Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SENDANG RATU (Part 2)

Dari balik pepohonan, Maya heran menyaksikan pemandangan aneh yang terpampang di hadapannya.

Di sana, nampak nenek sedang berendam persis di tengah sendang, sementara beberapa orang duduk bersila di sekeliling tepiannya.

Apa yang sedang mereka lakukan? Kenapa nenek berendam tengah malam buta begini? Lalu mau apa orang-orang itu?

Dan Maya makin heran saat melihat orang-orang itu satu-persatu bergantian masuk ke dalam kolam setelah sebelumnya menanggalkan pakaiannya...


SENDANG RATU Bagian 2

"May.. Maya...."

Maya membuka mata kala mendengar suara perempuan yang memanggil namanya. Di hadapannya kini ada Andri dan seorang gadis berkerudung. Wajahnya seperti tak asing.

Pelan-pelan Maya bangkit dari posisi rebah lalu duduk di atas rumput. Hawa dingin membuat tubuhnya yang basah spontan menggigil.

Andri cepat membuka jaketnya lalu menyelimuti tubuh Maya. Si gadis berkerudung terus memperhatikan Maya dengan wajah yang cemas.

"Aku kenapa?" Maya bertanya sambil bersedekap tangan kedinginan.

"Kamu tadi tiba-tiba masuk ke dalam air lalu pingsan. Aku panik langsung cari bantuan. Di tengah jalan aku ketemu sama Tiwi."

Andri sengaja tak menceritakan tentang wanita bermahkota yang sempat dilihatnya tadi. Dia tak ingin memancing polemik. Saat ini yang terpenting adalah keselamatan Maya.

"Tiwi? Kamu Tiwi?" Tanya Maya seolah tak percaya melihat penampilan Tiwi yang nampak berbeda dengan kerudungnya.

"Iya May. Tadi bapak cerita kalau dia ketemu kamu. Makanya aku langsung susul kamu ke makam. Tapi di sana kamu nggak ada. Lalu aku ketemu sama temanmu ini. Dia bilang kamu pingsan di sini." Jawab Tiwi.

Maya tertegun. Ingatannya kembali pada apa yang dilihatnya tadi. Wanita berpakaian bak seorang ratu yang melambaikan tangan memanggilnya. Apakah itu nyata? Tak ada kata yang bisa menjelaskan. Halusinasi? Bisa jadi.

Matanya melirik ke arah Sendang Ratu. Kolam itu nampak biasa. Tak ada yang aneh, tak ada yang berubah. Semua masih sama seperti dulu.

"Kamu kenapa May? Kenapa tiba-tiba kamu masuk ke dalam air?" Tanya Andri.

Maya menggeleng. Dia sendiri tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Dia ingin menceritakan tentang apa yang dilihatnya tadi, namun batinnya melarang. Dia tak ingin Andri jadi khawatir berlebihan.

"Nggak, nggak apa-apa. Mungkin tadi aku melamun sampai terbawa suasana. Ya sudah, nggak perlu dibahas. Kita pulang saja, aku kedinginan."

Maya lalu berdiri dibantu Andri. Tapi pemuda itu nampak tak puas dengan jawaban Maya. Dia merasa kalau kekasihnya itu menyembunyikan sesuatu.

Namun belum apa-apa, mendadak telinga Maya mendengar suara yang seolah bergema di sekelilingnya.

Wis wayahe...

Maya terkesiap! Matanya langsung jelalatan mencari-cari. Andri dan Tiwi jadi ikut kebingungan.

"Kenapa lagi May?" Tanya Andri.

"Kalian denger nggak? Tadi ada suara!" Sahut Maya sambil matanya terus mencari-cari.

Andri dan Tiwi saling pandang lalu menggeleng tanda tak mengerti.

"Nggak. Aku nggak denger apa-apa?" Balas Tiwi.

Maya merasa aneh. Sejak dia datang kemarin, sudah dua kali dia mendengar suara itu. Awalnya dia pikir telinganya salah tangkap. Tapi sampai dua kali?

Akhirnya mereka pergi meninggalkan tempat itu. Sepanjang jalan, Andri yang khawatir terus merangkul Maya. Gadis itu jadi risih. Dia tak enak pada Tiwi.

Tapi Tiwi hanya tersenyum. Tanpa bertanya, sepertinya Tiwi paham kalau Maya dan Andri punya hubungan yang istimewa.

Sesampainya di rumah nenek, ketiganya jadi heran ketika melihat sejumlah orang yang berkerumun di depan rumah. Ini ada apa?

"Ada apa pak?" Tanya Maya pada pak Gimin yang rupanya ada di situ.

"Nenekmu..." Jawab pak Gimin di antara orang-orang yang memandangi Maya dengan tatapan mata penuh selidik.

Firasat Maya kian buruk. Dia langsung menyeruak masuk ke dalam menuju kamar neneknya. Pandangannya sempat terhalangi oleh beberapa orang yang berdiri mengelilingi ranjang nenek.

Tapi ketika orang-orang itu menyingkir memberikannya jalan, Maya langsung kaget melihat nenek yang tergeletak di atas ranjang...

Astaga!

Nenek terbaring lemah. Tubuhnya nampak layu. Ada darah kental meleleh keluar dari lubang hidungnya yang segera diseka oleh orang yang ada di dekatnya.

"Nenek kenapa?" Tanya Maya. Tapi tak ada yang menjawab. Orang-orang di sekitarnya hanya diam membisu sambil menatap heran melihat baju Maya yang basah.

"Ini nenek kenapa?" Ucap Maya kembali mengulangi pertanyaannya dengan nada suara yang sengaja ditinggikan.

Salah satu dari mereka akhirnya menjawab. "Nenekmu tadi pingsan. Tapi beliau bilang nggak apa-apa."

"Nggak apa-apa gimana? Lah wong sampai mimisan gitu?" Jawab Maya sedikit ketus.

Tak ada yang bisa menjawab. Justru neneknya yang tiba-tiba berkata lemah. "Aku nggak apa-apa. Sekarang kalian semua pergi, tinggalkan aku sendiri." Pinta nenek.

"Lalu upacaranya bagaimana Nyi? Bukankah waktunya sudah dekat?" Tanya seorang wanita yang berdiri dekat nenek.

Nenek menggeleng lemah. "Nanti. Kalian pulang saja dulu."

Orang-orang pun patuh lalu membubarkan diri. Maya bingung, apa yang sedang mereka bicarakan? Namun dia tak berani ikut campur. Dia pun ikut pergi meninggalkan nenek yang masih terbaring lemah di atas ranjang.

Setelah berganti pakaian, Maya ditemani Andri dan Tiwi cuma bisa duduk menunggu di ruang tamu. Maya harap-harap cemas sambil terus melirik ke arah kamar nenek yang pintunya kini tertutup rapat.

"Nenekmu sakit apa May? Kok hidungnya sampai berdarah begitu?"

"Aku nggak tau Ndri. Kamu kan tau sendiri, kami sudah lama nggak ketemu. Jadi aku nggak tau gimana kondisi nenek saat ini."

"Memangnya berapa sih usia nenekmu? Sepertinya dia belum terlalu tua? Tubuhnya juga kelihatan masih sehat." Tanya Andri lagi yang langsung membuat Maya jadi terdiam.

Jujur, Maya memang benar-benar tak tau berapa usia neneknya. Dia tak pernah bertanya. Ibunya pun tak pernah cerita.

"Sebenarnya apa yang terjadi pada nenekmu itu hampir mirip seperti yang dulu pernah dialami beberapa orang di kampung ini, termasuk ibuku." Ucap Tiwi tiba-tiba.

"Hah? Serius Wi?" Sahut Maya.

"Iya. Dulu ibuku dan beberapa orang kampung ini pernah mengalami hal yang sama. Tubuh mereka mendadak lemas dan hidungnya selalu mengeluarkan darah. Sebelum akhirnya...

Tiwi menghentikan kata-katanya. Wajahnya mendadak jadi sendu. Maya dan Andri jadi heran namun tak sabar menunggu.

"Sebelum apa Wi?" Tanya Maya penasaran.

"Sebelum akhirnya mereka meninggal." Sambung Tiwi menyelesaikan kalimatnya.

"Innalillaahi... Jadi ibumu sudah nggak ada Wi?" Tanya Maya sama sekali tak mengira.

"Iya May. Sudah lama. Kira-kira beberapa bulan setelah kamu dan ibumu pergi. Padahal waktu itu bapak yang sakit-sakitan. Tapi entah kenapa tiba-tiba ibu mengalami hal itu. Selama beberapa hari hidungnya selalu mengeluarkan darah. Lalu tak lama dia meninggal."

"Ya Allah, aku jadi ikut sedih Wi." Sahut Maya.

Tiwi tersenyum getir, lalu kembali melanjutkan ceritanya. "Tapi ternyata bukan ibuku saja. Beberapa orang dalam waktu yang berbeda juga mengalami nasib yang sama."

Maya dan Andri tertegun. Cerita Tiwi terdengar aneh sekaligus menakutkan. Kini Maya jadi khawatir. Apa mungkin neneknya akan mengalami hal serupa?

Tapi mendengar Tiwi menyinggung bapaknya, Maya jadi teringat akan sosok pak Gimin. Dia pun lantas melontarkan pertanyaan yang sejak tadi begitu mengusik.

“Maaf Wi. Ada yang mau aku tanya. Setahuku dulu bapakmu itu sakit-sakitan. Tapi hari ini kulihat dia sangat jauh berbeda. Bapakmu nampak sehat wal afiat. Tak nampak kalau dia dulunya sakit."

"Jangankan kamu May, aku sendiri juga heran. Padahal bapak bilang dia nggak berobat kemana-mana. Aku juga nggak tau bagaimana bisa begitu, soalnya setelah ibu wafat, bapak langsung mengirimku ke pesantren. Baru 6 bulan aku kembali ke sini."

"Oh pantes sekarang kamu pake kerudung." Sahut Maya.

“Iya May. Tapi sebenarnya waktu itu aku keberatan. Aku nggak tega ninggalin bapak sendirian. Tapi dia tetap bersikeras. Ya aku nggak bisa nolak.”

Ketiganya jadi termenung, hanyut dalam pikirannya masing-masing. Lalu Tiwi yang merasa tak punya urusan lagi akhirnya pamit pulang.

***

Hingga malam hari, nenek tak juga keluar dari kamarnya. Maya yang sejak tadi menunggu jadi tambah gelisah.

"Kok nenek nggak keluar-keluar juga ya Ndri? Aku takut dia kenapa-napa." Keluh Maya pada Andri.

"Iya May. Lalu kita harus bagaimana?"

Maya cuma mengangkat bahu. Lalu mendadak ada Tiwi yang datang dengan langkah tergopoh-gopoh.

"May! Bapak May! Sejak tadi hidungnya berdarah! Dia suruh aku untuk minta bantuan pada nenekmu!"

"Astaga! Serius Wi? Tapi kenapa minta tolong sama nenek?"

"Aku nggak tau May. Bapak cuma bilang begitu."

Maya tak mengerti. Kondisi neneknya saja sudah membingungkan. Ditambah lagi pak Gimin yang kini mengalami hal yang sama. Ada apa ini? Lalu kenapa minta bantuan pada nenek? Memangnya nenek bisa apa?

"Gimana May? Aku minta tolong sampaikan pada nenekmu. Tolong May." Pinta Tiwi dengan wajah memelas.

"Nenek sejak tadi belum keluar kamar Wi. Aku dan Andri juga sedang cemas." Balas Maya.

Namun mendadak pintu kamar nenek terbuka. Lalu terlihat nenek melangkah keluar kemudian berbicara kepada Tiwi.

"Bilang pada bapakmu, sekarang sudah tiba waktunya."

Mendengar hal itu, Tiwi langsung mengerenyitkan dahi. Apa maksudnya? Tapi dia hanya mengangguk tak berani banyak bertanya.

"Baik nek. Kalau begitu saya pamit dulu." Sahut Tiwi lalu cepat berbalik pergi.

Nenek pun kembali masuk ke dalam kamarnya lalu menutup pintunya rapat-rapat. Tinggal Maya dan Andri yang masih saling pandang kebingungan.

"May, ini ada apa sih? Pertama nenekmu sakit, lalu pak Gimin juga ikut sakit. Nenekmu yang dimintai tolong malah cuma bilang 'sudah waktunya'. Maksudnya apa?"

"Ya mana aku tau Ndri? Sepertinya cuma nenek dan pak Gimin saja yang paham. Ya sudah, kita istirahat saja, sudah malam. Tapi aku mau tidur di ruang tamu, jaga-jaga kalau nenek butuh apa-apa."

"Ok. Tapi kalau nanti ada apa-apa, kamu bangunin aku ya?" Jawab Andri lalu masuk ke dalam kamarnya.

***

Hampir tengah malam, Maya yang tidur di kursi ruang tamu jadi terbangun ketika mendengar suara pintu yang berderit.

Maya bangkit lalu melirik kamar neneknya yang masih tertutup rapat. Namun dia yang curiga tergerak untuk memeriksa.

"Nek, nenek..." Maya memanggil pelan. Namun tak ada jawaban.

Dia coba mengintip dari celah pintu yang sedikit longgar. Namun dia jadi kaget saat menyadari kalau neneknya tak ada di dalam sana. Nenek kemana?

Maya mencari nenek di seluruh penjuru rumah, namun dia tak mampu menemukannya. Maya jadi khawatir. Firasatnya mengatakan kalau ada sesuatu yang tak beres. Dia pun lantas membangunkan Andri.

"Kenapa May?"

"Nenek nggak ada Ndri!"

"Lho? Kemana?"

"Aku nggak tau. Sudah aku cari, tapi dia nggak ada di rumah."

Keduanya pun berniat pergi mencari keluar rumah, namun mereka jadi bingung hendak mencari kemana.

"Mungkin ke rumah pak Gimin. Tadi kan Tiwi bilang kalau bapaknya sakit dan butuh bantuan?" Saran Andri.

Maya pun setuju. Lalu mereka pergi ke rumah pak Gimin yang letaknya memang tak jauh dari situ. Setelah mengetuk pintu, ada Tiwi yang keluar dengan wajah yang terheran-heran.

"Ada apa May?"

"Wi, apa nenek ke sini? Soalnya dia nggak ada di rumah."

"Nggak ada. Apa jangan-jangan...

"Jangan-jangan apa Wi?"

"Jangan-jangan nenekmu ikut pergi ke Sendang Ratu. Soalnya tadi bapak dijemput beberapa orang pamit mau pergi ke sana, entah mau apa. Padahal hidungnya masih berdarah. Tapi waktu aku mau ikut, dia malah melarang."

Mendengar hal itu, Maya dan Andri jadi curiga. Malam-malam begini ke Sendang Ratu? Mau apa?

Ketiganya pun memutuskan untuk pergi ke sana. Dan ketika akhirnya mereka tiba, dari balik pepohonan, mereka heran menyaksikan pemandangan aneh yang terpampang di hadapan mereka…

Di sana, nampak nenek sedang berendam persis di tengah kolam. Pak Gimin beserta beberapa orang terlihat duduk bersila di sekeliling tepian kolam.

Apa yang sedang mereka lakukan? Kenapa nenek berendam tengah malam buta begini? Lalu mau apa orang-orang itu?

Mata nenek terpejam khidmat. Pak Gimin dan yang lainnya nampak khusyuk memperhatikan.

Melihat bapaknya seperti itu, Tiwi nampak tak suka. Dia pun lantas ingin mendekat, namun Maya cepat melarang.

"Jangan Wi, biarkan saja dulu. Aku takut mereka jadi marah kalau sampai kita ganggu. Kita perhatikan saja dari sini, biar kita tau apa yang sedang mereka lakukan."

Tiwi pun menurut. Dia kembali mengintai bersama Maya dan Andri. Lalu ketiganya makin heran saat melihat orang-orang itu satu-persatu bergantian masuk ke dalam kolam setelah sebelumnya menanggalkan pakaiannya.

Lalu pada setiap orang yang masuk ke dalam kolam, nenek menyiramkan air seolah sedang memandikannya. Nenek nampak serius dengan mulutnya yang tak henti merapalkan sesuatu.

Setelah itu, setiap orang sengaja menenggelamkan dirinya sendiri selama beberapa saat. Dan setelah semua orang mendapatkan gilirannya, mereka kembali mengenakan pakaiannya lalu terlihat hendak pergi meninggalkan tempat itu.

"Ayo, kita harus cepat pulang. Kita harus sampai rumah lebih dulu. Jangan sampai nenek dan bapakmu jadi curiga kalau kita nggak ada di rumah." Saran Maya pada Tiwi.

Lalu ketiganya pun bergegas pergi. Sesampainya mereka di rumah, Maya sempat berpesan pada Tiwi.

"Wi, menurutku, ada baiknya kamu tutup mulut. Tak perlu menanyakan hal tadi pada bapakmu."

"Tapi ini aneh May! Memperlihatkan aurat di depan orang yang bukan muhrimnya itu dosa! Aku juga mau tau apa yang mereka lakukan tadi." Tiwi mendebat sengit.

"Iya, aku tau. Tapi sepertinya yang mereka lakukan itu rahasia. Bapakmu pasti marah kalau tau kamu tadi mengintip. Apa kamu mau ribut dengan bapakmu gara-gara itu? Beliau kan sedang sakit?"

Tiwi langsung diam. Walau masih keberatan, namun dia pikir ucapan Maya ada benarnya.

Keesokan harinya, Tiwi kembali datang menemui nenek. Rupanya gadis itu khawatir dengan kondisi bapaknya yang kian memburuk.

"Maaf nek, kondisi bapak tambah parah. Badannya jadi lemas. Hidungnya tak berhenti mengeluarkan darah. Tapi bapak nggak mau dibawa ke dokter. Dia malah minta saya untuk datang ke sini lagi. Saya khawatir nek, ingat kejadian ibu dulu." jelas Tiwi di hadapan nenek.

Sesaat nenek cuma diam. Tapi wajahnya jadi cemas. Namun dia coba berikan jawaban penenang untuk Tiwi. "Kamu pulang saja. Biar nanti aku yang urus."

"Iya nek." Sahut Tiwi lalu pergi sambil melirik ke arah Maya dan Andri yang juga ada di situ.

Sepeninggalan Tiwi, Maya memberanikan diri untuk bertanya pada neneknya.

"Sebenarnya pak Gimin itu kenapa nek? Tiwi kemarin cerita kalau ibunya dan beberapa orang di kampung ini dulu juga pernah mengalami hal yang sama lalu akhirnya mereka meninggal."

Nenek langsung melirik sinis. Dia sepertinya tak suka ditanya seperti itu. Lalu dia pun menjawab singkat namun sedikit ketus.

"Bukan urusanmu."

"Tapi nek, kemarin kan nenek juga mengalami hal yang sama? Apa nenek nggak khawatir?"

Nenek tak menjawab. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Lalu tanpa bicara lagi, dia segera bangkit dan melangkah masuk ke dalam kamarnya.

"May, jujur saja aku jadi khawatir. Sepertinya ada yang nggak beres." Ujar Andri.

"Iya Ndri. Apa mungkin ini ada hubungannya dengan apa yang mereka lakukan di Sendang Ratu kemarin malam?"

Andri tertegun. Pikiran cerdasnya coba menghubungkan semua peristiwa. Termasuk tentang kejadian kemarin saat Maya tiba-tiba menceburkan diri ke dalam sendang.

“Sepertinya memang ada yang aneh dengan tempat itu. Asal kamu tau May, waktu kemarin kamu tiba-tiba menceburkan diri lalu tenggelam di sana, aku sempat kaget. Tapi aku lebih kaget lagi waktu melihat kalau ternyata bukan kamu yang muncul dari dalam air.”

"Hah? Memangnya kamu lihat siapa?" Tanya Maya tercengang.

"Aku lihat seorang wanita berpakaian kerajaan yang muncul dari dalam air. Aku sempat kaget sampai jatuh. Tapi saat kulihat kembali, ternyata kamu sudah berdiri di depanku, lalu kamu pingsan."

"Serius Ndri? Aku juga melihat wanita itu! Dia berdiri sambil memanggilku. Aku seperti terhipnotis untuk mendekatinya. Setelah itu, aku nggak inget apa-apa lagi."

"Ya Allah.. Tadinya aku pikir aku cuma salah lihat. Tapi kalau ternyata kamu juga melihatnya, apa mungkin wanita itu…

Andri tak mampu lanjutkan kalimatnya. Dia masih bingung. Semua ini sungguh bertentangan dengan akal sehatnya.

"Masa iya sih kita sudah melihat hantu? Hari gini masih ada yang begituan?" Ucap Andri melanjutkan ucapannya.

"Lalu apa? Halusinasi? Jelas-jelas kita sama-sama melihatnya." Ucap Maya mendebat.

"Iya sih. Aku jadi penasaran. Apa mungkin nenekmu punya jawabannya? Kamu berani menanyakan hal ini?"

"Nggak lah Ndri. Aku nggak berani. Tadi saja waktu aku tanya tentang pak Gimin, mukanya langsung jutek gitu."

"Hmm.. Aku punya firasat kalau bakal terjadi sesuatu. Bagaimana kalau mulai sekarang kita mata-matai nenek? Maksudku, biar kita bisa tau tanpa bertanya. Gimana?" Saran Andri lagi.

"Ok. Aku setuju. Aku sebenarnya juga sudah curiga dengan gerak-gerik nenek sejak melihat dia dan beberapa orang yang berendam di dalam sendang kemarin malam."

"Nah! Aku juga sepemikiran. Berendam malam-malam bersama-sama tanpa busana itu terlalu aneh untuk dianggap wajar. Pasti ada sesuatu." Sahut Andri dengan wajah serius.

***

Selepas magrib, mendadak Tiwi kembali mendatangi rumah nenek. Namun kali ini dia datang dengan wajah yang penuh ketakutan.

"Nek! Bapak nek! Bapak pingsan!"

Nenek pun bergegas menuju rumah Tiwi. Maya dan Andri yang tak mau ketinggalan ikut mengekor di belakangnya.

Kini mereka telah sampai di rumah Tiwi, dimana sudah ada sejumlah orang yang nampak berkerumun.

Wajah mereka terlihat khawatir, atau malah ketakutan? Maya dan Andri masih ingat, orang-orang itu yang pernah mereka lihat turut berendam dalam sendang kemarin malam.

Di dalam kamarnya, pak Gimin tergeletak tak berdaya. Terlihat ada darah yang mengalir keluar dari lubang hidungnya.

Nenek menatap sosok pak Gimin lekat-lekat. Dia lantas meminta bantuan orang-orang itu untuk membawa pak Gimin ke Sendang Ratu.

Maya dan Andri heran. Mau apa lagi mereka ke sana? Tapi lain halnya dengan Tiwi. Gadis itu langsung protes keras tanda tak setuju.

"Mau apa bapak dibawa ke sana? Nggak usah! Sehabis pulang dari sana, bapak malah jadi tambah parah. Ini malah mau dibawa ke sana lagi!"

Nenek seketika mendelik marah! Dia balas menjawab dengan nada yang tak kalah sengit. "Tau apa kamu? Justru ini untuk kebaikannya! Kamu anak kemarin sore nggak usah ikut campur!"

Maya pun berusaha menengahi dengan mengutarakan pendapatnya. “Maaf nek, apa nggak sebaiknya pak Gimin kita bawa ke dokter saja? Kita bisa pakai mobilnya Andri.”

Mendengar hal itu nenek malah melotot sambil menghardik keras. "Maya! Nenek minta kamu juga jangan ikut campur!”

Maya seketika terdiam. Namun di tengah tensi yang kian tinggi, pak Gimin terlihat menggeliat lalu membuka matanya.

“Nyi, bawa aku ke sendang Nyi. Tolong Nyi..” Ucap pak Gimin dengan suara yang lemah.

Nenek mengangguk lalu melirik sinis ke arah Maya dan Tiwi. Mulutnya mencibir seolah merasa telah menang. Tiwi cuma bisa diam. Dia benar-benar tak habis pikir dengan permintaan bapaknya.

Pak Gimin pun akhirnya dipapah untuk dibawa ke Sendang Ratu. Tiwi sempat meminta untuk ikut, tapi langsung dilarang oleh yang lain.

"Sudah, kamu tunggu di sini saja. Biar bapakmu kami yang urus." Ucap salah satu dari orang-orang itu.

Tiwi nampak tak setuju. Maya pun mendekati Tiwi dan coba untuk menenangkannya. "Kamu tunggu di rumah saja. Biar aku dan Andri yang diam-diam mengikuti mereka." Bisik Maya di telinga Tiwi.

Tiwi pun menurut. Dia yakin Maya akan menjaga bapaknya. "Iya May, tolong awasi mereka, jangan sampai bapak kenapa-napa."

Maya pun mengangguk. Dia dan Andri segera pergi menyusul. Sepanjang jalan, keduanya sengaja menjaga jarak agar mereka tak terlihat.

Kini mereka telah sampai di Sendang Ratu. Dari balik pepohonan, Maya dan Andri terus memperhatikan gerak-gerik dari orang-orang itu.

Pak Gimin dibantu beberapa orang kembali dibawa masuk ke dalam kolam. Nenek nampak khidmat sambil menyirami tubuh pak Gimin dengan air sendang. Setelah selesai, pak Gimin pun kembali dibawa naik.

Semua sama persis seperti yang mereka lakukan kemarin malam. Namun kali ini pak Gimin masih tetap terkulai lemas sejak awal hingga selesai.

Maya dan Andri diam-diam terus mengikuti mereka sampai pak Gimin kembali dibawa pulang.

Di teras rumah, Tiwi yang telah menunggu spontan berdiri menyambut kedatangan orang-orang itu yang langsung membawa bapaknya masuk ke dalam kamar.

"Gimana?" Tanya Tiwi setelah bapaknya dibaringkan di atas ranjang.

"Dia akan baik-baik saja. Usahakan dia minum air ini. Semoga dia akan kembali sehat seperti sedia kala." Jawab nenek sembari menyerahkan kendi kecil berisi air sendang ke tangan Tiwi.

Tiwi menerimanya dengan ragu-ragu. Dia tak tau harus berkata apa. Dia sebenarnya masih kesal karena bapaknya tadi seolah dipaksa untuk dibawa ke Sendang Ratu dan dia dilarang untuk ikut.

Setelah orang-orang itu pergi, Maya dan Andri keluar dari persembunyian lalu mendatangi Tiwi. Mereka pun menceritakan tentang semua yang mereka saksikan tadi.

"Apa sih maksudnya mereka melakukan hal itu? Mencurigakan sekali." Tanya Tiwi menduga-duga.

"Kami juga nggak tau Wi. Tapi sepertinya mereka melakukan semacam ritual." Jawab Andri coba utarakan pendapatnya.

"Ritual? Ritual apa?" Tanya Tiwi makin heran.

"Aku juga nggak tau Wi. Sepertinya itu rahasia dan hanya para pelakunya saja yang tau. Tapi kita nggak mungkin menanyakan hal itu pada mereka. Aku yakin mereka pasti nggak mau jawab." Balas Andri lagi.

"Ya sudah. Sekarang kita doakan saja mudah-mudahan pak Gimin bisa sembuh. Kalau begitu kami pulang dulu Wi. Cepat kabari kami kalau ada apa-apa." Ucap Maya.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close