Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ALAS SEWU LELEMBUT (Part 8 END) - Bagian Akhir


Seseorang melesat dengan cepat dan menghantamkan pukulan tepat di dagu raksasa peliharaan Genduk Ireng itu. Hanya dengan sekali pukulan sosok itupun terjatuh.
Orang itu berdiri dengan wajah penuh amarah sembari memperbaiki posisi sarungnya.

“Mas Cahyo!”

Guntur datang menghampirinya sementara Genduk Ireng meringis kesal saat ia terjatuh dari tubuh raksasa peliharaanya.

Sementara itu tanpa disadari makhluk-makhluk yang bertarung dengan Nyai Jambrong dan Kang Jawir mulai berkurang sedikit demi sedikit.

Ada sosok yang menghabisinya dalam wujud roh.

“Bocah-bocah itu sudah kembali,” Senyum Nyai Jambrong yang menyadari kilatan-kilatan putih yang terlihat di sekitar dirinya.

“Itu! Sukma Mas Danan!” Teriak Dirga yang menyadari Danan sedang menghadapi pengikut Genduk Ireng dengan kerisnya yang diliputi kilatan putih.

Melihat kejadian itu, Genduk Irengpun panik. Apalagi raksasa suruhanya tak berdaya melawan Cahyo, ia mencari kesempatan menyerang guntur dengan tombak pusakanya yang ia panjangkan dari dalam tanah.

Jagad menyadari siasat itu. Iapun mendorong guntur dan menangkap tombak yang muncul dari dalam tanah itu.

“Siapa yang kau bilang lemah?” ucap Jagad sembari mengalirkan kekuatan khusus yang mengalir di darahnya.

Prak!!!
Tombak kebanggan Genduk ireng patah dengan mudah. Jagad menggunakan kelebihan yang diturunkan dari garis ketutunanya.

Kekuatan salah satu trah Sambara, Sang penghancur pusaka.

“Ti...tidak!! Pusakaku! Aku bahkan belum menggunakan kekuatanya!!” Genduk Ireng kesal mengetahui pusakanya hancur begitu saja.

Namun ia tidak menyerah, ia mengambil sebuah cambuk yang lagi lagi sebuah pusaka keramat.

Ia mengayunkan beberapa kali untuk menyerang Jagad. Tapi tak lama cambuk itupun mengikis dan rusak setelah Jagad menangkapnya.

“Tidak! Tidak mungkin!! Pusaka ini kukumpulkan dengan susah payah!” teriak Genduk Ireng.

Iapun menahan untuk tidak menggunakan pusakanya yang lain dan memilih untuk menyuruh raksasa peliharaanya menghadapi Jagad. Tapi saat menoleh kesana, kepala raksasa itu sudah terpisah, dan sukmanya menguap berubah menjadi asap itu.

“Nggak! Nggak mungkin aku kalah!”

Ia tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Ia menoleh ke sisi Kang Jawir berharap setan-setan pengikutnya sudah berhasil menghabisi Nyai Jambrong dan Kang Jawir. Namun yang terjadi adalah sebaliknya.

Setan-setan itu menghilang satu persatu terlepas ikatanya dari Genduk Ireng.

Rasa kesalnya semakin menjadi-jadi saat menyadari posisinya tengah terpojok.

“Khik..khik.. setidaknya, mereka di bangunan itu akan mati!” teriak Genduk ireng yang memanggil pasukan demitnya lagi. Namun hanya muncul beberapa dari mereka.

Setidaknya menurutnya itu sudah cukup untuk membunuh Nyai Runtak, paklek dan, Mbah Jiwo yang tengah kelelahan.

Tapi sebelum setan itu mendekat, Nyai Runtak muncul di depan gubuk. Ia hanya mengetuk tongkatnya beberapa kali dan muncul berbagai sosok pocong, dan roh orang mati yang berkumpul di sekitar gubuk itu.
Setan-setan suruhan Genduk ireng yang kalah jumlahpun gentar. Mereka memilih untuk pergi tanpa mempedulikan perintah Genduk Ireng.

Merasa tak ada lagi harapan, Genduk Irengpun ikut berbalik dan melarikan diri dari gubuk itu.

“Sial! Awas saja! Kubalas kalian!!” Teriaknya sembari melarikan diri dengan terengah-engah dengan kekuatanya yang mulai habis..

Sayangnya, ia sudah berhadapan dengan Nyai Runtak.

Perlahan tapi pasti, matanya mengantuk dan semakin mengantuk.
Tanpa ia sadari, Iapun terjatuh tertidur dengan lelap di tengah jalan itu.

Seketika keadaan menjadi hening. Mereka tidak menyangka keadaan terdesak mereka bisa berubah seratus delapan puluh derajat dalam waktu cepat.

Mereka saling memandang mencoba memastikan situasi ini. Sampai tiba-tiba Danan keluar dari dalam Gubuk.

“Sudah selesai?” Tanya Danan.
Semua orang di tempat itu tersenyum melihat Danan kembali dengan tubuh yang utuh.

“Bukan selesai lagi, yang jualan udah pada bubar!” Teriak Cahyo melemparkan sarungnya pada Danan.

Pemandangan itu seketika membuat Guntur dan Dirga berkaca-kaca. Jagad menghampiri mereka, sementara Nyai Jambrong dan Kang Jawir menarik nafas lega.

“Paklek? Gimana kondisi paklek?” Tanya Jagad.
“Paklek dan Mbah Jiwo kelelahan, mereka harus beristirahat dulu. Mungkin sampai mereka tersadar, coba kita menggali informasi setan itu dulu,” Ucap Danan.

Mereka semua menatap ke arah Genduk Ireng yang masih terkapar di tanah.

Namun saat mereka hendak mendekat dan menangkap Genduk Ireng, tiba-tiba sesuatu terlihat mendekat dari atas langit.

Sebuah keris merah padam melesat dan terjatuh tepat di tubuh Genduk Ireng menusuk tepat di Jantungnya yang membuatnya sadar sesaat.

“Urrrrgghhh! Kurang ajar kau Mpu Jandrik!” ucap Genduk Ireng yang tersadar dengan mulutnya yang berdarah.

Ia bersiap mencabut keris itu, tapi tiba-tiba ada api menyala dari bilahnya dan membakar tubuh Genduk Ireng.

“Sial!! Sial!!!” Genduk Ireng Meronta-ronta sampai akhirnya tubuhnya terbakar habis oleh kekuatan keris itu.

Kejadian itu sontak membuat Danan yang yang lain bergidik ngeri.

Setelah Genduk Ireng hangus dengan sempurna, keris itu melayang memamerkan ujungnya seolah mengincar Danan dan yang lain.

Merekapun mempersiapkan diri berjaga-jaga dengan apa yang akan dilakukan keris itu.

Tapi keris itu melesat kembali ke dalam hutan meninggalkan mereka seolah hanya menyampaikan sebuah ancaman.

“Itu Keris Mpu Jandrik..” Jelas Kang Jawir.

“Iya udah tau,” balas Cahyo begitu saja.

Danan yang mendengar ucapan Cahyo melempar kembali sarung Cahyo ke wajahnya.

“Nggak usah bercanda! Lagi serius!” Tegur Danan.
“Lah nggak bercanda, orang tadi setan kuntet itu juga udah ngomong,” balas Cahyo.

Melihat kelakuan Cahyo, seketika rasa khawatir mereka menghilang. Kini mereka yakin bahwa kondisi Cahyo sudah pulih.
Kini mereka sudah siap untuk menuju lokasi ritual. Lokasi tempat Prabu Sudrokolo akan dibangkitkan.

***

API ALAS WETAN

(Sudut pandang Danan..)

Sekali lagi kekuatan Keris Sukmageni berhasil menyelamatkan nyawaku dan Cahyo. Niat kami untuk menyelamatkan paklek malah berbalik dengan paklek yang menyelamatkan kami lagi.

Aku mendengar cerita bahwa Mbah Jiwo mengaktifkan kekuatan Keris Sukmageni untuk memulihkan keadaan paklek yang sebenarnya jauh lebih parah dari kami.

Saat ini paklek dan Mbah Jiwo tengah beristirahat sembari mengumpulkan kembali tenaganya.

“Dirga, Guntur tidur aja, gantian Mas Danan sama Mas Cahyo yang jaga,” ucapku meminta mereka untuk beristirahat.

“Nggak papa mas, kami belum ngantuk kok,” balas Guntur.

“Iya belum ngantuk, tapi bentar lagi udah mau pagi. Jangan sampai besok kamu malah kecapekan,” tambah Cahyo.

Kami tahu, mereka bukanya tidak lelah. Tapi serangan Genduk ireng tadi membuat kami semua khawatir akan serangan lainya.

Baru saja Cahyo berbicara, mulai terlihat cahaya muncul dari ufuk timur. Tidak kami sangka pagi datang secepat ini.

“Masih jam segini kok sudah ada matahari aja?” ucap Dirga.

Guntur merasa ada yang aneh dari ucapan Dirga. Iapun mencari pohon tertinggi di sekitarnya dan memanjat setinggi yang ia bisa.

“Bukan! Itu bukan matahari! Itu api!” Teriak Guntur.

Cahyopun menyusul guntur dan memastikan arah cahaya itu.

“Benar, itu api! Api yang sama dengan yang membakar setan kuntet itu,” jelas Cahyo.

Kang Jawir yang tengah tertidurpun terbangun. Nyai Runtak yang menyadari itu juga keluar dari gubuk.

“Ritual sudah dilakukan,” ucap Nyai Runtak.
“Ternyata tanpa sugik, Genduk ireng, dan kita, ritual itu tetap bisa dilakukan,” ucap Kang Jawir.

Aku menyaksikan wajah Kang Jawir dan Nyai Runtak terlihat gelisah. Sepertinya mereka sangat sadar betapa mengerikanya bila ritual itu selesai.

“Apa kita harus kesana sekarang Kang?” Tanyaku.
“Ritual ini teh seharusnya berjalan selama tiga hari. Sebaiknya kita kesana dengan kondisi yang paling baik,” ucap Kang Jawir.

“Kita persiapkan semuanya, dan bersiap menghadapi kemungkinan terburuk,” tambah Nyai Runtak.
Aku menangkap perkataan itu sebagai tanda bahwa kami harus beristirahat dan mempersiapkan benar-benar fisik dan mental kami.

“Danan, Panjul.. bangun, makan dulu terus berangkat,”

Terdengar suara seseorang membangunkanku dan Cahyo. Aku menyadari suara itu dan segera memaksa mataku untuk terbuka.

“Paklek! Paklek sudah pulih?” tanyaku saat menyadari paklek sudah bisa beraktivitas.

Cahyo melirik sebentar dan kembali nyaman dengan sarungnya.

“Ya sudahlah Nan! Kita tebak-tebakan, gorenganya pasti udah habis duluan,” ucap Cahyo yang bukanya terbangun malah mengubah posisi tidurnya.

“Awas kowe Jul, ra kebagian iwak kowe!” (Awas kamu Jul! Nggak kebagian daging kamu!) Ancam Paklek sembari bergegas meninggalkan kami.
Mendengar ucapan itu, Panjul panik dan buru-buru terbangun menuju tempat aroma masakan yang tercium dari luar.

Sekali lagi aku menghela nafas melihat tingkah mereka berdua. Walau bertingkah begitu, sebenarnya Cahyolah yang paling khawatir dengan keadaan Paklek.

Hanya masakan sederhana, beberapa hewan hutan yang dibakar dan buah-buahan yang ditemukan di hutan.

Gubuk Nyai Runtak bahkan tidak menyimpan rempah atau bumbu masakan.
Kami memang tidak menuntut masakan apapun, tapi setidaknya masakan kali ini bisa mengisi perut kami untuk menghadapi Mpu Jandrik dan yang lainya.

Saat itu matahari sudah berada di atas kepala, namun suasana benar-benar seperi pagi buta dengan kabut yang sejak tadi semakin menebal.
Merasa takut keadaan akan semakin memburuk, kamipun memutuskan untuk berangkat tepat saat selesai makan.

Tapi saat hendak meninggalkan gubuk, tiba-tiba kabut terasa semakin tebal.

“Hati-hati! Kabut ini tidak wajar!” Peringatku pada yang lain.
“Semuanya! Mendekat jangan jauh-jauh!” Paklek tersadar bahwa tebalnya kabut ini bahkan membuat kami kesulitan melihat satu sama lain.

Kang Jawir memperhatikan sekelilingnya dengan hati-hati. Ia beberapa kali meraba pohon-pohon dan dendaunan dengan wajah gelisah.

“Sial maneh teh! Kita nggak bisa kemana-mana!” ucap Kang Jawir.

“Kabut ini benar-benar menutup alas wetan!”
Ucapan Kang Jawir seketika membuat kami panik. Paklek segera mengambil posisi duduk bersila dan melepaskan sukmanya dari raganya. Akupun melakukan hal serupa untuk mengecek keadaan dari atas hutan.

Dan benar.. seluruh hutan ditutup oleh kabut tebal. Hanya beberapa pucuk pohon tertinggi yang terlihat dari atas.
“Kabut ini menutupi seluruh hutan,” ucap paklek.
Cahyo mencoba menaiki pohon dan mencari kemungkinan mereka untuk pergi. Ia menajamkan telinga dan penciumanya.

“Kabut ghaib, aku bahkan tidak mencium dan mendengar suara hewan hutan. Kita terjebak!” ucap Cahyo.

Entah berapa kali paklek membacakan mantra dan doa untuk menghilangkan tabir ghaib. Tapi semua sia-sia.

Jagad menggunakan kemampuanya untuk melintasi alam lain, tapi yang terjadi di alam sana juga sama. Seluruh kabut menutupi hutan ini dari dua sisi.

Persiapan kami sia-sia, kami menduga kabut ini sudah dipersiapkan sejak keris Mpu Jandrik tadi menghabisi Genduk ireng.

Berjam-jam kami mencari cara untuk menghilangkan kabut ini, tapi semua sia-sia.
Di tengah kebingungan kami, samar-samar terlihat bayangan dari balik kabut.

Besar.. bayanganya begitu besar, mungkin hampir sebesar pohon yang tumbuh di hutan ini. Matanya menyala menembus kabut, dan ia mengarah ke arah kami.
“Raksasa lagi?” ucap Guntur.
“Hati-hati!” peringatku.

Walau sosok itu mendekat, entah mengapa aku tidak merasakan adanya ancaman. Lagipula makhluk itu berjalan dengan perlahan ke arah kami.

“Itu disana!”
Dari arah raksasa itu samar-samar aku mendengar suara yang tidak asing. Suara seorang perempuan.

“Nan, kayaknya aku nggak asing sama suaranya,” ucap Cahyo.
Akhirnya wujud raksasa itu terlihat menyeruak dari balik kabut. Sosok raksasa dengan wajah datar. Tubuhnya seperti batu yang keras dan menggendong sesuatu.

Ada dua orang yang berjalan di dekatnya, dari merekalah suara tadi berasal.

“Jul, aku nggak salah lihat?” Tanyaku.
“Mbuh nan, bisa jadi ini ilusi buatan Mpu Jandrik,” balas Cahyo.

Dua perempuan itu menemukanku dan segera berlari ke arahku.

“Mas Danan!” Teriaknya.

Itu.. Naya, di sebelahnya ada ibuku. Jelas aku tidak langsung mempercayainya. Gubuk ini ada di tengah hutan, dan mereka datang bersama dengan sosok raksasa.

“Naya? Nggak mungkin kamu Naya!” balasku.
Mendengar ucapanku, ibu mencubit pipiku dengan wajah kesal.

“Ati-ati nek ngomong, wis adoh-adoh tekan kene malah dingonokke,” (Hati-hati kalau ngomong, sudah jauh-jauh sampai sini malah digituin) Ucap ibu.

Jelas sekali itu adalah suara dan kebiasaan ibu.
“Ta..tapi? Gimana kalian bisa sampe sini?” Tanyaku.

“Iya Bude? Kenapa bisa ada disini?” Cahyo ikut penasaran. Sementara itu paklek juga mendekat ke arah kami.
“Sabar Mas, Naya juga tahu Mas Danan pasti bingung. Biar Naya ceritain,” ucap Naya.
Naya bercerita bahwa beberapa hari kebelakang ia mendapat mimpi mengenai bukit batu.

Mimpi yang seolah benar-benar nyata. Hal itu membuat Naya memutuskan untuk mendatangi bukit batu bersama Nyai Kirana Ibu Danan sekaligus menyekar Ayah Danan.
Dan hal yang tidak mereka sangka terjadi disana.

Dari kuburan pusaka Ayah Danan terlahir sosok yang mereka lihat saat ini.

“Naya menamainya Buto Kendil. Ia terus menggendong kendil besar di punggungnya.” Jelas Ibu.

Aku sangat tidak menyangka dengan kejadian ini.

Baiklah.. mungkin aku percaya bahwa ada sosok yang terlahir dari pusaka bapak, tapi apa alasan sampai mereka datang ke tempat berbahaya ini.

“Tapi kenapa kalian sampai ke tempat ini? Disini terlalu berbahaya,” tanyaku.
“Naya yang minta ke Ibu,” ucap Naya.

Ia bercerita bahwa dalam mimpinya ia ditemui oleh tiga orang. Seorang kakek tua, seorang pendekar, dan seseorang yang mirip dengan Danan tapi lebih berumur. Mereka mengatakan bahwa Buto kendil terlahir karena sebuah tujuan.

Satu yang Naya yakin, keberadaan Buto Kendil dibutuhkan oleh Danan dan yang lainya.
Paklek menatap sosok raksasa yang hanya terdiam tanpa sepatah katapun itu. Tak ada komunikasi diantara mereka, namun tiba-tiba Paklek tersenyum dan tertawa melihat sosok itu.

Tahu apa yang terjadi setelahnya?
Buto kendil ikut tertawa merespon ekspresi Paklek. Tawa itu membuatku merasa dekat denganya. Setelah beberapa lama aku menyadari bahwa senyumnya itu sangat mirip dengan senyum Buto Lireng.
“Jadi kamu buto kendil? Salam kenal ya,” ucapku.

Buto kendil hanya tertawa ringan menyambut ucapanku. Sepertinya ia memang sosok yang baru terlahir dan belum mengenal bahasa.
Buto Kendil menurunkan kendil di punggungnya seolah meminta kami untuk masuk ke dalamnya.

Setelahnya ia menatap ke arah kami melihat api yang menyala di alas wetan.
“Maksudnya kami diminta masuk ke sini?” tanyaku.
Naya mengangguk, “Kami bisa sampai ke tempat ini juga dengan cara itu,”
Aku menoleh kepada Cahyo dan yang lain.

Apa mungkin ini adalah jalan untuk kami sampai ke tempat ritual?

“Aku ikut,” ucap Cahyo yang mendekat ke arah buto kendil seolah memperkenalkan diri.
“Iya, sepertinya aman..” ucap Guntur.
Melihat yang lain tidak keberatan, akupun setuju untuk menumpang pada Buto Kendil.

Tapi sepertinya ada sedikit perubahan rencana.
“Guntur, Dirga.. apa kalian bisa tinggal di Gubuk ini? harus ada yang yang menjaga Naya dan Ibu,” ucapku pada mereka.
“Dirga sih nggak keberatan, tapi apa disana Mas Danan nggak kesulitan?” Tanya Dirga.

“Mas Danan akan lebih kesulitan bila tidak yakin bahwa Naya dan Ibu tidak dalam keadaan aman,” jelasku.
Mendengar penjelasanku Dirga dan Guntur terlihat setuju. Saat itu Jagad juga mengatakan bahwa ia akan menyusul setelah lukanya pulih.

Bila kami sudah bisa mengatasi kabut ini, ia akan segera menyusul melalui jalur ghaib.
“Guntur, Kang Jawir nitip Nyai Runtak juga ya. Jangan sampai dia kenapa-kenapa,” pinta Kang Jawir.
“Tenang, serahkan sama guntur!” ucapnya sombong.

“Khekhkeh.. kalau kita selamat, Kang Jawir janji akan ngajarin satu jurus hebat buat kamu,” ucap Kang Jawir.
Mendengar perkataan itu tiba-tiba sandal jepit lusuh menghantam kepala Kang Jawir.
“Itu muridku! Jangan macam-macam!” Peringat Nyai Jambrong.

Tingkah laku mereka cukup membuat kami terhibur, bahkan Buto Kendil ikut tertawa dengan suaranya yang berat. Entah mengapa sepertinya tawa buto kendil akan menjadi salah satu suara favoritku.

***

PANGGON DEMIT

Dengan bantuan Buto Kendil kami menerobos kabut hutan menuju arah yang kami sendiri tidak mengerti. Entah bagaimana Buto Kendil bisa yakin dengan arah yang ditujunya.
Tak sedikit ranting-ranting pohon berjatuhan dan beberapa pohon tumbang akibat Buto Kendil.

Walau begitu, kami tahu ia sudah sebisa mungkin berusaha untuk memilih jalur yang aman.

Dengan bantuan Buto Kendil, tak membutuhkan waktu lama sampai kami mencapai sebuah tempat yang dipenuhi bebatuan besar.

Saat mencapai tempat itu, Buto Kendil yang penuh tawa kini memasang muka seramnya dengan nafas yang menderu.
Langkah Buto Kendil terhenti saat ada sesuatu yang melayang ke arahnya.

Ia tidak sempat menghindar namun dengan sigap ia menangkap benda besar yang membuat buto kendil terhenti itu.
Tubuh Buto kendil bergetar, ia baru menyadari benda yang ia tangkap adalah kepala. Kepala bangsa buto seperti dirinya.

“Itu yang akan terjadi padamu,”
Terdengar suara dari dalam susunan batu dan api yang digunakan untuk ritual.
Kami semuapun memilih untuk turun dan mencoba membaca situasi.

“Tidak usah khawatir, setelah ini biar menjadi urusan kami,” ucapku mencoba menenangkan Buto Kendil.

Kang Jawir yang baru saja turun tiba-tiba gemetar dengan pemandangan di hadapanya.
“Kita terlambat, Prabu Sudrokolo sudah bangkit dan menuju kesini,” ucap Kang Jawir dengan tubuh yang bergetar.

Api menyala begitu besar dari tengah hutan yang saat ini menyerupai alun-alun ghaib itu. Ada beberapa bekas bangunan disana. Sesuatu yang membuatku tidak tahu alasan apa yang membuat seseorang tinggal di tempat seperti ini.

Seolah menyambut kami, ratusan kepala manusia terlempar di udara dan jatuh ke sekitar kami. Itu semua ulah dedemit berwujud aneh yang menikmati mayat manusia di sekitar tempat itu.

“Setan-setan itu bukan dari jaman ini,” ucap paklek.

Belum sempat menanggapi, tiba-tiba kabut hutan tersibak dengan tetesan darah yang menghujani kami semua.

“Sudah kubilang, kau akan memohon-mohon untuk menjadi budakku!” terdengar suara Nyai Rasmono yang muncul dengan wujud yang sangat berbeda.

Ia datang dengan hanya menutupi tubuhnya dengan kain hitam yang membuat semua mata kami terbelalak.

Nafasku menderu seolah ingin sedekat mungkin dengan Nyai Rasmono.

Tapi kecantikan Nyai Rasmono seketika dinodai dengan sebuah tendangan dari nenek tua yang melompat dan mendarat di wajahnya.
“Khekhekeh… tidak mungkin Kang Jawir takhluk padamu. Nyai Runtak masih jauh lebih cantik darimu!” Ledek Nyai Jambrong.

Mendengar ucapan itu Kang Jawir semakin meneguhkan hatinya. Ilmu kanuraganya membuatnya tidak terpengaruh oleh sihir Nyai Rasmono.

“Jangan samakan aku dengan nenek cacat itu!” umat Nyai Rasmono.

Buuggggh!!!

Sebuah tendangan kembali menghajar Nyai Rasmono. Kali ini serangan itu berasal dari Kang Jawir dengan wajah penuh amarah.

“Siapa yang kau bilang nenek cacat?!” Teriak Kang Jawir. Sudah jelas ia sangat marah dengan hinaan Nyai Rasmono.

“Semua, jangan menoleh ke arah setan perempuan itu. kita serahkan mereka berdua pada Nyai Jambrong dan Kang Jawir,” perintah paklek.
Kamipun berlari maju dan sosok yang pernah gagal kami kalahkan sudah di hadapan kami.

Ia berjalan dengan bungkuk tetap dengan bagian tubuh mayat yang ada di tanganya.
“Ki Among Mayit..” Cahyo terhenti melihat sosok itu. Jelas saja ia gentar, serangan kami bahkan tidak bisa menyentuhnya.

Tapi sebelum terjadi pertarungan diantara kami, tiba-tiba sebuah api besar menyala membakar sosok makhluk bungkuk itu.
“Aararrrgghh!! Kau? Kau masih hidup?” Teriak Ki Among Mayit.
“Hidup atau mati, aku tidak akan menjadi setan seperti kalian!” Balas Paklek.

Aku dan Cahyo cukup lega saat mengetahui ilmu geni baraloka paklek bisa bekerja melawan Ki Among Mayit. Sepertinya Kami bisa terus berlari menghadapi sosok yang paling mengerikan diantara mereka.

Mpu Jandrik…
Berbeda dari terakhir kami melihatnya.

Mpu Jandrik seperti sudah sepenuhnya menjadi setan. Saat ini ia memilik empat tangan yang tetap menggenggam keris berwarna merah padam. Wajahnya rusak menyisakan taring yang panjang di mulutnya. Matanya terbelalak tanpa ada kelopak mata lagi yang menutupinya.

Di belakangnya sudah ada pasukan setan aneh yang siap untuk berperang.
Dalam hitungan detik, wajah mengerikan Mpu Gandrik sudah ada di hadapanku bersama dua tanganya menahan tanganku.

Aku tak mampu melawan sementara kedua tangan mpu gandrik yang lainya menggeggam keris dan bersiap menusukkanya ke kepalaku.

“Danan!” Cahyo melompat ke arahku, namun ia terpental dengan sosok tak tak bisa ia temui wujudnya.

Aku terjatuh dengan tangan Mpu Jandrik yang belum menusukkan kerisnya kepadaku. Sesuatu menahanya dari belakang.
“Menyingkir!” Teriak Mbah Jiwo yang menggunakan pusaka cemetinya untuk menahan tangan Mpu Jandrik. Jelas aku tahu, itu bukan cemeti biasa.

Aku memutar tubuhku dan berusaha melepaskan diri. Mpu Jandrik berganti mengincar Mbah Jiwo yang menyegel tanganya. Tapi seranganya seketika ditahan oleh sosok makhluk berkepala kerbau.
“Ki Mahesa Ombo.. “

Pertarungan sengitpun terjadi. Cahyo berusaha menghadapi serangan-serangan tak kasat mata hanya mengandalkan firasatnya. Sayangnya masih banyak serangan yang mendarat di dirinya.
Tak mau mengambil resiko, akupun segera memanggil Nyi Sendang Rangu untuk ikut dalam pertarungan ini.

Mantra leluhurpun kubacakan dengan Keris Ragasukma kuletakan di hadapanku.
Jagad lelembut boten nduwe wujud
Kulo nimbali
Surga loka surga khayangan
Ketuh mulih sampun nampani
Tekan Asa Tekan Sedanten…

Tetesan hujan darah berganti dengan hujan Nyi Sendang Rangu. Tidak lagi hadir dengan wujud anggun, Nyi Sendang rangu segera melesat menuju Mpu Jandrik dan mencengkram wajahnya.
Aku yakin Nyi Sendang Rangu sudah merasakan kengerian dari bencana ini.

“Aaaarrrgggh!!” Mpu Jandrik terlihat kesakitan.
Nyi Sendang Rangu mengutuknya dengan wujud yang mengerikan. Namun itu tidak lama sampai Nyi Sendang Rangu terpental dengan sosok-sosok tak kasat mata yang menghantamnya.
“Nyi!!” Teriakku mencoba menghampirinya.

Tidak pernah aku melihat Nyi Sendang Rangu terluka semudah ini.
“Danan, gunakan wewangian Ki Langsamana,” perintah Nyi Sendang Rangu.
Benar, aku memiliki benda itu. Benda yang dipinjamkan gama untuk keadaan seperti ini.

Akupun membuka botol kecil yang kusimpan di sakuku hingga aroma rempah yang menyengat tercium menyatu dengan hujan nyi sendang rangu.
Cahyo mundur mendekat kearahku saat menyadari perubahan yang terjadi di sekitarnya.

“Bagus Nan, wujud mereka mulai terlihat..” ucap Cahyo.
Aku mengatur nafasku sambil menyaksikan kemunculan orang-orang yang sebelumnya tak terlihat dan menyerang kami. Mereka adalah pengikut Nyai Rasmono yang kesetanan.
“Nyi, Apa mereka masih manusia?” Tanyaku.

Nyi sendang rangu menggeleng. “Jiwa mereka sudah menjadi setan seperti apa yang mereka puja.”

Di tempat ini sulit bagi Nyi Sendang Rangu untuk mewujudkan wajah ayunya. Dosa makhluk-makhluk yang berada di sekitarnya membuat wajahnya mencerminkan keburukan mereka.

“Urus saja Mpu Jangkrik sialan itu! makhluk-makhluk bodoh ini biar aku yang membereskan,” ucap Cahyo yang segera memanggil wujud roh Wanasura.

Danan setuju dan Mengajak Nyi Sendang Rangu menghadapi Mpu Jandrik lagi. Sama sekali tidak bisa diremehkan.

Aku bersama Nyi Sendang Rangu dan Mbah Jiwo bersama Ki Mahesa Ombo benar-benar kewalahan melawan Mpu Jandrik.
Belum ada satupun pertanda dari pertarungan kami yang menunjukkan tanda-tanda akan selesai, sementara langit semakin gelap dan api di sekitar tempat ini menyala dengan semakin membara.

“Graaorrr!!” Amukan Wanasura melumat makhluk-makhluk jelmaan pengikut setan-setan itu. Tapi anehnya tidak ada satupun dari mereka yang benar-benar mati.

Nyai Rasmono yang kami kira akan kalah dengan mudah oleh Nyai Jambrongpun masih melawan. Bahkan kain hitamnya sudah melilit ke pepohonan seolah menjebak Kang Jawir dan Nyai Jambrong.
Aku khawatir.. sepertinya ada sesuatu yang tidak kami ketahui.

Benar saja, tepat saat malam mencapai pekatnya. Mpu Jandrik melompat menjauh dari kami semua dan berdiri di sebuah bekas bangunan batu besar di dekat altar.
“Mundur!” Perintah Mpu Jandrik entah pada siapa.

Tapi beberapa saat kemudian, Ki Among Mayit dan Nyai Rasmono mundur dan berpindah ke sebelah Mpu Jandrik.
Kami semua bingung dengan apa yang mereka lakukan, namun aku merasa yakin bahwa akan terjadi hal yang berbahaya setelah melihat tingkah laku Buto Kendil yang ketakutan setengah mati.

“Hati-hati! Berkumpul!” Teriak Paklek.
Benar saja, Api membakar tanah tempat kami berpijak.

Panasnya hampir tak tertahan dan membuat kami sulit bernafas. Bahkan hujan Nyi Sendang rangu tak lagi mampu mengimbangi panasnya api ini.
Saat kami merasa api ini akan menjemput ajal kami, tiba-tiba semua menjadi gelap.

Aku sempat mengira bahwa aku kehilangan kesadaran, namun saat mendengar suara yang lain aku menyadari kami terselamatkan oleh sesuatu.
Suara panas api menderu bahkan terdengar dari tempat kami. Namun tak sedikitpun panas api itu mencapai kami.

“Nyi Sendang Rangu, kita ada dimana?” Tanyaku yang juga mencari keberadaan dirinya di dalam gelap.
“Temanmu menyelamatkan kami, kita berada di dalam kendinya,” ucap nyi sendang rangu.

Tu..tunggu? Jadi Buto Kendil menyelamatkan kami? lalu apa yang terjadi dengan buto kendil?
Saat suara bara api mulai menghilang, Nyi Sendang Rangu mencari tahu keadaan di luar dan memberi tanda bahwa api itu sudah menghilang.

Benar saja, saat kami keluar seluruh tempat ini menjadi hitam dengan api yang membakarnya. Hanya tersisa ketiga setan busuk itu yang berdiri dengan aman di salah satu batu. Masih ada api di sekitar mereka yang seharusnya tak lama lagi akan padam.

“Buto Kendil?” Cahyo menoleh ke arah sosok yang menyelamatkan kami.
Keadaanya mengenaskan..
Tubuhnya menghitam hangus sembari meringkuk memeluk kendi yang melindungi kami tadi. Jantungku berdegup, aku tidak menyangka ia sampai berkorban seperti ini untuk kami.

“Buto Kendil…” aku berusaha mencoba mencapai wajahnya.
Namun saat aku menaikinya tiba-tiba ia terbangun dan berdiri.
“Buto Kendil? Kamu masih hidup?” Tanyaku yang hampir terjatuh karena kehilangan keseimbangan.
Ia melihat ke arah bahu dan tubuhnya.

Semuanya menghitam, namun sepertinya tidak ada luka pada dirinya. Ia malah tertawa sembari memukul dadanya dengan lengan kirinya.
“Tunggu! Wajah Buto itu, sepertinya tidak asing?” Tanya Nyi Sendang Rangu.

“Haha.. rupanya Nyi Sendang Rangu merasakan hal yang sama. Mungkin kita bisa menyebutnya titisan Buto Lireng,” balasku.
Nyi Sendang Rangu segera melayang dan menyentuh dahi buto kendil.

“Buto lireng datang dan menjaga bukit batu, sedangkan dia adalah roh bukit batu itu sendiri.
Wajar ia sekuat itu, Terpaan matahari, badai, petir selama ribuat tahun sudah ia rasakan.” Jelas Nyi Sendang Rangu berusaha mencari tahu tentang Buto Kendil.

Kami mendengar penjelasan itu dengan kagum. Sepertinya Bapak bersemayam di tempat yang tepat.

“Sepertinya ada yang mau kau berikan untuk Danan?” ucap Nyi Sendang Rangu.
Mendengar ucapan itu buto kendil mencoba merogoh kendil yang melindungi kami tadi. Sepertinya kendil itu punya ruang sendiri yang tidak kami mengerti.
Sebuah kotak batu kecil ia berikan padaku.

Ukuranya hanya seujung jari buto kendil. akupun menerima dan membukanya. Ada tiga buah permata kecil di dalamnya.

“Apa ini?” Tanyaku.

Paklek dan Mbah Jiwo menghampiriku mencoba mencari tahu benda apa yang kuterima. Ia menyentuh dan menerawangnya.

“Tunjukkan Keris Ragasukmamu” ucap Mbah Jiwo.

Aku mengeluarkan Keris Ragasukma dan menunjukkanya pada Mbah Jiwo. Ia menunjukkan jarinya pada sebuah ukiran yang berujung pada tiga cekungan berwarna emas.

“Mungkin ketiga permata ini adalah bagian dari keris ini,” ucap Mbah Jiwo.

Iapun memintaku untuk memasang ketiga permata itu di Keris Ragasukma. Akupun menurutinya dan memasang ketiga batu berwarna merah, biru, dan hijau itu.

Seketika Keris Ragasukma bersinar sesaat. Aku merasakan ada kekuatan yang menyatu dengan Keris Ragasukma.

“Sepertinya ada kekuatan besar yang merasuk. Tapi aku yakin bukan itu saja guna permata itu,” ucapku.
“Lebih baik cari tahu tentang pusakamu nanti. Api itu mulai padam dan ketiga setan itu sudah kelaparan mau mengunyah kita,” ucap Nyai Jambrong mengingatkan kami.

Benar saja.. Mpu Jandrik, Ki Among Mayit, dan Kanjeng Nyai Rasmono terlihat berbeda. Matanya hanya tertuju pada kami tanpa berkedip sedikitpun.

“Sembah aku..”
Seketika terdengar suara dari dalam tanah. Makhluk berwujud manusia besar memanjat dari dalam tanah yang terbakar.

Tubuhnya menghitam bekas nyala api dengan pakaian mirip raja-raja jaman dulu.
Kekuatan mengerikan datang bersamanya. Ada makhluk makhluk dari dalam tanah mencoba keluar mengikutinya.
“Panggon demit.. alam ini akan dikuasai oleh mereka,” ucap Kang Jawir.

Mendengar itu aku menoleh ke arah Cahyo. Sepertinya ia memang menunggu aba-abaku.
“Jul! Jangan menahan diri!” Teriakku.
Aku dan Paklek menaiki tubuh Wanasura bersama Cahyo. Dengan sekuat tenaga, Wanasura melempar tubuhku dengan sekuat tenaga ke arah Mpu Jandrik.

Api Geni Baraloka menyelimuti tubuhku dan kilatan cahaya menyelimuti Keris Ragasukma.

Trangg!!

Kerisku beradu dengan keras dengan keris Mpu Jandrik. Walau bisa menahanya, ia terpental dengan tenaga wanasura yang melontarkanku.

“Hanya segitu?” ucap Mpu Jandrik sembari menyeringai. Seranganku sama sekali tidak melukainya.
Tapi aku juga tersenyum.

Aarrrrggh!!!!

Suara teriakan terdengar bersama jatuhnya sosok pria bertubuh bungkuk dari batu itu. Senyum Mpu Jandrik seketika menghilang begitu saja.

“Tidak mungkin! Tidak mungkin kau bisa menyentuhku!” Teriak Ki Among Mayit.
Aku menunjukkan tubuhku yang masih terbakar geni baraloka. Ilmu api paklek yang bisa membakar Ki Among Mayit tadi.

Kerisku menancap begitu saja di tubuh Ki Among Mayit dengan api geni baraloka yang menyelimutinya. Menyadari hal itu Paklek yang juga sudah tiba juga membakar Keris Sukmageninya dan menebas Ki Among Mayit dengan bilah hitamnya.

“Sakitt!!! Sakitt!!” Teriak Ki Among Mayit.

“Sakit itu tidak cukup untuk menggantikan penderitaan warga desa,” ucap Cahyo.
Melihat hal itu, Nyai Rasmono mendekat dan bersiap melilitkan selendangnya pada kami. Namun Nyi Sendang Rangu sudah bersiap menghadangnya dengan raut wajah yang menjijikkan.

Wajahnya meleleh seperti lilin hitam.
“Minggir kau makhluk menjikikkan!” Teriak Nyai Rasmono.
“Jangan mengelak! Ini adalah wujud dosa-dosamu!” Balas Nyi Sendang Rangu.
Iapun menangkap selendang hitam Nyai Rasmono, menariknya dan menjatuhkanya ke tanah.

Di Bawah, Kang Jawir dan Nyai Jambrong sudah bersiap dengan jurus yang menghantam Nyai Rasmono.

“Bodoh! Ilmu kalian tidak akan berguna!” Teriak Nyai Rasmono yang sepertinya memang tidak merasakan dampak dari jurus itu.

Tapi ia tidak sadar, tanganya sudah terikat oleh tasbih yang selama ini selalu terikat di tangan Nyai Jambrong. Ia mencoba melepasnya tapi selalu gagal.

Selama tasbih itu terikat serangan Kang Jawir dan Nyai Jambrong berhasil melumpuhkan Nyai Rasmono.

Kekuatan hitamnya menghilang perlahan dampak dari tasbih yang mengikatnya.
Paklek membaca sebuah mantra, sementara Nyi Sendang Rangu menyentuh wajah Nyai Rasmono.

“AAArrrgg Sakittt!!!” Teriakan itu keluar bersamaan dari mulut Ki Among Mayit dan Nyai Rasmiono.

Api hitam membakar Ki Among Mayit hingga tubuhnya habis terbakar, sementara kutukan nyi sendang rangu menyiksa pikiran Nyai Rasmono hingga ia tak lagi bisa merasakan apapun.

Melihat hal itu Mpu Jandrik kesal, ia mundur ke arah Prabu Sudrokolo yang sudah berdiri di hadapan kami semua.
“Makhluh rendah! Berani-beraninya kalian melawan!” ucap sosok bernama Prabu Sudrokolo itu.

Mendengar itu Cahyo maju bersama wanasura.

“Sejak diciptakan, Manusia adalah makhluk paling mulia. Tidak pantas direndahkan oleh kalian!” Teriak Cahyo.
Prabu Sudrokolo melihat sekitarnya dan tidak mendapati pengikut-pengikutnya berada di tempat ini.
“Mana yang lain? Mana Gandara Baruwa?” Tanya Prabu Sudrokolo.

“Mati! Semua pengikutmu sudah menjadi bahan bakar untuk kebangkitanmu! Dan Gandara Baruwa sudah mati oleh mereka” Ucap Mpu Jandrik.
Wajah Prabu Sudokolo terlihat geram. Sepertinya ia tidak menyangka kebangkitanya akan disambut dengan hal seperti ini.

Sepertinya kematian Gandara baruwa membuatnya cukup kaget.
“Kalau begitu biar mereka, makhluk dari alamku yang mengisi tanah ini” Ucap Prabu Sudrokolo bersama kemunculan manusia-manusia hitam bermata merah yang merayap dari tempat kemunculanya.
“I...itu? Itu apa?” tanya Cahyo.

“Setan! Setan yang tidak memiliki hak di bumi dan terus menolak kematian. Panggon demit adalah ritual untuk menjadikan tanah ini tempat untuk mereka,” Jelas Kang Jawir.
Kami semua terpaksa menghadapi makhluk itu dan mengembalikanya ke dalam lubang, namun semakin banyak dari mereka yang datang ke alam ini.

Aku yakin mereka tidak akan berhenti sampai kami mengalahkan Prabu Sudrokolo. Akupun memberi isyarat pada Paklek dan Cahyo untuk menyerang iblis itu.

“Kembali ke alammu setan brengsek!” Teriak Cahyo yang membacakan ajian penguat raga ke tubuh wanasura dan menghajar Prabu Sudrokolo.
Tapi itu sia-sia..
Sama seperti melawan gandara baruwa, serangan kami sama sekali tidak membuatnya bergerak sedikitpun.

Sebaliknya, Mpu Jandrik kembali menyerang kami dengan kekuatan yang berlipat.
Aku dan paklek kewalahan menahan serangan dari kerisnya yang terbakar dengan api yang begitu panas.
Cahyo terpental begitu jauh hanya dengan sedikit gerakan Prabu Sudrokolo.

Aku dan Paklekpun mulai terpojok. Sementara yang lain tidak mampu membendung setan-setan yang keluar dari dalam tanah itu.
“Paklek ini gimana?!” Tanyaku bingung.
“Kalau paklek tahu kita tidak akan terdesak begini,” balas paklek.

Tak lama kemudian aku dan paklek terhempas dengan pukulan dari dua tangan lain dari Mpu Jandrik. Pukulanya begitu kuat hingga darah segar bermuncratan dari mulut kami.
Sialnya, Mpu Jandrik tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dan melompat untuk menghunuskan kerisnya ke wajahku.

Dengan sekuat tenaga, aku menangkis seranganya dan menahan keris itu mencapai wajahku.

“Paklek to...long!”ucapku.

Paklek berusaha untuk berdiri, tapi sepertikanya luka yang ia derita juga cukup parah. Ujung keris merah padam itu menyentuh pipiku dan mulai membakar.

Tapi saat tenagaku mulai habis aku mendengar sebuah suara yang memberiku sedikit harapan.

Cring!!!

Itu suara gelang gengge! Tapi tidak mungkin. Kami terlalu jauh dari mereka.

Graaaorrrr!!!
Sebelum keris Mpu Jandrik menembus wajahku.

Makhluk hitam besar menerjangnya dan mengusir Mpu Jandrik dari atasku.

“Itu! Meong hideung?” Ucapku tak percaya.
Aku menoleh ke arah makhluk itu datang dan Terlihat gama yang tengah berlari menghampirku.

“Maaf Danan, kami terlambat,” ucapnya sembari menjulurkan tangan membantuku berdiri.
“Ta...tapi?” aku meraih tanganya sembari bingung dengan bagaimana ia bisa sampai ke tempat ini.
Tak lama setelah kedatangan Gama, Jagad muncul dari dalam kabut dengan terengah-engah.

Sepertinya tenaganya benar-benar habis.
“Mas Jagad yang menjemput kami,” jelas Gama.

Aku melihat dari jauh saat tubuh Cahyo ditarik oleh seseoang berambut panjang menyelamatkanya dari pukulan Prabu Sudrokolo.

“Budi juga disini?” Tanyaku.

Gama mengangguk dan memastikan kondisi tubuhku.

“Kupikir titisan wewe gombel adalah masalah terbesar yang pernah ada, sekarang aku tersadar bahwa dunia ini begitu luas. Banyak hal yang tidak bisa dijelaskan dengan nalar,” ucap Gama.

“Haha.. kalau begitu sekarang kuperkenalkan, Prabu Sudrokolo. Makhluk yang kembali dari neraka,” balasku.

Api besar membara dari tubuh Mpu Jandrik membuat meong hideung kembali menjauh. Tapi satu yang aku tahu, Mpu Jandrik Gentar dengan keberadaan hewan besar itu.

Sayangnya Mpu Jandrik tahu bahwa Gama adalah empu dari meong hideung. Diam-diam ia mencari celah memutari pepohonan dan menyerang Gama.

Belum sempat aku menahan serangan itu, tiba-tiba seseorang menghajar Mpu Jandrik dengan keras.

“Jangan sentuh Gama!” Ucap Budi yang dengan sigap melindungi Gama.

Tak Jauh dari dirinya terlihat Cahyo yang terjatuh setelah diselamatkan oleh Budi.

“Mamang Gondrong! Kalau nolongin yang niat! Jangan dilempar begitu saja!” teriak Cahyo.
“Berisik!” Balas Budi dengan singkat.

Melihat kedatangan mereka sepertinya aku mendapatkan harapan untuk menyelesaikan pertarungan ini.

“Budi, bisa bantu mereka tolong urus makhluk bertangan empat itu?” ucap Gama.

Budi mengangguk. Sementara itu paklek telah selesai memulihkan dirinya dan memberi isyarat pada Cahyo.

“Kalau begitu biar aku yang menemani Mamang gondrong!” balas Cahyo.

Setelahnya aku dan Gama berlari menuju Prabu Sudrokolo yang sudah berniat menghabisi Nyai Jambrong dan yang lain.

Tidak kusangka, walaupun tidak bisa melukai Prabu Sudrokolo, Nyai Jambrong masih bisa mengalihkan semua serangan iblis itu walau dengan susah payah.

“Wanasura!! Kerahkan semua kekuatanmu!” Teriak Cahyo yang memberi isyarat pada wanasura untuk kembali ke tubuhnya.

Bersama dengan itu tiba-tiba kliwon muncul dari pepohonan dan melompat menyentuh tangan kanan Budi. Aku tahu, saat itu Kliwon tengah meminjamkan kekuatanya pada Budi.

“Jangan menahan diri, Geni Baraloka akan memulihkan setiap luka kalian!” Ucap Paklek.

Dua pukulan keras menghantam Mpu Jandrik yang membuatnya terpental. Ia membakar dirinya dan menyerang Budi dan Cahyo, tapi mereka tidak gentar. Tidak ada satupun luka yang bertahan lama dengan geni baraloka yang menyelimuti mereka.

Dengan kelincahan mereka, semua serangan keris Mpu Jandrik dapat mereka hindari. Cahyopun menghimpun tenaga pada kakinya dan mendendan Mpu Jandrik hingga terpental.

Tapi belum sempat tendangan itu mementalkanya, Budi menangkap tangan Mpu Jandrik dan menariknya hingga terputus.

“Aaaarrrrghh!!! Manusia brengsek!!!” Mpu Jandrik kesakitan.
Budipun tidak mau melewatkan kesempatan itu. Ia melempar kembali tangan itu kepada Mpu Jandrik dan mengincar bagian tubuh lain.

“Heh!! Jangan sadis-sadis!” Teriak Cahyo yang melihat Budi tengah gagal memisahkan kepala Mpu Jandrik, dan hanya mendapatkan segenggam rambutnya.

“Berisik! Kalau tidak suka pergi saja bertarung sama monyet!” Balas Budi yang kembali menghindari keris Mpu Jandrik dan menusukkan kukunya di bahu bekas lengan yang terputus itu.
“Aarrrrgh!!” Mpu Jandrik benar-benar kesakitan.

Cahyopun menggunakan kesempatan itu untuk sekali lagi menghantamkan pukulanya di wajah makhluk itu dan membuatnya tersungkur di tanah.
“Nggak mau, monyet alas wetan serem-serem,” balas Cahyo pada umpatan Budi.
Budi mendengar itu sembari melihat ke arah Kliwon.

“Benar juga,” Balasnya singkat.
Melihat Mpu Jandrik Mulai terdesak, Paklek ikut bergabung dalam pertarungan dengan menahan kersi Mpu Jandrik.
Budi kembali memutuskan satu tangan milik Mpu Jandrik tanpa ampun. Sementara Cahyo menangkap kepala Mpu Jandrik dari belakang.

Api hitam membara bersama mantra yang dibacakan paklek dari luka yang ia sayatkan di tubuh Mpu Jandrik.
“Tolong! Prabu!! Tolong!!” Teriak Mpu Jandrik.
Teriakan itu semakin keras saat keempat tanganya sudah terlepas dari tubuhnya. Paklek mundur tak terbiasa dengan pemandangan itu.

Tapi teriakan Mpu Jandrik berhenti tepat saat tangan Cahyo meremas kepala Mpu Jandrik dan memecahkan isi kepalanya.

Krakkk!!!

Bola mata makhluk itu keluar dari tempatnya bersama darah yang mengalir dari setiap lubang di wajahnya.

Budi yang melihat itu menatap pada Cahyo, “Kau bilang aku sadis?”
Raungan meong hideung terdengar ke seluruh hutan berusaha menghindar dari cakaran Prabu Sudrokolo yang tidak kalah menyeramkan dari cakarnya.

Nyi Sendang Rangu mencoba memberikan kutukan pada Prabu Sudrokolo namun semua itu tak berarti.
“Kutukan mana yang lebih menyakitkan dari neraka?” Tantang Prabu Sudrokolo.
Kedua makhluk seperti meong hideung dan Nyi sendang rangu tak mampu melukai Prabu Sudrokolo.

Lantas apa yang harus kami lakukan untuk mengalahkanya?
“Tenang Danan, pasti ada cara untuk mengalahkanya,” ucap Gama.
Aku mencoba menenangkan diri mencoba mengamati situasi.

“Permata itu Danan!” Teriak Mbah Jiwo yang sedang sibuk bersama Kang Jawir dan Nyai Jambrong mengusir setan-setan hitam kembali ke dalam lubang.
Benar juga, aku belum menggunakan kekuatan dari permata yang diberikan oleh Buto Kendil.

Mungkin aku harus mencoba membaca mantra yang diturunkan oleh leluhurku sekali lagi.
Jagad lelembut boten nduwe wujud
Kulo nimbali
Surga loka surga khayangan
Ketuh mulih sampun nampani
Tekan Asa Tekan Sedanten…

Nyi Sendang Rangu terlihat aneh saat aku mengucapkan mantra itu sekali lagi. Ia menghampiriku mencari tahu apa yang terjadi.
Namun sebuah permata berwarna biru menyala. Aku merasakan sebuah kekuatan besar mengalir kedalam tubuhku.

“Danan! Hentikan! Ini tidak benar!” peringat Nyi Sendang Rangu.
Kuku di tanganku semakin tajam dengan taring yang mulai memanjang. Berbeda dengan saat bersatu dengan eyang widarpa dulu, kini pikiranku pudar seolah sesuatu mencoba mengendalikanku.

“Hahahha!! Akhirnya kau mencoba menjadi salah satu dari kami!” Teriak Prabu Sudrokolo.
Nyai Jambrong ikut mendekat, ia merasakan kekuatan yang meluap dari tubuhku.
“Ini kekuatan Jagad segoro demit!” Ucap Nyai Jambrong.

Apa? Jagad segoro demit? Bagaimana mungkin Keris Ragasukma menyimpan kekuatan seperti ini.
Nyi Sendang Rangu menurunkan hujanya semakin deras. Aku pernah mendengar ia pernah meredakan eyang widarpa yang mengamuk dengan hujanya. Tapi kali ini sepertinya tidak berdampak banyak.

Aku ingin mengamuk sejadi-jadinya entah kepada siapa aku akan mencengramkan cakar ini. Tapi sebelum itu terjadi tiba-tiba terdengar suara yang membuatku sadar sepenuhnya.

Cring!!! Cringg!!

Itu suara gelang Gengge Gama. Ia membunyikan gelang itu sembari bersimpuh membacakan doa. Entah mengapa aku seolah melihat seseorang yang berada di sekitarku. Seseorang yang berjalan dengan sorban putih menuju ke Prabu Sudrokolo. Setelahnya semua pandanganku menjadi putih.

“Sekarang Danan!” Ucap Gama.
Saat ini hanya keberadaan sosok berjubah putih itu dan suara Gama yang menjadi acuanku untuk melangkah. Seketika hanya Prabu Sudrokolo saja yang terlihat di hadapanku.

Akupun melompat setinggi-tingginya dan menghunuskan kerisku ke tubuh Prabu Sudrokolo. Berbeda dengan sebelumnya, kini kerisku mampu menembus tubuhnya dengan mudah.
“Tidak!! Tidak mungkin! Harusnya kesadaranmu sudah termakan oleh kekuatan itu!” Prabu Sudrokolo tidak percaya.

Ada suara meong hideung di dekatku, namun aku tidak melihatnya. Sepertinya ia juga menyerang Prabu Sudrokolo bersama Nyi Sendang Rangu. Mungkin penglihatanku saat ini adalah cara yang gama lakukan agar aku tidak termakan oleh kekuatan ini.

Aku harus menyelesaikan ini dengan cepat..
Dengan bentuk tubuh yang kumiliki sekarang, aku bisa dengan lincah menaiki tubuh Prabu Sudrokolo. Aku menancapkan Keris Rogosukmo ke tubuhnya berkali kali dan terkadang melampiaskan amarahku dengan menggigit telinganya hingga terputus.

Prabu Surdrokolo tidak diam saja, ia menangkap tubuhku dan membantingku sekuat tenaga hingga beberapa tulangku retak. Namun aku tidak merasakan sakit sedikitpun. Setelahnya aku kembali berdiri sekali lagi dan berusaha memisahkan kepala Prabu Sudrokolo dengan kerisku.

Persis seperti cara kami mengalahkan Gandara Baruwa.
Tapi rupanya itu tidak mudah. Walau begitu, entah mengapa aku memikirkan cara yang lebih dari itu.
Aku membacakan sebuah mantra pada Keris Ragasukma. Sebuah mantra yang membuat keris ini memancarakan kilatan putih.

Tidak seperti biasanya, kali ini Keris Ragasukma seolah memanjang dengan cahaya yang menyelimutinya.
“Danan! Wanasura dan Kliwon akan menahan kedua tanganya,” samar-samar aku mendengar suara Cahyo.

“Aku akan mencoba mengalihkan pikiranya,” kali ini suara nyi sendang rangu kembali terdengar.
Mendengar hal itu, akupun melesat mengincar jantung Prabu Sudrokolo. Tapi sebelum aku mendaratkan seranganku kesana, terlihat sosok meong hideung tak jauh di bawah kakiku.

Ia seolah ingin menunjukkan titik lain yang harus aku serang.
Aku mendarat di punggung meong hideung dan ia melemparkanku tepat ke arah Prabu Sudrokolo. Kini aku berada tepat di depan matanya.

“Aku tidak akan mati, setelah kalian tak mampu bergerak akan kulumat kalian semua,” ucap Prabu Sudrokolo.
“Anjing yang sudah terpojok hanya bisa menggonggong!” balasku yang segera menancapkan keris raga sukma ke dahinya.

Sembari menjatuhkan diri ke tanah, aku menarik Keris Ragasukma untuk terus memonong tubuhnya hingga terbelah menjadi dua.

Bruggggh!!!
Suara keras terdengar dari jatuhnya tubuh Prabu Sudrokolo. Aku tidak lagi melihat sosoknya.

Hanya warna putih di sekitarku dan suara ramai dari segala sisi.
Perasaan berkecamuk memenuhi pikiranku. Entah aku merasa bisa mengamuk kapan saja.

“Ini Ajian segoro demit..”
“Bagaimana menghentikanya?”
“Kalau sampai Danan mengamuk nyawa kita dalam bahaya”
“Paklek, Tolong Danan!”

Terdengar suara semua orang yang khawatir dengan sosokku saat ini. Aku merasa beruntung tidak bisa melihat mereka. Jika itu terjadi mungkin aku akan melukai mereka.
Tapi setelah cukup lama, perlahan suara itu semakin menghilang bersama bau wewangian yang kukenal.

Itu adalah wewangian yang kusimpan, kini aromanya begitu kuat bersama dengan alunan doa yang kutebak berasal dari Gama.

“Danan?”
Cahyo berada di hadapanku dengan wajah yang cemas.
Aku mencoba berdiri, tapi rasa sakit menjalar di seluruh tubuhku.

“Tenang dulu, biar paklek yang obati dulu,” ucap paklek.

Aku tersadar dengan sosok Prabu Sudrokolo yang tubuhnya terbelah menjadi dua. Tapi sayangnya aku masih merasakan bahaya dari tubuh itu.

“Cahyo hati-hati!” Peringatku.

Cahyo dan Budi berdiri tepat di hadapan Prabu Sudrokolo bersiap dengan apapun yang terjadi. Dan benar saja, asap hitam kembali muncul dari belahan tubuh Prabu Sudrokolo.
“Sudah kubilang, aku tidak bisa mati lagi!” ucap Prabu Sudrokolo yang mulai memulihkan dirinya lagi.

Cahyo menelan ludah, akupun tidak tahu harus berbuat apa setelah ini.
Tapi.. setelah beberapa lama, tubuh Prabu Sudrokolo tidak lagi menyatu. Kami sempat heran dengan hal itu. Namun hal itu terjawab dengan sosok yang terlihat melayang diatas kami semua.

Sosok perempuan dengan rambut berantakan dan wajah kurus mengerikan.
“Nyai Kunti?” aku menebak sosok itu.
Aku menoleh ke arah Mas Jagad dan memang tidak melihat dia di tempatnya lagi.

Saat aku mencari ke sisi lain, terlihat tak jauh dari posisi Gama ia sedang bersama dengan Mas Linggar dan Mas Linus. Kali ini wajah Mas Jagad terlihat pucat. Sepertinya ia terlalu memaksakan diri.

“Kembalikan mereka ke dalam lubang! Aku akan mengunci mereka semua!” Ucap Mas Linus yang kesadaranya dikuasai oleh pusaka pisau batu.
Tanpa sempat bertegur sapa, Cahyo segera melibas setan-setan hitam itu kembali ke lubangnya.

“Tidak! Tidak mungkin aku kalah dari setan rendah sepertimu!” Umpat Prabu Sudrokolo sembari menatap nyai kunti dengan kesal.
Nyai Kunti tidak membalasnya ia malah melayang meninggalkan Prabu Sudrokolo yang terkena kutukanya dan mendekat ke arah gama.

“Jadi ini keturunan ulama pengembara itu?” ucap Nyai Kunti.

Gama menelan ludah melihat sosok nyai kunti di hadapanya. Budi yang khawatir ingin segera menyusul, tapi Cahyo menahanya.

“Katakan padanya, Terima kasih…” Ucap Nyai Kunti yang perlahan menghilang begitu saja.

Meong hideung menerjang tubuh Prabu Sudrokolo hingga kembali ke dalam lubang. Api besar kembali membara saat tubuh itu jatuh kedalamnya.

“Tidak!! Aku tidak mau kembali ke tempat itu!!” Teriaknya.

Namun Linus segera berlari menuju batu altar dan menancapkan pusaka pisau batu itu disana.

“Tidak! Jangaaan!!!”

Perlahan tanah disekitarnya mulai bergerak menutup lubang itu. bebatuan ikut berjatuhan seolah menjadi batas perbedaan antara kedua alam ini.

“Apa sudah selesai?” tanya Cahyo.
Hujan Nyi Sendang Rangu mulai berhenti. Kliwon kembali ke wujud keranya dan wanasura kembali ke tubuh Cahyo. Hal itu seolah memberi jawaban atas pertanyaan Cahyo.

“Paklek, apa kejadian tadi menandakan Nyai Kunti sudah tenang?” Tanya Mas Linggar.

Paklek menghela nafas, sepertinya Ia tidak bisa menjawab pertanyaan itu.

“Maaf, saya tidak tahu. Tapi satu yang pasti, ia sudah tidak terikat dengan keluarga Sasena. Doakan saja dia ya,” balas paklek.

Jangan sampai ledekanmu ngebuat kamu lupa sama nama aslinya,” tergurku.
Cahyopun berbalik sembari merangkulku.

“Haha.. nggak mungkinlah aku lupa sama namanya. Seorang pendekar gila yang terlahir di hutan pasundan. Jalu Kertarajasa…

-TAMAT-

EPILOG
Udara pagi di desa kandimaya tidak pernah gagal membuatku tenang menikmatinya. Terlebih, sebelum aku terbangun sudah ada Naya yang datang lebih dulu dan memasakkan sarapan pagi untukku.

“Bangun Mas Danan, mandi terus sarapan,” Ucap Naya sembari mengetuk pintu kamarku.

Dengan wajah yang masih berantakan akupun masuk ke dapur dan mengambil piring.
“Heh! Muka masih penuh iler begitu mau langsung makan,” tegur ibu.
“Bu, anak ibu ini tetep ganteng walau belum mandi.

Udah ikhlasin aja anakmu ini menikmati masakan Naya untuk menyempurnakan harinya,” ucapku mencari alasan.

“Sudah pinter ngomong ya sekarang,” ucap ibu sembari menggeleng.

Naya tertawa geli melihat kelakuanku. Ia mengambilkan segelas teh panas dan menghantarkanya kepadaku.

Sungguh aku ingin terus melihat tawa itu di setiap pagiku.
Saat tubuhku mulai pulih, akupun pergi ke atas bukit batu untuk mengunjungi makam bapak bersama naya. Sepertinya walaupun bapak sudah tiada, ia masih menginggalkan beberapa hal yang ternyata bisa menyelamatkan nyawaku.

Seperti kemunculan Buto Kendil misalnya.
Entah sedang dimana sosok itu saat ini. Yang aku tahu ia tidak akan jauh dari bukit batu tempatnya berasal. Dan aku membayangkan, saat ini ia pasti masih asik memainkan kendi yang tak pernah lepas dari dirinya.

Langitpun mulai memerah, aku menikmatinya hanya berdua bersama Naya sembari memandang Desa Kandimaya dari ketinggian.

“Ibu hebat ya..” ucap Naya tiba-tiba.
“Hebat gimana?” Balasku.
“Hebat, bisa sekuat itu menahan rasa khawatir.

Padahal anaknya sedang bertaruh nyawa, dulu juga almarhum bapak pasti juga sama,” ucap Naya polos.

“Iya, Ibu memang hebat. Tapi aku tahu saat aku berhadapan dengan demit, ia tengah berjuang berhadapan dengan kekhawatiranya dan tak pernah henti mengucap namaku dalam doanya.

Siapa yang tahu, jangan-jangan hal yang selama ini menyelamatkan Mas berasal dari doa ibu yang dikabulkan,” jelasku.

“Iya mas, Naya juga akan berusaha setegar ibu,” balasnya sembari meletakkan kepalanya di bahuku.

Kata-katanya sangat singkat, tapi begitu mengiris hati. Semoga saja akan ada waktunya aku sudah memiliki pendapatan yang cukup dan bisa hidup dengan layak bersama Naya dan ibu.

Kebahagiaan mereka adalah salah satu tujuan hidupku saat ini.

Itu janji yang kuucapkan dalam hati di sebelah naya di atas bukit batu ini.
Malam ini begitu hening, rasa nyaman menyelimutiku untuk bisa tidur dengan tenang. Aku yakin ini adalah mimpi, namun entah mengapa aku merasa ini begitu nyata.

Aku tengah berada di atas sebuah bukit yang ku kenal. Sebuah bukit tempat aku sempat bertemu dengan Gama.
Aku melihat sekitar dan menemukan Gama berada tak jauh dari tempatku berada. Kami saling bertatapan seolah mempertanyakan kejadian ini.

Tapi… kebingungan kami mendadak menghilang saat menoleh ke arah yang sama.

Ada seseorang di sana…

Seseorang yang kucari dan sudah membantuku berkali-kali.
Seorang pria tua yang menggunakan gamis putih dan sorban di kepalanya.

Gama tersenyum melihatnya, hal itu seolah memastikan bahwa yang kami lihat benar adanya. Sosok itu menoleh kearah kami dan tersenyum.
Singkat memang, tapi kejadian itu seolah sangat berarti untuk kami.

Iapun melangkah pergi meninggalkan kami. Entah untuk kembali ketempatnya, atau malah melanjutkan perjalananya.

Tiba-tiba mataku terbuka. Akupun terbangun dengan perasaan yang begitu tenang. Kini pencarianku sudah selesai. Aku telah melihat wajahnya.

Dialah roh seorang ulama yang semasa hidupnya telah berkeliling tanah ini untuk memberi pertolongan.

Ki Langsamana…

SELESAI

Terima kasih sudah mengikuti cerita ini hingga selesai. mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.
close