Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

CURUG AWI LARANGAN (Part 6)


JEJAKMISTERI - Menelfon seseorang di sambungan telefon. Adam rupanya tengah menghubungi Ki Jalu agar segera datang ke rumahnya. 

Tak lama dukun muda itu datang, Adam langsung marah besar padanya, dia memaki Ki Jalu karena malah pergi dari kamar itu, sehingga dirinya saat ini kehilangan Evan. 

"Kamu yang bodoh Dam, sejak awal aku berpesan, yang duluan harus kamu habisi itu adalah anak si Wisnu," bentak Ki Jalu. 

"Inilah akibatnya bila kamu berjalan tidak sesuai kesepakatan kita."

Adam bergeming tanpa kata. Benar yang Ki Jalu katakan, awalnya target mereka adalah Sanum, namun Adam terlanjur tergoda oleh wajah dan tubuh Riri ketika di pendakian itu. Sehingga dia kalap mata. Adam awalnya tak ingin membunuh Riri namun dirinya kesal setiap kali bertemu Riri selalu melihat bayangan Rega dalam dirinya. 

Adam kesal, merasa sangat marah sehingga tragedi itu terjadi dan Riri berakhir dengan bertemu maut. 

"Bukankah sama saja akhirnya aku juga akan menghabisi keluarga itu dan orang-orang di sekitarnya?"

"Tidak Dam, semua berbeda. Jika sejak awal kamu menuruti titahku untuk langsung membunuh anak Wisnu, rahasia besarmu saat ini pasti akan aman."

"Jika sudah seperti ini, kemana kita harus mencari Evan?"

Lagi-lagi Adam dibuat telak oleh ke egoisannya sendiri. Melihat salah satu jendela kamar yang terbuka, Adam menyangka Evan berhasil melarikan diri dengan cara melompati jendela itu saat dia sibuk dengan kehadiran Rega dan temanya yang lain. 

Sebab di sana terlihat ada kain yang berupa selimut tergantung di sela-sela jendela. 

Padahal, itu semua adalah hasil karya Cika. Gadis itu sengaja membuat manipulasi demikian agar Adam tak mencurigai kedatangannya bersama Rega yang saat ini telah berhasil membawa Evan dengan selamat.  

***
Sementara itu, Cika dan kawan-kawannya sudah sampai di rumah sakit, Evan tengah menjalani pemeriksaan di ruang UGD karena peluru tertanam cukup dalam sehingga Evan harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut. 

"Aku harus segera menghubungi  polisi."

Cika langsung menurunkan ponsel Lala dari telinganya, dia mematikan sambungan telefon  yang Lala lakukan untuk melapor pada pihak kepolisian. 

Cika berkata bahwa ini bukan lagi urusan polisi, Cika dan Rega harus memastikan sesuatu dengan benar sampai nanti mereka bisa memutuskan hukuman apa yang harus di persiapkan untuk Adam. 

"Tapi Adam sudah kelewatan Cika."

"Aku tahu La, tapi ini sebagian dari amanah Evan juga untuk tidak mengusut kasus ini pada polisi, ada sesuatu hal penting yang Evan tahu tentang Adam."

Lala terduduk, dia sangat khawatir pasalnya Evan terluka sangat parah, dia takut sesuatu terjadi pada Evan. 

Di tengah kegelisahan mereka, Sanum datang bersama keluarganya. Mereka datang dengan tergesa-gesa ingin segera melihat Evan, namun sepertinya Evan akan melakukan operasi pengangkatan peluru yang bersarang di betisnya. Dokter mengatakan operasi akan dilakukan satu jam lagi, menunggu darah dan hasil lab terlebih dahulu. 

"Kenapa semua bisa begini Rega?" 

Mereka masih tertunduk, bingung harus menjelaskan dari mana. 
Sanum terus mengintip dibalik pintu kaca, Evan tengah berbaring dengan alat oksigen di hidungnya. 

"Jawab Api, Rega."

"Kami bingung harus menjelaskan dari mana Api."

"Darimana saja, asal semua masuk akal."

Rega menyikut tangan Cika agar dia menjelaskan semuanya, Rega tak kuasa jika harus membayangkan kejadian yang menimpa Evan. 

Terpaksa Cika mengambil suara untuk menceritakan semuanya bahwa Adam selama ini menyekap Evan dan menghajarnya dengan sadis. 

Semua keluarga Sanum sangat tercengang, mereka tak menduga Adam bisa berbuat demikian. 

"Apa motifnya?"

"Tidak tahu Api, semua yang bisa menjawab hanya Evan," balas Rega.

Rega menyarankan untuk sementara waktu jangan sampai Adam mengetahui keberadaan Evan, dirinya menyuruh semua untuk bersandiwara bahwa Evan hilang entah kemana. 

"Lalu bagaimana dengan keluarga Evan nantinya Rega?"

"Kita harus beri tahu mereka Sanum, sementara ini biarlah ini menjadi rahasia kita."

"Aku curiga Adam adalah dalang kematian Riri, sebab Evan bilang dia ingin berbicara tentang Riri dengan kita."

Syukurlah semua mengerti penjelasan dari Cika dan Rega, maka sekarang mereka memutuskan untuk menunggu Evan sadar, setelahnya nanti mereka akan menyusun rencana kembali. 

***
Esok harinya Evan telah sadar, sadarnya Evan berbarengan dengan kabar mengejutkan yang Zoya bawakan. 

Saat memastikan kuburan Janin yang di maksudkan orangtuanya, Zoya menemukan bahwa kuburan itu tak ada. Walaupun sudah lama, setidaknya batu nisan penanda haruslah ada. Namun ketika memeriksanya dia sangat terkejut, Bu Yolan dan Bu Maya ikut memastikan dan benar tanah nisan penanda kuburan itu sama sekali tidak ada. 

"Kenapa bisa begini Yol?"

"Aku juga tak tahu Maya, kita semua tahu kan bahwa janin itu kita kubur di sini."

"Aku yakin sekarang, mimpiku adalah benar. Anak ini masih hidup Yol," tunjuk Maya pada tanah belakang rumahnya yang rata. 

"Lalu jika benar, dimana anak itu?"

"Kita harus tanya kakakmu Zoy, semoga dia dengan kakak iparmu tahu."

Zoya bingung ketika ibunya menyangkut pautkan sang kakak, dia tak mengerti mengapa Zeyana tahu? 

"Maksud Bunda kita tanya suami kakakmu itu Zoy, barangkali Ahmad tahu tentang siapa saja anak buah atau keluarga Mugo Roso."

Setelah mendengar penjelasan Bu Maya, Zoya kini mengerti mungkin saja kakak iparnya tahu sebab dulu ketika tragedi itu terjadi keluarga Ahmad banyak sekali membantu keluarganya. 

Seolah telepati, mereka berbicara tentang Zeyana tak lama kakak Zoya itu datang bersama suaminya Ahmad. 

Mereka datang bagai sudah kehendak maha kuasa, padahal keduanya tengah sama-sama sibuk mengurus pondok pesantren binaan Almarhum Kiyai Husen, ayah dari Ahmad suaminya Zeyana. 

Menikah 6 tahun yang lalu, keduanya sampai saat ini belum dikaruniai buah hati. Setelah meninggalnya Kiyai Husen 5 tahun silam Ahmad lah yang menjadi penerus untuk memipin pondok. 

"Kakak datang gak kabarin Bunda dulu," sapa Bu Maya pada anak sulungnya yang masih mematung di ambang pintu. 

Keduanya tersenyum lantas menyalami semua keluarga itu. 

"Gak tahu Bun, Kakak tiba-tiba kangen Bunda dan Adek," jawab Zeyana seraya memeluk ibu dan adiknya, tak lupa dia menyalami ayahnya juga pak Wisnu dan Bu Yolan. 

Zeyana heran ketika datang, Bundanya sangat kotor bajunya penuh dengan tanah. 

"Bunda sedang apa?"

"Bunda sedang memastikan sesuatu di belakang Nak."

"Masksud Bunda kuburan janin itu?" tanya Zeyana seraya menyasar ke halaman belakang. 

"Astaghfirulah, Mas benar mimpiku Mas," ucap Zeyana pada Ahmad, dia sepertinya terkejut ketika tanah kuburan itu telah rata tanpa adanya batu nisan apapun. 

"Kakak mimpi juga,? Tanya Bu Maya yang sama bingungnya dengan ekspresi Zeyana. 

"Benar Bunda, kakak bermimpi tentang anak yang dulu tante Yolan kandung."

"Kakak bermimpi anak itu telah besar dan mengganggu keluarga kita."

Zoya menatap tajam Zeyana, mimpi yang sama telah mendatangi ibu dan kakaknya, Zoya berpikir itu bukan lagi sembarang mimpi melainkan petunjuk yang harus di pecahkan. 

Tak menunggu lama, Zoya lantas menceritakan semua yang terjadi menimpa sahabat-sahabat Sanum kala itu, Zoya bercerita mulai dari pemdakian Sanum saat itu, lalu kematian Riri yang tiba-tiba dan sangat janggal. Sampai hari kemarin kejadian yang menimpa Evan, Zoya tahu bahwa Adam menyiksa dan menyekap Evan. 

"Apa?" 

"Benar Bunda, mimpi Kakak dan Bunda datang setelah rentetan peristiwa yang menimpa Sanum dan semua kawan-kawannya."

"Bunda tidak menyangka Adam begitu."

"Kakak juga Dek."

"Setahu Kakak, Adam sangat baik, dia pernah menyumbang besar untuk pondok, benar kan Mas,?" tanya Zeyana pada suaminya. 

Ahmad mengangguk, dia pun merasa tak percaya jika Adam melakukan itu. 

"Hilangkan prasangka itu Kak, apa mungkin Adam adalah anak yang dulu Ama kandung?"

Bu Yolan terkejut, Zoya menyebut bahwa dia curiga anak yang dimaksudkan adalah Adam. Sebab sejak awal pendakian hingga kematian Riri Adamblah yang mengajak mereka untuk mendaki gunung Rawala. Sedangkan rute awal bukanlah ke sana, melainkan ke gunung Simpur.  

"Dari ke enam sahabat itu tak ada yang tahu tragedi Rawala, namun Adam sangat ingin mendaki kesana, mengapa?" tanya Zoya. Semua berpikir keras sebab ini sangat sulit di artikan. 

Jika benar, berarti semua yang terjadi menimpa Sanum dan kawan-kawannya adalah rencana yang sudah Adam susun dengan matang. 

Ketika mereka sedang berdiskusi mencoba memecah masalah itu bunyi telefon terdengar, Zoya mengangkatnya. 

[Apa?] Zoya sangat terkejut menerima panggilan itu. 

[Yasudah Mbak akan kesana.] 

Tut! 

Bu Maya bertanya mengapa Zoya panik setelah mengangkat telefon. 

"Gawat Bunda, E-Evan hilang!"

Sontak semua keluarga yang tengah duduk itu bangkit dengan mimik gelisah, Evan kembali hilang tanpa ada yang tahu, Sanum mengabrakan pada Zoya bahwa Evan sudah tak ada di kamarnya. Padahal Rega, Sanum dan semuanya menunggu siaga di rumah sakit.

"Aku semakin yakin Bunda, Adam memang anak itu."

"Aku akan ke rumah sakit sekarang, Bunda dan semuanya mohon doakan kami ya, semoga Evan juga baik-baik saja."

Zoya berlalu setelah berpamitan pada semua keluarganya. Dia menacap gas dengan cepat untuk sampai ke rumah sakit. 

*** 
Dilain sisi, Adam pun masih berusaha mencari keberadaan Evan yang entah dimana. Sejak kemarin Evan menghilang dari rumahnya dia belum berhasil membawa Evan kembali. Penasaran, dia mulai bersandiwara lagi untuk mencari keberadaan Evan dengan bertanya pada Rega melalui sambungan telefon. 

Adam bertanya apakah Evan ada di rumah Rega? Rega lantas menjawab tidak ada.  

Adam kembali termenung, dia berpikir keras dimana sebenarnya Evan saat ini. 

[Sejak kemarin kita tak melihat Evan, Dam.] 

[Benarkah?] 

[Iya Dam, kamu tahu Evan di mana.] Rega balik bertanya, memancing Adam barangkali dia keceplosan dan mengatakan keberadaan Evan. 

[Maksudmu Evan hilang Ga?] 

Rega bergeming, Adam sepertinya terkejut ketika Rega bilang tak tahu tentang Evan. 

[Yasudah Ga, nanti kalau Evan ada kabari aku ya, aku ada perlu dengannya.] 

Tut! 

Adam semakin kesal, dia frustasi mencari keberadaan Evan yang entah dimana. 

"Sialan kamu Van, dimana kamu sekarang?"

***

Rega berkata pada semuanya bahwa yang menelfon barusan adalah Adam, tapi Rega mengutarakan kecurigaannya bahwa kemungkinan Adam pun saat ini tak tahu keberadaan Evan. 

"Aku yakin Evan tidak bersama Adam."

"Bagaimana mungkin Ga? Sudah jelas dia lah yang menculik Evan lagi," tukas Lala dengan emosi. 

"Tidak La, dari getar suaranya, Adam seperti terkejut ketika aku bilang aku tak tahu keberadaan Evan."

"Dia hanya pura-pura Ga, aku yakin Adam lah yang memawa Evan kabur dari sini."

Rega kembali berpikir, Adam pun bukan orang yang bisa di percaya, maka Rega memutuskan untuk mencati tahu tentang Evan dengan mengikuti kemana Adam pergi. 

Mereka tengah menyusun strategi untuk membuntuti Adam, barangkali dugaan Lala benar Adam hanya bersandiwara. 

Dengan mobil Rega, mereka memutuskan untuk mencari tahu bersama, kini keempat sekawan itu tengah menuju ke rumah Adam, untuk mencari tahu benarkah Adam menculik Evan, atau dia hanya bersandiwara? 

***

"Lepaskan aku, siapa kamu?" teriak Evan dengan keras, suaranya menggema di sebuah tempat, Evan masih memakai baju rawat inap dari rumah sakit. Sementara sosok lelaki tua tengah menatap Evan yang ia tutupi matanya dengan kain hitam, tangannya terikat di antara beberapa pohon bambu, teriakan Evan berbaur dengan derasnya suara air, Evan mengingat persis suara air itu. 

"Di-dimana aku?" teriaknya lagi. 

"Aku yakin ini air terjun gunung Rawala," pekik Evan dalam hatinya. Dia ingat betul suara derasnya air saat menemukan Riri pingsan di sana. 

Lelaki tua itu berjalan mendekat ke arah Evan yang masih berontak dengan tangan terikat. Perlahan lelaki itu membelai kepala Evan. 

"Sejak lama, kenapa aku selalu di kelilingi orang-orang bodoh," ucapnya. Evan tak tahu, suara berat itu sangat asing, Evan tak pernah mendengar suara itu sebelumnya. 

Tak lama kain penutup matanya terbuka, Evan melihat sosok lelaki tua berjenggot dengan pakaian serba hitam tengah menatap padanya. 

"Mbah! Maafkan aku, aku sudah memperingatkan Adam untuk jangan bertele-tele," ucap seseorang membungkuk di hadapan lelaki tua itu. 

Lelaki itu mengangkat wajahnya. 

"Ki Jalu,"

PLAK! 

Aaaaaah, Evan langsung menundukan kepala ketika Ki Jalu meraung kesakitan karena wajahnya di tampar kakek tua itu. 

BAG! BAG! 

Aaaaaah, Ki Jalu kembali meraung ketika cambukan di layangkan ke tubuhnya. Evan berkeringat sangat gemetar, di cambuk itu sekilas terlihat kobaran api, sehingga Ki Jalu terpingkal-pingkal dibuatnya. Dia menceburkan tubuhnya ke air agar luka bakarnya mereda. 

"Ampuni aku Mbah, berulang kali aku ingatkan Adam agar membunuh lebih dulu anak si Wisnu itu, tapi dia tak mendengarkan aku." 

Evan semakin dibuat tercengang dengan penjelasan Ki Jalu, rupanya benar dugaan Evan selama ini, kematian Riri akibat ulah Adam, tapi Evan masih tak mengerti mengapa Sanum yang awalnya akan mereka bunuh?

"Ada apa ini? Aku tak mengerti?" Gumam Evan dalam hati. 

"Siapa juga kakek tua ini?" Kepala Evan di isi sejuta tanya yang sangat membuatnya sakit kepala. 

"Jika dia tak mendengarkan, harusnya kau yang buat anak itu mati." 

PLAK! Kakek tua itu menghantam batu besar dengan cambukan api, sehingga beberapa daun kering di sekitar air terjun tersambar api itu. 

Evan kepanasan tatkala Api mulai mengelilingi tempatnya saat ini, Evan berteriak lagi ketika percikan api mulai mengenai kakinya. 

Kakek tua kembali menatap Evan, dia menyeringai. 

"Sepertinya membunuhmu akan membuat tragedi baru."

Evan semakin berontak kepanasan,dia memohon agar si kakek tua memadamkan kobaran api yang semakin menyala-nyala mengelilingi tubuhnya yang terikat di pohon bambu itu. 

*****

"Tolong.... "

"Ya Allah tolong aku... "

BAG!

Percikan api kembali tersambar dari cambuk yang di pegang oleh kakek tua berjenggot. Dia menertawakan Evan yang meraung meminta tolong pada yang Maha Kuasa. 

Percikan api semakin mengenai kulit kaki Evan, dia meringis menahan perih akibat melepuhnya kulit. 

"Apa salahku padamu kakek tua?" 

Dia mendekat ke arah Evan, berjalan menembus panasnya api yang melingkari tubuh Evan yang terikat. Dia mulai menjamah leher Evan hingga tubuhnya sedikit terangkat. 

"Sebenarnya tak ada kesalahan apapun padamu, aku hanya ingin kamu memohon bantuan padaku agar aku memadamkan api ini."

"Ha-ha-ha," tua bangka itu tertawa dengan bahagia, dia seolah merasa senang melihat Evan ketakutan. Tak lama dia mengulurkan tangan, matanya terpejam lalu dia berkomat kamit membaca mantra. 

Sihir nyata terjadi di depan mata Evan, air tiba-tiba terangkat ke permukaan ketika si kakek tua mengangkat tangannya, air itu ia arahkan ke tubuh Evan, seketika pula api yang mengelilinginya padam tersiram air itu. 

"Lihat! Tuhan tak mengabulkan doamu, akulah yang memadamkan api ini."

Evan menggeleng, si tua bangka  itu sangatlah sombong, dia sengaja ingin memperlihatkan kekuatannya pada Evan. 

"Tak ada kuasa melebihi kuasa Allah," tutur Evan dengan gemetar. Membuat si tua bangka murka dan kembali menyalakan api mengelilingi tempat Evan berdiri. 

"Jika kuasa tuhanmu benar besar, maka suruhlah dia untuk memadamkan api ini."

"Dasar anak kurang ajar."

***

Evan masih tersandera di tangan si tua bangka itu. Sementara Ki Jalu saat ini sedang memberitahu Adam bahwa Evan ada di tangannya. 

Adam sangat lega, rupanya ia tak harus repot mencari Evan. Maka saat ini Adam tengah berangkat menuju gunung Rawala sesuai titah Ki Jalu yang mengatakan via telefon agar Adam segera menemuinya di air terjun Rarangan. 

Adam memacu mobilnya dengan kecepatan penuh, dia tak menyadari bahwa Rega dan juga kawannya tengah membuntuti dia dari belakang. 

"Kemana Adam pergi?" tanya Cika dan Lala, mereka sangat ingin tahu tujuan Adam saat ini. 

"Ga, jangan sampai kita ketahuan."

Mereka sangat tegang, ke empat bersahabat itu merasa tengah berpetualang memburu pelaku kejahatan, mereka sangat takut tetiba saja Adam tahu bahwa mereka sedang membuntutinya. 

"Tenang saja, jarak kita jauh kok."

"Lebih baik kamu hubungi Mbak Zoya ya Num agar dia juga ikut menyusul kita." 

"Sudah Ga, aku sudah bilang Mbak Zoy agar ikut dan dia sekarang sedang di jalan juga."

"Syukurlah!" 

Kini mereka masih terus mengikuti Adam. Walaupun keempatnya belum tahu tujuan Adam kemana. 

Tapi dari gelagat Adam tadi sangat mencurigakan setelah menerima panggilan dari seseorang via telefon, dia langsung terlihat senang dan langsung pergi meninggalkan rumahnya. 

Setengah jam sudah mereka membuntuti Adam. Lama-kelamaan mereka mulai menyadari sesuatu, bahwa jalanan itu adalah jalan menuju gunung Rawala. 

"Loh kok ini jalan ke-"

"Kamu benar Cik, ini jalan ke Rawala," tutur Sanum. Dia memutar pandangan, jalanan semakin tak asing, dan benar saja, Adam berhenti di sebuah tempat ia terlihat memarkirkan mobil tak jauh dari start awal ketika mereka melakukan pendakian ke gunung malapetaka itu. 

"Lihat! Adam turun di sana," tunjuk Cika ke salah satu tempat yang agak gelap dengan rindang pohon-pohon. 

Adam keluar mobil lalu dia celingukan kemudian masuk menyingkap jalanan setapak itu. 

"Sepertinya itu jalan pintas Ga."

Rega mengangguk. 

"Yasudah ayo cepat kita turun."

Mereka mulai turun berjalan mengendap dan menyingkap rindangnya pohon menyusuri jalanan setapak. Benar dugaan Cika, jalanan setapak ini adalah jalan pintas, di samping jalan terdapat pohon salak yang sangat banyak, suara jangkrik bersahutan menambah kesan akngker di jalan itu. 

Adam masih tak menyadari bahwa dia sedang di buntuti.  Langkah Adam semakin cepat, jalanan setapak itu rupanya cukup menanjak sehingga perlu tenaga untuk mendaki jalanannya. 

"Tunggu sebentar!" ucap Cika menarik tangan semuanya.  mereka menghentikan langkah. 

"Dengarkan itu." 

Sayup dari jauh mulai terdengar suara air mengalir deras, Cika sangat yakin itu adalah air terjun yang sempat ia sambangi ketika menemukan Riri pingsan.

"Rega, jalanan ini adalah jalan pintas menuju air terjun itu."

Rega mulai berjalan memimpin ketiga teman wanitanya, mereka saling berpegangan tangan. Langkah Adam semakin jauh tak terlihat namun mereka masih terus menapaki jalanan itu. 

Tiba-tiba. Rega langsung membalikan badannya menarik semua sahabatnya untuk berjongkok. 

"Ada apa sih Ga?"

"Lihat itu," tunjuk Rega ke arah depan, di sana terlihat kobaran cahaya berwarna merah. 

"Itu api," tutur Sanum terkejut. Mereka lebih terkejut lagi ketika melihat dengan jelas Evan tengah terikat diantara pohon bambu yang di kelilingi kobaran merah itu.  

"Astaghfirullahal'adziim, itu Evan Ga." 

"Kurang ajar." 

Emosi Rega hampir saja mencelakai semua, pasalnya  dengan murka dia berniat menghampiri Adam dan sekutunya di dekat air terjun itu. Untunglah mereka menarik tangan Rega dengan cepat. 

Sanum menenangkan agar Rega tak bertindak gegabah, karena semua sedang menyelidiki maka mereka harus bersabar dengan semua yang mereka lihat, agar semua berjalan dengan baik sesuai rencana. 

"Lihat, siapa kakek tua yang bersama Ki Jalu itu?"

Mereka semakin benci dengan tingkah Adam ketika raut bahagia terlihat dari wajahnya. 

Adam menatap Evan dengan senyum sumeringah tak lama dia tertawa senang karena Evan telah kembali ke tangannya. 

Tawa Adam terhenti, ketika sosok tua itu mendekat ke arahnya, Adam membungkuk memberi hormat dan salam. 

Semuanya menggeleng tak mengerti, tak ada satupun dari mereka yang mengenal sosok tua bangka itu. Dengan kejadian ini mereka semakin yakin bahwa Adam memang jahat. 

Tengah serius mengamati gerak gerik Adam, getar ponsel terdengar dari balik saku celana Rega, itu panggilan dari Zoya dia lantas mengangkatnya.  Zoya berkata bahwa dia telah sampai di lokasi sesuai yang Rega kirimkan tadi. 

Rega lantas menjawab bahwa Zoya harus melewati jalanan setapak yang berada di pojok kiri. 

"Oke, Mbak kesana, kalian tunggu." Zoya mengerti dia lantas mematikan sambungan telefon dan mulai menapakai jalanan sesuai yang Rega katakan. 

***

PLAK! 

Adam terhenyak ketika tamparan dilayangkan ke wajahnya, Rega dan yang lain pun terkejut karena mereka tak menyangka kakek tua itu menampar Adam di hadapan Ki Jalu juga Evan. 

"Apa salahku Mbah?" teriak Adam lantang. 

"Turunkan suaramu Dam," tutur Ki Jalu pada anak asuhnya itu. 

"Dasar anak bodoh, bau kencur."

"Kenapa kau tak mendengarkan si Jalu untuk lebih dulu membunuh anak si Wisnu itu ha?" Bentak kakek tua pada Adam. 

Rega dan kawan-kawannya yang mendengar pertikaian dibalik pepohonan itu lantas melirik ke arah Sanum ketika si tua bangka menyangkutkan nama Wisnu dalam teriakannya. 

Sanum memebelalak, dia pun tak tahu mengapa mereka ingin membunuh dirinya. 

"Kita dengarkan saja dulu mereka," tutur Sanum. 

Si tua itu kembali menampar wajah Adam dengan keras, dia masih tak terima dan berulang kali mengatakan bahwa Adam terlalu bodoh dan sembrono. 

"Andai kamu membunuh anak itu, urusannya tak akan rumit begini."

"Lagipula ini dendamku Mbah, kamu tak usah ikut campur."

Mendengar Adam berkata begitu, lelaki tua itu kembali mengobarkan api dengan cambuknya, sehingga Evan kembali meringis karena api itu berimbas padanya yang kembali terluka karena amarah si tua bangka. 

Cika menutup mulutnya sendiri ketika melihat Evan berteriak dan mengaduh kesakitan, kobaran api itu semakin menyala-nyala membuat Evan lemas. 

"Sialan mereka semua, kejam," tukas Lala yang juga sangat emosi menyaksikan yang ada di hadapannya kini. 

***

Rega masih terus mengepalkan tangan, berulang kali dia mengusap dadanya untuk terus beristighfar. Emosi dalam jiwanya sangat ingin menghajar Adam bersama orang-orang itu, namun dia tak bisa gegabah mengambil keputusan. 

Tak lama deru langkah dari belakang mereka terdengar. Rega memasang kuda-kuda sementara ketiga wanita itu meraih kayu yang ada di sekitar mereka, takut-takut bila orang tak di kenal yang justru menghampiri mereka. 

Deru langkah semakin mendekat, keringat keempat sekawan itu bercucuran deras. 

"Mbak Zoy," pekik semua berbarengan, mereka menarik nafas dengan lega ketika pemilik langkah itu rupanya Zoya. 

"Sssssstt, "

"Benar yang Adam temui di sini Evan?" tanya wanita berhijab coklat itu. Demua mengangguk. 

Zoya lantas mengintip dibalik pohon bersama mereka. Alangkah terkejut Zoya ketika melihat bambu yang menjadi sandaran tubuh Evan yang terikat, berulang kali Zoya menyeru asma Allah. 

"Kenapa Mbak?" tanya Rega. 

Zoya masih bungkam tak mau menjelaskan pada mereka. 

"Siapa lelaki tua yang bersama mereka itu?" tanya Zoya dengan gemetar. Dia menunjuk lelaki tua yang tengah menghadap ke arah Evan.

Mereka semua menggeleng karena tak ada satupun dari mereka yang tahu identitas lelaki tua berbaju hitam itu.  Rega lalu menjelaskan bahwa ketika sampai lelaki itu sudah ada di sana bersama Ki Jalu. 

"Bahkan Adam juga seperti terkjeut ketika kakek itu ada di sana Mbak," ucap Rega. 

Zoya menatap mereka dalam-dalam, ada rasa takut mulai menyergap jiwa Zoya, dia lantas memeluk keempat orang itu yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri. 

"Bagaimana pun caranya, kita harus menyelamatkan Evan."

Zoya berbalik badan lagi, dia mengamati sekeliling, terlihat lelaki tua itu perlahan membalikan tubuhnya. 

Mata Zoya membulat, dia menutup mulutnya yang menjerit ketika melihat sosok tua itu berbalik badan. 

"Mbak kenapa?" tanya Sanum khawatir, dia melihat kakanya melangkah mundur dengan langkah yang gontai, sesekali Rega menahan tubuh Zoya yang seperti tak bertulang. 

Keringat mulai mengalir di sela-sela pelipis Zoya, membuat semuanya heran dan bingung. 

"Mbak kenapa? Ada apa?" tanya Sanum kembali namun Zoya masih tetap bungkam, dia seolah tak ingin menceritakan sesuati yang ia ketahui. 

Lala menepuk tangan sahabatnya untuk kembali fokus ke arah Evan, rupanya kini Evan tengah di lepaskan ikatannya, mereka menarik tubuh Evan yang lemas dengan kasar, entah kemana mereka membawa Evan pergi. 

"Ayo kita ikuti mereka pelan-pelan," tutur Zoya seraya bangkit. Dia mendadak kembali mendapatkan kekuatan ketika melihat Evan yang tak berdaya di seret paksa oleh ketiga manusia jahanam itu. Matanya di penuhi buliran bening yang sedang berusaha ia tahan. 

"Kemana mereka membawa Evan Mbak?"

"Mbak tak tahu, ayo cepat kita ikuti perlahan."

Mereka mengikuti Adam yang kembali beranjak dari air terjun untuk membawa Evan entah kemana. 

Langkah mereka terhenti ketika si tua bangka seperti mencium sesuatu tentang keberadaan Zoya dan yang lain. 

Zoya lantas mundur beberapa langkah agar dirinya tak diketahui oleh mereka. 

"Menunduk," titah Zoya. 

Si tua bangka sepertinya mulai curiga. Dia perlahan berjalan ke arah Zoya dengan sangat hati-hati. Tangannya yang ia sembunyikan dibalik tubuhnya menyimpan cambuk api yang sangat panas. 

"Mbak kakek itu berjalan ke arah kita, bagaimana ini?" pekik Cika ketakutan. Dia mulai panik ketika langkah kaki si tua dari  kejauhan terdengar semakin mendekat ke arah mereka.  

"Kalian tenang, berdoa pada Allah agar senantiasa melindungi kita."

Mereka bergenggaman tangan bersama, Cika memejamkan matanya, tubuhnya bergetar ketakutan, takut bila si tua itu berhasil menemukan keberadaan mereka. 

"Hm, kalian berdua diam dulu di sana, jaga anak itu baik-baik, aku akan memastikan sesuatu dulu," si tua bangka lantas semakin mendekat berjalan ke arah mereka, dia menghentikan langkahnya tepat di belakang tubuh Zoya dan kawan-kawannya yang hanya terhalang oleh beberapa pohon salak. 

Mereka semua semakin erat bergenggaman tangan, semuanya menahan nafas dan gerakan agar keberadaan mereka aman. 

BAG! Si tua menghantam cambukan yang dia pegang sehingga api melahap jalanan yang beralaskan daun-daun kering. Api semakin menjalar ke tempat Zoya berpijak bersama yang lainnya. 

Cika dan Lala terlihat berusaha membekap mulutnya sendiri agar tak bersuara sedikitpun ketika api itu perlahan mulai mendekat karena dedaunan kering sangat banyak di dekat mereka. Kini api itu menyala tepat di hadapan kelima orang itu. Mereka mulai merasakan panas, Cika beringsut mundur karena daun kering di dekatnya mulai tersambar api. 

Sementara Rega terus memeluk Sanum yang mulai tegang. Zoya mengintip, langkah si tua semakin mendekat dan terus mendekat, tiga langkah lagi dirinya akan tertangkap basah. 

"Ya Allah lindungi kami," batin Zoya terus menjerit. 

"Mbah! Cepat ke sana, Evan tengah menghajar Adam, sepertinya anak itu berusaha melarikan diri," ucap Ki Jalu dengan terengah-engah. Seketika si tua bangka langsung berbalik arah dan berlari menghampiri Adam dan juga Evan. 

Zoya dan semuanya menghembuskan nafas berat, nafas yang telah mereka tahan selama kurang lebih 3 menit, semua merasa lega ketika langkah kaki tak lagi terdengar.

Mereka lantas mengibas semua api yang ada di sekitarnya. Zoya membuka jaket lalu mencoba memadamkan api itu, syukurlah api perlahan sudah padam, namun Rega tengah gelisah, mereka baru sadar bahwa Sanum pingsan. Rega langsung  menepuk pipi Sanum berulang kali, Sanum masih tak sadarkan diri. 

Zoya terus mengusap tangan adiknya dengan cepat, nafasnya tersenggal, sepertinya Sanum sesak nafas. 

"Sanum bangun sayang, Sanum dengar Mbak kan?" Zoya terus memegang erat wajah Sanum, Cika dan Lala mengusap kakinya dengan cepat. 

Zoya membuka mulut Sanum, dia memberikan nafas buatan untuknya, kepulan asap yang banyak membuat Sanum sesak. 

"Cepat kita harus ke mobil dulu, Sanum gak bisa di sini lama-lama." 

Rega lalu mengangkat tubuh Sanum , mereka kini menghentikan sementara pencarian Evan, sebab nyawa Sanum pun dalam bahaya. 

Akhirnya terpaksa mereka kembali turun menyusuri jalanan setapak itu agar segera sampai ke tempat dimana mereka memarkirkan mobil. 

Di tengah jalan mereka di kejutkan dengan suara orang terjatuh di sebelah kanan jalan, tepatnya diantara puluhan pohon salak, Zoya memberanikan diri melihat ke arah suara berasal. Zoya sangat terkejut ketika melihat tubuh tergeletak di sana. 

"Evan! " teriaknya seraya berlari. 
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

close