Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SENDANG RATU (Part 1)

"May! Maya!"

Andri mendekati tepian sendang sambil memanggil-manggil. Dari situ, dia masih bisa melihat tubuh Maya yang terbenam di dalam air. Tapi gadis itu tak bergerak. Dia bagai membatu di dalam sana.

Andri jadi khawatir. Ini ada yang tak beres. Dia hendak menyusul Maya masuk ke dalam air, namun belum sempat apa-apa, tiba-tiba kepala Maya sudah kembali muncul ke permukaan.

Andri terkesiap! Yang dia lihat bukan Maya!


Mimpi buruk yang berulang membawa Maya kembali ke kampung halamannya. Namun tanpa dia sadari, ada sesuatu yang telah menunggunya di sana.

Sesuatu yang akan membawanya pada sebuah pilihan. Kemuliaan atau kematian?

SENDANG RATU Bagian 1

AAAAAH !

Maya terbangun dari tidurnya. Nafasnya tersengal-sengal. Dadanya naik turun. Keringat dingin membasahi keningnya hingga mengembun.

Ada apa ini? Sudah beberapa hari tidurnya memberi mimpi yang sama. Mimpi dirinya yang tenggelam hingga membuatnya tercekat bagai kehabisan napas.

Sejenak dia duduk terdiam di atas kasur. Semua kini jadi beban pikiran. Padahal dia masih berduka ditinggal ibunya yang wafat sebulan yang lalu menyusul bapaknya yang lebih dulu mangkat waktu dia masih kecil.

Kini pikirannya coba menyuguhkan berbagai macam penjelasan tentang mimpinya itu. Mulai dari yang paling masuk akal, sampai yang paling ngawur sekalipun.

Dan dari semua itu, ada satu hal yang justru paling menjurus. Apa jangan-jangan semua ini ada hubungannya dengan peristiwa yang pernah dialaminya waktu dia masih kecil?

Maya masih ingat, betapa dirinya pernah nyaris tewas tenggelam di Sendang Ratu, sebuah kolam mata air yang ada di kampung halamannya.

Kejadian itu hingga kini masih menimbulkan tanda tanya. Bagaimana bisa dia yang sedang bermain di tepian sendang, tiba-tiba saja sudah ada di dasar kolam? Seandainya saja waktu itu tak ada nenek, mungkin dia sudah tewas tenggelam.

Tapi kini seberapa pun keras dia mencoba, tetap tak bisa menemukan benang merahnya. Semua hanya sekedar asumsi liar. Kepalanya malah jadi pusing memikirkannya.

Kriiing... Kriiing...

Ponsel Maya berdering buyarkan lamunan. Ada nama Andri yang muncul pada layar.

"Halo May, kamu jadi pulang kampung?" Tanya Andri di sebrang sana.

"Nggak tau Ndri. Masih ragu. Masih pikir-pikir dulu."

"Lho? Ini sudah hampir sebulan ibumu wafat. Nenekmu di kampung berhak tau. Kamu kan nggak bisa hubungi beliau? Jadi kamu yang harus datang ke sana."

"Iya. Tapi ibu dulu selalu wanti-wanti jangan sampai aku pulang ke sana lagi. Nggak tau kenapa."

"Aku ngerti. Tapi biar bagaimana pun, nenekmu berhak tau. Ibumu itu kan anaknya nenek? Masa anaknya meninggal nenekmu malah nggak tau?"

"Liat nanti aja deh Ndri. Udah dulu ya? Aku mau mandi." Ujar Maya lalu menutup sambungan telponnya.

Maya kembali merenung. Tapi kini pikirannya melayang pada kampung halamannya. Tak terlalu banyak yang bisa dia ingat. Hanya sedikit yang bisa dia kenang.

Meski dia lahir dan menghabiskan masa kecilnya di sana, namun dia langsung dibawa ibunya pergi tak lama setelah bapaknya wafat. Jadi tak terlalu banyak peristiwa yang bisa mengisi memori ingatannya.

Namun hingga kini dia masih tak mengerti, mengapa ibunya tak pernah mau kembali ke sana hingga akhir hayatnya? Padahal di sana masih ada nenek.

Ibunya pernah bilang kalau dia amat trauma dengan kematian bapak yang terjadi secara tiba-tiba. Dan itu jadi satu-satunya alasan yang selalu dia kumandangkan yang membuatnya enggan untuk pulang.

Kembali pada ucapan Andri tadi. Maya pikir kekasihnya itu ada benarnya. Neneknya di kampung berhak tau kalau ibu sudah meninggal. Meskipun ibu melarang keras untuk pulang, namun kali ini jadi satu pengecualian.

Maya mengangguk yakin. Dia sampai pada satu keputusan. Suka tak suka, mau tak mau, dia harus pulang…

***

"Bener ini jalannya May?" Tanya Andri di balik stir mobil sambil memicingkan mata coba memaksakan pandangan menembus jalan gelap.

"Iya. Memang banyak yang berubah. Tapi aku masih inget kok. Ini benar jalannya." Jawab Maya sambil memastikan peta gps pada ponselnya.

Akhirnya mereka tiba di depan sebuah gapura. Sejenak mereka berhenti. Maya menatap nanar jalan tanah menanjak di balik gapura. Jalan menuju desa tanah kelahirannya.

Hhhh... Hhhh... Hhhh...

Napas Andri mendadak tersengal-sengal. Dadanya kembang kempis. Udara malam pegunungan yang dingin tanpa ampun langsung membuat penyakit asmanya kambuh.

"Kamu nggak apa-apa Ndri?" Tanya Maya dengan wajah khawatir.

Andri cuma menggeleng. Lalu cepat-cepat mengambil inhaler mungil yang selalu ada dalam tasnya.

Csssst... Csssst...

Ahh.....

Andri bernapas lega. Sebentar menyandarkan kepalanya pada kursi mobil. "Aku nggak apa-apa May. Maklum deh. Udara begini memang jadi musuh utamaku."

"Harusnya kamu nggak usah ikut. Aku takut kamu kenapa-napa." Balas Maya.

"Trus? Aku harus over thinking mikirin kamu yang sendirian ke sini gitu? Ya nggak lah!"

Maya tersenyum. Andri begitu baik dan perhatian. Bahkan kadang sampai mengabaikan dirinya sendiri. Hal itu lah yang menjadi salah satu alasan mengapa Maya jatuh hati pada pemuda ini.

"Ini tempatnya?" Tanya Andri yang kini nampak lebih baik.

"Iya. Itu gapuranya. Gila ya? Udah bertahun-tahun, bentuknya masih gitu-gitu aja. Jadul banget!" Balas Maya.

"Kok rada nyeremin ya?" Andri menimpali entah serius atau bercanda.

Maya cuma tersenyum sambil mengangkat bahu. Tapi dia maklum. Andri yang lahir dan besar di kota, pasti tak terbiasa dengan suasana sunyi seperti ini.

Mobil pun kembali melaju. Bergerak pelan menembus jalan kampung yang remang diterangi cahaya lampu alakadarnya.

Hingga akhirnya mereka kembali berhenti di sebuah pelataran rumah yang cukup luas.

"Ini rumah nenekmu May? Gede juga ya?" Andri berdecak kagum sambil memandangi rumah besar dan area sekelilingnya.

Maya tak menjawab. Entah mengapa dadanya malah jadi berdebar-debar. Apa yang harus dia katakan pada neneknya?

Telah lama dia dan ibunya pergi. Lalu kini tiba-tiba dia datang dengan membawa kabar duka. Tak terbayangkan bagaimana reaksi neneknya.

Andri turun dari mobil. Sebentar membenarkan rambutnya yang sedikit berantakan. Maya pun ikut turun. Tapi ketika dia baru melangkahkan satu kaki, mendadak terdengar suara aneh yang berbisik lirih di telinganya.

Wis wayahe.... (Sudah waktunya)

Maya seketika menghentikan langkah. Menautkan alis sambil pasang telinga. Andri pun heran melihat tingkah Maya yang tak biasa.

"Kenapa?" Tanya pemuda itu sambil mendekat.

"Nggak, nggak apa-apa." Jawab Maya sambil gelengkan kepala. Dia pikir telinganya cuma salah dengar.

Maya pun lanjut melangkah. Namun kembali berhenti saat melihat pintu rumah perlahan terbuka, lalu muncul seorang wanita berkebaya yang lantas berdiri mematung sambil menatap tajam ke arahnya.

"Nenek..."

Maya bergumam lirih lalu melirik Andri yang tersenyum sopan ke arah wanita itu. Keduanya pun mendekat. Sang nenek diam menunggu. Wajahnya kaku tanpa ekspresi. Matanya menatap dingin ke arah Maya yang terus melangkah menghampiri.

"Nek..."

Maya memanggil singkat. Bukannya tak sopan, tapi dia begitu terkesima. Wajah nenek sedikit pun tak berubah. Wanita itu bagai tak menua. Sosoknya masih sama persis seperti terakhir kali Maya mengingatnya.

Nenek tersenyum. Tapi bagi Maya lebih mirip sebuah seringai. Andri melangkah maju lalu meraih jemari nenek lantas menciumnya. Kemudian dia melirik Maya seakan memberi kode agar kekasihnya itu juga melakukan hal yang sama.

Maya pun tergugah. Sosok nenek begitu berkharisma hingga membuatnya sesaat jadi terpukau. Lalu dia pun cepat meraih jemari nenek lantas menciumnya.

"Apa kabarmu May? Sudah lama ya?" Ucap sang nenek tanpa bergeming dari tempatnya berdiri.

"Iya nek. Maaf kalau Maya baru bisa pulang. Soalnya...

Sang nenek mengangkat tangan memotong ucapan Maya. "Sudah. Tak perlu kamu katakan. Nenek paham kenapa kamu tak mau pulang. Yang penting sekarang kamu sudah ada di sini."

Maya terdiam. Neneknya masih seperti dulu. Wanita itu bagai punya sinyal rasa yang kuat hingga membuatnya seolah jadi segala tau. Lalu nenek melirik ke arah Andri.

"Kamu siapa?"

Andri tersenyum sembari membalas sesopan mungkin. "Saya Andri nek. Temannya Maya."

"Kamu sakit ya?"

Andri terkejut. Maya juga. Andri jadi gugup tak tau harus menjawab apa. Tapi Maya coba bantu Andri untuk memberikan jawaban.

"Iya nek. Dia sakit asma. Sudah sejak kecil. Malah tadi sempat kumat. Tapi sekarang dia nggak apa-apa."

Nenek memandangi Andri dari atas kepala sampai ujung kaki. Lalu wanita itu manggut-manggut. Entah apa yang ada dalam benaknya.

Andri dan Maya saling lempar pandang. Tak ada kata yang terucap antar keduanya. Mereka tak mengerti mengapa nenek bersikap seperti itu.

Nenek mengajak mereka masuk lalu mempersilahkan keduanya duduk. Maya begitu canggung. Dia bersikap tak ubahnya tamu biasa. Padahal dia lahir di sini. Namun kini dia merasa segalanya begitu asing.

"Apa yang hendak kamu sampaikan hingga membuatmu datang kemari?" Tanya nenek tiba-tiba.

Maya kembali kagum. Nenek memang luar biasa. Bagaimana bisa dia menebak dengan tepat? Sejak tadi tak henti-hentinya nenek terus memberi kejutan.

Sejenak Maya melirik ke arah Andri. Gadis itu seolah butuh dikuatkan agar berani untuk bicara. Andri paham. Pemuda itu pun mengangguk pelan.

"Ibu nek. Ibu meninggal sebulan yang lalu. Maaf kalau Maya baru bisa kasih kabar. Maya nggak tau bagaimana caranya hubungi nenek. Makanya Maya datang kemari."

Nenek seketika menundukkan wajah sambil meremas-remas jemarinya. Matanya yang sejak tadi dingin kini mulai berkaca-kaca. Namun dia seperti coba sembunyikan perasaannya.

"Andai saja ibumu mau dengar ucapanku dan tak pergi dari sini, mungkin saat ini dia masih hidup." Ucap nenek lirih dengan suara yang sedikit bergetar.

Maya pun iba. Meskipun dia tau neneknya punya hati sekeras batu, namun wanita itu tetaplah seorang ibu. Wajah nenek yang jadi sendu menjelaskan kesedihannya yang tak terungkap.

"Ya sudah. Semua sudah terjadi. Sekarang tinggal kamu dan nenek. Nenek tak berharap kamu mau kembali menetap di sini. Tapi setidaknya kamu bersedia tinggal beberapa hari. Bagaimana pun juga, ini adalah rumahmu." Ucap nenek.

Maya membisu. Permintaan nenek terdengar tulus dan wajar. Lagi pula harus dia akui, ada sedikit rindu yang terselip dalam hati. Rindu pada teman-teman masa kecilnya, rindu pada hijaunya daun dan rerumputan, dan yang paling aneh, rindu pada jernihnya air Sendang Ratu.

"Iya nek. Rencananya memang Maya mau tinggal beberapa hari. Sekalian Maya mau ziarah ke makam bapak." Jawab Maya yang langsung melirik Andri demi melihat respon pemuda itu.

Andri sepertinya tak keberatan. Semua memang sesuai dugaan Maya. Bagaimana mungkin pemuda sebaik Andri menolak permintaan seorang nenek pada cucunya? Malah bisa-bisa dia marah kalau Maya menolak.

Akhirnya Maya dan Andri dipersilahkan untuk istirahat. Keduanya tidur di kamar yang terpisah. Maya menempati bekas kamarnya dulu, sedangkan Andri dipersilahkan tidur di kamar yang lain.

***

Maya terbangun kala matahari sudah meninggi. Rasa lelah membuatnya tidur begitu nyenyak, sesuatu yang mulai sulit dia dapatkan sejak dia mengalami mimpi anehnya.

Dia bangkit dari tempat tidur lalu melangkah keluar kamar. Di situ dia sedikit kaget ketika melihat Andri yang sedang duduk berbincang-bincang dengan nenek.

"Eh, tuan putri sudah bangun." Canda Andri sambil tertawa. Wajahnya nampak sumringah.

"Lebih baik kamu langsung mandi lalu sarapan. Katanya kamu mau ziarah ke makam bapakmu?" Kata nenek.

Maya mengangguk mengiyakan. Dia pun berbalik meninggalkan Andri dan nenek yang terdengar kembali berbincang dengan akrab.

Maya sempat heran, bagaimana Andri dan nenek bisa seakrab itu? Dia tau persis bagaimana neneknya. Wanita itu seperti es yang dingin. Tak mudah bagi orang untuk mencairkan hatinya.

Tapi lantas Maya maklum. Andri pemuda yang supel. Dia dengan mudahnya bisa langsung akrab pada siapa saja.

Wawasannya yang luas membuatnya mampu bicara tentang segala hal. Mungkin itu yang membuat Andri bisa mengambil hati nenek dalam waktu singkat.

Selesai mandi dan sarapan, Maya dan Andri pamit untuk ziarah ke makam bapak. Sang nenek melepas kepergian mereka dengan tatapan misterius sambil berdiri di teras rumah.

"Makamnya jauh May?" Tanya Andri dalam langkahnya meniti jalan setapak.

"Lumayan. Ada di kaki gunung sana. Ini yakin kamu mau ikut? Jalannya rada nanjak. Aku takut asmamu kumat lagi."

"Lah? Kok bingung? Kan ada ini!" Sanggah Andri sambil menunjukkan inhalernya.

Maya cuma bisa nyengir. Sebenarnya dia kasihan pada Andri. Pemuda itu bagai tergantung pada alat mungilnya.

Namun Andri menganggap penyakitnya itu angin lalu. Sepertinya dia tak sudi orang lain kasihan padanya. Dia tak mau orang-orang jadi bersikap baik hanya karena merasa iba.

"Kok kamu tadi bisa langsung ngobrol akrab sama nenek? Asal kamu tau, nggak sembarang orang bisa begitu." Tanya Maya di sela-sela langkahnya.

"Nggak tau juga May. Tadi sehabis aku mandi, nenek tiba-tiba panggil aku. Dia tanya-tanya tentang aku dan keluargaku, juga tentang penyakitku. Ya aku jawab apa adanya."

"Lalu apa kata nenek?"

"Nggak banyak. Tapi nenek sempat bilang kalau penyakitku itu bisa saja sembuh seandainya orang tuaku masih ada. Aku nggak ngerti apa maksudnya. Tapi waktu aku tanya, nenek malah cuma senyum."

Sesaat Maya jadi heran mendengar hal itu. Apa maksud nenek bilang begitu? Apa hubungannya penyakit Andri dengan kedua orang tuanya yang telah wafat?

Tapi Maya tak mau terlalu memikirkannya dan terus melangkah menyusuri jalan setapak yang kian menanjak.

Tak lama mereka berpapasan dengan seorang lelaki tua berbadan tegap yang sedang memikul dua buah keranjang besar berisi batang-batang singkong.

"Pak Gimin?"

"Eh, ini kan Maya ya? Ya ampun May! Kamu kemana saja? Sudah besar kamu ya? Gimana kabar ibumu?" Sahut pak Gimin, tetangga dekat rumah neneknya.

"Ibu sudah meninggal sebulan yang lalu. Makanya saya datang kemari untuk mengabari nenek."

"Innalillahi.. Ibumu meninggal? Kok bisa?" Tanya pak Gimin yang langsung membuat Maya sedikit heran hingga menggerutu dalam hati.

..."Kok bisa? Pertanyaan macam apa?"...

"Ya bisa lah pak. Namanya juga manusia. Ibu sakit kanker. Sebenarnya sudah lama. Minta doanya saja pak." Jawab Maya sedikit ketus.

Pak Gimin seperti menyadari kekeliruannya. Dia pun coba memperbaiki kesalahannya.

"Maaf May. Maksud bapak tadi, ibumu itu kan sepertinya sehat wal afiat. Dia jarang sakit. Makanya bapak jadi kaget. Maaf ya."

"Nggak apa-apa pak. Nggak perlu sampai minta maaf segala." Sahut Maya coba memaklumi.

Pak Gimin tersenyum canggung. Rasa bersalahnya belum sepenuhnya hilang. Tapi Maya tak mau berlarut-larut. Dia pun coba untuk alihkan pembicaraan.

"Tiwi apa kabarnya pak?" Ucap Maya menanyakan kabar Tiwi anak pak Gimin, salah satu teman masa kecilnya.

Dia baik-baik saja May. Dia pasti senang kalau tau kamu ada di sini. Ini kamu mau ke mana?"

"Mau ke makam bapak." Jawab Maya.

"Oh gitu. Ya sudah, silahkan lanjut. Saya mau ke ladang dulu." Ucap pak Gimin sambil membenarkan keranjang yang dipikulnya.

Maya mengangguk pelan. Pak Gimin pun pamit pergi. Maya terus memandangi lelaki itu hingga menghilang di kejauhan. Andri yang sejak tadi diam jadi sedikit heran melihat hal itu.

"Kenapa May?"

"Ah, nggak. Nggak apa-apa." Maya sengaja berbohong. Padahal dalam hatinya kini penuh tanya.

Bagaimana mungkin Pak Gimin yang dulu dia kenal sebagai lelaki tua yang sakit-sakitan, kini terlihat begitu sehat dan gagah? Padahal hampir 16 tahun lamanya mereka tak bersua.

Maya pun melanjutkan langkahnya dengan pikiran yang jadi bercabang. Dia lebih banyak diam. Andri yang berjalan di sampingnya tak berani mengusik. Dia pikir hati Maya sedang haru karena akan mengunjungi makam bapaknya.

Kini keduanya telah sampai di sebuah area pemakaman yang sunyi dan teduh dinaungi pohon-pohon kamboja. Namun tempat itu terlihat kotor dengan banyaknya daun-daun kering yang berserakan di mana-mana.

Maya dan Andri berjalan hati-hati melewati sejumlah makam yang nampak terbengkalai dan tak terawat.

"Makam-makam yang itu kok seperti nggak keurus ya May?" Tanya Andri sambil menunjuk beberapa makam.

"Iya. Aku juga heran. Padahal dulu nggak begini." Sahut Maya menimpali.

Lalu langkah mereka terhenti di dekat sebuah makam. Maya tertegun. Hatinya miris. Itu makam bapaknya. Tapi kondisinya sungguh memprihatinkan.

Tanahnya amblas. Nisannya miring. Rumput liar tumbuh menutupi hingga makamnya nyaris tak terlihat. Sungguh jauh dari harapannya. Apa nenek tidak pernah mengurusnya? Dia jadi sedikit malu pada Andri.

Lalu mata Maya tertuju pada beberapa makam lain di sekitarnya yang juga bernasib sama. Apa keluarganya tak ada yang peduli dengan makam sanak saudaranya sendiri? Keterlaluan..

Tapi Maya coba abaikan barang sejenak. Dia lantas dibantu Andri membersihkan makam bapaknya lalu keduanya pun sejenak khidmat berdoa.

Setelah beberapa saat, mereka pun usai berdoa. Andri langsung bertanya apa rencana Maya selanjutnya.

"Habis ini kamu mau apa?"

"Aku mau ke Sendang Ratu."

"Hah? Serius? Kamu nggak salah?"

"Memangnya kenapa?"

"Mmm.. Maaf ya May. Tapi bukannya kamu pernah tenggelam di sana? Memangnya kamu nggak trauma?"

"Nggak lah. Kejadiannya kan sudah lama. Memang dulu aku sempat trauma. Tapi sekarang sudah move on."

Andri tak sepenuhnya percaya. Bagaimana mungkin kejadian seperti itu bisa dilupakan? Tapi Andri tak mau protes. Di sini dia hanya mendampingi kekasihnya itu. Apapun yang bisa membuat Maya bahagia, akan dia turuti.

Lagipula dia juga penasaran. Seperti apa sih Sendang Ratu itu? Dia ingin melihatnya secara langsung. Selama ini dia hanya mendengar semuanya dari cerita Maya saja.

Lalu keduanya melangkah meniti jalan setapak yang makin menanjak. Melewati ladang-ladang dan sawah lalu masuk ke dalam sebuah hutan kecil.

"Masih jauh May?" Tanya Andri dengan napasnya yang kini terdengar satu-satu.

"Udah deket. Kenapa? Kamu nggak kuat? Kalau nggak kuat, nggak usah maksa. Kita balik aja. Kalau kamu semaput di sini, aku yang repot."

"Kata siapa? Ayo lanjut!"

Andri seketika menegakkan badannya. Dia paling anti diremehkan seperti itu. Kalimat 'nggak kuat' sudah sering dia dengar. Dia tak ingin kalimat menyebalkan itu jadi menjatuhkan mentalnya.

Akhirnya mereka lanjut terus masuk ke dalam hutan. Jajaran pepohonan yang kian rapat membuat suasananya jadi sedikit redup.

Dada Andri berdebar-debar. Entah mengapa bulu kuduknya jadi berdiri. Dia melirik Maya. Tapi gadis itu nampak melangkah dengan tenangnya.

***

Kini langkah mereka terhenti di satu tempat yang sedikit lapang, dimana ada sebuah kolam besar dengan air yang jernih dikelilingi bebatuan dan pohon-pohon besar.

Suasananya sunyi dan temaram. Sinar matahari seolah tak mampu menembusnya. Tempat ini terasa begitu sakral. Tak ada suara-suara. Hanya ada angin yang berhembus pelan menerpa pohon-pohon besar yang berdiri bagai penjaga.

"Ini tempatnya May?" Tanya Andri sambil bertolak pinggang.

Namun Maya tak menjawab. Gadis itu diam mematung menatap air sendang yang tenang dan jernih.

Andri jadi kasihan. Maya pasti sedang terkenang peristiwa yang pernah dialaminya. Meski Maya kerap mengingkari, tapi Andri yakin kejadian tragis itu masih menyisakan trauma yang membekas dalam dirinya.

Tapi mendadak Maya melangkah pelan menuju sendang lalu berhenti persis di tepinya. Sejenak dia berdiri di situ dengan tatapan mata yang kosong.

Andri tak mengerti. Sikap Maya sedikit tak wajar. Maya mau apa? Namun pemuda itu langsung tercengang ketika Maya tiba-tiba saja menceburkan dirinya masuk ke dalam air!

"May! Kamu mau ngapain?"

Maya tak menggubris. Gadis itu terus bergerak ke tengah sendang dengan tinggi air sebatas dada.

Sampai di tengah, sejenak Maya diam mematung. Lalu tanpa diduga-duga perlahan dia membenamkan dirinya masuk ke dalam air!

"May! Maya!" Andri mendekati tepi sendang sambil memanggil-manggil kebingungan. Dari situ, dia masih bisa melihat tubuh Maya yang terbenam di dalam air. Tapi gadis itu tak bergerak. Dia bagai membatu di dalam sana.

Andri jadi khawatir. Ini ada yang tak beres. Dia hendak menyusul Maya masuk ke dalam air, namun belum sempat apa-apa, tiba-tiba kepala Maya sudah kembali muncul ke permukaan.

Andri terkesiap! Yang dia lihat bukan Maya! Melainkan seorang wanita cantik dengan mahkota bak seorang ratu yang muncul keluar dari dalam air!

Andri tersurut mundur! Namun langkahnya jadi ceroboh hingga kakinya terantuk batu lalu jatuh tersungkur mencium tanah.

Sebentar pandangannya teralihkan. Tapi begitu dia kembali melihat ke depan, sudah ada Maya yang berdiri mematung di hadapannya dengan tubuh yang basah.

Andri mengucek-ngucek mata seolah meragukan pandangannya sendiri. Sebenarnya siapa yang dia lihat?

"Ma-Maya?" Tanya Andri terdengar ragu.

Mendengar suara Andri, Maya pun tergugah. Dia bagai kembali ke bumi. Dia langsung heran saat menyadari sekujur tubuhnya yang basah.

"May? kamu kenapa?" Tanya Andri.

Maya tak menjawab. Tubuhnya terasa dingin. Kepalanya mendadak pusing. Dunia seakan berputar cepat.

Lalu dia pun ambruk...

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya
close