Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ALAS SEWU LELEMBUT (Part 7) - Panggon Demit

Tubuh Danan dan Cahyo terbaring tak sadarkan diri, sementara ritual Panggon demit sudah dimulai. Roh Danan bergentayangan berharap ada yang menyadari petunjuk darinya.


Panggon Demit

Langkah seorang anak perempuan mendekat menuju sebuah rumah di bawah pohon yang besar. Sebuah rantang susun ia bawa dengan hati-hati sembari mengamati ke sekeliling rumah itu.

“Eyang, ini Arum,” ucap anak perempuan itu sembari mengetuk pintu rumah itu.

Suara langkah tertatih mendekat membukakan pintu untuk arum. Terlihat Nyai Jambrong sedang merapikan rambutnya yang belum sempat ia sanggul.

“Ini ada lauk, Eyang! Arum sama ibu yang masak,” Ucap arum.

“Ealah Nduk, lauk kemarin aja belum habis malah repot-repot bawain lagi,” balas Nyai Jambrong.
Arum masuk ke dalam rumah dan melangkah menuju dapur.

“Lauk kemarin itu nggak sehat eyang, makanya ibu selalu nyuruh arum buat bawain lauk tiap hari,” Balas Arum.

“Titip bilang terima kasih ya sama ibumu, eyang selalu ngerasa bersalah nggak bisa ngelakuin sesuatu yang berguna buat ibumu,” balas Nyai Jambrong.

Arum menukar lauk kemarin dengan lauk yang baru dan mengambilkanya untuk makan mereka berdua.

“Eyang jangan ngomong gitu, Arum dan Ibu tau kok kalo eyang sayang sama kami. Ibu yang selalu ngingetin arum. Kita makan dulu yuk eyang,” Ajak arum.

Eyangpun tersenyum sembari menikmati masakan itu. Dalam hatinya ia tidak pernah menyangka akan bangkit di kehidupan seperti ini.

Sebelumnya ia selalu hidup di dunia yang penuh dengan kutukan dan ilmu hitam.

Arum menanyakan pada eyangnya tentang keberadaan Guntur yang belum pulang hingga saat ini. Namun Eyang menjelaskan bahwa ia merasakan keberadaan Guntur yang tengah baik-baik saja.

Hanya saja sepertinya Guntur harus sedikit lebih lama di desa Dirga.
Saat mereka selesai makan, samar-samar Nyai Jambrong merasakan keberadaan sosok seseorang di luar jendela.

Iapun meninggalkan tempat duduknya dan mendekati jendela untuk mencari keberadaan orang tersebut.

“Arum…”

“Iya Eyang?”

“Bantu Eyang membereskan barang-barang eyang ya,”

Arumpun bingung dan menghampiri Nyai Jambrong yang tengah memperhatikan sosok di luar jendela.

“Sepertinya eyang belum diijinkan untuk mati,” ucapnya sembari menatap sesosok roh seorang pemuda yang menggenggam sebuah keris pusaka.
Jelas dari wajahnya memancarkan bahwa saat ini sosok itu tengah membutuhkan pertolongan.

***

(Di desa Dirga…)
Suara ayam berkokok baru saja berhenti menyambut datangnya matahari terbit. Tapi saat itu, Dirga tidak melihat keberadaan Guntur yang sebelumnya juga tidur di kamarnya.

Iapun keluar dan mendapati Guntur tengah menggantungkan kedua kakinya pada sebuah batang ranting di pohon belakang, sembari beberapa kali mengangkat tubuhnya.

“Emang harus ya kamu latihan sepagi ini?” Tanya Dirga.

Guntur yang menyadari kedatangan Dirga segera meninggalkan latihanya. Ia menghampiri Dirga sembari melap keringatnya.

“Kata Eyang, kalau latihan bisa diselesaikan saat subuh, pagi dan siangnya kita bisa beraktivitas dengan tenang,” ucap guntur yang tengah mengatur nafasnya.

“Bener juga sih, tapi butuh niat yang hebat untuk ngelakuin itu. Aku aja ngerasa belum tentu sanggup,” balas Dirga.

“Haha, manusia ini nggak dilahirkan setara, Dirga! Kadang ada yang harus berjuang ratusan kali lebih keras untuk bisa melangkah di jalan yang sama,” balas Guntur.

Mendengar ucapan itu Dirga semakin kagum dengan Guntur. Ia sama sekali tidak mengeluh pada takdirnya dan mensyukuri apa yang ia miliki.

“Hebat kamu, orang biasa pasti akan lebih menuntut bahwa Tuhan tidak adil, dibanding berusaha keras seperti kamu,” ucap Dirga.

Setelah membasuh wajah dan tubuhnya dengan air, iapun menepuk pundak Dirga dan duduk di sampingnya.

“Nggak mungkin Dirga, Nggak mungkin aku mengatakan Tuhan tidak adil setelah dia menciptakan Arum untukku,” jawab Guntur sambil tersenyum membayangkan Arum di desa.

Mendengar jawaban Guntur wajah Dirga semakin sumringah dan bersiap meledek Guntur, tapi ia menahanya karna ia tahu ledekan itu tidak mempan padanya yang memang benar-benar membanggakan Arum temanya sejak kecil itu.

Di tengah perbincangan mereka, seketika anginpun berhembus dengan kencang. Diantara cahaya matahari yang akan terbit itu samar-samar mereka melihat sesosok orang yang tengah mendekat kepada mereka.

Cahaya matahari itu menghalangi penglihatan mereka untuk mencari tahu siapa orang itu. Namun tak lama tangan Jagad menepuk kedua anak itu.

“Yuk, siap-siap..” ucap Mas Jagad.
Kedua anak itu bingung dengan kemunculan dan ajakan Jagad yang sangat tiba-tiba.

“Kemana?” Tanya Dirga.

Mas Jagad melemparkan dagunya ke arah sosok yang mendekat tadi. Itu adalah sosok pemuda yang tengah menggenggam keris di tanganya.
“Kalau sudah seperti ini, artinya mereka benar-benar membutuhkan kita,” ucap Jagad.

Saat berhasil mengenali sosok itu, mereka berduapun bergegas mengemasi barang-barang mereka dan bersiap menaiki mobil mas Jagad untuk menyusul sosok itu.

***

(Di desa lembah keramat..)

Sebuah buku tua terbuka selembar demi selembar. Ada berbagai gambaran benda-benda pusaka dan berbagai mantra yang menyatu dengan gambaran pusaka tersebut.

Lembah keramat sempat bergetar, sebuah cahaya sempat memancar dari tempat yang tidak pernah Mbah Jiwo datangi. Jelas saja kejadian itu membuatnya begitu cemas.

“Se...setan!!! Lari!!”

Samar-samar Mbah Jiwo mendengar suara warga desa yang berlari seolah baru saja melihat sosok yang mengerikan. Bila itu warga desa, seharusnya mereka sudah terbiasa melihat sosok yang terkadang nampak di halaman rumah Mbah Jiwo. Ia menangkap bahwa ini adalah sosok yang berbeda.

Mbah Jiwo segera meletakkan bukunya dan menuju tempat dimana teriakan itu terdengar. Dalam sekejap terjawab sudah penyebap teriakan orang yang lari tunggang langgang tadi.

Berbagai dedemit muncul berbondong-bondong dari arah lembah keramat.

Mereka adalah roh penasaran dari manusia yang terjebak di tempat itu. Tapi apa yang memancing mereka untuk meninggalkan tempat itu dan pergi ke desa.

Mbah Jiwo hendak mengambil pusakanya untuk menghadapi mereka, namun dari kejauhan ia melihat sesosok roh yang melayang yang membuat setan-setan itu gentar.

Lantunan doa tak henti terucap dari roh itu. Sebuah keris tergenggam di tanganya yang sudah jelas akan ia gunakan bila mungkin doanya tidak mampu menenangkan mereka.

Tapi sebelum itu terjadi, suara geraman terdengar dari arah lembah bersama kemunculan bayangan berbentuk makhluk berkepala kerbau. Sontak setan-setan itupun gentar dan memilih kembali ke alamnya.

Mbah Jiwo yang melihat kejadian itu segera menyadari maksud keberadaan roh itu mendatangi desanya. Saat kembali ke rumah, ia melihat sosok roh berkepala kerbau tadi sudah menantinya di halaman.

Di ruangan pusakanya, Mbah Jiwo membuka sebuah peti kayu yang ia tanam di bawah ruangan itu. Ada sebuah kotak pusaka yang ia keluarkan dari dalamnya.

“Tidak kusangka pusaka ini akan kugunakan secepat ini,” gumam Mbah Jiwo.

Iapun bergegas membereskan barang bawaanya dan meninggalkan sebuah rumah yang dijaga oleh sosok-sosok yang pernah menghuni lembah keramat.

***

GUBUK DI TENGAH HUTAN

Suara deru mesin mobil mengerang begitu keras menggerakkan mobil Jagad secepat mungkin menuju sebuah tempat yang ditunjukkan kepadanya. Rasa khawatir di dalam dirinya mendorongnya untuk segera sampai ke tempat terpencil itu.

“Astaga Mas Jagad ! Istiqfar mas!!” Teriak Dirga yang ketakutan sembari memegangin handle di samping atas jendela.

“Iya mas! Eling mas! Aku belum nikahin Arum!!” Teriak Guntur yang nyalinya ciut seketika.

“Sabar! Ini darurat!” Balas Jagad yang bukannya melambatkan mobilnya, malah semakin menekan pedal gasnya.

Memang, dalam waktu setengah hari mereka sudah memasuki Jawa Timur dan berhasil sampai di dekat tujuan mereka saat langit masih terang.

Namun usaha tersebut harus ditebus dengan Guntur dan Dirga yang memaksa untuk turun dan memuntahkan isi perut mereka.

“Yah.. jadi cowok kok lemah, begitu aja udah mabok,” ledek Jagad.

“Asem.. ayo ke desaku mas, tak ajak balapan sapi!” balas Guntur.

Jagad hanya menggeleng menertawakan mereka berdua. Setelah menunggu sesaat dan menyeduh teh hangat dari termos yang dibawakan Emak Dirga, merekapun melanjutkan perjalanan.

Baru beberapa menit memasuki jalur hutan, tiba-tiba mereka terhenti oleh sosok yang menari-nari di tengah jalan. Beberapa kali Jagad memberi kode dengan lampu ataupun klakson orang itu tetap tidak mau menyingkir.

"Tokecang tokecang balagendir tosblong…"

Suara itu sayup-sayup terdengar dari penari itu. Dirga mulai merasakan bahaya saat orang itu menghentikan tarianya.

“Mas… berhenti! Hati-hati!” Peringat Dirga.
Jagad dan Dirga segera tersadar mengenai sosok yang ada di hadapanya itu.

Merekapun keluar dari mobil dan menghadapinya.
“Siapa? Kamu siapa?” Tanya Jagad.
Orang itu menoleh dan memamerkan wajahnya yang dirias dengan bedak putih pekat. Jelas Jagad merasakan bahaya dari orang itu.

Belum sempat bertindak apapun, tiba-tiba seseorang merangkul Dirga dan Jagad dari belakang.

“teu pantes mun budak leutik ulin ka leuweung!” (tidak pantas, anak kecil main-main ke hutan) ucap orang itu yang dalam sekejap membuat Dirga dan Guntur melompat menjauh.

“Maaf, tapi kami harus pergi ke alas wetan,” ucap Jagad sembari mencoba menyerang orang itu dan menjauhkan Guntur dan Dirga darinya.

Sebuah pertarungan singkat terjadi. Tapi, serangan Jagad tidak ada satupun yang berhasil mendarat di tubuh orang itu.

Menyadari hal itu, Guntur dan Dirga ikut dalam pertarungan membantu Mas Jagad.

Tapi dalam sekejap, serangan mereka bertiga hanya menghantam angin kosong sementara orang itu sudah ada di belakang mereka.

“Khikhihi.. ilmu hanya sekotoran hidung mau masuk ke hutan.. Goblok!!” teriak orang itu.

Mendengar ucapan itu Jagad , Guntur dan Dirga menjadi kesal. Dirgapun bersiap mengambil keris pusakanya tapi sebelum itu terjadi, Guntur menahanya.

“Tunggu!” ucap Guntur.

“Kenapa? Makhluk itu tidak bisa diremehkan!” Balas Dirga.

“Entah mengapa aku merasa orang itu sedang menguji kita,” ucap Guntur.

Dirga mengernyitkan dahinya tak mengerti dengan maksud Guntur. Ia sama sekali tidak melihat bahwa tujuan orang itu seperti yang Guntur katakan.

“Biar aku yang melawanya,” ucap Guntur.
Jelas saja Jagad dan Dirga tidak setuju. Ia mencoba menahan Guntur, tapi Guntur bersikeras untuk mencobanya.

“Aku lawanmu!”

Guntur memasang kuda-kuda dengan memfokuskan dirinya pada orang itu.

“Kalian teh ngeremehin Kang Jawir?” ucap sosok yang bernama Kang Jawir itu. Seketika wajahnya terlihat kesal dengan ulah Guntur.

“Meremehkan atau tidak, kan kau sendiri yang bisa menilai,”

Guntur melesat melayangkan pukulan yang segera dengan mudah dihindari oleh Kang Jawir. Tanpa sempat merespon Kang Jawir sudah siap mendaratkan kepalan tanganya di wajah Guntur.

Ia yakin seranganya akan mengenai Guntur tapi anehnya serangan itu lolos melewati wajahnya dengan sangat tipis.

Tendangan guntur mencoba menjatuhkan Kang Jawir, tapi langkah kaki Kang Jawir terlalu lincah hingga tendangan itu hanya menghantam angin.

Sementara itu, Kang Jawir sudah siap dengan sikutnya untuk menghantam tubuh Guntur. Tapi sekali lagi seranganya melewati tubuh guntur begitu saja. Guntur menghindari setiap serangan Kang Jawir dengan begitu tipis.

Merasa Guntur tidak dapat diremehkan, Kang Jawir mulai menari dan memutar tubuhnya dan membentuk sebuah gerakan hingga tanganya menghitam.

Melihat hal itu Guntur mengingat sebuah gerakan yang diajarkan oleh seseorang. Ia menarik semua energi yang bisa ia rasakan dalam kepalan tanganya.

Tepat saat Kang Jawir menyerang Guntur dengan pukulan misterius itu, Guntur menyambutnya dengan sebuah pukulan yang menyebabkan suara petir yang menggelegar saat pertemuan kedua pukulan mereka.

Blarrr!!!

Guntur dan Kang Jawir terpental. Mereka masih berdiri dengan mantap, namun senyum Kang Jawir tidak lagi terlihat di wajahnya.

“Dirga, sejak kapan Guntur sehebat itu?” Tanya Jagad yang kagum dengan gerakan-gerakan Guntur.

“Entah mas, yang pasti itu semua nggak dia dapatkan dengan mudah,” Balas Dirga yang mengingat bagaimana latihan yang Guntur lakukan.

“Mas Jagad mulai ngerasa ilmu bela diri dia sudah melewati Mas Jagad,”

Mendengar ucapan itu Dirga menoleh menatap pakdenya itu. Ia tidak menyangka pernyataan itu akan keluar dari mulutnya.

“Masih ada manusia yang mempelajari ilmu bela diri sampai seperti itu? Siapa gurumu?” Tanya Kang Jawir.

“Guruku orang yang jauh lebih sakti darimu! Eyang Nyai Jambrong!” Teriak Guntur meneriakkan nama gurunya dengan bangga.

Mendengar nama itu Kang Jawir mundur selangkah. Mungkin ia tidak pernah menyangka akan mendengar nama itu.

“Tidak mungkin! Nyai Jambrong tidak pernah benar-benar mengangkat murid! Lagipula aku tidak melihat kekuatan hitam di ilmumu!” Bantah Kang Jawir.

Mendengar bantahan Kang Jawir, Gunturpun meninggalkan kuda-kudanya dan menarik nafas sedikit santai.

“Makanya Kang Jawir main-main keluar hutan. Eyang udah lama tobat! Ilmu hitamnya sudah musnah, tapi ilmu bela dirinya aku yang akan meneruskan!” Ucap Guntur sembari memukul dadanya.

Kang Jawirpun meninggalkan kuda-kudanya. Tapi wajahnya masih terlihat heran.

“Apa jadinya nenek peyot itu tanpa ilmunya?” Gumam Kang Jawir.

“Jadi orang baik,” balas Guntur singkat.

Wajah Kang Jawir menunjukkan reaksi aneh mendengar jawaban Guntur. Iapun terlihat bingung dan beberapa kali menggaruk kepalanya.

“Ya sudah, kalian ikut saya!” ucap Kang Jawir.

“Ikut kemana Kang?” Tanya Guntur.

“Jasad teman-temanmu,” ucap Kang Jawir sambil melangkah membelakangi mereka.

Mendengar itu wajah mereka bertiga semakin menjadi serius dan masuk ke mobil untuk mengikuti Kang Jawir.

“Kang, nggak mau ikut naik mobil aja kang? Kalau ngikutin Kang Jawir jalan kaki, nggak sampe-sampe nih,” ucap Guntur yang mulai berani pada Kang Jawir.

“Berisik! Kalau mau ya ikutin, kalo nggak pulang aja sana!” Usir Kang Jawir.

Mendengar jawaban itu mereka bertigapun hanya pasrah menahan sabar mengikuti kecepatan Kang Jawir.

***

Pohon-pohon rindang berdiri tegak melindungi sebuah gubuk kumuh yang dibanjiri dedaunan kering. Jagad memarkir mobilnya di pinggir hutan dan berjalan beberapa puluh menit hingga sampai di tempat itu.

“Sudah puas mencari gara-gara dengan muridku?”

Tiba-tiba suara seorang nenek menyambut mereka dari dalam rumah. Kang Jawir terlihat kaget melihat sosok Nyai Jambrong muncul dari dalam gubuknya.

“Aarrggh… cuih! Nyai Jambrong! Bagaimana kau bisa ada disini?” teriak Kang Jawir.

“Naik Bis! Kowe pikir aku orang tua yang tidak mengikuti perkembangan jaman? Kuno seperti kamu!” balas Nyai Jambrong.

Guntur terlihat masih mengucek matanya. Ia masih tidak percaya dengan sosok yang menyambutnya itu.

“Eyang? Ini beneran eyang? Apa setan berwujud Eyang? ” Tanya Guntur.

Bukanya menjawab, sebuah sandal jepit malah melayang dan mendarat dengan akurat di wajah Guntur.

“Berisik! Cepat masuk! Masih ada sisa masakan Arum di dalam,” teriak Nyai Jambrong.

Dirga tertawa melihat kejadian itu, “Aku berani jamin itu Nyai Jambrong, Mas”

“Sama,” Tambah Mas Jagad sembari menahan tawa.

Guntur merengut mendengar ucapan mereka berdua. Iapun memungut sandal Nyai Jambrong dan membawakanya kepadanya.

“KONDENYA COPOT!!!” Teriak Guntur sembari melemparkan sandal Nyai Jambrong ke batu.

“EH COPOT! KONDE COPOT” Latah Nyai Jambrong yang segera disusul dengan tawa puas Guntur.

Nyai Jambrong segera menoleh ke arah Guntur yang ternyata sudah berlari melesat menuju rumah secepat mungkin.

Dirga dan Jagad yang melihat ekspresi wajah Nyai Jambrongpun memilih ikut berlari sebelum sesuatu terjadi pada mereka.

“Gila kamu Tur! Kalo Nyai Jambrong Jantungan gimana?” Tanya Dirga.

“Biar dikasi napas buatan sama mas Jagad,” balas Guntur singkat.

“Ngawur kamu!”
Merekapun masuk ke rumah dengan terburu-buru sebelum Nyai Jambrong menyusul mereka.

Tapi, niat guntur yang mengincar masakan arumpun berubah ketika melihat dua orang terbaring di ranjang dengan keadaan yang mengenaskan.

“Selamat siang,” ucap lirih seorang perempuan yang duduk di sebuah kursi dengan mata yag tidak dapat melihat.

“Si...siang,” balas mereka.

Seketika suasana menjadi canggung. Mereka bertiga segera bergegas menuju tubuh Danan dan Cahyo yang terbaring tak berdaya di ranjang kayu yang hanya beralaskan tikar itu.

“Nggak mungkin, nggak mungkin Mas Cahyo bisa dibuat babak belur begini,”

Guntur tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Tubuh Cahyo babak belur, bagian luka-lukanya tertutup rempah rempah untuk mengobati lukanya.

“Selama ini kita melewati pertarungan sengit, tapi kita tidak pernah melihat Danan tak berdaya seperti ini,” tambah Jagad.

Jagad dan Dirga menggunakan amalan pemulih berusaha untuk menyembuhkan luka-luka ghaib yang ada di tubuh mereka berdua. Tapi sayangnya, semua itu tidak berdampak banyak.

“Ternyata mereka berdua memang hebat, bahkan dalam keadaan seperti ini mereka bisa mengumpulkan orang sebanyak ini,” ucap Nyai Runtak.

“Eh Iya, maaf nyai. Kami sampai tidak sempat menyapa nyai,” ucap Dirga sopan.

Nyai Runtak menggeleng, ia berdiri dengan hati-hati dan membuka jendela dengan lebar. Walau tidak bisa melihat, tapi Nyai Runtak bisa merasakan hawa di luar jauh lebih peka dibanding manusia biasa.

“Hari mulai gelap, kalau kalian ingin mencegah bencana itu kalian harus mulai malam ini,” ucap Nyai Runtak.

Ucapan itu seolah memberi isyarat kepada mereka semua untuk berkumpul. Bermodalkan api unggun yang dibuat oleh Jagad.

Mereka berkumpul untuk mendengarkan apa yang ingin disampaikan Nyai Runtak.

Mereka menceritakan tentang Ritual Panggon Mayit yang digunakan untuk melepaskan batas antara alam manusia dengan alam roh.

Dengan melakukan itu mereka bisa membangkitkan Iblis Alas Wetan yang mereka panggil dengan nama Prabu Sudrokolo.

“Bila Prabu Sudrokolo sudah dibangkitkan, sudah pasti akan ada banjir getih. Setelahnya, Batas dimensi antara manusia dan roh perlahan akan terbuka” ucap Nyai Runtak.

“Prabu Sudrokolo? Sopo to kuwi?” (Prabu Sudrokolo? Siapa sih itu?) Tanya Guntur.

“Makhluk terkutuk, kami berusaha membangkitkanya untuk menempati tahta kami di alam ini” balas Nyai Runtak dengan singkat.

“Sudrokolo? nek ra salah inget, kuwi sosok rojo sing mateni rakyate dewe?” (Sudrokolo? Kalau tidak salah ingat, itu sosok yang menghabisi rakyatnya sendiri?) Tanya Nyai Jambrong.

Ternyata jauh sebelum Nyai Jambrong dibangkitkan, ia pernah mengetahui legenda tentanga raja itu.

“Sing nggenah eyang?” (Yang bener eyang?) Tanya guntur.

Nyai Jambrong mengangguk,” Tapi eyang ndak tahu lebih dari itu,”

Mendengar pernyataan Nyai Jambrong Nyai Runtak memutuskan untuk bercerita. Ia menceritakan tentang sosok seorang raja yang gila kesaktian.

Raja itu menyadari bahwa manusia adalah entitas yang lemah di alam ini. Dibanding raksasa, wanamarta, hingga lelembut, menurut raja itu manusia adalah makhluk yang paling tak berdaya.

Ia tidak ingin menerima kenyataan itu dan mencari kesaktian dengan berbagai cara.

Hingga akhirnya ia mencapai kesempurnaan dengan menumbalkan seluruh rakyat di kerajaanya. Dengan kekuatan itu ia bisa menghadapi sosok seperti Gandara Baruwa yang menguasai wilayah-wilayah di tanah Jawa.

Semasa hidupnya ia memiliki enam orang yang mengabdi kepadanya.

Tak hanya di kehidupan itu, abdi itu terus menitis untuk terus membangkitkanya agar sang raja terus hidup dan tak tersentuh api neraka.

“Berarti titisan itu juga hidup saat ini?” Tanya Dirga.
Mendengar pertanyaan itu Nyai Runtak menoleh ke arah Kang Jawir.

“Kalian teh sudah tahu tentang Mbah Sugik, dia salah satu dari mereka. Sayangnya dia terlalu tamak sampai mati di tangan Gandara Baruwa,” Jelas Kang Jawir.

“Lima lagi?” Tanya Guntur.

“Kang Jawir teh salah satunya. Tapi sejak hidup dengan Nyai Runtak, Kang Jawir mulai malas dengan urusan mereka.

Kang Jawir mau jagain Nyai Runtak saja,” ucapnya seolah tidak merasa ada yang aneh antara hubunganya dengan Nyai Runtak yang jauh lebih tua darinya.

Mereka juga menjelaskan bahwa masih ada Ki Among Mayit yang sangat rakus mengumpulkan mayat-mayat untuk menjadi makanan ilmunya.

Ada Kanjeng Nyai Rasmono yang menarik tumbal laki-laki dengan pesonanya,

Genduk ireng bocah licik yang tidak bisa melihat pusaka yang lebih baik dari miliknya, dan Mpu Jandrik yang menguasai keris angkara murka.
Jagad menelan ludah mendengar sosok-sosok yang harus mereka lawan itu.

“Keris Angkoro murko itu hanya julukan, wujud aslinya menjadi satu dengan tulang Mpu Jandrik sendiri,”

Suara seseorang mendekat dari kedalaman hutan. Dari suaranya saja, Jagad dan yang lain sudah mengetahui siapa sosok yang sangat mengenal pusaka itu.

“Ki Jiwo Setro.. kamu hampir mati di pertarungan sebelumnya, masih berani kesini?” Sambut Nyai Jambrong yang teringat kejadian saat bertarung melawan Raden Darwana.

“Haha, bukankah kita sama-sama mencari tempat untuk mati?” Balas Mbah Jiwo.

Kedatangan Mbah Jiwo membawa angin segar untuk mereka. Satu lagi tambahan kekuatan untuk menghadapi bencana ini.

“Hanya kekuatan Keris Sukmageni, yang bisa memulihkan kedua pemuda itu. Jadi satu-satunya jalan adalah menghidupkan Paklek mereka terlebih dahulu,” Jelas Nyai Runtak.

“Tu...tunggu? Menghidupkan?” Jagad terlihat panik. Tapi malam sudah semakin larut, Kang Jawirpun memerintahkan mereka untuk mengikutinya menuju jasad Paklek berada.

Di tengah gelapnya malam merekapun pergi dengan berhati-hati menuju hutan tempat Jasad Paklek berada.

Sesaat sebelum meninggalkan gubuk itu, Nyai Jambrong menghentikan langkahnya sejenak.

“Nyai Runtak? Apa sebenarnya tujuanmu menolong dua bocah itu?” Tanya Nyai Jambrong.

Nyai Runtak merenung sejenak dengan wajah yang mencoba mengarah ke arah suara Nyai Jambrong.

“Entah Nyai, kami sadar dosa kami tidak termaafkan. Tapi apakah salah bila kami masih berharap pengampunan dari Dia yang dipercaya sebagai Yang Maha Pengampun?” Balas Nyai Runtak.

Nyai Jambrong melanjutkan jalanya sembari menyampaikan sebuah perkataan.

“Bocah-bocah itu pernah mengatakan, Tuhan itu maha adil. Mungkin dosa-dosa kita tidak termaafkan, tapi Ia juga tidak akan mengabaikan perbuatan baik kita,” balas Nyai Jambrong sembari meninggalkan Nyai Runtak.

Kang Jawir yang mendengar perkataan Nyai Jambrong berhenti sejenak dan menatap Nyai Runtak. Mereka berdua kini semakin yakin dengan keputusanya untuk meninggalkan Prabu Sudrokolo.

***

PENYELAMATAN

Alas Wetan…

Sekumpulan hutan yang membentuk suatu kesatuan belantara yang jarang sekali dijamah oleh manusia biasa. Warga desa yang ada di sekitarnyapun mungkin hanya menjelajahi sepersepuluh bagian dari hutan ini.

Cahaya rembulan adalah penerangan terbaik yang bisa bertahan di hutan ini. Keberadaan cahaya seperti senter atau lampu minyak hanya akan menarik perhatian dari hewan atau makhluk yang tak kasat mata untuk mendekati mereka.

Bau busuk mulai tercium dari arah tempat yang akan mereka datangi. Sudah jelas perasaan bahaya mereka rasakan saat mengetahui sebuah desa telah mati dengan jasad warganya yang bergelimpangan.

Dirga dan yang lain setengah mati menahan mual saat melihat darah dan daging busuk berceceran di tempat itu. Terlebih, masih ada jasad yang tersangkut di pepohonan di sekitar desa mengerikan itu.

“Pertarungan seperti apa yang terjadi di tempat ini?” Tanya Jagad saat melihat bangunan-bangunan yang rusak parah di tempat itu.

“Tanyakan pada kedua teman kalian saat mereka sadar,” Balas Kang Jawir.

Wajah Dirga dan Guntur terlihat tidak percaya bahwa ini semua adalah hasil dari pertarungan Danan dan Cahyo. Tapi, masalah sebenarnya bukanlah itu.

Kang Jawir menuntun mereka pada sebuah pohon besar dimana ada seseorang terduduk di rantingnya dengan keris yang menancapkan tubuhnya ke pohon itu.

“Paklek? Itu paklek?” Dirga terlihat panik saat menyadari tubuh paklek tertancap disana dengan wajah yang mulai membiru.

Nafas mereka menderu melihat pemandangan itu, emosi mereka mulai memuncak. Namun sebelum mereka bertindak apa-apa Mbah Jiwo maju melewati mereka dan menyadari sesuatu.

“Apa yang menancap itu, Keris Sukmageni?” Tanya Mbah Jiwo.

“Benar, aku yang menancapkanya. Saat itu, hanya itulah satu-satunya menyelamatkan dirinya dari pembantaian Mpu Jandrik,” Jelas Kang Jawir.

Mendengar ucapan itu Jagad dan yang lain semakin bingung.

“Menyelamatkan? Menusukkan keris ke tubuh paklek disebut menyelamatkan?” Kesal Dirga.
Mbah Jiwo menahan Dirga seolah mulai mengerti situasinya.

“Ingat, kekuatan Keris Sukmageni adalah penyembuhan. Mungkin saja tindakan Kang Jawir sudah benar,” Ucap Mbah Jiwo.

Merekapun kembali menyimpan emosi mereka dan mendekat ke arah pohon tempat tubuh Paklek berada. Tapi belum sempat menghampiri paklek, tiba-tiba langkah mereka terhenti dengan sekelompok orang yang muncul dari balik rumah-rumah tua itu.

Orang-orang itu membawa golok dan berbagai senjata tajam dengan raut wajah yang aneh. Mereka menatap penuh amarah dengan nafas yang menggebu-gebu.

“Kowe kudu mati!” (Kalian harus mati)

Teriak salah satu dari mereka yang segera menyerang Jagad dan yang lainya.

Guntur dan Nyai Jambrong dengan sigap menahan serangan serangan mereka, namun jumlah mereka tidak sedikit.

“Manusia? Mereka manusia!” teriak Guntur.

“Jangan terkecoh! Mereka laki-laki yang terpengaruh oleh Kanjeng Nyai Rasmono,” ucap Kang Jawir yang dengan mudah mementalkan salah satu dari mereka.

Walau begitu, orang-orang itu seolah tidak merasakan sakit.

Setiap luka dan darah yang menetes dari tubuhnya tidak mereka hiraukan dan terus menyerang.

“Gila! Mereka tidak perduli walau tubuhnya hancur!” Ucap Guntur Panik.

“Percuma, otak mereka sudah benar-benar dikuasai nafsu pada Kanjeng Nyai Rasmono. Mereka sudah seperti budaknya,” jelas Kang Jawir.

Menghadapi orang-orang seperti itu jelas mereka kerepotan. Terlebih yang menghadapi mereka sekarang sepertinya juga bukan orang-orang biasa.

Mereka mengerti bela diri.
“Lama sekali! Patahkan saja kepala mereka!” Teriak Kang Jawir.

Jagad Melihat Kang Jawir yang tengah bersiap mematahkan kepala dari salah satu orang-orang itu. Iapun bergegas menahan siku Kang Jawir untuk mencegahnya membunuh orang itu.

“Nggak kang! Bukan begitu cara kita bertarung! Mereka itu manusia!” Ucap Jagad.

Kang Jawir menoleh ke arah Jagad dengan kesal setelah caranya disalahkan. Walau begitu sepertinya ia mau mendengar ucapan Jagad.

“Terserah! Kalau kalian yang mati, itu bukan salahku!” Ucap Kang Jawir yang segera melempar tubuh otang yang kepalanya hendak ia patahkan tadi.
Pertarungan saat itu terjadi semakin sengit.

Pilihanya hanya orang-orang itu kehabisan tenaga lebih dulu, atau Jagad dan yang lain kehabisan tenaga dan mati di tangan anak buah Kanjeng Nyai Rasmono.

“Bodoh, kalau begini tidak akan selesai. Suruhan Kanjeng Nyai Rasmono akan terus berdatangan,” ucap Kang Jawir.

Nyai Jambrongpun mendekat dan menghalau orang-orang yang menyerang Kang Jawir.

“Laki-laki goblok! Jangan sia-siakan niat Nyai Runtak,” ucapnya.

Mendengar ucapan itu Kang Jawir terdiam. Namun tetap saja ia bingung dengan apa yang harus mereka lakukan.

“Terus apa? Gimana cara menangani ini?” Protes Kang Jawir.

Nyai Jambrongpun menoleh ke belakang dan mendapati Guntur tengah berlari menjauh dari orang-orang itu.

“Kang Jawir! Eyang! Kabur sekarang!” Teriak Guntur.

“Itu caranya..” Ucap Nyai Jambrong.

Kang Jawir bingung. Kabur dari pertarungan? Setelah menghabiskan tenaga, mereka ingin kabur tanpa hasil? Pikir Kang Jawir.

Tapi sebelum berpikir lebih jauh, tiba-tiba terlihat jauh di depan guntur seseorang yang tengah menggendong tubuh manusia. Itu adalah Mbah Jiwo.

Ia berlari sekuat tenaga dengan membawa tubuh Paklek yang masih tertancap Keris Sukmageni ditubuhnya. Jelas saja Kang Jawir kaget dengan pemandangan itu. Tapi benar, saat ia menoleh ke arah pohon, tubuh paklek sudah tidak ada disana.

“Sejak kapan?” Tanya Kang Jawir.

“Sejak kau berpikir untuk membunuh lawanmu, kami berpikir untuk memenuhi tujuan kami tanpa membunuh siapapun,” Jelas Nyai Jambrong.

“Itu tidak seperti ucapan seorang Nyai Jambrong,” heran Kang Jawir.

Di kepalanya, Nyai Jambrong masihlah sosok pendekar ilmu hitam yang kejam dan tak segan membunuh orang lain.

Sayangnya pelarian mereka tidak berjalan mulus. Mereka dihadang sosok wanita anggun dan cantik.

Kebayanya memamerkan bahunya dengan jariknya yang pendek hingga membuka bagian pahanya yang indah.

“Si...siapa?!” Ucap Jagad menelan ludahnya.

Sosok wanita itu memang terlihat cukup berumur. Tapi wujud dan pesona wanita itu mampu menggoda lelaki manapun yang berhadapan denganya.

“Kanjeng Nyai Rasmono, dialah yang mengirim orang-orang itu,” ucap Kang Jawir.

Merekapun terhenti dan cemas apakah orang-orang pengikut makhluk itu dapat menyusul mereka.

“Kalian tidak bisa pergi, pilihanya hanya menjadi budakku atau mati disini,” ucap Kanjeng Nyai Rasmono.

Tatapan mata Jagad, Mbah Jiwo, Dirga dan Guntur mulai terhipnotis kecantikan Kanjeng Nyai Rasmono. Mereka membaca doa dan sekuat tenaga menahan pengaruh itu.

Tapi Sebelum sihir makhluk itu semakin dalam, Kang Jawir dan Nyai Jambrong menyusul ke depan.

“MINGGIR!” Bentak Kang Jawir dengan tegas.
Suaranya bahkan menggema sampai wilayah hutan tempat mereka berada.

“Hoo.. Kang Jawir? Sudah berani berkhianat?” Mati kamu!” ucap Kanjeng Nyai Rasmono mengancam Kang Jawir.

Sementara itu para pengikut Kanjeng Nyai Rasmono sudah mengepung mereka semua.

“Mati itu sudah pasti, tapi aku tidak akan mati disini. Sebaiknya kau yang pergi! Melawan akupun belum tentu kau mampu!” Gertak Kang Jawir.

Wajah Kanjeng Nyai Rasmono terlihat kesal. Sepertinya ucapan Kang Jawir benar, ia yang saat ini tidak bisa melampaui kekuatan Kang Jawir. Terlebih ia melihat sosok Nyai Jambrong yang ada diantara mereka.

“Lihat saja, setelah ritual panggon demit selesai, kau akan memohon-mohon untuk menjadi budakku!” Ancam Kanjeng Nyai Rasmono.

“Itu kalau nasibmu tidak seperti Sugik,” balas Kang Jawir.

Kanjeng Nyai Rasmonopun menghilang dari dalam kabut bersama kembalinya kesadaran Jagad dan yang lain.

Tranggg!!!

Mendadak tiba-tiba Nyai Jambrong melompat menendang beberapa benda yang melesat ke arah mereka.

“Pergi, pergi saja! Tidak usah melempar barang barang tak berguna!” Teriak Nyai Jambrong yang ternyata menepis beberapa tusuk konde yang dilemparkan Kanjeng Nyai Rasmono.

Terlihat Kang Jawir tidak sempat menyadari serangan itu.

Tanpa keberadaan Nyai Rasmono, dengan cepat mereka bisa mengalahkan orang-orang itu dan pergi untuk kembali ke gubuk Kang Jawir.

***

SERANGAN DARI BALIK PURNAMA

Mbah Jiwo terengah-engah setelah membawa tubuh paklek hingga mencapai di gubuk tempat tubuh Danan dan Cahyo berada.

“Biar aku saja Mbah,” Jagad membantu Mbah Jiwo memindahkan tubuh paklek ke tikar seadanya yang disediakan Nyai Runtak.

Mereka mengatur nafas sementara guntur mengambil air untuk mereka semua.

“Setelah ini bagaimana?” Tanya Dirga yang menoleh ke arah Nyai Runtak dan Kang Jawir.

Menerima tatapan itu Kang Jawir malah kebingungan. Ia menoleh pada Nyai Runtak yang sepertinya juga tidak tahu apa-apa.

“Jangan tanya Kang Jawir! Kang Jawir teh cuma bisa berantem sama ngepantun aja!” Tolak Kang Jawir.

Sebaliknya Nyai Runtak hanya diam menandakan bahwa ia juga tidak mengerti apa yang harus mereka lakukan untuk menolong ketiga manusia yang dalam kondisi mengenaskan ini.

Mbah Jiwo mempelajari kondisi tubuh Paklek dan mencoba memikirkan sesuatu.

“Dulu aku yang menghidupkan keris ini. Mungkin aku bisa mencoba menggunakan kekuatanya dengan menyambungkan kesadaran dan menggunakan darah paklek,” ucap Mbah Jiwo.

Nyai Jambrong mendekat dan melihat luka yang tertutup oleh tusukan Keris Sukmageni.

“Kau yakin? Pusaka itu bukan pusaka biasa yang akan patuh pada siapapun,” Nyai Jambrong ragu.

“Itulah yang harus aku lakukan, Ilmuku akan menerjemahkan perintah paklek yang tengah tidak berdaya ini pada Keris Sukmageni. Tidak ada lagi yang mengerti tentang Keris Sukmageni selain aku saat ini,” jelas Mbah Jiwo.

Semua orang yang berada di gubuk itu setuju.

Mbah Jiwo meletakkan tanganya pada dahi paklek sementara tangan satunya mengambang di atas Keris Ragasukma yang menancap di tubuh paklek.

Ada mantra yang Mbah Jiwo bacakan, ada kekuatan yang memancar dari kedua tangan Mbah Jiwo.

Tapi sebelum Mbah Jiwo melangkah lebih jauh, tiba-tiba seluruh orang di gubuk itu merasakan firasat mengerikan yang datang tiba-tiba.

Hanya satu jendela yang terbuka disana, dan saat itu mereka sepakat bahwa ada wajah sosok makhluk besar yang mengintip melalui jendela.

Hanya satu matanya yang terlihat dari wajahnya yang sangat besar itu.

“I...itu!!” Dirga panik.

Dengan berhati-hati mereka meninggalkan gubuk sembari mengawasi sosok itu. Hanya Nyai Runtak dan Mbah Jiwo yang tersisa di dalam sembari terus berusaha menyelamatkan paklek.

Sialnya, raksasa itu tidak sendirian. Saat mereka keluar rumah sudah ada pasukan makhluk kerdil mengepung gubuk itu.

“Kkhikh..khik…Bunuh mereka! Perintah Mpu Gandrik, tidak boleh ada yang tersisa dari pengkhianat ini!”

Ada makhluk perempuan kerdil bertubuh hitam bermata merah yang datang memerintah semua makhluk yang mengerubungi tempat ini. Termasuk sosok raksasa yang mengintip dari jendela tadi.

“Genduk ireng! Jangan cari gara-gara di tempatku!” Teriak Kang Jawir kesal.

Ucapan Kang Jawir segera disambut dengan makhluk hitam yang melompat mengincar kepala Kang Jawir dari atas pohon. Namun belum sempat makhluk itu menyentuhnya, Guntur sudah melompat dan menghantamkan pukulanya hingga makhluk itu terpental.

Dari sisi lain Raksasa pengikut genduk ireng sudah bersiap menghancurkan gubuk yang menjadi markas mereka saat ini. Tapi sebelum tangan raksasa itu mencapai bangunan kumuh itu, sebuah batu melayang dengan nyala api berwarna merah dan meledak di tangan raksasa itu.

“Menjauh dari tempat itu!” Teriak Jagad.
Genduk ireng mengambil sebuah tombak pendek yang ia ikatkan di punggungnya. Sebuah tombak pusaka yang sepertinya membuat Kang Jawir waspada.

Benar saja, Tombak itu memanjang saat diayunkan ke arah Kang Jawir.

Beruntung ia sempat menyadari itu dan menghindarinya, namun ia tidak yakin ia bisa menghindarinya bila Genduk ireng menggunakan ilmunya pada tombak itu.

Tapi sebelum itu terjadi, empat buah keris melayang menyerang makhluk kerdil anak buah Genduk ireng dan menyerang setan bocah wanita kerdil itu.

“Pusaka yang menarik! Benda itu harus menjadi milikku!”

Genduk Irengpun melontarkan perhatianya pada Dirga dengan mengincar kerisnya. Anak buah Genduk Ireng semakin banyak berdatangan.

Nyai Jambrong dan Guntur saling berpunggungan menghadapi setan-setan itu dengan ilmu mereka.
Keadaan begitu genting, tapi Kang Jawir merasa aneh.

Ia tidak merasa gentar dengan serangan itu. Keberadaan teman-teman Danan di sekitarnya membuat ia merasakan perasaan yang berbeda. Kang Jawirpun bergabung dengan Nyai Jambrong dan Guntur untuk menghadapi puluhan dedemit yang mencoba menyerang mereka semua.

“Bisa-bisanya anak kecil berani melawanku!”
Genduk Ireng memuntahkan benda seperti gumpalan daging dari mulutnya dan menggumamkan sebuah mantra. Sembari menghadapi serangan keris Dirga, Genduk Ireng melemparkan gumpalan daging itu ke arah Dirga.

Dirgapun menghindar, tapi gumpalan yang jatuh di tanah itu berubah menjadi makhluk mengerikan dengan menumbuhkan tangan dan kakinya sendiri.

“Khik.. khik… kau mati duluan,” teriak Genduk Ireng.

Dirga kesulitan mengendalikan keris pusakanya sembari menghadapi makhluk aneh yang dipanggil dari perut Genduk ireng itu.

“Arrrgh!!”

Serangan tombak Genduk Irengpun berhasil menggores bahu Dirga.

Guntur yang melihat hal itu segera meninggalkan Nyai Jambrong dan Kang Jawir untuk membantunya.

“Fokus Dirga!” Teriak Guntur.

Ia menghadapi Genduk ireng sementara Dirga mencoba mengatur kembali ritme seranganya sembari melawan makhluk menjijikkan dari perut Genduk Ireng itu..

Malam semakin larut. Bukanya semakin membaik, Serangan Genduk ireng malah semakin tajam. Tak hanya itu, makhluk hitam pengikutnya semakin bertambah bergabung ke pertarungan itu.

Brakkk!!!!

Sebagian atap rumah roboh dengan serangan raksasa yang bertarung melawan Jagad.

Terlihat di sana Jagad sudah terluka dan kesulitan mengatur nafasnya.

“Siaaaal!!! Kenapa mereka datang di saat kita belum siap seperti ini!” Teriak Guntur yang kesulitan menghadapi Genduk Ireng walau melawanya berdua dengan Dirga.

Kang Jawir dan Nyai Jambrong mulai kewalahan saat makhluk yang menyerangnya sama sekali tidak berkurang. Sementara itu, Genduk Ireng menyadari bahwa ia sedang di atas angin.

“Khik..khik.. Habisi dulu pria lemah itu!”

Genduk Ireng menghilang dan seketika dirinya sudah berada di tubuh raksasa berambut panjang yang berhadapan dengan Jagad.

Jagad sudah kewalahan sedemikian rupa, tapi Genduk Ireng malah mengambil sebuah pusaka berbentuk tali dan mengikatnya ke leher raksasa itu.

Seketika otot-otot raksasa itu membesar bahkan hingga merobek kulitnya.

“Bunuh!” Perintah Genduk Ireng yang menunjuk pada Jagad yang tengah kelelahan.

Makhluk itu berteriak dan mengangkat tanganya tinggi-tinggi. Sebuah pukulan mengerikan sudah mengayun untuk melumat Jagad.

Jagad berusaha menghindar, tapi pertarungan sebelumnya membuatnya kesulitan untuk bergerak dengan cepat. Sementara energinya sudah habis setelah menggunakan beberapa kali ajian watugeni.

Jagad hampir saja pasrah menerima serangan itu. Tapi tak berselang lama dari teriakan raksasa itu, tiba tiba terdengar teriakan lain yang jauh lebih mengerikan.

“Ggrrrrraaaaaaaorrrr!!!!”

Suara raungan mengerikan yang mengema ke seluruh alas wetan.

Dengan mudah mereka menemukan bahwa suara itu berasal dari dalam gubuk. Seketika Genduk Ireng dan raksasanya menjadi waspada.

“I...itu! Nggak salah lagi! Itu!!” perasaan semangat Guntur membuatnya tak mampu menahan rasa gembiranya.

“Iya benar! I...Itu! Itu Raungan Wanasura!” Tambah Dirga.

Seseorang melesat dengan cepat dan menghantamkan pukulan tepat di dagu raksasa peliharaan Genduk Ireng itu. Hanya dengan sekali pukulan sosok itupun terjatuh.

Orang itu berdiri dengan wajah penuh amarah sembari memperbaiki posisi sarungnya.

“Mas Cahyo!”

Guntur datang menghampirinya sementara Genduk Ireng meringis kesal saat ia terjatuh dari tubuh raksasa peliharaanya.

Sementara itu tanpa disadari makhluk-makhluk yang bertarung dengan Nyai Jambrong dan Kang Jawir mulai berkurang sedikit demi sedikit. Ada sosok yang menghabisinya dalam wujud roh.

“Bocah-bocah itu sudah kembali,”

Senyum Nyai Jambrong yang menyadari kilatan-kilatan putih yang terlihat di sekitar dirinya.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close