yang menimpanya dulu ketika kecil terulang kembali. Zoya takut dugaannya benar, Riri adalah target ketidak sengajaan oleh seseorang yang tidak bertanggung jawab. 

"Tapi bagaimana bisa Mbak? Ini tidak masuk akal."

"Tak akan bisa di pahami oleh akal manusia Num, semua bisa di pahami hanya dengan keimanan." 

"Lalu apa hubungannya dengan anak kami nak Zoya?" Kini kedua orangtua Riri mulai bertanya. 

Zoya lantas menjawab bahwa air terjun bambu larangan tidak bisa terbuka oleh manusia biasa jika tidak ada keturunan dari penganut ilmu hitam di masa lalu. 

"Kalian bilang kan bahwa kalian menemukan Riri di air terjun?" tanya Zoya pada Cika dan Lala. 

Keduanya mengangguk, karena yang menemukan Riri pertama kali di air terjun itu adalah Cika, sehingga Cika tau betul keadaan air terjun itu. 

"Mbakmu benar Num, aku juga sempat melihat bambu yang Mbak Zoya katakan."

"Itu terletak di sebelah kanan air terjun dekat batu besar yang aku pakai untuk membaringkan Riri yang pingsan," tutur Cika menjelaskan, karena memang yang menemukan Riri pertama kali adalah Cika dan Evan. 

"Bersama siapa Riri saat itu?" tanya Zoya kembali. 

"Aku dan Evan menemukan Riri sendirian disana dalam keadaan tanpa busana Mbak, Aku dan Evan langsung menghampiri karena Riri sempat berteriak minta tolong."

"Apa tanpa busana?" tanya Zoya terkejut. 

"Astaghfirullah, ini yang harus kita cari tahu, dengan siapa Riri di air terjun itu? Jika air terjun sudah bisa terlihat bahkan bisa di datangi oleh manusia berarti tandanya ada seseorang yang sudah berhasil membuka pintu alam ghaib di sana." 

Semua orang sangat tegang mendengar penjelasan Zoya, berarti air terjun itu bukan tempat manusia, melainkan gerbang alam lain yang sudah terbuka. 

"Aku merinding," ucap Cika mengusap pelan lengannya. 

"Astaghfirullah Riri,! " teriak Sanum mengejutkan semua orang, mereka melihat tubuh Riri bergetar hebat, tak lama kepalanya menggeliat-geliat namun matanya masih terpejam.

Kepala Riri berputar ke kanan dan ke kiri seolah ada yang menggerakan, setelah itu darah segar mengalir dari balik lehernya. Semua panik Pak Wisnu segera menyuruh orangtua Riri untuk mengambilkan kain. 

Kain itu di sumpalkan ke leher Riri yang terus mengeluarkan darah segar berbau amis menyengat.  

Pak Wisnu terus mengelap darah itu dengan kain, kepala Riri masih mengeliat-geliat. Pak Wisnu lantas mencari asal darah itu mengalir, namun di leher Riri tak sedikitpun memperlihatkan luka. 

Tak ada luka apapun di lehernya, lantas darimana darah itu berasal? 

"Cepat periksa denyut nadinya Api," teriak Zoya pada Pak Wisnu, dirinya pun lantas memeriksa denyut nadi dibagian tangan Riri. 

"Gak mungkin!" ucap Zoya lirih. 

Dia langsung menepuk-nepuk pipinya Riri agar tersadar, Zoya bulak-balik membisikkan kalimah suci ke telinganya namun nihil, Riri tak merespon apapun, denyut nadinya sudah tak terasa, Riri benar-benar telah tiada. 

"Tidak! Ini tidak mungkin, Riri....! " teriak semua orang kembali, air mata mereka kembali berjatuhan untuk kedua kalinya, Riri yang sempat menandakan akan bangun kini malah benar-benar telah tiada. 

"Ini pasti ulah seseorang Api, tak mungkin darah itu mengalir tiba-tiba tanpa adanya luka."

"Pasti sihir ghaib telah di lakukan seseorang untuk membunuh Riri," ucap Zoya dengan wajah khawatir. 

***

Di waktu yang bersamaan Evan tengah berusaha melarikan diri secapat yang ia bisa dari kejaran lelaki yang ia temui di rumah kumuh itu. 

Lelaki itu terus mengejarnya dengan sangat cepat. 

Sehingga Evan merasa ketakutan, kakinya tersandung dan membuatnya terjatuh. 

"Ah sial. Larimu cepat juga," ucap lelaki itu membungkuk di hadapan Evan yang terjatuh. 

"Aku baru saja menghilangkan nyawa gadis itu, dan sekarang aku harus menghilangkan nyawamu juga," ucapnya lagi mendekat perlahan ke arah Evan yang beringsut mundur. 

"Si-siapa kamu? Ke-kenapa kamu harus membunuhku?" Evan gemetar, wajahnya dipenuhi keringat deras beberapa kali dia menelan ludah saat lelaki itu semakin mendekat ke arahnya. 

"Kamu melihat semuanya bukan? Tentulah aku harus melenyapkanmu juga," lelaki itu mengusapkan pisau kecil memutari wajahnya Evan, sehingga Evan semakin dibuat ketakutan. 

"Ti-tidak, aku tidak melihatmu aku sungguh tidak tahu apa yang kamu lakukan di sana."

"Benarkah?" 

BUG! 

"Aaaa, " teriak lelaki bermasker itu ketika Evan memukul keras kepalanya dengan batu besar. Dia mengaduh kesakitan, Evan melihat kepala lelaki itu berlumuran darah. 

Evan langsung bangkit dan berlari lagi dengan cepat, dia berlari secepatnya tanpa menoleh lagi ke arah lelaki menakutkan itu. 

Evan terus berlari sampai akhirnya dia sudah keluar dari tempat itu, kini Evan telah berada di pusat Kota, dia langsung mencegat taksi dan meminta  sang supir mengantarkannya ke  alamat rumah Riri. 

"Ah Tuhan, pengalaman apa yang aku alami, siapa lelaki itu sehingga dia mengincarku,?" Evan terus berbicara sendiri dengan nafasnya yang tersenggal-senggal.   

"Sialan si Adam, kenapa dia menghilang tiba-tiba sih?" 

***

Selang satu jam kemudian kini Evan telah sampai di rumah Riri, dia kembali melihat pemandangan menyedihkan ketika dari jauh dia melihat Riri kembali di kafani. 

"Loh kenapa ini? Kenapa lagi dengan Riri?" tanya Evan kebingungan, Cika dan Lala menjelaskan kembali kejadian tadi saat Evan tidak ada di sana. Seketika juga Evan langsung membulatkan matanya, mulutnya menganga
ketika penuturan Cika dan Lala mengingatkan dia pada lelaki gila tadi yang memutar kepala ayam hingga meneteskan darah, persis seperti kepala Riri yang menggeliat ketika Cika menjelaskan padanya. 

"Apa mungkin gadis yang dimaksud lelaki itu adalah Riri?"

"Tapi siapa dia?"

"Ah sialan, harusnya tadi aku membuka maskernya," ucap Evan lirih, dia terus menggerutu sehingga membuat Zoya yang berada di sampingnya menarik tangannya dan bertanya. 

"Apa maksudmu Van?" 

"Mbak, tadi Cika dan Lala bilang kalau leher Riri berdarah tanpa adanya luka?"

"A-aku baru saja melihat peristiwa serupa, tapi aku belum yakin akan semua ini." ujar Evan terbata, dia menggaruk kepalanya berkali-kali mencoba mengulas semua peristiwa yang baru saja dia alami dan mencoba menghubungkan itu dengan kejadian Riri saat ini. 

Tak lama kemudian Rega datang menghampiri keduanya yang terlihat serius berbincang.

"Ada apa Van?" tanya Rega. 

"Kamu kemana dulu sih Van, tuh si Adam sudah balik, malah kamu yang belakangan," tutur Rega seraya menunjuk Adam yang tengah menangisi jasad Riri di sana. 

Evan lantas menceritakan pada Rega saat dia membuntuti Adam dia melihat Adam memasuki sebuah jalanan yang sepi, hingga peristiwa saat Evan terus mencari Adam ia masuk ke dalam rumah kumuh itu. 

Dan Evan menceritakan bahwa dia melihat seorang lelaki tengah memandangi sebuah foto dan tak lama dia melihat lelaki itu membunuh ayam dengan cara memutar kepalanya hingga ayam itu berlumuran darah. 

"Apa?" Zoya dan Rega terkejut mendengar cerita Evan. 

"Mbak,  itu seperti kejadian tadi saat darah mulai mengalir dari lehernya Riri," ujar Rega, Zoya mengangguk dia juga merasa cerita Evan sedikit berkaitan dengan peristiwa Riri. 

"Siapa lelaki itu Van?"

"Aku gak tahu Mbak, dia sudah berada di rumah kumuh itu saat aku mencari Adam yang tiba-tiba saja hilang dari pandangan."

"Dia juga memakai masker saat mulai akan melukai aku, untung saja aku memukul kepalanya dengan cepat."

Zoya dan Rega terlihat berpikir dan mulai merasa ada yang aneh dengan cerita Evan, sehingga mereka mulai menaruh curiga pada Adam. 

"Sssst, Dam sini sebentar." Zoya memanggil Adam dari jauh dengan pelan. Adam kini tengah berjalan menghampiri. 

"Ada Apa mbak?" 

BUG! 

"Aduh," teriak Adam tercekat saat Evan memukul kepalanya.  Evan menatap tajam sorot mata Adam, Evan merasa ada yang aneh dengan temannya itu, biasanya Adam tak pernah mengaduh jika tangan Evan usil memukul kepalanya. 

Tapi mengapa gelagat Adam mengingatkan Evan kepada lelaki bermasker tadi yang sempat ia pukul kepalanya hingga berdarah. 

"Kenapa kepalamu Dam?"

"Hah? Engga apa-apa Ga tadi aku terbentur tembok saat di rumah."

Evan mengeryitkan kening, dia merasa Adam memang mencurigakan. 

"Ini nih gara-gara ngikutin cunguk ini, aku jadi tersesat entah kemana, untung saja aku berhasil keluar dari tempat itu." ucap Evan pada mereka. 

"Aku tak tahu kamu mengikuti aku Van." 

"Lagipula kamu budeg apa gimana sih Dam? Di panggil kok gak nyaut-nyaut." Evan masih merasa kesal sekaligus curiga dengan gelagat Adam sejak saat dia membuntutinya memasuki jalanan sepi itu. 

Rega lantas bertanya pada Adam apa benar dia pulang ke rumah? 
Adam lantas menjawab memang benar dia pulang ke rumah untuk menaruh ayam cemanik itu. 

"Tapi kenapa aku melihat kamu masuk ke jalanan sepi?" tanya Evan membuat Adam menjadi gelagapan saat Evan bertanya demikian. 

Dia lantas menjawab bahwa jalanan itu adalah jalan tembusan menuju rumahnya, Adam beralasan lupa membawa dompet sehingga dia tak ada uang untuk naik taksi, maka dia memutuskan melewati jalanan itu agar cepat sampai rumah. 

 Evan, Zoya dan Rega saling menatap, memang alasan Adam masuk akal, tapi rasa curiga ketiga orang itu masih tersimpan besar untuk Adam. 

"Memang kenapa Van?" tanya Adam. 

"Aku tadi-, " Zoya meremas tangan Evan sebagai kode untuk tidak menjawab pertanyaan Adam. 

"Sudah tak usah di bahas, kita lebih baik fokus ke pemakaman Riri." 

Akhirnya mereka mencoba melupakan sejenak cerita yang Evan berikan, kini mereka tengah fokus kepada Riri yang akan mulai di kebumikan. 

Lantunan shalawat dan tahlil dari keluarga dan juga warga mengiringi perjalanan mengantar Riri ke peristirahatan terakhirnya.

Walaupun mereka semua masih belum sepenuhnya menerima kenyataan ini, tapi mereka harus ikhlas karena semua sudah menjadi kehendak yang maha kuasa. 

Perlahan Riri dimasukan ke liang lahat, tanah merah mulai mengubur jasadnya, raung tangisan masih menggema berbaur menjadi satu dengan shalawat yang teriring. 

Terakhir bunga dan air mereka taburkan ke atas tanah merah yang membumbung dengan nisan bertuliskan nama *Nurindah Pramesti*. 

Adam terisak dengan terus memegangi nisan Riri, diusapnya tanah merah yang masih basah itu.

"Selamat jalan Ri, semoga kamu tenang di alam baka, setelah ini giliran Evan yang akan menyusulmu," ucap Adam tersenyum kecut. 
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

close