Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ALAS SEWU LELEMBUT (Part 6) - Amarah

Danan dan Cahyo terbangun di saat yang sama, Firasat tentang paklek membuat mereka memutuskan untuk menyusulnya


Malam masih setia dengan pesonanya menyelimuti sebuah desa yang kembali mendapatkan tenangnya. Suara dengkuran saling beradu dari setiap ruangan menandakan kelelahan dari setiap insan yang terlelap di rumah ini.

Sayangnya sunyinya malam itu tak mampu menahan gelisah dari dua orang yang tengah memaksakan tidurnya.

Jantung Danan berdegup kencang, nafasnya seolah tertahan sebuah firasat yang mengganggunya. Iapun terbangun dari tidur dan memilih untuk keluar dan membasuh wajahnya.

Brakk!!

Danan membuka pintu dengan gelisah, tak di sangka ia berpapasan dengan Cahyo yang sebelumnya tidur di kursi teras. Tak berbeda dengan Danan, wajah Cahyo juga terlihat gelisah

“Ndak tenang aku Nan,” ucap Cahyo.

“Sama, nggak pernah aku ngerasa segelisah ini.

Ada sesuatu yang terjadi pada Paklek!” balas Danan.
Ada perasaan yang tidak bisa mereka gambarkan. Yang mereka tahu mereka semua merasa terdorong untuk segera menghampiri Paklek.

“Ra iso iki Nan, aku harus nyusul Paklek,” Cahyo mencari barang-barang bawaanya dan mulai memasukkanya ke tas. Dananpun tak menjawab dan ikut melakukan hal yang serupa.

Mendengar keriuhan di ruangan tengah, Abahpun terbangun dan menemui mereka.

“Ini teh ada apa? kok tiba-tiba tengah malam pada sibuk?” Tanya Abah.

Dananpun menjeda apa yang Iakukan dan menghampiri Abah. Ia menjelaskan apa yang mereka rasakan saat ini.

“Maaf Abah, sepertinya kami harus segera menyusul Paklek. Perasaan kami benar-benar tidak enak,” Ucap Danan menjelaskan keadaanya.

Abah menatap Danan dan Cahyo satu persatu. Matanya terlihat khawatir dengan mereka berdua.

“Kalau kalian merasakan hal itu secara bersamaan, mungkin saja firasat kalian benar. Ya sudah, Abah nggak akan menahan kalian. Pastikan kalian berhati-hati,” ucap Abah.

“Iya Abah, doain kami dan Paklek ya,” balas Cahyo.

“Kalau keadaan semakin tidak tertolong, segera kabari. Nanti saya minta Jagad dan yang lain untuk menyusul ke sana,” Ucap abah.

“Iya Bah, terima kasih..” balas Danan singkat. Mereka berdua bersiap-siap secepat mungkin untuk menaiki bis pertama menuju ke Jawa Timur.

Mereka sempat memikirkan menggunakan motor Cahyo, namun setelah beberapa kali berdebat mereka sepakat bahwa naik bis adalah cara yang terbaik.

Kali ini bis tidak terlalu ramai, kursi hanya terisi setengahnya saja dari jumlah kapasitas.

Mereka dibawakan beberapa makanan kecil dan lauk seadanya oleh abah. Sepertinya Abah tahu, bahwa kegelisahan Danan dan Cahyo akan membuat mereka tidak terpikir untuk mencari sarapan.

“Kamu nggak bisa ngerogosukmo kesana Nan?” Tanya Cahyo.

“Masih terlalu jauh Jul, lagipula aku tidak tahu persisnya lokasi desa itu,” Balas Danan.
Tak ada yang bisa mereka lakukan saat itu selain memaksa tubuh mereka untuk beristirahat agar siap menghadapi apapun yang ada di tujuan mereka.

Sesampainya di terminal, mereka segera mencari angkutan umum yang melewati jalur terdekat menuju desa yang dikunjungi Paklek. Mereka menanyakan tentang desa Danumulur pada sopir angkutan umum, namun supir angkutan itu malah menyarankan mereka untuk tidak ke sana.

“Bukanya apa-apa mas, sempat ada kabar desa itu sudah ditutup. Ada beberapa orang yang mau cari tahu tentang warga di sana, tapi nggak ada yang kembali,” peringat supir angkutan umum itu.

Merekapun menanyakan padanya, apa yang terjadi pada desa itu.

Sayangnya tidak ada yang bisa memastikan apa yang terjadi. Yang mereka dengar, seluruh warga desa mati dengan cara yang misterius.

“Bukanya nggak mau ngasi tau mas, tapi kayak yang saya bilang tadi. Semua yang masuk ke desa itu untuk mencari tahu tidak pernah keluar lagi.

Orang sekitar hanya menebak melalui bau bangkai di desa itu yang tercium dari hutan sekitar desa itu.” Jelasnya.
Mendengar ucapan itu Danan dan Cahyopun semakin khawatir. Dalam hatinya ia mengetahui bahwa Paklek bukanlah orang yang lemah.

Terlebih Pusaka Keris Sukmageni selalu menemaninya. Mereka berharap Paklek masih bertahan di sana.

Supir angkutan itu memperingatkan kami sekali lagi saat akan menurunkan mereka.

“Tenang pak, paling malam ini kami menginap di desa terdekat dulu,” balas Danan untuk menenangkan supir itu.

Setelahnya Danan dan Cahyo segera memasuki hutan menuju desa sesuai dengan yang diarahkan dan digambarkan oleh abah. Paklek sempat menitipkan secarik petunjuk dan peta sederhana pada abah untuk diberikan pada mereka.

***

DESA DANUMULUR

“Mas, heh Mas.. mau ke mana? Sebentar lagi malam lho,” salah seorang warga desa menegur kami dalam perjalanan.

“Ke desa Danumulur mas, jalananya bener lewat sini kan?” Tanya Danan.

Mendengar ucapan kami warga desa itu segera berlari menghampiri kami.
“Jangan mas, jangan… udah beberapa orang ke sana dan nggak ada yang balik lagi,” ucap orang itu.
Sepertinya supir angkutan umum tadi tidak melebih-lebihkan ucapanya.

Masalah di desa itu benar-benar sudah menyebar ke mana-mana.
“Iya mas, tapi Paklek saya ada di sana,” Tambah Cahyo.
Orang itu menghela nafas dengan wajah bingung. Jelas ia terlihat khawatir dengan kami.

“Gimana ya, kalau saya mau cuek sih monggo.. tinggal masuk aja ke hutan, ikutin jalan nanti nggak lama ketemu gapuranya. Tapi ini masalah nyawa lho,” jelasnya.
Sejenak aku berpikir. Bila memang desa itu benar-benar bisa membuat Paklek dalam bahaya, mungkin sebaiknya aku mencari tahu mengenai keadaan desa itu terlebih dahulu.

“Saya Danan Mas, ini teman saya Cahyo. Memangnya apa yang terjadi sama desa itu mas?” Tanyaku.

“Saya Jurwo, Mas Jurwo.. sini-sini duduk dulu biar saya ceritain,” Jawabnya sembari mengajak kami duduk di sebuah kayu besar yang tergeletak begitu saja di pinggir desa.
Mas Jurwo menceritakan kejadian saat salah seorang warga sedang masuk ke dalam hutan.

Biasanya mereka mencari umbi-umbian atau mencari bahan buruan. Namun saat mendekati desa Danumulur, ia mencium bau bangkai yang sangat menyengat.
Orang itu penasaran dan mendekat ke arah desa, tapi dari jauh ia sudah melihat banyak mayat yang mati dengan mengerikan.

Ada yang jasadnya tersangkut di atap rumah, ada yang bergelimpangan di tanah, dan sebagian berada di luar desa seolah berusaha ingin melarikan diri.
Orang itupun melaporkan ke warga desa-desa sekitar kami. Jelas saja beberapa warga desa dan petugas segera datang ke sana.

Tapi sampai sekarang, mereka yang masuk ke desa itu belum ada yang kembali.
“Nggak ada mas, warga nunggu sampai malam tetep nggak ada yang keluar dari desa itu.” Ucap Mbah Jurwo.

Ia juga bercerita, semenjak kejadian itu banyak warga yang meminta pertolongan orang pintar dan orang sakti dari kenalan-kenalan mereka. Tapi sama saja, tak ada satupun dari mereka yang terlihat keluar dari desa.

Mendengar cerita itu Cahyo tidak bisa diam, ia semakin cemas dengan keadaan Paklek.
Dananpun menitipkan sebuah kertas pada Mas Jurwo yang bertuliskan sebuah nomor telepon.

“Mohon maaf mas, mendengar cerita Mas Jur kami semakin harus ke sana.
Saya titip ini, kalau kami sampai besok tidak keluar dari desa. Tolong hubungi nomor ini,” Ucap Danan.

Mas Jurwo merasa kecewa tidak bisa mencegah mereka. Namun ia menerima kertas itu dan berjanji akan menghubungi nomor itu bila besok mereka tidak keluar dari desa.
...
Malam menjemput saat mereka berdua sudah sampai di tengah hutan. Mereka merasakan sendiri bau bangkai yang berasal dari desa Danumulur. Bukanya semakin takut, mereka malah semakin mempercepat langkah menuju desa itu.

“Grrrrrr….”

Cahyo merasakan kegelisahan Wanasura. Sepertinya, tidak hanya mereka yang khawatir mengenai keadaan Paklek.
Desa Danumulur…
Tulisan itu terpampang di gapura desa yang dibangun dengan apik dengan kayu dan bambu.

Desa terpencil, dan sepertinya hanya berjarak beberapa puluh kilometer dari salah satu sisi alas wetan.
Danan dan Cahyo melangkah dengan hati hati.
Saat memasuki desa segera Cahyo menutupi hidungnya dengan sarungnya dan Danan dengan sapu tanganya.

Bau busuk dari jasad-jasad yang bergelimpangan mulai menyengat. Jasad itu sudah mulai membusuk dan rusak.

“Ini seperti di Kampung Srawen…” Ucap Danan.

“Kampungnya Dimas?” Tanya Cahyo.

Danan mengangguk. Ia mengingat bagaimana keadaan kampung srawen saat dia datangi.

Setidaknya saat itu jasad warganya masih bisa dievakuasi dan dikuburkan. Tapi kali ini jasad mereka tidak tersentuh.

Ketika memasuki desa lebih dalam, tiba-tiba Danan dan Cahyo terhenti. Seketika keris ragasukma muncul dengan sendirinya dan bergetar di tangan Danan.

Sedangkan Wanasura segera merasuk dalam tubuh Cahyo untuk melindunginya.
“Keris Ragasukma dan Wanasura sampai gelisah. Ini jarang sekali terjadi,” Ucap Cahyo.
Di tengah kebingungan kami, tiba-tiba sebuah benda melayang ke arah Danan.

Cahyo yang segera tersadar segera mendorongku untuk menghindar dari benda itu.
Pyarr!!
Darah bermuncratan dari benda yang dilemparkan ke arah mereka.
“Kepala? Itu kepala manusia?” ucap Danan memperhatikan benda yang melayang ke arahnya.

Merekapun menoleh ke arah asal benda itu dan beberapa bagian tubuh kembali melayang terlempar ke arah mereka.
Mereka terus menghindar dan mendapati benda-benda itu terlempar dari salah satu pohon besar di sana.
“Di sana Nan!” Ucap Cahyo.

Cahyo menunjuk ke arah sebuah pohon mengerikan dimana mayat-mayat manusia tersangkut di ranting-rantingnya. Dan di salah satu ranting utamanya, tengah berjongkok seorang pria bungkuk yang tengah menikmati memakan bagian tubuh mayat-mayat itu.
“Gila, apaan lagi itu?” Tanya Danan.

“Nggak bakal tahu sampai kita ke sana!” ucap Cahyo geram.

Merekapun bergegas menghampiri pohon itu, namun sosok bungkuk tadi rupanya sudah mengincar mereka.

“Ndang mati! Ndang tak pangan!” (Cepet mati, biar bisa aku makan)

Ucap makhluk itu sembari menatap Danan dan Cahyo dengan tajam. Tepat saat Danan dan Cahyo tiba di bawah pohon, tiba-tiba pohon itu dipenuhi ular-ular berbisa yang tidak terhitung jumlahnya.

“Arrgh! Sial! Ular beginian lagi!” Ucap Cahyo.

“Biasanya kamu seneng kalo ngeliat ular sebanyak ini,” Ledek Danan yang tahu kalau Cahyo punya kenalan di Magetan yang mau menerima kulit ular seperti ini.

“Jangan becanda sekarang Nan, waktunya nggak tepat,” ucap Cahyo.

Seketika Danan menoleh pada Cahyo, ia mulai mengambil jarak dan mencurigai kawanya itu.

“Siapa kamu? Itu bukan kata-kata Cahyo!” Ucap Danan yang tidak menyangka Cahyo bisa menahan candanya.

“Asem.. nggak gitu, itu ular jadi-jadian! Kulitnya nggak bisa diambil!” Bantah Cahyo.

Danan berpikir sejenak dan menganggap jawabanya masuk akal.

“Hampir aja kamu kukira siluman monyet yang lagi nyamar..” balas Danan.

“Monyet gundulmu itu Nan!” balas Cahyo.

Makhluk yang memanggil ular-ular itu seketika kesal ketika melihat Danan dan Cahyo mengobrol sembari menghindari dan menendang ular-ular itu menjauh dari mereka.

“Kowe ngeremehake aku?” (Kalian meremehkan ku?) ucap makhluk itu.

Iapun melompat turun dari pohon itu untuk menghampiri mereka berdua. Mengetahui hal itu, Danan dan Cahyo mengambil kesempatan dengan menyerang makhluk itu.

“Ngelempar barang ke orang lain itu gak sopan! Apalagi kepala manusia!” Teriak Cahyo sembari menyerang pria bungkuk itu dengan tenaga wanasura.
Danan tidak mau kalah, ia mengincar titik buta makhluk itu dan menyerangnya dengan Keris Ragasukma.

Anehnya serangan mereka menembus begitu saja. Sebaliknya, tiba-tiba tangan makhluk itu menjambak Danan dan Cahyo dan membantingnya ke tanah. Sontak merekapun bergegas berdiri menjauh dari makhluk itu dan ular-ularnya.

“Kenapa serangan kita nggak kena?” Tanya Cahyo.

“Nggak tahu, tapi kalau serangan fisik gak mempan…”

Danan menitipkan tubuhnya pada Cahyo dan menggunakan kemampuan keris ragasukma untuk memisahkan rohnya dengan tubuhnya.
Dalam Wujud roh ia melayang menghujamkan keris ragasukmanya menembus tubuh Makhluk bungkuk itu.

“Khekhe.. khe… rogosukmo? Orang sebelumnya juga melakukan hal yang sama,” ucapnya.

Makhluk itu tidak terlihat khawatir, ia malah terus berjalan dengan tertatih menuju ke arah Cahyo dan tubuh Danan.

“Paklek? orang itu pasti Paklek! Dimana dia?” Teriak Danan sembari menyerangnya. Tapi sialnya, seranganya tetap tidak melukai makhluk itu. Danan bingung, bahkan rohpun tidak bisa melukainya.

“Tidak ada yang bisa membunuhku, selama ada orang yang mati, aku Ki Among Mayit tidak akan bisa mati,” ucapnya sembari berjalan menuju Cahyo.
Cahyo waspada dan menjaga jarak, tapi tiba-tiba pundak Cahyo mengalirkan darah tanpa ia sadari.

Iapun menemukan serpihan tulang manusia menusuk di bahunya.
“Danan hati-hati! Dia pengguna pusaka!” Cahyo memperingatkan Danan.
Dananpun segera kembali ke tubuhnya dan menjaga jarak dari orang itu.

“Pusaka? Itu hanya tulang-tulang manusia biasa. Saat kalian mati nanti, tulang kalian akan tetap berguna untukku,” ucapnya.

Makhluk itu berjalan tertatih dengan tubuh bongkoknya. Rambutnya panjang dengan mata yang dipaksakan untuk melotot dengan kelopak matanya yang bengkak.

Terlihat sangat lemah, namun Danan dan Cahyo sama sekali tidak bisa melukainya.

Danan mencoba membacakan sebuah doa untuk melawan ilmu hitam yang digunakan oleh Ki Among Mayit sementara Cahyo masih terus berusaha menyerangnya. Dan tidak ada yang berhasil dari semua itu.

Sebaliknya, Ki Among Mayit hanya melemparkan serpihan tulang-tulang manusia yang sudah ia ukir dengan tajam ke tubuh Danan dan Cahyo. Mereka bisa menghindar, namun benda itu terus kembali menyerang mereka dari banyak sisi.

“Mundur Jul! Kita nggak bisa bertarung begini!” Teriak Danan.
Cahyo menurut pada Danan dan menjauh kembali ke desa. Ki Among Mayit mengejar mereka dengan perlahan sembari menyeret mayat-mayat yang ia temui.

“Serangan roh, pukulan, doa, dan mantra nggak mempan. Gimana cara kita bertarung?” tanya Cahyo bingung.
“Itu juga yang lagi aku pikirin,” balas Danan sembari berlari lebih menjauh.
Sesampai desa, Cahyopun berhenti. Ia melihat mayat-mayat yang bergelimpangan terpikirkan sesuatu.

“Atau sebenernya kita tidak perlu melawanya? Jalanya kan pincang begitu. Harusnya dia nggak bisa ngejar kita kan?” Ucap Cahyo.
“Bener juga!” Danan setuju dengan ucapan Cahyo. Merekapun berlari menjauh dari Ki Among Mayit dan masuk ke desa lebih dalam.

Benar ucapan Cahyo, Ki Among Mayit tidak bisa mengejar mereka. Ia masih berjalan dengan terpincang-pincang jauh di belakang mereka.

Tapi ternyata tidak semudah itu…

Danan dan Cahyo sudah berlari cukup lama namun ia tidak melihat ada tempat yang sekiranya bisa menjadi petunjuk mereka mencari Paklek.

Dananpun terhenti dan menarik sarung Cahyo.

“Tunggu Jul! ada yang nggak beres!” Ucap Danan.
Merekapun berhenti dan tanpa mereka sadari, sesosok mayat manusia melayang terlempar ke arah mereka dari salah satu gang. Mereka menghindar dan menoleh kearah itu dan menemukan Ki Among Mayit sudah berada di sana.

“Nggak mungkin, tadi dia masih di belakang?!” Teriak Cahyo.

Danan berpikir sebentar dan melihat sekitarnya.

“Liat bekas darah itu Jul!” Ucap Cahyo menunjuk ke salah satu sisi yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri.

Cahyo melihat ke arah itu dan seketika sadar dengan apa yang terjadi.

“Kita masih di tempat yang sama?” Tanya Cahyo bingung.

“Khekhekehke… terlambat, kalian sudah tidak bisa keluar dari desa ini.

Silahkan lari sepuasmu, aku tak akan mati tapi aku bisa membunuh kalian. Kalian akan berada di tempat ini seumur hidup..” Ucap Ki Among Mayit yang kembali menikmati jasad manusia yang ia bawa dari jalan.

Danan dan Cahyo mulai kebingunan. Ia tidak menyangka akan terjebak di sihir Ki Among Mayit dengan begitu mudahnya.

***

Bangunan yang tak ditinggali, jalan yang penuh dengan mayat. Kemanapun Danan dan Cahyo berlari, hanya pemandangan itulah yang mereka temukan.

“Berhenti dulu Nan, lama-lama ngosngosan juga,” ucap Cahyo yang mengajak Danan untuk bersembunyi di salah satu celah gang.

Wajah Danan juga sudah penuh dengan keringat. Mereka terus berlari berusah menghindari kejaran Ki Among Mayit. Merekapun duduk mencari sebuah jendela yang terbuka dan memutuskan untuk bersembunyi di salah satu rumah.

Srekkk… Srekkk….

Suara itu kembali mendekat. Danan dan Cahyo menahan suara dan gerakanya berharap Ki Among Mayit tidak dapat menemukan mereka. Dari celah jendela terlihat Ki Among Mayit masih menyeret mayat berjalan mengelilingi desa itu.

“Percuma, desa ini wilayahku..”

Mereka bersembunyi di balik jendela berharap Ki Among Mayit tidak melihat mereka. Langkah Ki Among Mayit tiba-tiba berhenti dan tak kembali terdengar. Mereka ingin mengintip kembali untuk mengecek keadaan diluar, namun mereka memilih untuk tidak melakukan itu.

“To...tolong! tolong..”

Dari rumah tempat mereka bersembunyi samar-samar terdengar suara dari arah dapur belakang.

“Ada yang minta tolong,” bisik Cahyo pada Danan.

Danan hanya membalas dengan gerakan tanganya untuk memberi isyarat agar mereka menghampiri suara itu.

Benar saja, ada suara seorang perempuan yang tengah berusaha berdiri dengan berpegangan di meja dapur. Merekapun bergegas menghampiri sosok itu.

“Mbak nggak papa? Akhirnya kami menemukan warga yang masih hidup!” ucap Cahyo.

Namun sebelum Cahyo memasuki dapur, tiba-tiba Danan terhenti dan menarik Cahyo.

“Mundur!” Perintah Danan.

Cahyo bingung, tapi Danan tersadar wanita itu sudah berlumuran darah dan matanya terbuka dengan paksa.

“Itu mayat!”

Cayo menoleh kembali, dan mendapati Ki Among Mayit sedang menggerakan tubuh perempuan itu dari belakang sebelum akhirnya melempar jasad itu saat ketahuan.

“Khekehkhe… kupikir aku masih bisa bermain sebentar lagi!” Ucap Ki Among Mayit.

Danan dan Cahyo terlihat sangat kesal dengan perbuatan makhluk itu mempermainkan mayat. Sayangnya, mereka masih belum menemukan cara untuk mengalahkan makhluk itu dan memilih untuk melarikan diri melalui jendela.

“Nan, sepertinya aku ada rencana yang harus kucoba,” ucap Cahyo.

Mereka berhenti di tempat yang cukup tersembunyi untuk mendengar rencana Cahyo.

“Gimana Jul?” Ucap Cahyo.

“Tempat ini seperti sihir yang seolah ngebuat kita berhalusinasi kan?” Tanya Cahyo.

“Bisa jadi, terus kenapa?”

“Nahhh…”

Tanpa aba-aba tiba-tiba Cahyo memukul kepala Danan dengan cukup keras.

Plakkk!

“Heh! Apa-apan sih kamu Jul! Sakit!” Teriak Danan.

“Gimana?” Tanya Cahyo.

“Gimana apanya? Sakit lah Panjul!” Balas Danan.

“Lah biasanya kalo lagi mimpi kan kalo dicubit kan sadar, harusnya kalo sakit kamu berarti dalam keadaan sadar Nan!” ucap Cahyo dengan memasang raut wajah sok pintar.
“Trus? Kenapa nggak nyoba di badan kamu sendiri aja?” Protes Danan.
“Sakit lah Nan, enak aja!”

“Terus kenapa malah nyoba di kepala orang Panjul!!!”

Dananpun mengangkat tanganya mencoba membalas pukulan Cahyo tadi. Tapi tiba-tiba sebuah benda jatuh dari kantungnya. Danan memungutnya kembali dan mengingat benda berbentuk botol kecil itu.

“Ini.. ini wewangian pemberian Gama. Benda ini bisa menyadarkan Mas Linggar, apa benda ini juga bisa menyadarkan kita dari pengaruh sihir ini?” Ucap Danan.

“Nggak ada cara lain kan buat cari tau?” Balas Cahyo sembari mengintip ke sela jalan mencari keberadaan Ki Among Mayit dan menemukan sosok itu tengah mengarah kepada mereka.

Dananpun membuka wewangian itu dan membiarkan aroma rempah yang sangat pekat tercium oleh mereka.

Mereka tidak dapat menggambarkan apa yang terjadi, namun mereka sadar bahwa ada sesuatu yang tidak sadar berada di alam pikiran mereka yang sekarang sudah menghilang.

“Di sana…” ucap Ki Among Mayit.

Menyadari posisinya diketahui, merekapun kembali melarikan diri.

Tapi kali ini mereka merasakan hal yang berbeda. Pelarian mereka sampai ke balai desa tempat yang sedari tadi tidak bisa mereka capai.
“Kita lolos!” Teriak Cahyo senang.
Danan memastikan sekitarnya dan memang mendapati dirinya kali ini berhasil melangkah lebih jauh ke dalam desa.

Baru saja mereka hendak merasa senang, tiba-tiba Ki Among Mayit sudah berada di hadapanya.

“Aku ra nyongko kowe iso lepas seko elmuku,” (Aku tidak menyangka kau bisa lepas dari ilmuku) Ucapnya.

“Hehe.. jangan remehkan kami! Berarti sekarang kami bisa menghajarmu!” Ucap Cahyo yang segera menerjang Ki Among Mayit dan berusaha memukulnya. Tapi, ia tetap terjatuh dan menembus tubuh itu.

“Khekhekeh.. kalian yang meremehkanku!” Balas Ki Among Mayit.

Namun Danan tidak tinggal diam. Ia ikut melompat dengan keris yang berada di genggamanya. Dengan berbagai macam gerakan ia terus menyerang Ki Among Mayit walau tak ada satupun serangan yang mengenainya.

Sebaliknya, beberapa kali Ki Among Mayit menangkap Danan dan membantingya. Tak sedikit dari luka-luka cakaran terlihat di tubuh Danan.
“Udah Nan! Kita mundur lagi!” Teriak Cahyo.
Danan tidak menanggapi ucapan Cahyo dan terus menyerang Ki Among Mayit.

Tanpa di sangka, perlahan beberapa bagian tubuh Ki Among Mayit berubah menjadi asap hitam. Danan yang menyadari itu sedikit tersenyum dan melanjutkan seranganya.

Saat mengetahui rencana Danan berhasil, Cahyopun menyusulnya dan menahan serangan-serangan yang diarahkan ke Danan.

Sementara itu, Danan masih terus mencoba menyerang dari jarak dekat.
“Tidak mungkin! Tidak ada serangan yang bisa menyentuhku!” ucap makhluk itu.
Berbalik dari sebelumnya, kini tubuh Ki Among Mayit terlihat memudar bersamaan dengan asap hitam yang berasal dari tubuhnya.

“Apa? Apa yang kalian lakukan?” Teriak Ki Among Mayit yang mencoba untuk mundur, Tapi Danan tidak membiarkan itu dan terus menyerangnya.

“Saatnya kau musnah!” Teriak Danan sembari menyapu wajah Ki Among Mayit yang berubah menjadi asap hitam.
Saat memastikan Ki Among Mayit menghilang, Cahyo segera menghampiri Danan dan menanyakan apa yang terjadi.
“Kok bisa Nan?” Tanya Cahyo.
Danan mengeluarkan wewangian pemberian Gama yang sedari tadi ia genggam dan menutupnya.

“Sepertinya aku mulai mengerti kegunaan benda ini,” ucap Danan.
Ia menjelaskan bahwa mungkin wewangian pemberian Gama bisa menetralkan sihir.
Mendengar itu Cahyo merasa lega dan terduduk di tanah.

“Huh.. capek Nan, baru masuk kesini aja udah dapet lawan sesulit ini,” ucap Cahyo.

Danan mengambil botol air dari tasnya dan menyerahkanya pada Cahyo, “Minum dulu.” Cahyo meminum beberapa teguk dan mengembalikanya pada Danan.

Baru saja mereka melepas lelahnya, tiba-tiba ada perasaan mengerikan terpancar dari dekat mereka.

Ada seseorang didekat mereka yang memberi tekanan yang sangat mengerikan.
Sontak mereka menoleh ke belakang dan menemukan sesosok makhluk tengah berdiri di atap rumah dengan kersi berwarna merah padam di genggamanya.

Wujud dan pakaianya mirip seperti setan-setan di pewayangan. Giginya panjang dengan wajah dan sebagian tubuhnya tertutup oleh rambutnya yang panjang. Tubuhnyapun juga dihiasi baju dan perhiasan kerajaan yang telah lusuh.

“Nan.. hati-hati,” ucap Cahyo.

Wanasura gemetar, keris ragasukma bergetar. Kini mereka sadar, ternyata sosok inilah yang memberi firasat mengerikan saat kedatangan mereka tadi.
“Demit Goblok! Isih durung puas dolanane?”(Setan bodoh! Masih belum puas main-mainya?) Ucap sosok itu entah pada siapa.
Mereka mencoba menoleh kepada kemana arah wajah makhluk itu memandang, tapi di sana hanya ada jalanan desa dan setumpuk mayat.

Tapi ternyata tak lama setelah itu tiba-tiba salah satu mayat itu berdiri dan berjalan dengan tertatih dan tubuhnya yang bungkuk.

“Khekhkeh… Mbok yo sabar, aku gek asik lho iki,” (Khekhekeh… sabar, aku lagi asik lho ini) ucapnya.

Danan dan Cahyo seketika terkaget melihat sosok itu. Ia mengenal suara itu dan mengetahui dengan jelas sosok itu dari bentuk tubuhnya.

“I...itu Ki Among Mayit? Bukanya tadi dia sudah kalah?” Tanya Cahyo.

Mendengar ucapan Cahyo, Ki Among Mayit menoleh ke arah Danan dan Cahyo.

“Kalah? Khekehkeh… Jangan melucu. Bahkan menyentuhku saja kalian tidak sanggup,” ucap sosok itu yang perlahan berubah menjadi asap hitam dan mendahului makhluk yang baru datang tadi untuk masuk ke dalam desa.

Mereka berdua meninggalkan Danan dan Cahyo seolah ada suatu hal yang sangat penting yang harus mereka lakukan.

“Jangan pergi! Kalian kemanakan Paklek?!” Teriak Cahyo. Namun mereka tidak peduli dan terus masuh ke dalam desa.

Danan dan Cahyopun mengikuti mereka hingga sampai di ujung desa yang sudah masuk ke dalam salah satu sisi alas wetan. Seketika perasaan mereka jauh menjadi lebih tertekan.

“Sudah beberapa kali aku ke alas wetan, tapi tidak pernah semengerikan ini..” ucap Cahyo.

Danan mengangguk sembari mulutnya terus mengalunkan doa untuk menjauhkanya dari hal-hal buruk yang mungkin menyerang mereka. Berbeda dengan saat awal masuk desa tadi yang dipenuhi oleh mayat, tempat mereka berdiri saat ini terdapat banyak darah yang bececeran.

Hanya sedikit mayat yang terlihat.
“Jangan kabur! Ini semua pasti ulah kalian!” Teriak Cahyo yang segera menyusul kedua dedemit itu.

Tak mempedulikan ucapan Danan dan Cahyo, mereka hanya terus melangkah seolah apa yang mereka tuju begitu penting.

Cahyo dengan nekat menyerang Ki Among Mayit sementara Danan menghunuskan kerisnya pada Demit yang menggenggam keris merah itu. Tapi seperti sebelumnya, serangan Cahyo hanya menembus tubuh Ki Among Mayit

Sementara keris Danan sama sekali tak mampu menembus tubuh demit pembawa keris itu.
Danan dan Cahyo tercekat, serangan mereka sama sekali tidak terpengaruh seolah kedua demit itu sudah diluar batasan mereka.

“Apa-apaan ini?” Danan mulai bingung.

Ajian lebur saketi, hingga kilatan keris ragasukma tidak mampu melukai mereka berdua. Sementara serangan Wanasura hanya dimentahkan begitu saja.

“Kalian tidak sayang nyawa rupanya, kupikir kita masih bisa bermain lagi,” ucap Ki Among Mayit yang mulai terasa terganggu dengan serangan-serangan mereka berdua.
Iapun mencekik Danan dan Cahyo dengan kedua tanganya dan melempar mereka hingga menabrak sebuah pohon.

“Kalau kalian mau mati, akan kuberikan. Sama seperti pendekar-pendekar yang datang ke tempat ini,” Ucap Ki Among Mayit.
Mendengar ucapan itu Danan dan Cahyo kembali terpikir akan keadaan Paklek.

“Kemana? Dimana mereka? Dimana orang-orang yang datang ke sini untuk menolong warga desa?” teriak Danan.
Mendengar pertanyaan itu, Ki Among Mayit malah tertawa terkekeh-kekeh. Ia berbalik meninggalkan mereka berdua sembari menatap sebuah pohon besar yang tertutup daun rindang.

“Jelas saja mereka… Mati, Khekheke” tawa Ki Among Mayit.
Danan dan Cahyo melihat ke arah pohon dengan ranting yang besar itu. Mereka menyaksikan jasad-jasad tim penolong, beberapa orang berpakaian dukun tersangkut di pohon itu.

Tapi ada satu yang akhirnya membuat mereka terdiam. Ada sosok dengan tubuh yang sudah membiru dengan darah mengering di pinggir mulutnya. Jasad itu terduduk di salah satu ranting dengan sebuah keris menancap di dadanya.

“Nggak.. nggak mungkin,” ucap Cahyo.

“Paklek.. nggak, nggak mungkin Paklek” Danan masih tidak percaya.

Wajah mereka pucat, tubuh mereka lemas seketika melihat jasad Paklek tertancap di pohon itu dengan mengenaskan. Nafas Cahyo semakin menderu menahan kesedihan sekaligus kemarahan yang mulai muncul.

“Pakleeek!!!” Cahyo berteriak. Bersamaan denganya terdengar auman Wanasura dari dalam tubuh Cahyo.

Danan menyeka air matanya, ia sama sekali tidak bisa menahan emosinya.

“Khekhekehke…ternyata satu rombongan, kalian harus melihat nanti saat darahnya diperah,” tawa Ki Among Mayit.

Mendengar ucapan itu amarah Cahyo memuncak.
Dananpun tak dapat berpikir jernih dan menghunuskan kerisnya pada tubuh Ki Among Mayit yang tidak bisa tersentuh itu.

Berkali-kali serangan itu menyapu tubuh Ki Among Mayit, namun semua itu hanya menembus asap hitam dari wujud tubuhnya. Danan juga menggunakan wewangian yang diberikan oleh gama untuk memusnahkan sihir Ki Aming Mayit, namun sayangnya tidak berhasil seperti tadi.

Itu bukan sihir, itu adalah tubuh asli Ki Among Mayit sehingga wewangian pemberian Gama tidak bekerja padanya. Sementara itu Cahyo menyusul dengan menghajar Ki Among Mayit namun pukulanya menembus dan menggetarkan tanah.

“Apa yang kalian lakukan pada Paklek!!” Teriak Cahyo sembari mengamuk.
Ki Among Mayit menangkap Cahyo dan melemparkanya hingga menabrak sebuah rumah.
Cahyo segera berdiri dan melompat menghancurkan rumah tersebut dan kembali menyerang.

Rumah-rumah di desa itu menjadi sasaran amukan mereka berdua. Beberapa kali mereka dilontarkan tapi mereka terus mencari cara untuk membalaskan perbuatan mereka pada Paklek.
Nafas Danan semakin menderu, kilatan-kilatan keris ragasukma melesat mengitari desa mengincar lawanya itu.

“Ki Among Mayit! tinggalkan mereka, biarkan demit alas itu yang membunuh mereka,” perintah dedemit yang membawa keris merah itu.
Ki Among Mayit terlihat kecewa dengan perintah itu.

Iapun mundur kembali melangkah masuk ke dalam hutan sementara sekali lagi ular-ular terjatuh dari langit menghujani Danan dan Cahyo.
Danan dan Cahyo yang tengah termakan emosipun membantai ular-ular yang mendekat padanya.

Tapi ternyata ular-ular itu hanyalah penyambutan dari sosok-sosok setan manusia yang tiba-tiba muncul di sekeliling mereka.
“Brengsek! Pengecut! Hadapi kami kalau berani!” Teriak Cahyo.

Namun sebelum menyusul Ki Among Mayit, setan-setan itu mengerubuti Danan dan Cahyo untuk menghabisi mereka.

Duarrr!!!

Kembali sebuah rumah hancur, dan sebuah pohon tumbang. Mereka menerobos puluhan demit yang mengepung mereka dan membuat desa itu porak poranda.

Puluhan setan itu tidak mampu menandingi Danan dan Cahyo, tapi sialnya setan lainya terus bermunculan untuk menyerang mereka.
Nafas Danan sesak, amukanya menghabiskan nafasnya. Namun itu tidak dapat melegakan rasa sesak saat mengetahui kematian Paklek.

“Aaaaarrrgrhh!!! Setan biadab!!!” Teriak Danan.

Kilatan putih di keris sukmageni mermerah, api menyala di setiap tempat yang tergores oleh keris itu seolah menggambarkan kemarahan Danan.

Setan-setan itu mulai terbakar oleh serangan Danan, tapi tidak hanya itu.

Tangan Danan juga ikut terbakar dengan api amarah sukmanya sendiri.

“Mati! Kalian harus mati!” Teriak Danan bengis berdampingan dengan hantaman wanasura yang menggetarkan tanah.

Melihat keadaan semakin kacau Ki Among Mayit dan Setan keris merah itu terhenti dan menoleh kembali ke arah Mereka berdua.

“Kalau tempat ritual sampai hancur kita akan repot. Habisi saja mereka” Perintah setan keris merah itu.

Ki Among Mayit menurut walaupun sedikit kecewa karena mainanya harus dihabisi. Tapi sebelum melangkah lebih jauh tiba-tiba melesat sosok dengan cepat menembus kerumunan setan dan menghajar Danan dan Cahyo secara bersamaan.

Blarrr!! Duakkk!!!!

Danan dan Cahyo terpental dengan wajah yang babak belur dalam seketika. Ia tidak dapat melihat sosok yang menyerang mereka.

“Aing bae nu bakal maéhan aranjeunna! maneh geus ditunggu di situs ritual!”

(Aku saja yang membunuh mereka! Kalian sudah ditunggu di tempat ritual) ucap makhluk itu.

Danan dan Cahyo tidak bisa melihat sosok yang membuat mereka babak belur tertutup oleh sekumpulan setan-setan itu.

“Aku ra ngerti omonganmu Kang Jawir” Ucap Ki Among Mayit.

“Hadeuh.. repot pisan. Sudah cepat ke tempat ritual! Aku yang bunuh mereka, tidak akan lama seperti kalian!” Teriak orang itu.

Sosok itu adalah Kang Jawir. Sosok yang persis Danan hadapi bersama Paklek di desa dirga sebelumnya.

Kang Jawir kembali menghajar Cahyo hingga terpental. Hanya dalam beberapa pukulan Cahyo yang diselimuti roh wanasura bisa memuntahkan darah. Setelah itu ia melompat dan menari mengincar Danan.

Danan sudah siap dengan kerisnya, ia menahan rasa sakit di tanganya dan mengayunkan keris itu ke arah Kang Jawir.

“Khikhikhi… kita ketemu lagi,” ledek Kang Jawir.
Cahyo memaksakan dirinya membantu Danan. Walau begitu mereka semua tetap terpojok.

Di tengah amarah itu, Danan tidak punya pilihan lagi selain meletakkan kerisnya di hadapan dadanya dan membacakan Mantra leluhur.

Tapi sebelum sempat melakukan itu, Kang Jawir menangkap wajah mereka berdua dan menghantamkanya ke sebuah rumah hingga hancur.

Tubuh Danan dan Cahyo babak belur setengah mati hingga sulit untuk bergerak.
Tapi bukanya segera menghabisi mereka berdua, tiba-tiba Kang Jawir membisikkan sesuatu pada mereka berdua.

“Orang tua itu belum mati! Aku sendiri yang sengaja menusukkan keris pusaka yang mempunyai kekuatan penyembuh itu agar menjaganya tetap hidup,” bisik Kang Jawir.

Mendengar itu mata Danan dan Cahyo terbuka.

Mereka berusaha untuk bangun, namun kembali Kang Jawir mengantamkan tubuh mereka ke reruntuhan rumah itu.
“Sekarang aku harus mengambil nyawamu!” Ucap Kang Jawir pada Danan.
Suara kegaduhan mulai terhenti. keheningan kembali terwujud saat demit alas yang dipanggil mulai meninggalkan desa. Ki Among Mayit dan Demit yan Demit yang membawa keris merah itu menoleh dan melihat Kang Jawir muncul menyusulnya.

“Sudah kau bunuh mereka?” Tanya Ki Among Mayit.

Tanpa perlu menjawab, Ki Among Mayit sudah mengetahuinya ketika ada roh seorang manusia yang lehernya tercengkeram di tangan Kang Jawir dan terseret.
“Mayatnya?” Tanya Ki Among Mayit.

“Bisa kau ambil sendiri di belakang, selesaikan dulu ritual kita,” ucap Ki Among Mayit.

“Jangan sampai kau lupa perjanjian kita,” peringat Ki Among Mayit.

“Jangan khawatir, aku hanya butuh roh mereka. Mayatnya jatahmu, dan darahnya jatah Kanjeng Nyai Rasmono. Pergi! Aku akan menyusul setelah mengantar ini ke Nyai Runtak. Ia pasti senang!” jawab Kang Jawir.

Mendengar jawaban Kang Jawir mereka berdua merasa tenang dan mempercepat langkah mereka untuk masuk ke kedalaman Alas Wetan.

Beberapa lama Kang Jawir terdiam di tempat itu sampai tidak merasakan keberadaan kedua dedemit itu lagi.

***

Dua tubuh manusa terbaring tak berdaya di sebuah gubuk yang jauh dari hutan. Seorang perempuan tua dengan matanya yang buta mencoba membasuh luka di tubuh orang-orang itu semampunya.

Roh Danan kembali menemui raganya setelah memastikan keadaan Paklek di desa.

“Kenapa? Kenapa kau menyelamatkan Paklek dan kami?” Tanya Danan pada Kang Jawir yang sedang asik merias wajahnya dengan bedak tebal berwarna putih.

Kang Jawir tidak mempedulikan pertanyaan Danan dan tetap asik dengan kesibukanya.

Mengetahui Kang Jawir enggan menjawab, Dananpun masuk ke dalam gubuk tempat dimana tubuh mereka dibaringkan.

“Itu kemauan Nyai Runtak, Aing ngelakuin supaya Nyai Runtak senang,” ucapnya tanpa menoleh pada Danan sedikitpun.

Dananpun masuk melihat kondisi mengenaskan dari tubuhnya dan Danan yang tengah dalam kondisi terkapar tak berdaya. Ia tidak bisa berharap pengobatan yang mujarab dari seorang dukun buta di sana.

“Jangan kembali dulu ke tubuhmu, saya tidak yakin kau akan kuat menahan rasa sakit dari semua luka ini,” ucap Nyai Runtak.

Mendengar itu Dananpun hanya berdiri terpaku di hadapan kedua raga itu seperti sosok hantu penasaran yang tengah mengawasi.

“Kang Jawir bilang, Nyai Runtak yang memintanya menolong kami?” Tanya Danan.

Nyai Runtak mengangguk. Tapi sepertinya ia enggan untuk berbicara banyak.

“Kenapa?” tanya Danan.
Sebenarnya Danan sudah curiga sejak mereka berdua menyerang desa dirga.

Ia merasa bahwa Nyai Runtak sengaja untuk tidak membuatnya tertidur karena ilmunya.

“Kalian aka tahu bila kalian bisa bertahan hidup setelah ini..:” ucapnya.

Danan menanyakan keadaan Cahyo yang tak sadarkan diri.

Berbeda dengan dirinya yang bisa melakukan ilmu ragasukma, Ia tidak mengerti apa yang terjadi dengan Cahyo dengan luka sebanyak itu.

“Luka temanmu tidak sebanyak yang ada di tubuhmu, kekuatan roh kera yang merasukinya membuat ia bertahan.
Tapi entah kapan ia bisa tersadar,” ucap Nyai Runtak.

Dananpun meringkuk di ujung ruangan meratapi kekalahan mereka.
Setelah berhasil melawan Gandara Baruwa, mereka pikir mereka akan mampu menangani masalah di tempat ini. Namun kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya.

Kini mereka seperti jasad mati yang tidak bisa berbuat apapun.
..
Tokecang.. tokecang…
Balagendir Tosblong…
Hayang perang, Mawa parang. Sirah aing bolong…
..
Tidak seperti nyanyian yang Danan dengar di desa dirga. Danan merasa ada perasaan gelisah dari lagu yang digumamkan Kang Jawir.
“Kalian ini sebenarnya di pihak siapa?” Tanya Danan yang bingung dengan pasangan aneh itu.

Kang Jawir merubah posisi duduknya, namun masih tetap menatap kosong ke arah hutan.

“Anu aing.. saya di pihak Nyai Runtak..” ucapnya.

Danan menoleh ke arah Nyai Runtak yang masih duduk termenung tanpa bisa terbaca apa yang ia pikirkan dari matanya yang tak menggambarkan apapun itu.

“Saya sendiri tidak tahu.. tapi setidaknya kalian tahu kalian di pihak mana,” ucap Nyai Runtak.

Jelas mereka berada di pihak manusia yang harus menghentikan setan-setan itu. Tapi Danan merasa sudah kalah, bahkan bila ia berhasil memanggil Nyi sendang Rangu iapun masih merasa belum bisa mengalahkan mereka.

“Percuma, kami sudah kalah..” ucap Danan.

Wajah Nyai Runtak mencoba menebak posisi Danan dari suaranya.

“Kalah? Kalau itu kami sudah mengalami ratusan kali.. tapi kami baru memutuskan kalau kami kalah, hanya saat kami memutuskan untuk menyerah,” ucap Nyai Runtak.

Danan merenung sejenak. Sesaat iamerasa ucapan Nyai Runtak ada benarnya. Mereka baru benar-benar kalah saat mereka memutuskan untuk berhenti berjuang. Iapun teringat keberadaan orang-orang yang membantu mereka selama ini.

“Kang Jawir! Ritual apa yang mereka lakukan? Bagaimana cara menghentikanya,” tanya Danan yang mulai mendapatkan semangatnya.

“Cuh… Sudah sadar rupanya.
Ritual Panggon Demit, Ritual itu berguna untuk melepaskan batas alam alas wetan dengan alam manusia.

Bila itu terjadi, Tuan kami iblis alas wetan akan bangkit dan Makhluk halus di alas wetan bisa pergi sesuka mereka,” Jelas Kang Jawir.

Danan kembali gemetar saat mengetahui ada sosok yang lebih mengerikan dari setan-setan yang mereka lawan tadi.

“Apa lagi? Masih mau merenung nunggu mati atau mau cari cara ngelawan mereka?” Bentak Kang Jawir.
Danan mengerti maksud kedua orang ini. Mereka jelas berharap Danan dan Cahyo dapat mengalahkan sekutunya yang akan melakukan ritual panggon demit.

Tapi apa motivasi mereka?
Dan apa mereka bisa dipercaya? Dengan kondisi seperti itu, Danan memutuskan menitipkan tubuhnya dan Cahyo pada Nyai Rungkat, sementara rohnya akan mencari bantuan dari orang-orang yang mungkin memiliki kapasitas untuk permasalahan ini.

Orang-orang atau sosok yang bisa menghadapi setan-setan tadi dan makhluk yang mungkin akan muncul setelah ritual mereka.

Roh Dananpun melayang ke langit malam yang luas mencari segara kemungkinan yang bisa ia temukan untuk menghentikan tragedi ini.

Semua itu akan memastikan pertarungan akhir yang akan mereka hadapi di Alas Wetan.

***

(Di Desa Kandimaya…)

Naya terbangun di tengah malamnya. Perasaan berkecamuk muncul dari mimpinya yang seolah begitu nyata.

Danan…
Naya sangat sulit menyangkal firasatnya sebagai seorang wanita. Ia merasakan hal yang mengerikan terjadi pada Danan.

Tapi.. bukan itu saja yang membuatnya terbangun. Ada mimpi yang terjadi selama berulang kali yang membuatnya gelisah. Tapi kali ini ia memutuskan untuk menceritakan mimpinya pada Nyai Kirana, Ibu Danan.

Bukan tanpa alasan, tapi mimpinya berhubungan dengan tempat dimana Ayah Danan dimakamkan. Bukit batu…

“Saya dihantui sosok penunggu bukit batu Bu, seolah saya dipanggil untuk ke sana,” cerita Naya.

Nyai Kirana mendengarkan cerita Naya baik-baik sembari mencoba mengerti kegelisahan Naya akan Danan. Sepertinya hal serupa juga dirasakan oleh Nyai Kirana.

“Beruntung kamu merasakan ini sekarang Naya,” ucap Nyai Kirana.

“Kok? Kenapa beruntung bu?”

“Hal terberat menjadi pasangan seorang seperti Danan atau ayahnya, adalah terus yakin bahwa mereka akan baik-baik saja sementara kita tahu, mereka selalu berurusan dengan maut,” Jelas Nyai Kirana.

Naya mengangguk dengan matanya yang berkaca-kaca.

Ia terus melihat telepon genggamnya berharap ada pesan balasan dari Danan.
“Biar Danan berusaha dengan perjuanganya sendiri. Sebaiknya kamu juga harus berjuang dengan masalah dengan mimpimu itu, Naya,” lanjut Nyai Kirana.

Naya setuju dengan perkataan Nyai Kirana. Iapun memutuskan untuk naik ke bukit batu tempat dimana Ayah Danan dimakamkan. Nyai Kirana ikut menemani Naya sekaligus menjenguk kuburan suaminya itu.

Siang itu mereka menghabiskan waktu di bukit batu sembari nyekar makam Ayah Danan. Mereka membersihkan sekitar makam sekaligus mengirim doa.
Naya membawakan beberapa makanan untuk mereka nikmati di sana sembari menatap desa dari ketinggian.

Namun, Naya masih tetap pada tujuanya mencari tahu tentang sosok yang hadir di mimpinya.

“Buto Lireng sudah tiada.. Apa mungkin masih ada penunggu lain di bukit ini ya Bu?” Tanya Naya.

Nyai Kirana menghela nafas mencoba mencari jawaban terbaik untuk ia ucapkan.

“Tempat ini terlalu indah, Naya. Seharusnya banyak sosok yang ingin menunggu bukit batu ini,” balas Nyai Kirana.

Dari ucapan Nyai Kirana Naya mengambil kesimpulan bahwa mungkin ada sosok lain yang sudah mengambil peran Buto Lireng.

Sayangnya, sampai matahari hampir tenggelam, mereka tidak menemukan petunjuk apapun.

“Ya sudah Bu, kita turun saja. Mungkin Naya hanya terlalu khawatir sampai kebawa mimpi,” kata Naya.

“Iya, yang penting sekarang kamu udah tenang dan nggak penasaran kan?” Tanya Nyai Kirana.

Naya mengangguk dan berterima kasih pada Nyai Kirana. Merekapun membereskan barang-barangnya dan bersiap untuk turun.

Tapi sebelum sempat mereka meninggalkan tempat itu, tiba-tiba terdengar suara.

Klotak… Klotakk…

Naya dan Nyai Kirana terhenti.

Mereka kembali menoleh ke belakang mencari asal suara itu.

Klotak…

Suara itu berasal dari salah satu tempat di bawah pohon besar. Nyai kirana yang menyadari tempat itu iapun segera mendekati tempat itu.

“Bu, hati-hati..” Ucap Naya yang terus memegangi Nyai Kirana.

Merekapun terus menajamkan telinga mencari asal suara itu. Dan saat sudah memastikanya, Nyai Kirana memaksa untuk menggali tangah tempat asal suara itu dengan tanganya.

“Bu? Kenapa di gali bu? Memangnya itu tempat apa?” Tanya Naya.

“Di sini Naya, di sini tempat ibu memakamkan pusaka-pusaka Mas Bisma, Ayah Danan,” ucap Nyai Kirana.

Mendengar ucapan itu Nayapun ikut membantu menggali. Tapi langit sudah mulai memerah dan malam sudah siap menjemput.

Nyai Kirana terlihat cemas. Naya tidak bertanya terlalu banyak dan hanya terus menggali hingga tangan mereka menyentuh sebuah benda.

Kendi tanah liat..

Masih terlalu jauh untuk menggali keseluruhan, Tapi Nyai kirana dapat segera mengetahui bahwa pusaka-pusaka suaminya itu masih berada di sana. Nyai Kirana merasa lega.

Walaupun menurutnya pusaka itu tidak lagi memiliki ‘isi’ ataupun kekuatan. Ia masih tidak tenang bila ada yang memanfaatkan benda itu dengan tujuan buruk.

Tapi, Naya terlihat aneh…

Ia memperhatikan sosok bayangan yang muncul dari kendi itu.

Ia menatap tinggi ke arah atas pohon tempat dimana kendi itu dikuburkan.

Nyai Kirana menyadari keanehan pada Naya dan ikut melihat ke arah kemana Naya memandang.

“I...itu Bu! Itu sosok yang ada di mimpi Naya!” Teriak Naya.

Nyai Kirana terperanjat. Iapun segera mendekat dan menggandeng Naya saat melihat sosok yang dilihat naya.

Ada sosok makhluk besar yang berdiri tersenyum memamerkan gigi-giginya di hadapan mereka berdua. Sosok besar melebihi pohon terbesar yang ada di puncak bukit batu itu.

“Benar Naya, Itu dia! Dialah penjaga bukit batu yang baru.” Ucap Nyai Kirana seolah mengenali sosok itu.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close